KEDUDUKAN ILMU DAN AHLI ILMU
"Kesaksian Allah atas Orang Berilmu"
Qur’an Surat Al-Imron ayat 18
Wulandari
2021113102
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan ini kami panjatkan puji syukur atas
kehadiratNya, yang telah melimpahkan rahmatNya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Tafsir Tarbawi I dengan Tema “Kedudukan Ilmu dan Ahli
Ilmu” yang berjudul “Kesaksian Allah atas Orang Berilmu Qur’an Surat Al-Imron
ayat 18”.
Adapun makalah Tafsir Tarbawi I ini
kami buat dengan usaha semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu, kami juga mengucapkan banyak terimaksasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Dengan demikian kami mengharapkan
semoga dari makalah Tafsir Tarbawi I tentang “Kesaksian Allah atas Orang
Berilmu Qur’an Aurat Al-Imron ayat 18” ini dapat diambil dan diaplikasikan
manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi kepada pembaca. Selain itu
kritik dan saran dari Anda kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.
Pekalongan,
5 September 2016
Penulis
PENDAHULUAN
Ilmu
ditafsirkan dengan sifat yang apabila dimiliki oleh seseorang maka menjadi
jelaslah apa yang terlintas didalam pengertiannya. Untuk memperoleh
keberhasilan dalam mencapai sesuatu pun memperlukan ilmu. Ketika seseorang
ingin sukses tidak hanya didunia tetapi juga sukses di akhirat pun ada ilmunya.
Allah mengangkat orang-orang berilmu beberapa derajat dan juga memudahkan jalan
bagi mereka kesurga.
Dalam
makalah kali ini membahas suatu permasalahan ilmu bertemakan “Kedudukaan Ilmu
dan Ahli Ilmu” dengan judul “Kesaksian Allah atas Orang Berilmu Qur’an Surat
Al-Imron ayat 18”. Yang mana orang yang berilmu itu menunujukkan kesaksiannya
terhadap Allah dengan pemikiran-pemikiran dan akal-akal yang cerdas tersebut.
Pentingnya
tema ini dikaji adalahagar kita sebagai mahasiswa, sebagai manusia dapat
mengambail pelajaran yang ada dalam penjelasan bab ini nantinya. Dengan begitu
makalah ini dibuat selain untuk memenuhi tuigas juga sebagai penambah wawasan
kita semua.
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN
ORANG BERILMU DAN AHLI ILMU
Kesaksian
Allah atas Orang Berilmu
A.
Teori Kedudukan Orang Berilmu dan Ahli Ilmu
Kata
ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Dalam pandangan Al-Qur’an ilmu adalah
suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna
menjalankan fungsi kekhalifahannya.[1] Mereka
yang mendapatkan ilmu tersebut adalah yang dibukakan kebenaran yang diturunkan
kepada Muhammad saw. Sehingga mereka
melihatnya dengan jelas dan menuntun kepada jalan Allah.
Al-Qur’an
memuji ahli ilmu pengetahuan dan menyebut mereka dengan sebutan Alladina
utul’ilma dan Allah swt. menisbatkan pada mereka beberapa keutamaan pemikiran
keimanan serta akhlak. Mereka yang memberikan ilmu tersebut adalah orang-orang
yang terus berinteraksi dengan Al-Qur’an sehingga hati mereka merasa takut,
mata mereka mencucurkan air mata dan kening mereka tunduk sujud kepada Allah
swt. mereka mengetahui keagungan Al-Qur’an dan menempatkannya dalam kedudukan
yang selayaknya dalam diri mereka.[2]
B.
Tafsir
Qur’an
Surat Al-Imron ayat 18
الْحَكِيمُالْعَزِيزُ هُوَ إِلَّا إِلَٰهَ
لَا ۚبِالْقِسْطِ قَائِمًا الْعِلْمِ وَأُولُو وَالْمَلَائِكَةُ هُوَ إِلَّا
إِلَٰهَ لَأَنَّهُ ا اللَّهُ شَهِدَ
Artinya:
“Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
a.
Tafsir Al-Misbah
Kata Syahida dalam qur’an surat Al-imron ayat
18 tersebut diterjemahkan dengan menyaksikan, yang mengandung banyak arti ,
antara melihat mengetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata kepala
maupun dengan mata hati. Kemudian dari kata menyaksikan diatas dapat dipahami
dalam arti menjelaskan dan menerangkan kepada seluruh makhluk. Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan
melainkan Dia. Kesaksian Allah terlaksana bukan saja melalui
pernyataan-pernyataan-Nya dalam al-Qur’an atau dalam kitab-kitab suci lain, tetapi
juga pada tanda-tanda keesaan dan kebesaran-Nya yang Dia bentangkan dialam
raya. Kesaksian yang sangat kukuh untuk meyakinkan semua pihak tentang
kewajaran-Nya untuk disembah dan diandalkan.
Setelah menjelaskan
kesaksian Allah atas diri-Nya, ayat ini melanjutkan bahwa para malaikatpun ikut
menyaksikan. Kesaksian malaikat tecermin dalam ketaatan mereka kepada Allah.
Mereka melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Bukan hanya para malaikat, tetapi orang-orang yang berilmu juga menyaksikan
bahwa tiada Tuhan melainkan Dia, Allah yang Maha Esa. Kesaksian mereka
berdasarkan dalil-dalil logika yang tidak terbantahkan, juga
pengalaman-pengalaman ruhani yang mereka dapatkan, serta fitrah yang melekat
pada diri mereka dan yang mereka asah dan asuh setiap saat. Allah menyampaikan
kesaksian-Nya ini juga untuk meyakinkan setiap yang ragu akan keesaan dan
kekuasaan-Nya.[3]
Diriwayatkan, bahwa
rombongan delegasi suku Tsaqif pernah berkata, “Mengapa Muhammad memerintahkan
kami bersyahadat dan mengakui kebenaran risalah-Nya, tetapi dia sendiri tidak
bersyahadat, yakni bersaksi atas dirinya?” Maka sejak itu Nabi saw. Tidak
berkhutbah kecuali menyampaikan kesaksian bahwa beliau adalah utusan Allah,
“Asyhadu Anni Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa Aku adalah pesuruh Allah).
Allah menyaksikan diri-Nya
Maha Esa, tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itu pun disaksikan oleh para malaikat
dan orang-orang yang berpengetahuan, dan masing-masing; yakni Allah, malaikat,
dan orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri menegaskan bahwa
kesaksian yang mereka lakukan itu adalah berdasarkan keadilan. Makna ini yang
dipahami oleh sementara ulama sebagai arti Qo’iman
bi al-qistb yang redaksinya berbentuk tunggal, sebagai penjelasan tentang
keadaan Allah. Pendapat yang lebih baik adalah, bahwa qo’iman bi al-qistb merupakan kesaksian tentang keadilan
perbuatannya setelah sebelumnya merupakan kesaksian tentang keesaan dzat-Nya.
Dengan demikian ada dua macam kesaksian.
Kata qo’im bermakna melaksanakan sesuatu
secara sempurna dan berkesinambungan. Allah melaksankan Al-qisth secara sempurna dan berkesinambungan. Dengan demikian Al-qisth bukan sekedar adil, tetapi adil
sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu
yang menyenangkan.
Setelah menegaskan
bahwa Dia melaksanakan segala sesuatu dialam raya ini berdasar keadilan yang
menyenangkan semua pihak, maka kesaksian terdahulu diulang sekali lagi, Tiada
Tuhan melainkan Dia.[4]
b.
Tafsir Al-Maraghi
(بِالْقِسْطِ قَائِمًا الْعِلْمِ وَأُولُو وَالْمَلَائِكَةُ هُوَ إِلَّا
إِلَٰهَ لَأَنَّهُ ا اللَّهُ شَهِدَ )
Allah menjelaskan
tentang wahdaniat Allah, dengan menegakkan bukti-bukti kejadian yang berada di
cakrawala luas, dalam diri mereka dan menurunkan ayat-ayat tasyrik yang
mencerminkan hal tersebut. Para malaikat memeberitakan kepada para Rasul
tentang hal ini, kemudian mereka menyaksikan dengna kesaksian yang diperkuat
ilmu durariy. Hal ini menurut pada Nabi lebih kuat dari semua keyakinan.
Orang-orang yang berilmu telah memberitakan tentang kesaksian ini, menjelaskan
dan menyaksikannya dengan kesaksian yang disertai dalil dan bukti. Sebab, orang
yang mengetahui sesuatu tidak membutuhkan hujjah lagi untuk mengakuinya.
Makna al-qistu, artinya dengan keadilan dalam
akidah. Ketauhidan adalah pertengahan antara inkar dan syirik terhadap Tuhan.
Berlaku adil dalam hal ibadah, akhlak, dan amal adalah adanya keseimbangan
antara kekuatan rohaniah dan jasmaniah. Sebagai perwujudannya adalah berlaku
syukur dengan menjalankan sholat dan beribadah lainnya guna meningkatkan
rohani, membrsihkan jiwa dan memperbolehkan dirinya hal-hal yang banyak dari
kebaikan (riski), untuk memelihara dan mengurus badan. Ia juga melarang bagi
dirina berlaku berlebih-lebihan dalam mencintai keduniaan. Juga berlaku adil
dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya seperti firman Allah
(QS. An-Nahl: 90)
Allah SWT telah menjadikan sunnah
penciptaan ini berdasarkan asas keadilan. Karenanya siapa saja memikirkan
sunnah dan tatanan yang teliti ini akan tampak pada dirinya keadilan Allah
dalam bentuk yang paling sempurna dan jelas.
Kekuasaan Allah SWT
yang berdasar keadilan, semuanya merupakan bukti kebenaran kesaksian-Nya. Sebab
adanya kesatuan tatanan (sistem) alam semesta ini menunjukkan kesatuan
penatanya (pencipta-Nya). Kemudian Allah mengukuhkan dirinya yang menyendiri
dengan sifat Wahdaniyah dan yang menciptakan dengan keadilan melalui firman-nya
(ayat berikutnya):
(الْحَكِيمُالْعَزِيزُ )
Sifat perkasa
mengisyaratkan pada kesempurnaan kekuasaan dan sifat bijaksanaan mengisyaratkan
adanya kesempurnaan pengetahuan. Kekuasaan itu tidaklah sempurna kecuali jika
menyendiri dan bebas. Dan keadilan itu tidaklah sempurna kecuali jika meliputi
smua kemaslahatan dan kondisi. Maka, yang bersifat seperti itu tidak ada
seorangpun yang bisa mengalahkan terhadap apa yang telah ia tegakkan, yakni
sunnah keadilan dan tidak ada sesuatupun dari penciptaan yang bisa keluar dari
kebijaksanaan yang sempurna itu.[5]
c.
Tafsir Al-Azhar
“Allah telah
menjelaskan bahwa tiada Tuhan selain Dia”. (pangkal ayat 18). Syahida diartikan menjelaskan. Dengan
segala amal ciptaanNya ini, pada langit dan bumi, pada lautan dan daratan, pada
tumbuhan-tumbuhan dan binatang , dan segala semat-semesta, Tuhan Allah telah
menjelaskan bahwa hanya dia yang Tuhan, hanya dia yang mengatur. Maka segala
yang ada ini adalah penjelasan atau kesaksian dari Tuhan, menunjukkan bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah. “Demikianpun malaikat” dalam keadaan mereka yang
ghaib itu; semuanya telah menyaksikan, telah memberikan syahadah bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah. Sebab malaikat adalah sesuatu kekuatan yang telah
diperintahkan oleh Tuhan melaksanakan perintahNya, dan taat patuh setialah
mereka menjalankan perintah itu. Diantara malaikta itu ialah jibril yang
diperintahkan Tuhan yang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. dan wahyu
itu telah tercatat menjadi al-Qur’an-al-Qur’an telah terkumpul menjadi musshaf.
Oleh sebab itu ditangan kita sendiri kita telah mendapat salah satu bekas
syahadah dari malaikat.
“Dan orang-orang yang
berilmupun telah menyampaikan syahadahnya pula, bahwa tidak ada Tuhan melainkan
Allah. Bertambah mendalam ilmu, bertambah menjadi kesaksianlah dia bahwa alam
ada berTuhan dan Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah dan tidak ada Tuhan yang
lain, sebab yang lain adalah makhluknya belaka. “bahwa dia berdiri dengan
keadilan”, yakni setelah Allah menyaksikan dengan kodrat iradatnya dan malaikat
menyaksikan dengan ketaatannya, dan manusia yang berilmu menyaksikan dengan
penyelidikan akalnya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, maka timbul pulalah
kesaksian bahwa Tuhan Allah itu berdiri dengan keadilan.
“Tidaklah ada tuhan
selain Dia. Maha gagah lagi Bijaksana.” (ujung ayat 18).
Hendaklah menarik perhatian kita tentang
kedudukan mulia ysng diberikan Tuhan kepada Ulil-Ilmi, yaitu orang-orang yang
mempunyai ilmu di dalam ayat ini. Setelah Tuhan menyatakan kesaksianNya yang
tertinggi sekali, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan kesaksian itu datang dari
Allah sendiri, maka Tuhan pun menyatakan pula bahwa kesakian tertinggi itupun
diberikan oleh malaikat. Setelah itu kesaksian itupun diberikan pula oleh
orang-orang yang berilmu, yaitu orang-orang yang menyediakan akal dan
pikirannya untuk menyelidiki keadaan alam ini baik dibumi ataupun dilangit,
dilaut dan didarat dan semua makhluk hidup yang ada didunia ini, niscaya
manusia itu akhirnya akan sampai juga, tidak dapat tidak kepada kesaksian yang
murni bahwa memang tidak ada Tuhan melainkan Allah. Itulah pula sebabnya maka
didalam surat fathir (surat 35 ayat 8) tersebut bahwa yang bisa merasai takut kepada
Allah itu hanyalah ulama yaitu ahli-ahli ilmu pengetahuan.
Imam ghazali didalam
kitab al-‘ilmi dan didalam kitabnya ihya ulumuddin telah memahkotai karangannya
itu ketika memuji martabat ilmu nahwa ahli ilmu yang sejati telah diangkat
Tuhan dengan ayat ini kepada martabat yang tinggi sekali, yaitu kedekat Allah
dan kedekat malaikat.
Kemudian itulah timbul
kembali kesan yang meyakinkan kesan pertama tadi demi setelah memperhatikan
pendirian Tuhan Allah dengan keadilan itu. Pada dua nama aziz dan hakim, gagah
dan bijaksana terdapat lagi keadilan. Tuhan Allah itu gagah perkasa, hukumnya
keras, teguh dan penuh disiplin. Tetapi dalam kegagah perkasaan itu,
diimbanginya lagi dengan sifatnya yang lain yaitu bijaksana. Sehingga tidak
pernah Allah berlaku sewenang-wenang karena kegagah perkasaannya dan tidak
pernah pula bersikap lemah karean kebijaksanaanya. Diantara gagah dan bijaksana
itulah terletak keadilan.[6]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
Dari
qur’an surat al-imron ayat 18 banyak pelajaran yang kita ambil untuk diterapkan
dalam kehidupan kita, salah satunya ialah dengan meyakini keesaan Allah atas
penciptaan yang ada dalam alam raya ini.
Kemudian,
pada potongan ayat berikutnya membahas
tentang keadilan dan kebijaksanaan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan ialah
menyikapi sesuatu hal yang ada dalam diri kita maupun disekitar kita dengan sifat
bijak dan adil tersebut.
D.
Aspek tarbawi
Aspek
tarbawi yang dapat kita ambil dalam qur’an surat al-imron ayat 18 ialah:
1. Bukti keesaan Allah swt. Terhampar dengan jelas di alam raya ini,
sebagaimana diuraikan secara pasti dan berulang-ulang dalam firman-firman-Nya.
2. Allah swt. memenuhi kebutuhan semua makhluk secara adil
lagi sesuai sehingga apa yang dianugerahkan –Nya adalah yang terbaik buat
masing-masing.[7]
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an
memuji ahli ilmu pengetahuan dan menyebut mereka dengan sebutan Alladina
utul’ilma dan Allah swt. menisbatkan pada mereka beberapa keutamaan pemikiran
keimanan serta akhlak. Mereka yang memberikan ilmu tersebut adalah orang-orang
yang terus berinteraksi dengan Al-Qur’an sehingga hati mereka merasa takut,
mata mereka mencucurkan air mata dan kening mereka tunduk sujud kepada Allah
swt. mereka mengetahui keagungan Al-Qur’an dan menempatkannya dalam kedudukan
yang selayaknya dalam diri mereka.
Kekuasaan
Allah SWT yang berdasar keadilan, semuanya merupakan bukti kebenaran
kesaksian-Nya. Sebab adanya kesatuan tatanan (sistem) alam semesta ini
menunjukkan kesatuan penatanya (pencipta-Nya). Kemudian Allah mengukuhkan
dirinya yang menyendiri dengan sifat Wahdaniyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Munir,
Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi Mengungkap
Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, Yogyakarta: Teras
Qardhawi,
Yusuf. 1999. Al-Aqlu wal ‘ilmu fil
Qur’anil Karim. Jakarta: Gema Insani Pers
Shihab,
M.Quraish. 2006. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:
Lentera Hati
Mustafa
Al-Maragi, Ahmad. 1993. Tafsir Al-Maragi.
Semarang : PT Karya Toha Putra
Hamka.
2003. Tafsir Al-Azhar Juz III. Jakarta:
Pustaka Panjimas
Shihab,
M. Quraish. 2012. Al-Lubab: Makna,
Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tangerang : Lentera Hati
-
.
2009. Al-Qur’an Bayan: al-qur’an dan
terjemah serta tafsir singkat. - : Departemen Agama.
Profil
Diri
Nama : Wulandari
Alamat : Dukuh
Bakungan, Desa Mulyorejo, Rt/Rw: 01/02
Kecamatan
Kesesi, Kabupaten Pekalongan.
Tempat
Lahir : Pekalongan
Tanggal
Lahir : 07 Oktober 1995
Riwayat
Pendidikan : TK Pertiwi II
SD Negeri Mulyorejo II
MTs. Ma’arif NU Sragi
MA Salafiyah Syafi’iyah Proto Kedungwuni
Strata 1 IAIN Pekalongan (Masih dalam
Pelaksanaan)
Pesan : Belajarlah hingga
kelelahan mengikutimu, Menulislah
hingga
kebosanan mengikutimu. Berjuang! Semangat! dan Pantang menyerah.
[1] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-Qur’an
tentang Pendidikan ( Yogyakarta:
Teras, 2008) hlm.79
[2] Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal ‘ilmu fil Qur’anil Karim, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 1999) hlm. 107-108
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2006)hlm.38-39
[5] Ahmad Mustafa Al-Maragi,
Tafsir Al-Maragi, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1993) hlm. 204-206
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar
Juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003)hlm.178-180
[7] Quraish Shihab,
Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang :
Lentera Hati, 2012) hlm.102-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar