HIKMAH DAN ILMU KESEMPURNAAN AKAL
(SURAT AL-QASHASH AYAT 14)
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang
Hikmah dan Ilmu: Kesempurnaan Akal ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan
di dalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak M. Hufron, M.S.I selaku
Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi I yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai Kesempurnaan Akal. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan
saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat
berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Pekalongan,
September 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan
yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sengat
terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal
secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Islam
bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang
diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia
dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur
tesebut, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Perlu kita ketahui bahwa akal maupun
hukum akal merupakan nikmat terbesar yang Allah letakkan pada otak manusia
dengan segala ciri yang istimewa. Dengan adanya sifat ini, berbedalah manusia
manusia itu dengan makhluk-makhluk hewan. Dengan kata lain, dengan adanya akal,
termulialah manusia dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi ini.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan
menyajikan berbagai masalah yang menyangkut dengan “hukum akal”, baik
pengertian mengenai akal itu sendiri, hukum akal dan hal lain yang akan
menggugah hati dan jiwa untuk senantiasa meningkatkan daya pikir dalam
mengarungi dunia yang dipenuhi dengan berbagai tantangan.
B.
Judul
“Hikmah dan Ilmu :
Kesempurnaan Akal
C.
Nash
وَلَمَّا بَلَغَ
أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
(١٤
D.
Arti
Dan
setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya
hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat ihsan.
E.
Tujuan dikaji
1. Untuk mengetahui pengertian akal
2. Untuk mengetahui peran dan fungsi akal
sebagai sumber hukum
3. Untuk mengetahui objek kajian akal
4. Untuk mengetahui hukum akal
BAB II
ISI
A.
Teori
1. Pengertian Akal
Kata
akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-aql
yang berarti al-hijr (menahan), juga
berarti al-nuha (cerdas atau pandai).
Sedangkan akal dalam
pengertian islam tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam
jiwa manusia; daya yang digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Orang
yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan
mengendalikan hawa nafsunya, karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang
bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya, mampu mengikat
kehancuran dirinya dan memahami dengan menganalisis segala ciptaan-Nya sehingga
hidupnya bijaksana, terpelihara dari kesesatan.[1]
2. Peran dan Fungsi Akal sebagai Sumber
Hukum
Posisi antara akal dan
wahyu sejajar atau bahkan diatas nas dalam batas-batas tertentu. Fungsi dan
peran akal dapat digunakan dalam batas-batas tertentu hal-hal yang tidak ada
nas nya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nas nya tetapi dapat dikaitkan
hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nas (tersirat). Bahkan akal dapat
digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nas tetapi penunjukannya terhadap
hukum tidak secara pasti.[2]
3. Objek Kajian Akal
Akal melingkupi semua
sisi jagat raya dengan bagian atas dan bawahnya, maka orang yang tidak
menggunakan akalnya pada semua sisi ini ia memang diciptakan untuk tidak
mendapatkan petunjuk serta berjalan di jalan kesesatan.[3]
4. Hukum Akal
Yaitu penetapan suatu
perkara atas perkara lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara
lainnya, dan dalam menetapkan atau menolak hukum (perkara) tersebut tidak
membutuhkan uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaram
(wadla’).seperti menetapkan 1+1=2. Begitu juga dalam hal-hal lai yang seumpama
ini. Akal lah yang menetapkan hukum itu, bukan adat atau bukan syarak. Apabila
hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia bersumberkan Al-Qur’an dan hadis. Tetapi
dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya
Kemudian, hukum akal
tidak perlu di uji coba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu
lebih tua daripada anak, tidak perlu dicoba seperti kita membandingka antara
anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian karena secara spontan akal menerima
bahwa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah lebih tua dari pada anak.
Jadi, hukum akal lah yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak
perlu diuji coba kembali. Hukum akal terbagi menjadi 3, yakni
a. Wajib (diterima akal), hukum akal yang
wajib terbagi menjadi:
1) Wajib Dhoruri yaitu apa yang diterima
akal itu tidak perlu dipikir maupun dibuktikan karena sudah jelas logikanya.
Contohnya, setiap benda mesti ada gerak dan diam. Jika tidak gerak berarti
diam. Jika tidak diam berarti ia bergerak. Akal menerima ini tanpa perlu
dipikirkan.
2) Wajib Nazhari, yaitu apa diterima akal
setelah berpikir, dibahas, diuraikan dengan bukti-bukti lalu dipahami dan
diyakini kebenarannya. Contohnya, mempelajari sifat-sifat Allah adalah dengan
penerangan dan dalil yang kukuh. Allah bukan benda yang boleh dilihat dan
diterima oleh akal tanpa dibuktikan. Setelah terbukti benar barulah hukum akal
akan menerima akan Tuhan yang bernama Allah itu.
b. Mustahil (ditolak akal), dibagi menjadi:
1) Mustahil Dhoruri, yaitu apa yang tidak
diterima akal tanpa perlu dipikirkan atau dibuktikan. Contohnya, kejadian siang
dan malam. Akal menolak bahwa siang dan malam itu boleh bercampur pada masa
yang sama. Akal menerima bahwa siang dan malam datang silih berganti bukan
serentak menjadi satu. Ia adalah perkara yang mustahil dan ditolak oleh hukum
akal.
2) Mustahil Nazhari, yakni apa yang ditolak
oleh akal setelah dipikir, dibahas, diuraikan dengan dalil yang kukuh lalu
dipahami dan diyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diterima akal. Contohnya,
ada yang meyaingi kekuasaan Allah. Akal mesti dapat membedakan antara yang
mempunyai sifat ketuhanan dengan yang tidak. Perkara yang ditolak akal tetapi
mesti dibahas dengan mendalam dalam soal tauhid adalah sangat penting diuraikan
sehingga dapat dipahami dengan baik.
c. Hukum akal yang harus, ialah boleh
menerima atau tidak akan suatu hal. Sebagai contoh, harus bagi Allah untuk
menentukan segala yang harus. Alam adalah harus kejadiannya. Artinya alam tidak
mesti ada dan tidak mesti tidak ada. Apa yang ditakdirkan Allah kepada
hamba-Nya adalah harus pada hukum akal. Maka harus ada pada akal untuk
memaklumi bahwa Allah berhak untuk menurunkan hujan dan tidak menurunkan hujan.[4]
B.
Tafsir dari Buku
1. Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat
terdahulu Allah menceritakan bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa
diwaktu kecil, seperti menyelamatkannya dari kebiasaan setelah diletakkan
didalam peti dan dilemparkannya ke sungai, serta menyelamatkan dari
penyembelihan yang melanda anak-anak Bani Israil. Dalam ayat-ayat ini Allah menceritakan
bahwa Dia melimpahkan nikmat kepadanya ketika dewasa, seperti memberinya ilmu
dan hikmah, kemudian mengutusnya sebagai Rasul dan Nabi kepada Bani Israil dan
bangsa Mesir. Selanjutnya, Allah menceritakan bahwa Musa membunuh seorang
bangsa Mesir yang berkelahi dengan orang Yahudi dengan tinju yang mengakibatkan
kematianya. Lalu musa memohon ampun kepada Tuhan atas perbuatannya tersebut,
dan bertekad untuk tidak menolong seseorang yang sesat dan berdosa. Tetapi,
manakala melihat perkelahian lain antara orang Yahudi tersebut dengan orang
Qibthi yang lain, Musa terdorong untuk menolong kembali orang Yahudi tersebut,
sehingga orang Mesir itu berkata: “Apakah kamu hendak mengadakan perdamaian di
muka bumi, ataukah hendak menjadi orang yang berbuat sesuatu tanpa memikirkan
akibatnya dan menjadi orang yang mengadakan kerusakan?
Penjelasan ayat 14 : Setelah
tubuhnya (Nabi Musa) kuat dan akalnya sempurna, maka Kami memberinya pemahaman
agama dan pengetahuan tentang syari’at. Hal ini ditegaskan oleh Allah didalam
surat Al-Ahzab ayat 34 yang artinya: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah
kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi kalian).[5]
2. Tafsir Al-Lubab
Setelah Nabi Musa As.
Mencapai kemantapan umurnya dan sempurna
jasmani dan rohaninya, Allah SWT menganugerahkan kepadanya, yakni kenabian atau
kearifan dan pengetahuan. Demikianlah Allah SWT memberi balasan baik kepada
orang-orang yang selalu berbuat baik.[6]
3. Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah cukup
umurnya dan dewasa, Kami berikanlah kepadanya Hukum dan Ilmu.” (pangkal ayat
14). Telah dapat dikira-kirakan kurang lebih 30 tahun dia menjadi “Anak
Pangkal” Fir”aun. Dari kecil dibesarkan dalam istana Fir’aun. Tetapi, sejak
kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan
dia diasuh, dibimbing di rumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa
ke istana. Dengan demikian maka keluarga Imran yaitu nama ayah Musa telah pula
mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun pun
telah mendapat pekerjaan yang layak di istana dan leluasa masuk di istana.
Keluarga Musa, sebagai keluarga Bani Israil golongan yang tertindas dan
dipandang hina, karena Musa menjadi “ Anak angkat” telah mendapat hak istimewa
yang tidak didapat oleh keluarga Bani Israil yang lain.
Lantaran itu, meskipun
dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia
mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia telah selalu melihat perlakuan
yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir’aun dan segala kaki tangannya
terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang
dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang adil dan mana
yang dzalim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memegang hukum
tentu tidak begini yang akan diputuskannya tentang hukum, tentu begitu
mestinya. Dia pun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan
terhadap rakyat. Kalau yang bersalah itu kaum Qubthi, kaum Fir’aun sendiri,
kesalahan itu akan ditutup. Tetapi kalau Bani Israil yang bersalah, maka
hukumnya sangat kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang
diperbuatnya. Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah tentang matang
pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah
Hukum dan Ilmu.[7]
Sebab dalam istana
niscaya dia diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat
kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah. “Dan
demikianlah Kami mengganjari orang-orang yang berbuat baik.” (ujung ayat 14).
Pada ujung ayat ini
dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah
ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi dan
Rasul, dengan kehendak Tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang
telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti Hukum dan
berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini ialah orang-orang yang
mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya, kedua isteri Fir’aun yang
budiman itu. Dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[8]
C.
Aplikasi Akal dalam Kehidupan sehari-hari
· Membedakan kebenaran dan kebatilan
· Mencerna berbagai hal dan tingkah laku
yang benar
· Menemukan solusi untuk memecahkan
masalah yang datang
D.
Aspek Tarbawi
· Mengetahui Tuhan an sifat-sifat-nya
· Mengetahui adanya kehidupan di akhirat
· Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik sedangkan kesengsaraan
tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
· Mengetahui wajibnya manusia mengenal
Tuhan.
· Mengetahui kewajiban berbuat baik dan
kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat.[9]
· Membuat hukum-hukum yang membantu dalam
melaksanakan kewajiban tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah daya
berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan dalam
Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Objek
kajian akal melingkupi semua sisi jagat raya dengan bagian atas dan bawahnya.
Fungsi
dan peran akal dapat digunakan dalam batas-batas tertentu hal-hal yang tidak
ada nas nya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nas nya tetapi dapat
dikaitkan hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nas (tersirat). Bahkan akal
dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nas tetapi penunjukannya
terhadap hukum tidak secara pasti.
Hukum
akal dibagi menjadi 3, yaitu wajib (diterima akal), mustahil (ditolak akal) dan
hukum akal yang harus.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maraghiy,
Ahmad, Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghi
20. Semarang: CV Tohaputra.
Hamka,
1982. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XX. Jakarta:
PT Pustaka Panjimas.
Shihab,
Muhammad, Quraish. 2012. Al-Lubab makna,
Tujuan dan pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Qardhawi,
Yusuf. 1999. Al-Qur’an Berbicara tentang
Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani Press.
Zuhri,
Saifudin. 2011. Ushul Fiqih.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Google. 2015.
Makalah tentang Akal. Dalam: http://musawaf.blogspot.com
PROFIL
Nama
Lengkap : Istifarin
Tempat,
Tanggal Lahir : Pekalongan, 15
November 1996
Alamat : Menjangan rt. 11 rw. 04 no. 462,
Bojong, Kab. Pekalongan
Riwayat
Pendidikan :
TK : RA
Muslimat Wonorejo, Wonoppringgo
(Lulus tahun 2003)
SD : MIS
Wonorejo, Wonoppringgo (Lulus tahun 2009)
SMP : SMP 1
Wonoppringgo (Lulus tahun 2012)
SMA : SMA 1
Kedungwuni (Lulus tahun 2015)
Perguruan
Tinggi : IAIN
Pekalongan, masih berproses mendapat gelar S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar