ETIKA POLITIK, ETIKA HUKUM,
ETIKA PROFESI DAN ETIKA RELIGI
Makalah
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Akhlak
Dosen
pengampu Muhammad Ghufron M.S.I
Oleh
:
Kelompok
11
1.
Fiki Dzakiyati (2021114221)
2.
Afyfah Nur Akhmad (2021114222)
3.
Naela Azqia (2021114223)
4.
Sefti Nurul Hidayati (2021114243)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat
Allah SWT atas limpahan nikmat dan
karunia-Nya, makalah yang berjudul “etika politik, etika hukum, etika profesi dan etika religi.” dapat diselesaikan. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, nabi agung Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Etika sangat berpengaruh
untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu kami berusaha untuk
menjelaskan pentingnya adanya etika. Adapun etika yang kami akan paparkan di
makalah ini adalah tentang etika
politik, etika hukum, etika profesi dan etika religi tentang hubungan dan
aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penulis telah berupaya
menyajikan makalah ini dengan sebaik – baiknya, meskipun tetap disadari bahwa
makalh ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan dari pembaca guna penyempurnaan
penulisan berikutnya. Akhirnya, semoga makalh ini dapat memberikan khasanah
keilmuan dan berguna bagi pembaca. Amin yaa robbal ‘alamiin.
Pekalongan, 27 November 2014
DAFTAR ISI
JUDUL HALAMAN
KATA PENGANTAR .......................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................ 1
C.
Tujuan penulisan ........................................................ 1
D.
Metode Penulisan ........................................................ 2
E. SistematikaPenulisan ........................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Etika Politik ......................................................... 6
B.
Etika Hukum ........................................................ 7
C.
Etika Profesi ........................................................ 9
D.
Etika Religi ........................................................ 10
E.
Hubungan dan Aplikasinya dalam
kehidupan bermasyarakat bermasyarakat
berbangsa dan bernegara ....................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ....................................................... 13
B.
Saran ....................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan
manusia itu memerlukan moral. Tanpa moral kehidupan manusia tidak mungkin
berlangsung. Manusia mengatur kehidupannya dengan berbagai etika, salah satu
etika yang terpenting dalam kehidupan manusia adalah etika moral. Namun etika
moral saja tidak cukup, oleh karenanya masyarakat menciptakan etika hukum.
Bagaimanapun, kehidupan manusia ini membutuhkan etika-etika, baik etika religi,
etika politik, etika profesi dan etika hukum.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi etika politik?
2.
Apa definisi etika hukum?
3.
Apa definisi etika profesi?
4.
Apa definisi etika religi?
5.
Bagaimana hubungan dan
aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
C. Tujuan penulisan
1.
Memenuhi tugas mata kuliah ilmu
akhlak yang diampu oleh bapak Muh. Ghufron, M.S.I.
2.
Memberikan pengetahuan kepada
pembaca tentang etika politik, etika hukum, etika profesi, dan etika religi.
D. Metode Penulisan
Metode
penulisan yang dilakukan melalui studi literature atau metode kajian
Pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi
lainnya yang merujuk pada permasalahan.
E. SistematikaPenulisan
Makalah ini ditulis dalam tiga bab dengan sistematika sebagai berikut
:
Bab I : Pendahuluan, LatarBelakang, RumusanMasalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II : Pembahasan, Etika Hukum, Etika Politik, Etika Profesi dan Etika
Religi serta Hubungan dan aplikasinya.
Bab III : Penutup, Kesimpulan, Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika Politik
Politik adalah segala usaha masyarakat untuk mengatur negara.
Politik itu menyangkut sistem partai, sistem pembagian daerah, sistem pembagian
kekuasaan dan sebagainya.
Kegiatan politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut
dan memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan di anggap seseorang atau sekelompok
masyarakat akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan menetapkan
kebijakan publik yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya.[1]
Etika politik dalam pembahasan ini memakai dua pengertian.
Pertama, sebagai filsafat moral yang mengenai dimensi politik kehidupan
manusia. Dalam pengertian itu yang menjadi masalah inti adalah persoalan
legitimasi, legitimasi kekuasaan politik. Kedua, c.[2]
Dalam politik kekuasaan sudah barang tentu yang menjadi ukuran
dan tujuan adalah kekuasaan, kekuasaan adalah segalanya, seperti ungkapan bahwa
kekuasaan adalah panglima. Sedangkan dalam politik moral, maka kekuasaan politik
bukan tujuan akhir, tetapi alat perjuangan dari cita-cita moral dan kemanusiaan.
Tujuan kekuasaan yang hendak dicapainya tidak menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan
oleh cara-cara yang bijak, yang dibenarkan moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial.
Politik moral pada dasarnya merupakan keharusan, yang mesti dicapai oleh seorang
politisi sejati, karena melalui politik moral diharapkan jalannya pemerintahan
dan negara lebih sehat, kuat, terkontrol dan berlangsung untuk kepentingan memajukan
kehidupan rakyat yang lebih baik, akan tetapi pada kenyataanya sistem penyelenggaraan
pemerintahahan ditentukan oleh moralitas para pemimpin pemerintahannya, baik
yang berada di lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, militer dan dunia pers,
seperti dalam kasus politik Indonesia di bawaha rezim Soeharto, semua pilar kelembagaan
demokrasi ada, bahkan pemilu bisa diselenggarakan tiap lima tahun, tidak bisa berfungsi
secara benar dan ideal, semua lembaga sudah terkooptasi oleh kolusi, korupsi dan
nepotisma (KKN) yang berjalan secara sistematik dalam kekuasaan tunggal Soeharto
dan kroninya.
Ada beberapa hal utama yang dapat menjadi pegangan bagi teori
politik dan perilaku politik yang etis dalam
perspektif etika dasar:[3]
1. Menghargai kehidupan-hakhidup (nyawa) dan harta milik setiap individu manusia tanpa terkecuali.
2. Menghargai kebebasan dengan derivatifnya sebagai mahkota martabat manusia dalam kemanusiaannya,
dalam arti menegasikan segala bentuk kekangan tanpa alasan kemanusiaan itu sendiri.
3. Mengusahakan akibat-akibat baik (bagi kemanusiaan)
sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakann atau keputusan kita(prinsip sikap baik dalam utilitarisma).
Akibat baik ini harus memungkinkan potensi hidup dan potensi pengembangan diri tiap individu dalam kemanusiaannya. Esensinya, agar manusia bergerak menuju derajat atau martabat yang lebih tinggi lagi.
4. Menghargai persamaan dengan segala derivatifnya
B. Etika Hukum
Etika memerintahkan
berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudlarat, Secara etimologis istilah etika berasal dari
bahasa Yunani kuno ‘ethos’ dalam bentuk tunggal dan ‘ta etha’ dalam bentuk
jamak yang artinya adat kebiasaan. Istilah ‘etika’ setidaknya memiliki tiga
arti. Pertama etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, kedua
etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral, dan yang ketiga menyatakan
bahwa etika adalah ilmu tentang yang baik dan buruk.
Ajaran moral tidak memiliki sanksi yang lahiriah (tegas)
dan tidak dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan secara mutlak.
Tetapi moral tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut dari kita apa
yang diminta olehnya, dan moral tidak dapat melembaga secara ketat. Ia
menyangkut sikap batin. Sedangkan hukum sebagai peraturan tidak menghiraukan
sikap batin manusia, sejauh sikap itu tidak merintangi perbuatan lahiriah dalam
pelaksanakan hukum. Hukum memiliki aparat untuk memberi sanksi apabila hukum
itu dilanggar. Pada level aparatur dan pemberian sanksi inilah cenderung
tindakan koersif (pemaksaan) dalam bentuk kekerasan dan dominasi sebagai
ekspresi negatif kekuasaan dapat muncul atas nama hukum.[4]
Konsep hukum dikembangkan oleh berbagai mazhab atau aliran
di dalam teori hukum dan filsafat hukum. Konsep hukum tradisional mengartikan
hukum sebagai asas/ kaidah/ norma, sedangkan pandangan modern menyatakan bahwa
hukum tetap dilihat sebagai norma atau kaidah tetapi juga merupakan gejala
sosial budaya. Konsep ini mempertahankan hukum tetap harus berbentuk tertulis
untuk menjaga kepastian hukum, tetapi isinya harus merupakan perhatian terhadap
gejala sosial budaya yang mencerminkan hukum yang timbul di masyarakat.
Hukum bersifat abstrak (tidak nyata, tidak berwujud namum
meskipun hukum itu tidak nyata tetapi hukum itu benar-benar ada bukan
mengada-ada, bukan fiksi), kontinuitas (hukum berlangsung sepanjang masa, tidak
dapat dicabut, bagaimanapun tragisnya suatu keadaan), universal (hukum itu ada
dan berlaku dimana-mana), dan luas (hukum itu tidak hanya berlaku dalam suatu
wilayah negara, atau berlaku untuk warganegara yang bersangkutan saja, bahkan
hukum itu dapat berlaku di luar wilayah negara yang bersangkutan).
C. Etika Profesi
Etika profesi adalah suatu masyarakat etika
(moral communtiy) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dalam bahasa sederhana, konkretisasi dari ukuran profesionalitas
adalah etika profesi. Keberadaanya merupakan kristalisasi dari kehendak – atau tepatnya
perilaku yang harus ditampilkan oleh seorang profesional di dalam mengemban profesinya.
Tetapi secara universal, ukuran etika itu adalah antara baik dan buruk.[5]
Sebagai contoh, ketika orang menyatakan sehat itu baik,
penyakitan itu buruk, berpengetahuan baik, kebodohan buruk, keadilan baik kedoliman
buruk, dan lain sebagainya. Pernyataan yang mengandung konsep ini merupakan semacam
ungkapan umum. Namun isi dan substansinya cenderung berubah dari waktu ke waktu,
dari satu ruang keruang lainnya.
Etika profesi dimaknai sebagai pedoman perilaku bagi pengembang
atau pelaksana dari profesi tersebut. Etika itu sendiri secara umum pengertiannya
adalah suatu tatanan akhlak atau moral.
Manakala etika profesi dicermati dari sisi falsafah, maka
kedudukannya sebagai satu keterkaitan dan keberadaanya setara dengan estetika. Aplikasinya,
etika profesi erat berhubungan dengan perilaku anggotanya yang tergabung dalam profesi
tersebut mengenai apa yang menjadi hak dan kewajiban secara moral. Juga perilaku
apa yang layak dan tidak layak dilakukan beserta konsekuensi apa yang harus diterima
di dalam pelaksanaan profesinya.
Dua sisi yang menonjol dari permasalahan yang berhubungan
dengan profesi pertama adalah mekanisme pembebanan sanksi yang secara langsung dijatuhkan
tanpa melalui institusi peradilan sebagaimana layaknya pedoman perilaku formal.
Kedua penonjolan aspek moral sebagai basis terdepan dari perilaku yang
diharapkan. Artinya, perilaku konkret yang kemudian menimbulkan sanksi,
dilandasi oleh kepentingan moral yang secara umum sulit untuk diuraikan elemen-elemennya.
D. Etika Religi
Bahan – bahan etika religius adalah pandangan dunia
Al-Qur’an, konsep – konsep teologi, kategori – kategori filsafat, dan dalam
beberapa hal sufisme. Maka sistem etika ini muncul dalam bentuk yang sangat
kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling islami.[6]
Etika religius
adalah suatu konsep etika yang keputusan etiknya diambil berdasarkan Al-quran,
Sunnah, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan tasawuf. Dalam
kajian etika religius ini yang menjadi unsur pokoknya ialah manusia dan dunia,
baik dan buruk perilaku manusia ditentukan dengan apa yang ada dalam agama. Dalam
etika religius yang menjadi sumber nilai adalah Tuhan, jadi kebaikan adalah apa
yang baik menurut Tuhan, dan begitu juga sebaliknya.
Peran
Tuhan dalam etika religius sangatlah penting, karena Tuhan sebagai sumber
nilai. Apa yang dilakukan mestilah seperti apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Etika religius mendasarkan penekanan pada masalah tugas, kewajiban, dan
memahami kebenaran dalam bertindak. Seperti hal yang sering kita ketahui dan
itu sering dikatakan ialah “lakukanlah sesuatu yang akan membawa kamu pada
Tuhan, sesuatu yang akan lebih mendekatkan kamu kepada Tuhan.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah dan berisi
ayat-ayatnya merupakan petunjuk dasar apa yang semestinya dilakukan manusia.
Teori-teori religius ini berakar dari wahyu yang merupakan konsepsi Al-quran
tentang manusia dan kedudukannya dialam semesta. Dunia ini merupakan semesta
moral, menurut Thomas Aquinas, dunia ini diatur menurut hukum moral yang
membangun sesuatu secara fisik, dan bagi Kant dunia ini mengungkapkan dirinya
dalam relaitas diri terdalam yang tidak dapa diketahui (uknown). Dalam etika
religius Tuhan
merupakan pengatur segala sesuatu (al-mudabbir kulla sya’i), seperti yang
diungkapkan oleh William Ockham bahwa apa yang dia kehendaki dalam kedudukan
Nya sebagai Tuhan adalah baik karena dia yang menghendakinya. Sebagaimana
firman Allah dalam Alquran “demikianlah, Allah berbuat apa yang ia kehendaki”. Jadi ketaatan kepada Tuhan merupakan
yang paling utama dalam etika religius.
Kalau kita melihat Al-Ghozali yang sistem
etiknya mencakup moralitas filosofis, teologis dan sufi adalah contoh yang
paling representative dari tipe etika religius. Dan itu bisa dilihat dari karya
Al-Ghozali yang paling terkenal ialah ihya ulumuddin juga dalam karyanya Mizan
al-amal, dua karya tersebut merupakan sumber besar pemikiran etika (etika
religius) dan keagamaan dalam islam. Basis dari etika Al-Ghozali adalah
tuntunan mistik bagi jiwa manusia agar selalu berusaha mencari Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu
haruslah benar-benar hanya untuk Tuhan.
E. Hubungan dan Aplikasinya dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
Dalam kehidupan politik, seringkali muncul fenomena politik
kekuasaan, bukan politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk
merebut dan memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan politik yang
dimilikinya, seseorang atau kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan
materi, popularitas dan fasilitas yang membuat hidupnya berkecukupan dan
terhormat. Dalam format politik yang demikian, tidak mustahil seesorang akan
mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuan politiknya, meskipun harus
menyudutkan dan menjatuhkan orang lain, sehingga lawan dan kawan ditentukan
sepenuhnya oleh kepentingan-kepentingan politik yang sama, yang setiap saat
bisa saja berubah dengan cepat, karena itu dalam politik dikenal tidak ada
kawan abadi, dan tidak ada lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi,
yaitu kepentingan kekuasaan
Dalam politik kekuasaan sudah barang tentu yang menjadi
ukuran dan tujuan adalah kekuasaan, kekuasaan adalah segala-galanya, seperti
ungkapan bahwa kekuasaan adalah panglima. Sedangkan dalam politik moral, maka
kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi alat perjuangan dari cita-cita
morsl dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan yang hendak dicapainya, tidak
menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara yang bijak yang
dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial, serta berdasarkan
etika hukum, etika profesi, dan etika religi. Politik moral pada dasarnya
merupakan keharusan yang mesti dicapai oleh seorang politisi sejati, karena
melalui politik moral, diharapkan jalannya pemerintahan dan negara lebih sehat,
kuat, terkontrol, dan berlangsung untuk kepentingan memajukan kehidupan rakyat
yang lebih baik, baik dalam kehidupan jasmani maupun kehidupan rohani dan
intelek.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika politik sebagai tata krama dalam melakukan
aktivitas politik. Dimensi moral dalam berpolitik, seperti sikap ksatria, elegant,
fairness, penuh kesantunan, dan memegang amanah. Hukum sendiri sebagai
peraturan tidak menghiraukan sikap batin manusia, sejauh sikap itu tidak
merintangi perbuatan lahiriah dalam pelaksanakan hokum, baiknya ada etika yang
mengimbanginya. Sedangkan etika profesi adalah suatu masyarakat etika (moral
communtiy) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kemudian etika religius adalah suatu konsep etika yang
keputusan etiknya diambil berdasarkan Al-quran, Sunnah, konsep-konsep teologis,
kategori-kategori filsafat dan tasawuf.
Dalam politik
moral, maka kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi alat perjuangan dari
cita-cita morsl dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan yang hendak dicapainya, tidak
menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara yang bijak yang
dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial, serta berdasarkan
etika hukum, etika profesi, dan etika religi.
B.
Saran
Dalam pengumpulan materi pembahasan diatas tentunya kami
banyak mengalami kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca
memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami. Sebelum dan sesudahnya
kami haturkan banyak terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie , Musa. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi
dalam Berpikir, Yogyakarta : Lesfi
Kanisius.
2001. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Kanisius (anggota IKAPI)
Wahidin , Samsul. 2012.
Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Fakhr , Majid. 1996. Etika dalam Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset
[1]
Musa Asy’arie. Filsafat Islam Sunnah
Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta : Lesfi,2002), hlm 106-107
[2]
Kanisius. Moral dan Masalahnya,
(Yogyakarta : Kanisius (anggota IKAPI), 2001), hlm 17
[4]
Op.cit, Kanisius, Moral dan
Masalahnya, hlm.23-24
[5]
Samsul Wahidin. Dimensi Etika dan
Hukum Profesionalisme Pers, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 148
[6]Majid Fakhr. Etika dalam Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
[7]
Op.cit, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam
Berfikir, hlm.107-109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar