PA A11 : tantangan moral era global - word
PA A11 : tantangan moral era global - ppt
MAKALAH
“Psikologi Agama dan Tantangan Problematika
Era Global”
Mata Kuliah: Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Ghufron Dimyati, M.Si
Disusun oleh;
Nur Nadhifah 2022111004
Nurul Habibah 2022111042
Risna 2022111044
Kelas: PBA “A”
Semester III
Semester III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kesadaran
moral merupakan faktor penting untuk melakukan susial, lagi pula tindakannya
akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas
nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Prilaku manusia yang
berdasarkan atas kesadaran moral, prilakunya akan selalu akan direalisasikan
sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan dimana saja.
Sekalipun
tidak ada orang yang melihatnya, tindakan yang bermoral akan selalu dilakukan.
Sebab tindakannya berdasarkan atas kesadaran, bukan berdasarkan pada suatu
kekuasaan apapun dan juga bukan karena paksaan, tetapi berdasarkan “kekuasaan”
kesadaran moral itu sendiri.
Era
globalisasi umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan moral. Oleh karena itu manusia mempunyai tantangan untuk mempertahankan
moralitas yang melekat pada dirinya dizaman era globalisasi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MORAL ERA GLOBAL
Moralitas dapat didefinisikan dengan
berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat dikatakan sebagai kapasitas
untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak atas perbedaan tersebut
dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa
bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.[1]
Era globalisasi yang ditopang oleh kemajuan
dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota
dunia. Batas Negara sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling
berhubungan. Kehidupan manusia era globalisasi saling pengaruh mempengaruhi,
sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa
tertentu maka akan terangkat menjadi milik bersama.[2]
B. UNSUR
KESADARAN MORAL
1. Von Magnis, menyebut 3 unsur kesadaran
moral.
a.
Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan
yang bermoral itu ada, dan terjadi didalam setiap hati sanubari manusia, siapa
pun dimanana pun dan kapan pun. Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar
karena kewajiban maka andai kata dalam pelaksnaanya tidak dipatuhi berarti
suatu pelangaran moral.
b.
Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional,
karena berlaku umum, lagipula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan.
Dinyatakan pula sebagai hal yang objektif dapat di universalisasikan, artinya
dapat disetujui, berlaku bagi setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang
berada dalam situasi yang sejenis.
c.
Kebebasan.
Atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk
mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan didalam penentuan itu
sekaligus terpampang pula nilai manusia itu sendiri.
2. Poedjawijatna, berpendapat kata hati
(istilah lain bagi kesadaran moral) bertindak sebagai berikut:
a.
Index atau petunjuk
Memberi petunjuk baik buruknya suatu tindakan yang
mungkin akan dilakukan seseorang.
b.
Iudex atau Hakim
Sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik
buruknya tindakan.
c.
Vindex atau Penghukum
Jika tindakan itu buruk maka tikatakan dengan tegas
dan berulang kali bahwa buruklah itu.
3. Prof. Notonagoro.
a.
Sebelum
Sebelum melakukan tindakan, kata hati sudah memutuskan
satu diantara empat hal, yaitu : memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan
atau membiarkan.
b.
Sesudah
Sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi
penghargaan, bila tidak bermoral dicela, atau dihukum.
4.
Vernon J. Bourke, 1953: 129, menampilkan bagan tentang
petunjuk rasional mengenai proses penalaran yang praktis dalam tindakan manusia
yaitu: sampai pada tahap conscience (kesadaran kata hati), tahap mana merupakan
prinsip keempat dari norma dasar bagi pertimbangan moral, dilihat atas
kedudukan akal manusia didalam konteks semesta lainnya, yaitu dalam urutan
jenjang dari makhluk alami yang paling rendah sampai pada suatu yang tertinggi,
dari makhluk alam sampai akal abadi yaitu Tuhan.[3]
C. PROBLEMATIKA
MORAL
Secara fenomena, kebudayaan dalam era
globalisasi mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan moral keagamaan, khususnya dikalangan generasi muda. Meskipun
dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaantampak meningkat dalam
kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler
barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan moral keagamaan para
generasi muda.
Ada dua kecenderungan yang tampak. Pertama
muncul sikap toleransi yang tinggi terhadapa perbedaan agama. Kedua, muncul
sikap fanatic keagamaan. Sikap toleransi dijumpai dikalangan kelompok yang
disebut moderat, sedangkan sikap fanatik sering diidentikkan dengan kelompok
fundamental.[4]
Contoh-contoh problematika yang terjadi
dalam era global sekarang terutama dalam kaum remaja yang semakin tahun total
free sex-nya semakin meningkat, dapat dijadikan sebuah ilustrasi akan kaburnya nilai-nilai moralitas dimata
generasi muda. Mereka dihadapkan kepada berbagai kontradiksi dari aneka ragam
pengalaman moral, yang menyebabkan mereka bingung untuk memilih mana yang baik
untuk mereka. Mereka mencoba mengembangkan diri kearah kehidupan yang disangka
maju dan modern, dimana berkecamuk aneka ragam kebudayaan asing yang masuk
seolah tanpa saringan. Akan tetapi disinilah mereka sering tersesat daan
terjebak kearah yang bertentangan dengan nilai dan moral.[5]
Kaburnya
nilai-nilai moral dimata generasi muda dan umumnya pada semua elemen
masyarakat, akan menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap
nilai-nilai moral itu sendiri, bahkan terhadap nilai dan norma agama.
Pelanggaran ini disebut sebagai perilaku penyimpangan atau tindakan amoral.
Menurut
Yasrif Amir Piliang, tindakan perilaku penyimpangan itu mengarah pada permainan
moral (moral games) yang di dalamnya batas baik-buruk, benar-salah,
pantas-tidak pantas, dibuat menjadi samar. Yasrif membaginya dalam dua
indikator, pertama (amorality) berupa tindakan melanggar atau melawan
moral, seperti aneka tindakan kejahatan, kedua (immorality) berupa
memutarbalikkan atau mempermainkan batas moral antara baik-buruk, benar-salah
atau pantas-tidak pantas.[6]
D. PERAN DAN
TANTANGAN PSIKOLOGI AGAMA
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat
norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan
bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai
luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan
sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Dzat Yang Supernatural.
Dengan demikian, sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi
tuntutan yang dimaksud.[7]
Ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang bersifat tetap,
tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat, dan absolut. Misalnya
dalam agama islam, berzina dan mendekati zina itu tetap terlarang, apakah dia
di Indonesia, di Arab atau di Amerika, namun perbuatan tersebut tetap tercela dan
dilarang keras melakukannya. Karena itu, agama mempunyai peranan penting dalam
pengendalian moral seseorang. Tapi harus ingat bahwa pengertian tentang agama,
tidak otomatis sama dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama,
akan tetapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti
agama sama sekali, moralnya cukup baik.[8]
Nilai-nilai yang seperti inilah yang seharusnya ditanamkan dan diajarkan
kepada generasi sekarang. Nilai-nilai tersebut lebih lanjut untuk dijadikan
filter dalam menghadapi fenomena global yang sedang terjadi saat ini. Sehingga
sebebas apapun kita mengikuti arus globalisasi, kita tetap mempunyai sebuah
keyakinan akan pilihan yang harus kita tentukan. Kita dapat lebih arif dalam
memilih mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan yang pantas atau tidak
pantas. Itulah peran penting agama dilihat dari pandangan psikologi agama.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agar peran penting agama
tersebut dapat ditanamkan dan diajarkan kepada seluruh generasi sekarang ini
untuk menghadapi kuatnya arus globalisasi. Hal inilah yang disebut tantangan
psikologi agama.[9]
BAB III
PENUTUP
Moralitas
dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun, secara umum moralitas dapat
dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah,
bertindak atas perbedaan tersebut dan mendapatkan penghargaan diri ketika
melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar
tersebut.
Di Era Globalisasi banyak
permasalahan karena adanya perbedaan perspektif ekstrim dalam hal moral, maka
dituntut bagaimana peranan pendidikan nilai untuk mengatasi gejala-gejala
permasalahan tersebut.
Sedangkan penanaman nilai-nilai moral sangat tepat dilakukan melalui
keluarga, dan dimulai dari keluarga. Karena dalam keluarga tersebut, pembinaan
sudah mulai terjadi sejak anak belum lahir, yaitu saat masih berbentuk janin
dalam kandungan.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu
Jiwa Agama. Jakarta : Bulan
Bintang.
Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi
Perkembangan Islami. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin.
2000. Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Zubair, ahmad charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar