PERADABAN ISLAM DINASTI-DINASTI
LAIN DI DUNIA ISLAM I
Disusun oleh :
latania
Pendidikan Agama Islam F
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Peradaban Islam
Dinasti-Dinasti Lain di Dunia Islam I”. Makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI).
Namun dalam
penyusunan makalah ini kami memiliki kekurangan baik dari segi bahasa maupun
yang lainnya. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi
bagi mahasiswa dan bemanfaat untuk menambah pengetahuan bagi para mahasiswa.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam
Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti dinasti Bani
Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut
merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rasulullah
dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Pada peradaban Islam dinasti – dinasti lain di dunia Islam I lahir beberapa
dinasti seperti dinasti Idrisiyah, Aghlabiyah, Samaniyah, Safariyah, Tulun,
Hamdaniyah, dan Fathimiyah.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami akan membahas:
A.
Bagaimana
Peradaban Islampada Masa Dinasti Idrisiyah?
B.
Bagaimana
Peradaban Islam pada MasaDinasti Aghlabiyah?
C.
Bagaimana
Peradaban Islampada Masa Dinasti Samaniyah?
D.
Bagaimana
Peradaban Islampada Masa Dinasti Safariyah?
E.
Bagaimana
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Tulun?
F.
Bagaimana
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Hamdaniyah?
G.
Bagaimana
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Fathimiyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Dinasti
Idrisiyah
A.
Sejarah
Berdiri
Dinasti Idrisiyah berkuasa pada tahun 172-309H/789-926 M,
terjadilah pemberontakan di Madinah. Idris ibn Abdullah yang merupakan cucu
al-Hasan, ikut serta dalam salah satu pemberontakan sengit kelompok pengikut
Ali di Madinah. Perlawanan tersebut kemudian diredam. Setelah itu dia
menyelamatkan diri ke Maroko. Disanalah dia berhasil mendirikan sebuah kerajaan
dan mengabdikan dengan nama Idrisiyah selama hampir dua abad(789-926M). Dinasti
idrisiyah didirikan oleh Idris ibn Abdullah pada tahun 172 H atau 789M. Idris
adalah salah seorang penganut syiah. Dinasti ini merupakan dinasti syiah
pertama yang tercatat dalam sejarah. Ia berusaha memasukkan syiah ke daerah
Maroko dalam bentuk-bentuk yang sangat halus.
Idris ibn Abdullah merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad
SAW yaitu cucu dari Hasan, putra Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, dia
mempunyai hubungan dengan garis imam-imam syiah. Idris pernah juga ikut serta
dalam perlawanan dari keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun
169H-786M. Dia terpaksa melarikan diri ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara
(Maroko/al-Maghribi), dimana prestise keturunan Ali masih dihormati dan
dielu-elukan, sehingga tokoh Barbar Zeneta di Maroko Utara menerimanya sebagai
pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari Suku Barbar inilah
dinasti Idrisiyah lahir. Nama Idris kemudian dinisbahkan untuk nama dinasti ini
yaitu Idrisiyah. Pusat pemerintahan dari dinasti ini adalah kota Fez.
Ada dua alasan penting yang
melatarbelakangi munculnya dinasti Idrisiyah dan menjadi dinasti yang kokoh dan
kuat :
a.
Mereka
sangat mengagungkan keturunan Ali
b.
Letak
geografis dinasti ini yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang
berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkan.
B.
Raja-raja
yang Berkuasa
Diantara raja-raja yang berkuasa pada pemerintahan dinasti
Idrisiyah adalah :
1.
Idris
I ibn Abdullah (789-793M)
2.
Idris
II ibn Idris I (793-828M)
3.
Muhammad
ibn Idris I (828-836M)
4.
Ali
ibn Muhammad (836-849M)
5.
Yahya
I ibn Muhammad (849-863M)
6.
Yahya
II ibn Yahya I (863-866M)
7.
Ali
II ibn Umar (866-?M)
8.
Yahya
III ibn Al-Kasim (?-905M)
9.
Yahya
IV ibn Idris ibn Umar (905-920M)
10. Hasan Al-Hajjam ibn Muhammad ibn Al-Kasim (925-927M)
11. Kasim Ghannum ibn Muhammad ibn Al-Kasim (937-948M)
12. Abu Asysh Ahmad ibn Kasim Ghannum (948-954M)
13. Hasan ibn Kasim Ghannum (954-974M)
C.
Masa
Kejayaan dan Hasil Peradaban
Masa kejayaan pada pemerintah Umayyah II dicapai pada masa Idris I,
Idris II, dan Yahya ibn Muhammad. Pada pemerintahan Idris I, Idris II
(putranya)telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab
yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik.
Pada masa pemerintahan ini pula, telah dibangun kota Fez sebagai kota pusat
perdagangan, kota suci tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan
Nabi dari Hasan dan Husein ibn Ali ibn Abi Thalib).
Kota Fez telah berkembang begitu pesat. Hal ini terjadi pada masa
Yahya ibn Muhammad, dimana kota Fez benyak dikunjungi imigran dari Andalusia
dan daerah Afrika lainnya. Kemajuan kota ini bisa dilihat baik dari segi
pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. Diantara gedung
yang dibangun pada masa itu adalah Masjid Qairawan dan Masjid Andalusia.
Menurut versi lain, di kota ini didirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid
Fathima yang merupakan benih dari masjid dan universitas Qairawan yang terkenal.
Setelah Yahya ibn Muhammad meninggal, Yahya II yang merupakan putra dari Yahya
ibn Muhammad selanjutnya yang memimpin kekuasaan di Idrisiyah.
D.
Masa
Kehancuran
Kemerosatan pemerintahan dianasti Idrisiyah dimulai pada masa
pemerintahan Yahya II. Hal ini disebabkan karena Yahya II tidak mahir dan tidak
cakap dalam mengendalikan dan mengatur pemerintahan sehingga terjadilah pembagian
wilayah kekuasan. Pembagian wilayah tersebut :
1.
Keluarga
Umar ibn Idris I tetap memerintah wilayahnya (dahulu)
2.
Dawud
mendapat wilayah yang lebih luas ke arah timur kota Fez
3.
Keluarga
kasim menerima sebagian dari sebelah barat kota Fez bersama-sama dengan
memerintah wilayah suku Lawata dan Kutama
4.
Husain
(paman Yahya II) menerima bagian wilayah selatan kota Fez sampai pegunungan
Atlas
Disamping
ketidakmampuan Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, ia juaga pernah
terlibat dalam perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai
akiabat perbuatannya tersebut, kemudian ia diusir oleh penduduk kota Fez dan
melarikan diri serta mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya
pada tahun 866 M.
Ali
ibn Umar (paman dari ayah tiri Yahya) diangkat untuk menduduki tahta kekuasan.
Tetapi tak lama kemudian kekuasaan tersebut harus dilepaskan lagi karena suatu
pemberontakan. Dalam suasana yang tidak kondusif dan mengecewakan rakyat
tersebut, muncullah seorang penduduk kota Fez yang bernama Abdurrahman ibn Abi
Sahl al-Judami yang mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih
kekuasaan. Namun Ali ibn Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyin (Qairawan)
dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya.
Pada
masa pemerintahan Yahya III, pemerintahan yang semrawut itu bisa ditertibkan
kembali menjad tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintahkan dalam
waktu yang cukup lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman
kerabatnya yang diberi nama Yahya IV. Wilayah-wilayah yang dikuasai oleh para
kerabat yang lainnya dapat dipersatukan kembali pada masa pemerintahan Yahya
IV. Sejak itu, Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuatan
besar, yaitu Dinasti Bani Umayyah di Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiyah di
Mesir dalam meperebutkan supremasi dari Afrika Utara. Padahal sebagaimana diketahui,
kedua Dinasti tersebut mempunyai aliran yang berbeda, yaitu Dinasti Bani
Umayyah beraliran Sunni dan sementara Bani Fatimiyah beraliran Syi’ah. Kedua
kekuatan besar tersebut secara hati-hati menghindari bentrokan, tetapi Fez dan
wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikian mereka.
Pada
saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi daerah pertikaian, disaat
pemerintahan Yahya IV ini, muncullah seorang cucu Idris II yang bernama
Al-Hajjam yang berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Dalam
kekuasaannya, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin
setempat sehingga kekuasaannya hilang dan berakhir pada tahun 926 M. Anak-anak
dan saudara-saudaranya mengundurkan dan melarikan diri kedaerah sebelah utara
(suku Barbar Gumara). Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan
benteng diatas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut,
mereka bertahan sampai kurang lebih lima puluh tahun sambil mengamat-amati kubu
pertahanan kedua bani besar tersebut, yaitu Bani Umayyah dan Bani Fatimiyah.
2.
Dinasti
Aghlabiyah
A.
Sejarah
Berdiri
Dinasti Aghlabiyah berkuasa tahun 800-909 M di Ifrikiyah (Afrika
Utara). Dinasti Aghlabiyah merupakan dinasti kecil pada masa Abbasiyah di
Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih 100 tahun. Dinasti ini didirikan
oleh Ibrahim Ibn Aghlab (anak pegawai Khurasan, tentara Bani Abbasiyah).
Ibrahim dan para penguasanya berasal dari keluarga Bani Al-Aghlab, sehingga
dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Ibrahim I adalah seorang pejabat
Khurasan dalam militer Abbasiyah. Ia terkenal seorang yang mahir dalam bidang
administrasi. Ia mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik dengan kemampuan
ilmu administrasinya. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam
sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa.
Pada mulanya dinasti tersebut dibawah kekuasaan Harun Al-Rasyid.
Dibagian Afrika Utara terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya.
Pertama dari dinasti Idrisiyah yang beraliran Syiah dan yang kedua dari
golongan khawarij. Dengan kedua ancaman tersebut, terdoronglah Harun Al-Rasyid
menempatkan tentaranya di Ifrikiyah dibawah pimpinan Ibrahim ibn al-Aghlab.
Pada tahun 800 M, Ibrahim I diangkat sebagai gubernur (Amir) di Tunisia.
Setelah berhasil mengamankan wilayah Ifrikiyah, Ibrahim mengusulkan kepada
Harun al-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak
keturunannya secara permanen. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan
Khalifah Abassiyah, dengan membayar pajak tahunan 40.000 dinar dan meliputi
hak-hak otonom yang besar, akhirnya Khalifah menyetujuinya. Ibrahim diberi
hak-hak otonom yang besar seperti kebijakan politik, termasuk menentukan
penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Baghdad. Maka berdirilah dinasti
Aghlabiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara
dengan Baghdad, sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.
B.
Raja-raja
yang Berkuasa
Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah 11
khalifah, antara lain :
1.
Ibrahim
I ibn al-Aghlab (179-197H/800-811M)
2.
Abdullah
I ibn Ibrahim (197-210H/811-816M)
3.
Ziyadatullah
I ibn Ibrahim (210-223H/816-838M)
4.
Abu
‘Iqbal ibn Ibrahim (223-226H/838-841M)
5.
Abu
al-Abbas Muhammad I (226-242H/841-856M)
6.
Abu
Ibrahim Ahmad (242-249H/856-863M)
7.
Ziyadatullah
II ibn Ahmad (250-H/863M)
8.
Abu
Ghasaniq Muhammad II (250-262H/863-875M)
9.
Ibrahim
II ibn Ahmad (262-289H/875-902M)
10. Abu al-Abbas Abdullah II (289-292H/902-903M)
11. Abu Mudhar Ziyadatullah III (292-296H/903-909M)
C.
Masa
Kejayaan dan Hasil Peradaban
Masa kejayaan dinasti Aghlabiyah dicapai pada masa pemerintahan
Ziyadatullah I. Banyak hasil peradaban dan kemajuan yang dicapai dinasti Aghlabiyah
yang berkuasa selama lebih dari 100 tahun, diantaranya :
Ø Berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar
Ø Penaklukan Sisilia, kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli,
Calabria, Taronto, Bari, dan Benevento. Dengan penaklukan tersebut, menjadikan
Dinasti Aghlabiyah kaya raya. Pulau Sisilia merupakan pusat bagi penyebaran
peradaban Islam.
Ø Ekspedisi laut dipimpin oleh Asad ibn Furad yang menjelajahi pulau-pulau
di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa.
Ø Ziyadatullah I membangun Masjid Qayrawan, yang kemudian
disempurnakan oleh Ibrahim I.
Ø Pembanguanan jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, dan irigasi
pertanian.
Ø Perkembangan arsitektur, ilmu, seni, dan kehidupan keberagamaan.
Ø Ibu kota dinasti Aghlabiyah, Qayrawan merupakan pusat penting
munculnya mazhab Maliki. Karya-karya para ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah
tersimpan baik di masjid Qayrawan.
D.
Masa
Kehancuran
Pada akhir abad IX merupakan awal kemunduran Dinasti Aghlabiyah.
Posisi dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah menjadi merosot. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor, yaitu :
Ø Hilangnya hakekat kedaulatan dan ikatan-ikatan solidaritas sosial
semakin luntur. Karena kesenjangan sosial inilah pengaruh Dinasti Aghlabiyah
terhadap masyarakat semakin berkurang.
Ø Pemimpin terakhir yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan.
Ø Seluruh pembesar tertarik pada syiah, juga propaganda syiah, Abu
Abdullah.
Ø Perintis dinasti Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh
yang cukup besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer.
Ø Dengan kekuatan militer, Dinasti Aghlabiyah dikalahkan oleh Dinasti
Fatimiyah (909 M). Ziyadatullah III diusir ke Mesir setelah melakukan
upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiyah untuk
menyelamatkan Aghlabiyah. Akhirnya berakhirlah Dinasti Aghlabiyah. Ifrikiyah
dikuasai oleh orang-orang syiah yang selanjutnya membentuk Dinasti Fathimiyah.[1]
3. Dinasti Samaniyah
Dinasti Samaniyah menggantikan Dinasti Saffariyah dan mewarisi
kekuasaan atas wilayah yang cukup luas. Keluarga samaniyah dari Transxiana dan
Persia (874-999) adalah orang-orang keturunan Saman. seorang bangsawan penganut
ajaran Zoroaster dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr ibn Ahmad (874-892),
cicit Saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara
Nash, Isma’il (892-907), yang pada 900 berhasil merebut Khurasan dari genggaman
Dinasti Saffariyah. Ketika berada di bawah kepemimpinan Nashr II (Ibn Ahmad,
913-943), yang berada di garis keturunan keempat, Samaniyah yang pada awalnya
merupakan kelompok para sub gurbenur muslim di bawah kekuasaan Tahiriyah
berhasil memperluas kerajaannya hingga ke batas-batas terjauh, di antaranya
kawasan Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi dan Tabaristan, selain Transxiana dan
Khurasan. Kendati Samaniyah tampak setia kepada Abbasiyah, dinasti ini
sebenarnya independen. Di mata khalifah di Baghdad, Samaniyah adalah para amir
(gurbenur) atau bahkan amil (pemungut pajak), tetapi di mata rakyat mereka,
kekuasaan mereka sungguh tak terbantahkan.
Di bawah kekuasaan samaniyahlah kaum muslim berhasil menaklukan
seluruh kawasan Transxiana. Ibukotanya, Bukhara, dan kota terkemukannya,
Samarkand, hampir mengungguli Baghdadsebagai pusat pendidikan dan seni. Pada
masa ini pulalah, ilmuwan muslim yang termasyhur, al-Razi mempersembahkan karya
utamanya dalam bidang kedokteran yang berjudul al-Manshur kepada pangeran Samaniyah, Abu Shalih Manshur ibn Ishaq
fari Sijistan. Judul buku ini dipilih sebagai bentuk penghormatan al-Razi
kepada pelindung dan penyokongnya itu. Pada masaini pulalah, yaitu periode Nun
II (976-997) yang menganjurkan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibn Sina muda (
masih berusia belasan) tinggal di Bukhara dan memperoleh keluasaan untuk mengakses buku-buku di perpustakaan istana.
Kendati merupakan salah satu dinasti Iran yang paling tercerahkan,
Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan yang terbukti telah menghancurkan
dinasti-dinasti lain pada periode yang sama. Selain persoalan biasa yang muncul
dari pergolakan aristokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi
pemerintah, muncul juga ancaman baru yakni yang mengembara Turki yang bergerak
menuju utara. Bahkan di dalam negara sendiri, kekuasaan berangsur-angsur
diambil alih oleh budak-budak turki, yang justru merupakan golongan yang
diadili oleh penguasa Samaniyah.
Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa
Samaniyah, serta dianugerahi pos penting dalam pemerintahan adalah Alptigin,
yang memulai kariernya sebagai pengawal. Kariernya kemudian meroket menjadi
kepala pengawal dan pada 961 dipromosikan menjadi gurbenur Khurasan. Tetapi
segera setelah itu ia tidak lagi disukai oleh penguasa Samaniyah yang baru,
hingga akhirnya ia pergi menuju daerah perbatasan sebelah timur kerajaan.[2]
4. Dinasti Shaffariyah
A. Sejarah
pembentukannya
Pendiri
dinasti ini adalah Ya’qub ibn al-lais al shaffar.Nama shaffariyyah sendiri
diambil dari nama pekerjaan pendirinya,Ya’qub ibn al-lais,yaitu sebagai tukang
barang-barang kuningan/tembaga. Sejak kecil ia tekuni pekerjaan ini di
perusahaan Ayahnya.Dan sejak Ayahnya meninggal dunia dan perusahaan itu
dikelola oleh dia dan adiknya,Amr ibn al-lais,perusahaan ini semakin merosot.
Ketika
terjadi kekacauan,gerombolan penyamun ini muncul,mereka membegal khalifah-khalifah
dagangan maupun iringan–iringan pembesar pemerintah. Hal ini semakin menambah
kemelut dan kekacauan terhadap kehidupan rakyat dan kehidupan ekonomi secara
umum. Masa-masa kemelut dan kekacuan semacam itu,sepanjang kenyataan sejarah di
manapun juga,merupakan kesempatan bagi setiap orang yang memiliki darah
pertualangan(avontir).Dan masuknya Ya’qub dan saudara ke dalam salah satu
kelompok tersebut dianggap sebagai hal yang wajar. Dan Ya’qub sendiri adalah seorang
yang tangkas dan pemberani serta sangat berpotensi untuk menjadi
pemimpin,sehingga dalam setiap pertempuran ia terpilih menjadi ketua kelompok.
Sekalipun
ia seorang penyamun, tetapi ia dermawan,ia membantu orang-orang yang tertindas,
dan merampok hanya pada orang-orang hartawan yang hidup dari hasil pemerasan
juga. Sedangkan orang-orang yang dianggap
baik tidak di ganggunya. Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan yang
besar,teratur dan mempunyai disiplin yang tinggi,yang semakin mengharumkan
namanya.
Ketika
Ya’qub sudah mulai kuat,pada tahun 253H/867M, ia memulai gerakannya. Ia melakukan
perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab dan pada tahun yang sama ia
memproklamirkan dirinya sebagai penguasanya.Pada tahun itu pula ia dapat
merebut benteng-benteng Herat bagian utara, perbatasan wilayah Khurasan. Ia
meneruskan untuk menguasai wilayah Makran
(Balukhistan ) dan wilayah Fras. Benteng Kirman telah dikuasai sebelum
penaklukan wilayah tersebut.
B.Kemajuan yang
Dicapai
Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya penjadi
penguasa baru dan dilanjutkan dengan ekspansi ke wilayah-wilayah di
sekitarnya,kemudian pada dua tahun berikutnya,ia mempersiapkan kekuatan
baru,sambil menunggu reaksi pihak khalifah Abbasiyah.Ia menyaksikan kerusuhan
disana-sini sebagai reaksi atas pemerintahan khalifah al-Mu’tazz,dan pada tahun
255 H terjadilah puncak kemelut di ibukota Samarra. Demikian pula khalifah
penggantinya pun,khalifah al-Muhtadi,dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga
tampak wibawa pemeritah berkurang.
Menyusul
kesuksesan sebelumnya,maka pada tahun-tahun berikutnya ia melanjutkan
penguasaan atas kota kabul dan kota bentang Balkh. Ia juga merebut khurasan
pada tahun 260H/873M.Meskipun kesuksesan banyak dicapai oleh Ya’qub tapi
hubungan dengan pemerintah Abbasiyah masih baik.Hubungan yang baik dengan
pemerintah Abbasiyah itu semakin mngukuhnya pemberian khalifah atas beberapa
kota penting kepadanya antar lain Balkh,Thurkhanistaan, Kirman, Sijistan,dan
daerah lainnya.
Dalam
perjalanan sejarah berkutnya tampaknya Ya’qub yang memang berpotensi untuk
menjadi pemimpin besar. Ia terus melebarkan kekuasaannya sampai di wilayah
khurasan.Oleh karena ini bisa mengancam kedudukan khalifah di Baghdad,maka
khalifah memberikan peringatan,tetapi Ya’qub tidak mengindahkan peringatan tersebut,bahkan
menentangnya dengan mengandalkan kekuatan pasukannya.Melihat besarnya kekautan
pasukan Ya’qub,khalifah pun membiarkannya dan mengutus kurir untuk menyerahkan
wilayah khurasan,Thibristan,Jurjan,al-Ra,dan Persia, sekaligus mengangkat
sebagai amir.
Kegemilangan
Ya’qub dalam perluasaan wilayah ini menjadikannya berkeinginan menguasai Baghdad.Tetapi
upayanya ini tidak berhasil karena sekitar dua puluh kilometer dari ibukota,ia
mengalami kekalahan pahit di tangan al-Muwaffaq,wali khalifah (262H/876M) dan
meninggal pada tahun 265 H/879 M),sebelum perundingan dengan al muwaffaq
selesai. Segera saja wali mengakui saudaranya Amr ibn al Dais sebagai
penggantinya,sebagai gubenur semua wilayah yang ditaklukan.
C. Kemunduran
dan kehancuran
Dengan
meninggalkan Ya’qub seperti dijelaskan sebelumnya,Amr ibn lais,diakui sebagai
gubernur.Di tengah Amr,ia menerima kekuasaan atas penetapan khalifah
al-Mu’tamid,karena sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai
pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan.Di
tangan Amr,ia pun tetap berusaha memperluas kekuasaannya, ia menginginkan
wilayah Transxiana,yang saat itu secara formal berada dibawah penguasaan Bani
Thahiriyyah,tetapi sesungguhnya yang berkuasa disini adalah Bani Samaniyah,dan
ini lebih kuat dari pada Shaffariyah.Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan
ismail ibn Ahmad dari Bani Samaniyah,dan kemudian Amr sendiri
ditangkap.Akhirnya semua hasil penaklukan terlepas kembali dan hanya Sijistan
yang masih berada dalam kekuasaannya.
Sebenarnya ada tiga orang pengganti
Amrini,tetapi ke tiga kurang mendapatkan perhatikan oleh para sejarawan,hal ini
dimungkinkan karena mereka dianggap kurang mengukir sejarah,capaian-capaian
keberhasilannya berbeda dengan dua pemimpin sebelumnya. Ketiga penerus itu adalah
Thahir ibn muhammad (287-296 H/900-909M), Al His ibn Ali (296-297H/909-910 M)
dan al –mua’addil ibn Ali(297-298
H/901-911 M).Yang berbeda dengan sejarah dinasti lain adalah bahwa dinasti ini
tetap bertahan lama di Sijistan walaupun berganti-ganti pemerintah,dan mereka
menghasilkan orang-orang yang memerintah sijistan sebagai gubenur dibawah Samaniyyah,
Ghasnawi, Saljuk,dan Mongol,bahkan lama bertahannya hingga enam abad.[3]
5. Dinasti
Thulun
A. Sejarah
pembentukanya.
Awal
pendiri dinasti ini tidak bisa lepaskan dari seorang tawanan perang turki yang
kemudian dijadikan sebagai pegawai istana al-Musta’in,namanya Bayakbek, yang
juga ayah dari ibn Thulun, dan ada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang
dilakukan al Mu’tazz,Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’taz dan
meninggalkan al-Mu’tain.Setelah penggulingan berhasil,ternyata al-Mu’taz
memberikan jabatan penting bagi mereka yang berjasa di dalam penggulingan
itu.Dan Bayakbek adalah salah satu yang menerima jabatan penting tersebut.Jabatan
yang diberikan oleh al-Mu’tazzkepada Bayakbekadalah menjadi gubenur Mesir. Oleh
Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi diberikan kepada anaknya ibn Thulun
yang pada tahap selanjutnya dikenal sebagai pendiri dinasti thuluniyah, yang
berdiri pada abad 9 M.
Pada
tahun 263 M ibn Thulun secara resmi diangkat
sebagai gubenur di Mesir 254H. Dalam sejarah selanjutnya, ibn Thulunkemudian
melepaskan diri dari kekhalifahan Abbasiyah. Ia bahkan kemudian mampu dan
menaklukan Damaskus,Homs,Hamat,Allepon dan Antiokia.Karena itu ia kemudian
tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu wilayah yang merdeka,akan tetapi
juga berkuasa atas wilayah Syam.Karena daerah kekuasaannya yang demikian luas,
Ahmad ibnu Thulun membangun armada laut yang tangguh dengan berpangkalan di Aka
(Acre).Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memudahkan pengontrolan dan
pengawasan,khususnya wilayah Syam, Syriah Sebab daerah-daerah yang disebutkan
di atas memang masuk wilayah Syiria.
B. Bidang
ekonomi
Seperti pada dinasti-dinasti yang
lain, bidang ekonomi menjadi bagian penting kelangsungan pemerintahan. Dalam
hal ini dinasti Thuluniyah mengembangkan sektor pertanian dangan memperbaiki
nilometer,yaitu upaya untuk memperbaiki ukuran sungai nil. Juga di perbaiki
pula bendungan dan irigasi. Sektor perdagangan juga di kembangkan, dengan cara
membangun jembatan,terusan dan armada perhubungan daratan,sungai dan lautan
untuk memperlancar lalu lintas perdagangan dalam seluruh wilayah yang
dikuasainya. Sektor industri juga di kembangkan dengan mendirikan industri
senjata,sabun,gula dan lain-lain.
C.
Kemundurandan
kehancuran
Pemerintah dinasti Thuluniyah
tidaklah panjang. Sepeninggal Khumarawaih,situasi memanas yaitu setelah abu
Asakir al-jaisy menggantikan Ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa
pembunuhannya terhadap pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun.Hal ini
berakibat gencarnya perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha dan qadhi
yang pada akhirnya ke-amiran jaisy dibatalkan dan diangkatlah Abu Musa Harun
sebagai amir yang baru dalam usia 14 tahun.
Tampaknya dengan usia relatif belia
untuk memimpi pemerintahan menjadikan harun kurang cakap dalam mengendalikan
sesuatu yang semakin kacau itu. Sementara di syam sendiri,pemberontakan yang
dilakukan oleh Qararamitha juga tidak
berhasil dipadamkan. Segera setelah harum kalah,tampuk pimpinan beralih
ke tangan syaiban. Akan tetapi karena
sudah sedemikian lemah dan hancurnya
pertahanan wilayah dinasti tersebut maka khalifah al muktafi mengambil
ahli kembali pemerintahan thuluniyah ke tangan kekhalifahannya[4].
6. Dinasti Hamdaniyah
Dinasti ini didirikan pertama kali
di Mesopotamia utara dengan Morul sebagai ibukotanya (929-991). Mereka
merupakan keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Taghlib, yang pada 944 menyebar
hingga ke suriah utara, dan di bawah pimpinan Sayf al-Dawlah (Pedang kerajaan) berhasil merebut Aleppo (Halab)
dan Hims dari kekuasaan Iksidiyah.
Perkembangan
sastra pada Dinasti Hamdaniyah, Hamdan sendiri adalah seorang penyair.
Mengingatkan kita pada masa-masa al-Rasyid dan al-Ma’mun. Pada masa itu pula
lahir seorang musisi filosof ternama al-Farabi yang kebutuhan hidupnya
sehari-hari yang sederhana itu disuplai oleh bendahara kerajaan sebesar empat
dirham. Ada juga seorang sejarawan sastra dan musik yang terkemuka, yang
istifhafani, yang kepada pelindungnya mempersembahkan naskah tulisan tangannya
yang monumental, Aghani, dan menerima
hadiah seribu keping emas.
Tokoh
budayawan sentral dari periode ini adalah sang penyair negara al-Mutanabbi’
(915-965). Gayanya yang bombastis dan penuh hiasan, disertai retorika yang
berbunga-bunga, dan metafor-metafor yang fantastis, telah menjadikannya sebagai
penyair yang paling banyak dikutip dan paling masyhur di dunia islam hingga
saat ini. Al-Mutanabbi’ anak seorang pengangkut air di kota Kufah, begitu
terkenal karena sejak masa mudanya diklaim memiliki bakat meramal di antara
masyarakat badui di Suriah.
Sebagai
anak terakhir di era pencerahan yang berlangsung sesaat di suriah utara, kita
bisa menyebutkan seorang “ filosof-penyair dan penyair-filosof” Abu al-Ala’
al-Ma’arri (973-1057). Abu al-Ala’, seorang keturunan Tanukh, dilahirkan dan
meninggal di Ma’arrat al-Nu’man, nama kota ini kemudian dijadikan nama
belakangnya. Makamnya direnovasi tahun 1944 pada peringatan kematiannya yang
keseribu. Tatkala berusia empat tahun, dia terkena cacar. Penyakit ini merusak
indera penglihatannya, tetapi disisi lain justru mengembangkan kapasitas
memorinya. Tahun 1009 Abu al-Ala’ pergi
ke Baghdad, dan menetap selama satu tahun tujuh bulan. Di sanalah ia berkenalan
dan terinspirasi oleh ide-ide Ikhwan al-Shafa serta berbagai pemikiran lain
yang datang dari India.
Setelah memapankan posisinya di
suriah utara, “Pedang Dinasti Hamdaniyah,” dimulai pada 947, mulai mengadakan
serangan reguler setiap tahun ke Asia Kecil. Awalnya keberuntungan berpihak
pada Sayf. Dia berhasil merebut Mar’asy di antara kota-kota perbatasan lainnya.
tetapi kepemimpinan cemerlang Nicephorus Phocas dan John Tzimisces, yang
keduanye kelak menjadi kaisar, berhasil menyelamatkan Bizantium.Tahun 961
Nicephorus berhasil merebut aleppo kecuali benteng pertahanannya. Ketika ia
menjadi kaisar (963-969), pasukannya berhasil merebut Siprus dari bangsa Arab
dan menduduki silisia, sehingga jalan ke suriah terbuka kembali.
Di
tahun terakhir kekuasaannya, tentarannya merebut Antiokia, yang sekian lama
didambakan sebagai kota para pendeta, orang-orang suci dan semua dewan, juga
sebagai mitra keagamaan bagi Bizantium. Setelah pendudukan di Antiokia, jendral
yang bertugas dibawah Nicephorus memasuki Aleppo dan memaksa Sa’id al-Dawlah
(967-991) putra sekaligus penerus Sayf untuk menandatangani sebuah perjanjian
yang merugikannya. Kaisar John Tzimisces (969-991),mengambil kebijakan untuk
menggabungkan daerah-daerah taklukan di Silisia dan Suriah utara, serta
mematangkan rencana utamanya, yakni membebaskan Yerusalem. Upaya-upaya Basil
II, yang diawali oleh Nicephorus dan Tzimisces, berhasil memperluas batas
bagian timur imperium Bizantium dengan islam sebagai korbannya hingga jauh ke
Efrat dan menembus jantung Suriah utara. Kekuasaan mereka meliputi “periode
paling cemerlang dalam sejarah hubungan orang Bizantium dengan kaum muslim
timur”.[5]
7.
Dinasti
Fathimiyah (909-1171)
Wilayah kekuasaan Dinasti Fathimiyah (909-1171 M)
meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fathimiyah
dilatarbelakangi oleh melemahnya Dinasti Abbasiyah. Ubaidillah Al-Mahdi
mendirikan Dinasti Fathimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini
mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz.
Kebudayaan
Islam berkembang pesat oada masa Dinasti Fathimiyah, yang ditandai dengan
berdirinya Masjid Al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam
dan ilmu pengetahuan. Dinasti Fathimiyah
berakhir setelah Al-Adidi, khalifah terakhir Dinasti Fathimiyah, jatuh
sakit. Shalahuddin Al-Ayyubi, wazir Dinasti Fathimiyah menggunakan kesempatan
tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, Al-Mustahdi. Peninggalan
dinasti ini meliputi antara lain Masjid Al-Azhar yang sekarang terkenal dengan
Universitas Al-Azhar, Bba Al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid Al-Ahmar di
Cairo, Mesir.
Adapun
para penguasa Dinasti Fathimiyah adalah sebagai berikut:
a.
Al-Mahdi
(909-934 M)
b.
Al-Qa’im
(934-949 M)
c.
Mu’iz
Lidinillah (965-975 M)
d.
Al-Aziz
(975-996 M)
e.
Al-Hakim
(996-1021 M)
f.
Az-Zahir
(1021-1036 M)
g.
Al-Mustansir
(1036-1095 M)
h.
Al-Musta’li
(1095-1101)
Berikut
beberapa kemajuan peradaban pada masa Dinasti Fathimiyah antara lain:
1.
Bidang
Administrasi
Administrasi
kepemerintahan Dinasti Fathimiyah secara garis besar tidak berbeda dengan
administrasi Dinasti Abbasiyah, sekalipun pada masa ini muncul beberapa jabatan
yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan
keduniaan maupun spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan sekaligus
menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian
negara (wasir) terbagi menjadi dua kelompok, pertama adalah para ahli pedang
dan kedua adalah para ahli pena. Di luar jabatan istana, terdapat berbagai
jabatan tingkat daerah yang meliputi tiga daerah, yaitu Mesir, Siria, dan
daerah-daerah di Asia Kecil.
Dalam
bidang kemiliteran terdapat tiga jabatan pokok, yaitu Amir yang terdiri
pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah, petugas keamanan dan
berbagai resimen.
2.
Kondisi
Sosial
Mayoritas
khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama
non muslim. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlakukan secara
bijaksana, hanya khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka.
Mayoritas
khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah dan santai, Al-Mustansir, menurut satu
informasi, mendirikan semacam pavilium di istananya, sebagai temoat memuaskan
kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan.
3.
Kemajuan
Ilmu Pengetahuan dan Kesusastraan
Khalifah
Fathimiyah mendirikan sejumlah sekolah dan perguruan, mendirikan perpustakaan
umum dan lembaga ilmu pengetahuan. Dar Al-Hikmah merupakan prakarsa terbesar
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sekalipun awalnya lembaga ini dimaksudkan
sebagai sarana penyebaran dan pengembangan ajaran Syiah Ismailiyah.
Di
antara para khalifah Fathimiyah adalah tokoh pendidikan dan orang yang
berperadaban tinggi. Al-Aziz termasuk di antara khalifah yang mahir dalam
bidang syair dan mencintai kegiatan pengajaran. Di anatara pegawai pemerintahan
pada masa Al-Hakim terdapat seorang Mesir yang berkarya dalam penulisan sejarah
dan karya-karya lain tentang keIslaman, syair, dan astrologi.
Para
khalifah Fathimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai seni termasuk seni arsitektur. Mereka
memperindah ibu kota dan kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah.
Masjid agung Al-Azhar dan masjid agung Al-Hakim menandai kemajuan arsitektur
zaman Fathimiyah.[6]
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat disimpulkan
dinasti-dinasti di dunia Islam I antara lain:
1.
Dinasti
Idrisiyah yang berkuasa pada tahun 789-926 M.
2.
Dinasti
Aghlabiyah yang berkuasa pada tahun 800-909 M.
3.
Dinasti
Samaniyah yang berkuasa pada tahun 819-1005 M.
4.
Dinasti
Safariyah yang berkuasa pada tahun 867-1495 M.
5.
Dinasti
Tulun yang berkuasa pada tahun 868-905 M.
6.
Dinasti
Hamdaniyah yang berkuasa pada tahun 905-1004 M.
7.
Dinsti
Fatimiyah yang berkuasa pada tahun 909-1171 M.
[1]Khoiriyah,
Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga
Dinasi-dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 127-137.
[2]R. Cecep Lukman
Yasin dkk, History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 586-588.
[3]Iman Fu’adi,
Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 174-178.
[4]Ibid., hlm.
164-167.
[5]R. Cecep Lukman
Yasin dkk, Op., Cit, hlm. 579-584.
[6]Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2015), hlm. 254-268.
DAFTAR
PUSTAKA
Cecep Lukman Yasin, Cecep dkk.
2008. History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Fu’adi, Iman. 2011. Sejarah
Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi
Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasi-dinasti Islam.
Yogyakarta: Teras.
Samsul Munir Amin, Samsul. 2015. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH.
PROFIL
PENULIS
- Nama : Nur Fandilah
TTL : Batang, 11 November 1991
No.
Hp : 085641941079
- Nama : Hutami Desti Istiqomah
TTL : Tegal, 05 Desember 1996
No.
Hp : 089667320196
- Nama : Latania Dzikri
TTL : Pekalongan, 5 Juni 1996
No.
Hp : 082137278003
- Nama : Iko Murrukibah
TTL : Pekalongan, 25 Agustus 1996
No.
Hp : 085799066064
Tidak ada komentar:
Posting Komentar