Makalah
PERADABAN ISLAM DINASTI- DINASTI
LAIN DI DUNIA ISLAM II
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas:
Mata Kuliah :
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu :
Ghufron Dimyati, M.S.I
Oleh:
Shandi Laili (2021113185)
Dwi Fitriyani (2021113188)
Muhammad Khoiruddin (2021113189)
KELAS: F
JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, para penguasa
setelah masa kekuasaan khulafaaur rasyidin, digantikan oleh para penguasa yang
membentuk kekuasaan dengan sistem kekuasaan kekeluargaan atau dinasti.
Dimulai dari kekuasaan Muawiyah yang membentuk
Dinasti Umayyah, maka sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah
menjadi monarchi hereditis (kerajaan
turun- temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan dan
diplomasi, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan
secara turun- temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya
untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid, yang kelak menggantikannya.
Dinasti- dinasti yang berkuasa setelah khulafaaur
rasyidin adalah Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umayyah di
Andalusia, Dinasti Safawiyah, Dinasti Usmani di Turki, Dinasti Mongol Islamdi
India, dan beberapa dinasti lain yang berkuasa di beberapa belahan dunia Islam.
Selain dinasti- dinasti yang disebutkan di atas,
juga terdapat beberapa dinasti lain yang juga memiliki peran penting dalam
pengembangan peradaban di dunia Islam.
Di makalah ini, akan dibahas mengenai peradaban
Islam pada Dinasti Buwaihi, Dinasti Murobithun, Dinasti Saljuk, Dinasti
Muwahhidun, Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Delhi dan Dinasti Mamluk.
- Rumusan Masalah
1. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Buwaihi?
2. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Murobithun?
3. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Saljuk?
4. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Muwahhidun?
5. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Ayubiyah?
6. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Delhi?
7. Bagaimana
peradaban pada masa Dinasti Mamluk?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinasti Buwaihi (932-1055 M)
Prof. K. Ali dalam bukunya A Study of Islamic History menjelaskan asal mula Bani Buwaihi
hingga memperoleh kesempatan untuk berkuasa di Baghdad. Bahwa tampilnya Bani
Buwaihi dari keturunan Persia itu bermula dari tiga putera Suza’ Buwaihi: Ali
bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Untuk mengatasi problem
kemiskinannya, maka keluarga dari Dailam ini memasuki dinas kemiliteran di
negerinya. Prestasi mereka sangat menonjol, sehingga salah satunya, Ali,
diangkat menjadi gubernur, dan kedua saudaranya diberi juga kekuasaan yang
tinggi. Gubernur Ali mengadakan penaklukan ke Persia, dan setelah raja
Mardawij- yang mempercayainya itu meninggal, ia berusaha meminta legitimasi
kekuasannya kepada khalifah Bani Abbas, dan anak keturunan Buwaihi mendapat
kedudukan penting di sana. Selanjutnya, Ali dengan keluarga Buwaihi itu
mengadakan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sinilah pasukan Buwaihi
dengan mudah memasuki pusat pemerintahan Bani Abbas.[1]
Perjalanan Dinasti Buwaihi dapat dibagi dalam dua
periode. Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi,
sedangkan periode kedua adalah periode defensif, khususnya di wilayah Irak dan
Iran Tengah. Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti
Abbasiyah di Baghdad mulai melemah.[2]
Setelah Mutawakkil meninggal, khalifah- khalifah
penerusnya ibarat boneka kerena kelemahannya, sedang yang berkuasa sebenarnya
adalah pengawal- pengawal khalifah dari Turki. Untuk menghindari tekanan dari
Turki itu, Al-Mustakfi meminta bantuan kepada kesultanan Buwaihi, Ahmad.
Akhirnya dikabulkan, dan kemudian berhasil mendepak Turki dari Baghdad. Sebagai
hadiah, Ahmad diangkat menjadi sultan dengan gelar Mu’iz al-Daulah, lalu
memindahkan kekuasaanya dari Syiraz ke
Baghdad. Sejak saat itu para khalifah tunduk pada Bani Buwaihi.
Mu’iz al-Daulat (932-949 M) digantikan oleh Izz
al-Daulat (967-977 M), tidak lama kemudian digantikan oleh Azad Daulat (949-983
M). Di bawah komando Azad, sebagian dinasti- dinasti kecil yang memisahkan diri
dapat dikendalikan lagi. Setelahnya, khalifah dipegang oleh Syafar al-Daulat
(983-989 M), Samsam al-Daulat (989-998 M), Bahaud al-Daulat (1012-1024 M), Imad
al-Daulat (1024-1048 M), dan terakhir Khusru Firuz Malik al-Rahim (1048-1055
M).
Meskipun di satu sisi Dinasti ini mengambil alih
kekuasaan khalifah Bani Abbas, tetapi dinasti ini juga mempunyai perhatian yang
sangat tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana Bani Abbas. Di
bidang- bidang lain juga diperhatikan, pembangunan saluran air, masjid- masjid,
rumah sakit dan lainnya. Kemajuan juga telihat dalam pertanian, ekonomi,
perdagangan dan industri.
Tidak terlalu lama kekuasaan ini berlangsung,
terjadilah perebutan kekuasaan antar saudara setelah generasi pertama uzur,
sehingga hal ini membawa ketidakstabilan pemerintahan. Keadaan ini masih
diperparah dengan pertentangan di tubuh militer, yakni antara kelompok militer
yang berasal dari Dailam Persia dengan kelompok militer dari Turki.
Permasalahan ini diperparah dengan datangnya gangguan dari luar, yaitu
gencarnya serangan dari Bizantine ke dunia Islam, serta banyaknya dinasti-
dinasti kecil di luar Baghdad yang sudah tidak dapat dikendalikan.
Jatuhnya Dinasti Bani Buwaihi di Baghdad ke tangan
Bani Saljuk berawal dari perebutan kekuasaan dalam pemerintahan itu sendiri.
Ketika jabatan Sultan Al-Rahim dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan
al-Basasiri, ia berbuat semena-mena terhadap Sultan al-Rahim maupun khalifah
al-Qaim. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughrel Bek dari
dinasti Saljuk, Persia. Setelah berhasil memasuki Baghdad pada 1055 M, Sultan
Al-Rahim dipenjarakan. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Bani Buwaihi.[3]
B.
Dinasti
Al-Murabithun (1056-1147 M).
Istilah
Murabithun di ambil dari kata ribath
yang berarti suatu tempat peribadatan dan pengajian yang didirikan oleh
Abdullah bin Yasin. Ia adalah seorang ulama besar bermazhab Maliki yang berasal
dari Maroko Utara. Ia ditugaskan oleh Syekh Abu Amran al-Fasi untuk
mendakwahkan agama di kalangan suku bangsa Berber Sanhaja di daerah Sahara,
Maroko bagian selatan. Mereka sebenarnya telah mengenal islam sejak abad ketiga
Hijrah. Karena dakwahnya di anggap sangat memberatkan dan terlalu keras bagi
masyarakat nomadik Berber, maka ia diusir dari Sahara.
Ia
melajutkan dakwahnya ke arah selatan di sekitar sungai Sinegal. Di sana ia
mendirikan sebuah ribath sebagai
tempat ibadah dan mengajarkan agama bagi masyarakat sekitar. Karena menempati ribath ini, mereka disebut kelompok
Murabithun.
Dinasti
Murabithun mengalami kemajuan ketika berada di bawah kepemimpinan Yusuf bin Tasyfin
(1061-1106 M). Ia memperluas kekuasaannya ke Fes, kemudian ke Tlemsan dan
Aljazair, hingga mencapai pegunungan Kabyles. Prestasi ini menujukkan bahwa Murabithun
merupakan dinasti suku Berber yang pertama kali berhasil menguasai sebagian
besar wilayah Afrika Utara bagian barat.
Atas
prestasi itu, yusuf dimintai bantuan oleh Al-Mu’tamid, pengusa Bani Abbas di Sivella
yang sedang terancam oleh kekuasaan Kristen, untuk menghadapi Al-Fonso VI. Akhitnya
pertempuran terjadi di Al-Zallaqah pada 1086 M, dan Yusuf berhasil mengalahkan
pasukan Al-Fonso VI, sekitar 20.000 pasukan musuh dibunuh dengan keji. Merasa
berpengalaman dan berhasil menghadapi musuh di Eropa itu, Yusuf dan pasukannya
kembali ke Eropa lagi pada 1090 M. Mereka menguasahi Granada, Sevilla, dan
kota-kota penting lainnya. Dengan demikian, Yusuf berhasil menguasahi wilayah
kerajaan muslih di Eropa, kecuali Toledo.
Atas
berbagai keberhasilannya itu, Dinasti Murabithun kemudian mendaulat diri
sebagai dinasti yang otonom dimana penguasanya diberi gelar Amir Al-muslimin.
Kemajuan
Murabithun tidak hanya perluasan wilayah, tetapi juga di bidang yang lain.
Masjid dan istana megah di Marakisy di bangun. Selain itu didirikan masjid Ja’i
Tlemsan, masjid Qairuwan di Fes, masjid Agug Aljazair, dan lain-lainnya.
Menurut
catatan sejarah, pemimpin dan Amir Murabithun berjumlah enam orang. Dari enam
orang itu, empat yang pertama berhasil mengantarkan dinasti itu berkembang dan
mengalami kemajuan. Mereka adalah Abdullah bin Yasin, Abu bakar bin Umar, Yusuf
bun Tasyfin, dan Ali bun Yusuf.
Sedangkan dua orang amir berikutnya, Ibrahim bin Tasyfin dan Ishak bin
Tasyfin, tidak mampu mempertahankan kemajuan Murabithun.
Ibrahim
dan Ishak merupakan amir yang lemah. Di samping itu, fanatisme para fuqaha
menyebabkan penerapan ajaran agama dalam kehidupan menjadi beku. Sementara itu,
militer yang berada di bawah amir Ishak mengalami kelemahan karena banyak yang
terbunuh dalam peperangan melawan tentara Kristen. Pada 1118 M. Alfanso VI dari
Aragon berhasil membunuh sejumlah besar tentara murabithun.
Disintegrasi
yang terjadi di Spanyol menimbulkan negara partai. Di pegunungan Atlas terjadi
pergolakan suku Masmuda yang di pengaruhi pembaharuan dalam ajaran agama yang
dipimpin oleh ibn Tumart, di mana pada 1147 M. Perintis gerakan Al-Muwahhidun ini dapat merebut Marakisy,
sehingga Ishak dan pengikutnya di bunuh. Dengan kekalahan ini, maka berakhirlah
kekuasaan Dinasti Murabithun.[4]
C.
Dinasti
Saljuk (1077-1307 M)
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin
Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Guzz dari Turki yang menguasai Asia barat daya
pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan
Mesopotamia, Suriah, Palestina dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan
mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan
Timur Tengah hingga abad ke-13.
Dinasti Saljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu,
Saljuk Iran, Saljuk Irak, Saljuk Kirman, Saljuk asia kecil dan Saljuk
Suriah. Dinasti Saljuk didirikan oleh
Saljuk bin Duqaq dari suku bangsa Guzz. Akan tetapi, tokoh yang dipandang
sebagai pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil
memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Dinasti
Abbasiyah.
Setelah Saljuk bin Tuqaq meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh
Israil ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah
kekuasaan bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata)
dan sekitar Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu
dinasti Ghaznawiyah dipimpin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa
Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk. Dinasti Saljuk melemah
setelah para pemimpinnya meninggal atau ditaklukan oleh bangsa lain.
Peninggalan dinasti ini adalah Kizil Kule (Menara
Merah) di Alanya, Turki Selatan, yang merupakan pangkalan pertahanan Bani
Saljuk dan Masjid Jumar di Isfahan, Iran.[5]
D.
Dinasti
Al-Muwahhidun (1130-1269 M).
Nama
Al-Muwahhidun yang berarti “orang-orang yang meng-Esa-kan” dinisbahkan kepada
kelompok gerakan yang mendasari lahirnya dinasti ini. Menurut analisis C.E.
Boswort (1993: 52-53), Al-Muwahhidun lahir untuk memprotes mazhab maliki yang
kaku, konservatif dan legalistik yang berkembang di Afrika utara berkat dakwah
Al-Murabithun. Di samping itu, dinasti ini muncul sebagai respon terhadap
kehidupan sosial yang mengalami kerusakan sejak masa akhir kekuasaan
Al-Murabithun.
Sebagaimana
Al-murabithun, kemunculan dinasti Al-Muwahhidun bermula dari gerakan dakwah
agama beralih menjadi kekuatan politik dan reformasi sosial.
Gerakan
dakwak ini di pelopori oleh Muhammad Ibn Tumart yang kemudian bergelar Al-Mahdi.
Ia berasal dari kabilah Masmudah, Berber, suku Hargah di wilayah Sus Maghrib
al-Aqsha. Ia adalah ulama besar yang pernah berguru di berbagai pusat ilmu
pengetahuan, Spanyol dan Baghdad.
Dinasti
Muwahhidun berkuasa selama kurang lebih 122 tahun dipimpin oleh 14 sultan.
Mereka adalah Abdul Mukmin (1130-1163 M), Abu Ya’qub (1163-1184 M), Abu Yusuf Ya’qub
(1184-1199 M), Muhammad Al-Nashir (1199-1214 M), Al-Mansur (1214-1223 M),
Al-Makhlu (1223-1234 M), Al-‘Adil (1224-1227 M), Al-Mu’tasim (1227-1229 M),
Al-Makmun (1227-1232 M), Al-Rashi (1232-1242 M), Al-Sa’id (1242-1248 M),
Al-Murtadla (1248-1266 M) dan Al-Wasiq (1266-1269 M).
Perekonomian
pertanian di sana maju. Hasil pertanian dan industri diekspor ke Asia Tengah
dan India. Beberapa cabang ilmu pengetahuan berkembang, dimana hal ini dapat
dibuktikan dengan lahirnya para ilmuan dengan berbagai karya yang hingga
sekarang sebagiannya masih kita pergunakan. Filosuf besar lahir, seperti Ibn
Rusd, Musa bin Maimun dan Ibn Tufail. Dalam bidang tasawuf lahir Ibn Arabi dan
Ibn Qasie.
Kemunduran
Dinasti Muwahhidun disebabkan utamanya karena luasnya wilayah, sementara
penduduknya sangat majemuk yang terdiri dari bangsa Berber yang terkenal dengan
sikapnya yang keras dan bengis. Wilayah yang luas ini, khususnya di Spanyol
sulit dikontrol oleh pemerintahan pusat, sehingga akhirnya mudah dikuasai oleh
tentara Kristen Spanyol yang belakangan mengalami kebangkitan politik pada 1212
M. Al-Nashir dengan tentaranya yang berjumlah lima ratus ribu orang dapat
dikalahkan. Maka, sejak itu ibu kota di Spanyol jatuh ke tangan kekuasaan
Kristen pada 633-636 H. Raja Ferdinand III dari Kastalah dan raja Jimm I dari
Arrajun bersama-sama merebut kota Balansiyah, Cardova, Marsiyah dan Isbiliyah.
Kekuasaan islam tinggal di Granada di bawah kekuasaan Muluk al-Thawaif hingga
abad XIV.
Adapun
sebab yang menjadikan Dinasti Muwahhidun akhirnya mengalami kehancurannya
adalah timbulnya berbagai pemberontakan di Afrika Utara yang menuntut
kemerdekaan, seperti Bani Tilmasan. Namun, yang paling langsung adalah
pemberontakan yang dilancarkan oleh bani marin yang berhasil merebut Marakisy.
Maka, semua wilayahnya di Afrika Utara diambil alih oleh Bani Marin, sedangkan
wilayahnya yang di Spanyol diambil alih oleh penguasa Kristen. [6]
E.
Dinasti
Ayyubiyah (1174-1252 M)
Pusat pemerintahan Dinasti Ayyubiyah adalah Kairo,
Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah, dan Yaman. Dinasti
Ayyubiyah didirikan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi, setelah menaklukkan khalifah
terakhir Dinasti Fathimiyah. Shalahuddin adalah tokoh dan pahlawan Perang
Salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Shalahuddin juga mendorong
kemajuan di bidang agama dan pendidikan.[7]
Pada tahun 1199 M, al-Ayyubi meninggal di Damaskus, dan digantikan oleh saudaranya,
Sultan al-‘Adil. Pada tahun 1218 M, al-‘Adil meninggal setelah kalah perang melawan
pasukan salib dan kota Dimyath jatuh ke tangan tentara salib. Setelah meninggal
al-‘Adil digantikan oleh oleh al-Kamil.
Setelah meninggal al-Kamil digantikan oleh putranya, Abu Bakar dengan
gelarnya Al-Adil II (berlangsung selama tiga tahun). Kepemimpinan Abu Bakar
ditolak oleh saudaranya, Al-Malik Al-Shalih Najm Al-Din Ayyub. Budak-budak Abu
Bakar besekongkol dengan Al-Malik Al-Shalih sehingga berhasil menjatuhkan Abu
Bakar dan mengangkat Al-Malik Al-Shalih Najm Aldin Ayyub (1240-1249M) sebagai
Sultan.
Setelah meninggal al-Malik Al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah.
Konflik terjadi antara Turansyah dengan Mamluk Bahr, Turansyah dianggap
mengabaikan peran Mamluk Al-Bahr dan lebih mengutamakan tentara yang berasal
dari Kurdi. Oleh karena itu Mamluk Al-Bahr di bawah pimpinan Baybars dan
Izzudin Aybak melakukan kudeta terhadap Turansyah (1250 M). Turansyah pun
terbunuh, maka berakhirlah dinasti Ayyubiyah. Peninggalan
Ayyubiyah adalah Benteng Qal’ah Al-Jabal di Kairo, Mesir.[8]
F.
Dinasti
Delhi (1206 M-1555 M)
Dinasti Delhi terletak di India Utara. Quthbuddin Aybak
secara independen, membentuk dinasti yang berpusat di Delhi dengan nama
Kesultanan Delhi (1206-1555). Kesultanan
yang berisi para budak militer, menandai
adanya periode tunggal dalam sejarah muslim India. Dinasti Delhi mengalami lima
kali pergantian kepemimpinan yaitu Dinasti Mamluk 84 tahun, Dinasti Khalji 30
tahun, Dinasti Tuglug 93 tahun, Dinasti sayid 37 tahun, dan Dinasti Lody 75
tahun.
Dalam tulisan Daniel pipes yang dikutip Ajid dan
Ading, menguraikan bahwa, realitas pemerintahan Aybak (Delhi) lebih mirip
dengan pola militerisme Tartar Mongol. Dalam setiap kebijakan suksesi
kepemimpinan militerisme Tartar Mongol, para pengganti biasanya tidak selalu
berasal dari sanak keluarga, tetapi bisa saja dari orang yang dianggap mampu
memimpin dan mengembangkan kekuatan militer kelompoknya.
Lalu selanjutnya Sultan Muhammad Tughluq (1325-1351
M) yang begitu dalam dengan pemikiran Ibnu Taymiyah (1263-1327 M), seorang
pemikir pasca-Mongol. Bahkan, ia terinspirasi oleh berbagai pemikiran ulama
yang satu ini hingga ia banyak menggagas kembali penegakkan sistem kekhalifahan
untuk diterapkan di wilayah India. Tuglhuq meminta legitimasi spiritual sebagai
penguasa yang sah kepada para Khalifah Abbasiyah di Mesir untuk memimpin umat Islam
di India. Periode pertengahan ternyata terus tumbuh dan dipelihara oleh proses
dan tradisi seperti ini, kejayaan ini mulai menghilang ketika imperialisme
barat mulsi berdatangan yang memandang bahwa pendirian wilayah kekuasaan tidak
perlu meminta izin dan legimitas dari siapa pun, kecuali dari rakyat yang
mendukungnya.
Setelah periode Khalji (1290-1320 M) dan Tuglhuq
(1320-1413 M) mulai menurun. Periode ini dipegang oleh keluarga budak Sayyid
(1414-1451 M), turunan keluarga Rasulullah SAW. , dan keluarga Lody (1451-1526
M) hingga Lodi digulingkan kepemimpinannya ketika kalah petempuran dengan
Zahiruddin Babur yang didukung oleh Timur Lenk (1526 M). Sejak saat itu,
kesultanan Delhi hancur dan diganti dengan kesultanan Mughal. Peninggalan
Dinasti Delhi antara lain adalah masjid Kuwat Al-Islami dan Qutub Minar yang
berupa menara Di Lalkot, Delhi (India).[9]
G.
Dinasti
Mamluk (1250 M-1517 M)
Dinasti Mamluk didirikan oleh para budak. Mereka
pada mulanya adalah orang- orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah
sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. [10]
Dinasti Mamluk memiliki wilayah kekuasaan di Mesir
dan Suriah. Dinasti Mamluk yang memerintah di Mesir dibagi dua, yaitu Mamluk
Bahrii dan Mamluk Burji. Sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri adalah Izzuddin
Aibak. Sultan Dinasti Mamluk Bahri yang terkenal antara lain adalah Qutuz,
Baybars, Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Baybars adalah sultan Dinasti
Mamluk Bahri yang berhasil membangun pemerintahan yang kuat dan berkuasa selama
17 tahun.
Berakhirnya Mamluk Bahri disebabkan oleh Sultan
Mamluk Bahri terakhir, Sultan Shalih Hajj bin Sya’ban (1381-1309) yang masih
kecil dan hanya memerintah selama dua tahun. Setelah itu, diganti oleh sultan
lain sampai akhirnya Sultan Barquq menguasai dan mengakhiri Dinasti Mamluk
Bahri. Kemudian pemerintahan diambil alih oleh Mamluk Burji yang diawali dengan
berkuasanya Sultan Barquq.
Hal- hal yang membedakan kedua pemerintahan tersebut
adalah suksesi pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun-
temurun, sedangkan pada pemerintahan Mamluk Burji suksesi lebih banyak terjadi
karena perang saudara dan huru- hara.
Di bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan
dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang
dirilis oleh Dinasti Fatimiah di Mesir sebelumnya. Dalam bidang ilmu
pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuan- ilmuan asal Baghdad dari serangan
tentara Mongol. Oleh karena itu, ilmu- ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti
sejarah, kedokteran, astronomi, matematika dan ilmu agama.
Kehancuran pemerintahan Mamluk baik Bahri maupun
Burji pada dasarnya berasal dari internal istana sendiri. Meskipun faktor
luarpun memberikan pengaruh terhadap kehancuran Mamluk sebagai faktor
eksternal. Secara internal, terlihat dari para sultan dan pegawainya yang
berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan dan pembantaian. Sedangkan
secara eksternal, kalangan Mamluk Burji lebih tidak peduli ketimbang mengurus
persoalan domestic dan negeri. Kondisi ini terbaca oleh musuh lamanya, seperti
tentara Mongol yang berkeinginan merebut kembali, ditambah pasukan Utsmani dari
Anatolia yang memperparah kehancuran Mamluk Burji. Dengan demikian, berakhirlah
pemerintahan Mamluk dan berpindahlah khalifah Islam pada pemerintahan Utsmani.[11]
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Tampilnya
Bani Buwaihi dari keturunan Persia itu bermula dari tiga putera Suza’ Buwaihi:
Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi.
Dinasti
Murabithun mengalami kemajuan ketika berada di bawah kepemimpinan Yusuf bin
Tasyfin (1061-1106 M). Murabithun merupakan dinasti suku Berber yang pertama
kali berhasil menguasai sebagian besar wilayah Afrika Utara bagian barat.
Dinasti
Saljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu, Saljuk Iran, Saljuk Irak, Saljuk
Kirman, Saljuk asia kecil dan Saljuk Suriah.
Dinasti Saljuk didirikan oleh Saljuk bin Duqaq dari suku bangsa Guzz.
Kemunculan
dinasti Al-Muwahhidun bermula dari gerakan dakwah agama beralih menjadi
kekuatan politik dan reformasi sosial. Gerakan dakwak ini di pelopori oleh
Muhammad Ibn Tumart yang kemudian bergelar Al-Mahdi.
Dinasti
Ayyubiyah didirikan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi, setelah menaklukkan khalifah
terakhir Dinasti Fathimiyah. Pusat pemerintahan Dinasti Ayyubiyah adalah Kairo,
Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah, dan Yaman.
Dinasti
Delhi terletak di India Utara. Quthbuddin Aybak secara independen, membentuk
dinasti yang berpusat di Delhi dengan nama Kesultanan Delhi (1206-1555).
Dinasti Mamluk
memiliki wilayah kekuasaan di Mesir dan Suriah. Dinasti Mamluk yang memerintah
di Mesir dibagi dua, yaitu Mamluk Bahrii dan Mamluk Burji.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir.2010. Sejarah Peradaban Islam ,Jakarta: AMZAH
Nurhakim, Moh. 2004.Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press
Supriyadi, Dedi.2008. Sejarah
Peradaban Islam ,Bandung: CV Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar