POLA
PENDIDIKAN ISLAM
MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Oleh:
DWI ARISWATI (2024214419)
AFIFAH (2024214401)
PENDIDIKAN GURU
RAUDATUL ATFAL
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam merupakan suatu hal
yang paling utama bagi warga suatu negara, karena maju dan keterbelakangan
suatu negara akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan warga
negaranya. Salah satu bentuk pendidikan yang mengacu kepada pembangunan
tersebut, yaitu pendidikan agama adalah modal dasar yang merupakan tenaga
penggerak yang tidak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, karena
dengan terselenggaranya pendidikan agama secara baik akan membawa dampak
terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
Pendidikan Islam bersumber kepada
Al-Qur’an dan Hadits adalah untuk membentuk manusia yang seutuhnya, yakni
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Allah SWT, dan untuk memelihara
nilai-nilai kehidupan sesama manusia agar dapat menjalankan seluruh
kehidupannya, sebagaimana yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya, demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhira atau dengan kata lain, untuk mengembalikan
manusia kepada fitrahnya, yaitu memanusiakan manusia, supaya sesuai dengan
kehendak Allah yang menciptakan sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
Manusia adalah makhluk yang selalu
merindukan kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala potensi yang dimilkinya,
manusia berusaha maju dan berkembang untuk mencapai kesempurnaannya itu.
Manusia setiap saat membutukan belajar dari lingkungan atau alam semesta dan
juga diperlukan pengaruh dari luar yang oleh Slamet Imam Santoso disebut dengan
istilah pendidikan.[1]
Dengan demikian, jelaslah bahwa
proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi
hidup manusia, dan kemampuan belajar yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan tentang rumusan sejarah
pendidikan Islam.
Cabang ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak zaman
Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan
Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah melalui firman-Nya QS. 74: 1-7,
langkah awal yang ditempuh oleh Nabi adalah menyeru keluarganya,
sahabat-sahabatnya, tetangga, dan masyarakat luas.
Pada masa Nabi, negara Islam
meliputi seluruh jazirah Arab dan pendidikan Islam berpusat di Madinah, setelah
Rasulullah wafat kekuasaan pemerintahan Islam dipegang oleh khulafaur rasyidin dan wilayah Islam
telah meluas di luar jazirah Arab. Para khalifah ini memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan, syiarnya agama, dan kokohnya negara Islam.
Apa dan bagaimana pola pendidikan
yang diterapkan oleh para khulafaur
rasyidin pada masanya, sehingga dapat dijadikan perbandingan terhadap
proses pendidikan pada masa sekarang. Makalah yang sederhana ini akan mencoba
mengupas persoalan tersebut.
A.
MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDIN
1.
Masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq (632-634)
Setelah Nabi wafat, sebagai pemimpin umat Islam adalah Abu Bakar
As-Siddiq sebagai khalifah. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi
wafat untuk menggantikan Nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin
agama dan pemerintahan.[2]
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan oleh
orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang
enggan membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu Bakar memusatkan perhatiannya
untuk memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan
mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari
ajaran Islam. Dengan demikian, dikirimlah pasukan untuk menumpas para
pemberontak di Yamamah. Dalam penumpasan ini banyak umat Islam yang gugur, yang
terdiri dari sahabat dekat Rasulullah dan para hfiz Al-Qur’an, sehingga
mengurangi jumlah sahabat yang hafal Al-Qur’an. Oleh karena itu, Umar ibn
Khatab menyarankan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur’an, kemudian untuk mereaisasikan saran tersebut diutuslah Zaid nin
Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an. Pola pendidikan pada masa
Abu Bakar masih seperti masa Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga
pendidikannya.
Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan Tauhid
atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya.
1.
Pendidikan
keimanan, yaitu menanamkan bahwa satu-satunya yang wajib disembah adalah Allah.
2.
Pendidikan
akhlak, seperti adab masuk rumah orang, sopan santun bertetangga, bergaul dalam
masyarakat, dan lain sebagainya. Pendidikan ibadah seperti pelaksanaan Sholat,
puasa dan haji.
3.
Kesehatan
seperti tentang kebersihan, gerak gerik dalam sholat merupakan didikan untuk
memperkuat jasmani dan rohani.
Menurut Ahmad Syalabi, lembaga untuk belajar membaca menulis ini
disebut dengan kuttab. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk
setelah masjid, selanjutnya Asama Hasan Fahmi mengatakan bahwa kuttab didirikan oleh orang-orang Arab
pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini adalah Madinah,
sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat Rasul
terdekat. Lembaga pendidikan Isalam adalah Masjid, masjid dijadikan sebagai
benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan dan lembaga pendidikan Islam,
sebagai tempat sholat berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan
pendidikan Islam pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah sama dengan pendidikan
Islam yang dilaksanakan pada masa Nabi baik materi maupun lembaga
pendidikannya.
2.
Masa Umar bin
Khatab (13-23H : 634-644 M)
Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia,
pikiran, perasaan dan kemampuan berbuat, merupakan komponen dari kemuliaan dan
kesempurnaan yang melengkapi ciptaan (kejadian) manusia. Firman Allah Swt. :
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya (QS : 95 4)
Abu Bakar telah menyaksikan persoalan yang timbul dikalangan kaum
muslimin setelah Nabi wafat, berdasarkan hal inilah Abu Bakar menunjuk
penggantinya yaitu Umar bn Khatab, yang tujuannya adalah untuk mencegah supaya
tidak terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, kebijakan Abu
Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat.[3]
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha
perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa
Umar bin Khatab meliputi Semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Persia,
dan Mesir.[4]
Dengan meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula kehidupan
dalam segala bidang. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan manusia yang
memiliki keterampilan dan keahlian, sehingga dalam hal ini diperlukan
pendidikan.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat
berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari
khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi, kalau ada diantara umat Islam
yang ingin belajar hadis harus pergi ke Madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu
dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah
terpusat di Madinah.[5]
Dengan meluasnya wilayah Islam sampai ke luar jazirah Arab,
tampaknya khalifah memikirkan pendidikan Islam di daerah-daerah yang baru
ditaklukkan itu. Untuk itu, Umar bin Khatab memerintahkan para panglima
perangnya, apabila mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka
mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.[6]
Berkaitan dengan masalah pendidikan itu, khalifah Umar bin Khatab
merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota
Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid dan pasar-pasar[7]
serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan
itu, mereka bertugas mengajarkan isi Al-Qur’an dan ajaran Islam lainnya,
seperti fikih kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Diantara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar bin Khatab ke
daerah adalah Abdurahman bin Ma’qal dan Imran bin al-Hashim. Kedua orang ini
ditempatkan di Basyrah. Abdurrahman bin Ghanam dikirim ke Syiria dan Hasan bin
Ali Jabalah dikirim ke Mesir. Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk
di halaman masjid sedangkan murid melingkarinya.[8]
Dari hal di atas penulis berpendapat bahwa yang menjadi pendidik
alah Umar dan para sahabat-sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah dan
memiliki pengaruh yang besar, sedangkan pusat pendidikannya selain Madinah
adalah Mesir, Syiria, dan Basyrah.
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam
bertambah besar, karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin menimba
ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa
ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari
Madinah, sebagai pusat agas Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam ini yang
kemudian mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin keagamaan.[9]
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, mata pelajaran yang diberikan
adalah membaca dan menulis Al-Qur’an dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok
agama Islam. Pendidikan pada masa Umar bin Khatab ini lebih maju dibandingkan
dengan sebelumnya. Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga sudah
mulai tampak, orang yang baru masuk Islam dari daerah yag ditaklukkan.
Berdasarkan hal di atas penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan
pendidikan di masa khalifah Umar bin Khatab lebih maju, sebab selama Umar
memerintah negara berada dalamkeadaan stabil dan aman. Ini disebabkan,
disamping telah ditetapkannya masjid. Telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan
baru di berbagai kota dengan indah yang dikembagkan, baik dari segi suku
bahasa, menulis, dan pokok ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan dikelola dibawah
pengaturan gubernur yang berkuasa saat itu, serta diiringi kemajuan di berbagai
bidang, seperti jawatan pos, kepolisian, baitul mal, dan sebagainya. Adapun
sumber gaji para pendidik pada waktu itu diambilkan dari daerah yang
ditaklukkan dan dari baitul mal.
3.
Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H: 644-656 M)
Nama lengkapnya adalah Usman in Abil Ash in Umaiyah. Beliau masuk
islam atas seruan Abu Bakar Siddiq.[10]
Usman bin Affan adalah termasuk saudagar besar dan kaya dan sangat pemurah
menafkahkan kekayaannya untuk kepentingan umat Islam. Usman diangkat menjadi
khalifah hasil dari pemilihan panitia enam yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin
Khatab menjelang beliau akan meninggal. Panitia yang enam adalah : Usman, Ali bin
Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bi Abi Waqash, dan Abdurrahman bin
‘Auf.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam
tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya
melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang
mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan
Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa khalifah Umar,
diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka
sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di
daerah-daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan
dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar
Islam dan ari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para
sahabat bisa memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan
kepada masyarakat.
Khalifah Usman sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah
berjalan, namun begitu ada satu usaha yang cemerlang yang telah terjadi di masa
ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam, yaitu untuk mengumpulkan
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Penyalinan ini terjadi karena perselisihan dalam
bacaan Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, khalifah Usman memerintahkan kepada tim
untuk penyalinan tersebut. Adapun tim tersebut adalah : Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Zaid bin Ash, dan Abdurrahman bin Harist.
Bila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada
dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an ini diturunkan menurut dialek mereka
sesuai dengan lisan Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy.
Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy sedangkan ketiganya adalah orang Quraisy.
Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa Usman bin Affan
diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerinta tidak mengangkat guru-guru,
dengan demikian pada pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan
mengharapkan keridhaan Allah.
Bahwa pada masa khalifah Usman bin Affan tidak banyak terjadi
perkembangan pendidikan, kalau dibandingkan dengan masa kekhalifahan Umar bin
Khatab, sebab pada masa khalifah Usman urusan pendidikan diserahkan saja kepada
rakyat. Dan apabila dilihat dari segi kondisi pemerintahan Usman banyak timbul pergolakan
dalam masyarakat sebagai akibat ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan Usman
yang mengangkat kerabatnya dalam jabatan pemerintahan.
4.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H: 656-661 M)
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman
Rasulullah dan suami dari Fatimah anak Rasulullah. Ali bin Abi Thalib diasuh
dan dididik oleh Nabi. Ali terkenal sebagai anak yang mula-mula beriman kepada
Rasulullah.[11]
Ali adalah khalifah keempat setelah Usman bin Affan. Pada
pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta
Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan
terhadap Usman, peperangan di antara mereka disebut Perang Jamal (unta) karena
Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan
Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak
banyak mendapatkan ketenangan dan kedamaian.[12]
Muawiyah sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk
menggulingkan kekuasaannya. Peperangan ini disebut dengan peperangan Shiffin,
karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali,
maka Muawiyah segera mengambil siasat untuk menyatakan tahkim (penyelesaian
dengan adil dan damai). Semula Ali menolak, tetapi karena desakan sebagian
tentaranya akhirnya Ali menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan,
sebab Muawiyah bersifat curang. Sebab dengan tahkim Muawiyah berhasil
mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara
itu, sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara tahkim,
meninggalkan Ali dan membuat kelompok tersendiri yaitu Khawarij.[13]
Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pada masa
Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa
pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa,
kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat Ali tidak
sempat lagi memikirkan masalah pendidikan sebab keseluruhan perhatiannya
ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. Dengan
demikian, pola pendidikan pada masa khulafaur
rasyidin tidak jauh berbeda dengan masa Nabi yang menekan pada pengajaran
baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist
Nabi.
B.
PUSAT-PUSAT
PENDIDIKAN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Pusat-pusat
pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain :
1.
Mekkah.
Guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an dan
fikih.
2.
Madinah.
Sahabat yang terkenal antara lain : Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, dan sahabat-sahabat lainnya.
3.
Basrah.
Sahabat yang termasyhur antara lain : Abu Musa al-Asy’ary, dia adalah seorang
ahli fikih dan Al-Qur’an.
4.
Kuffah.
Sahabat-sahabat yang termasyhur disini adalah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah
bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud mengajarkan Al-Qur’an, ia adalah ahli tafsir,
hadis, dan fikih.
5.
Damsyik
(Syam). Setelah Syam (Syiria) menjadi bagian negara Islam dan penduduknya
banyak beragama Islam, maka khalifah Umar mengirim tiga orang guru ke negara
itu. Yang dikirim adalah Mu’az bin Jabal, Ubaidah, dan Abu Darda’. Ketiga
sahabat ini mengajar di Syam pada tempat yang berbeda. Abu Darda’ di Damsyik,
Mu’az bin Jabal di Palestina dan Ubaidah di Hims.
6.
Mesir.
Sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi guru di Mesir adalah
Abdullah bin Amru bin Ash, ia adalah seorang ahli hadis.
C.
PENUTUP
Pendidikan pada masa khalifah Abu
Bakar tidak jauh berbeda dengan pendidikan pada masa Rasulullah. Pada masa
khalifah Umar bin Khatab, pendidikan sudah lebih meningkat di mana pada masa
khalifah Umar guru-guru sudah diangkat dan digaji untuk mengajar ke
daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Pada masa khalifah Usman bin Affan,
pendidikan diserahkan pada rakyat dan sahabat tidak hanya terfokus di Madinah
saja, tetapi sudah dibolehkan ke daerah-daerah untuk mengajar. Pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib, pendidikan kurang mendapat perhatian, hal ini
disebabkan pemerintahan Ali selalu dilanda konflik yang berujung kepada
kekacauan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanum, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Wacana Ilmu, 2001.
Djojosuwarno, Sejarah dan
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Santoso, Selamet Imam,
Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa, Jakarta: Masagung, 1987.
Langgulung, Hasan, Filsafat
Pendidikan Islam, terj. Jakarta: Wacana Ilmu, 2001.
Supardi, Mohammad, Konsep
Pendidikan dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penebar Salam, 2001.
Syalaby, Ahmad, Sejarah
Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000.
______________, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Yatim, Badri, Sejarah Islam,
Jakarta: Wacana Ilmu, 2001.
Nama : Afifah
Nim : 2024214401
Nama : Dwi Ariswati
Nama : Dwi Ariswati
Nim : 2024214419
[1] Slamet Imam Santoso, Pendidikan
di Indonesia dari Masa ke Masa, (Mas Agung, Jakarta, 1987). h. 52
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 36
[4] Hanum Asrohah, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 2001), h. 36
[5] Sukarno dan Ahmad Supardi, Sejarah
dan Filsafat Islam, (Bandung: Angkasa t.th), h. 51
[6] Hanum Asrohah, Op. cit.,
[7]
Muhammad Syadid, Konsep
Pendidikan dalam Al-Qur’an, terj. (Jakarta: Penebar Salam, 2001), h.
37
[8] Karsidjo Djojosuwarno, Life of
Omar the Geat, terjemahan (Bandung: 1981), h. 387
[9] Hanum Asrohah, Op. cit.,
h. 18
[10] Ahmad Syalaby, Sejarah Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), h. 266
[12] Hanun Asrobah, Op. cit.,
h. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar