TAFSIR TARBAWI
ADAB MENCARI ILMU
ADAB MENCARI ILMU
“BERGURU HARUS SABAR HINDARI SIKAP APRIORI (SU’UDHON)”
AL-KAHFI ayat 65-70
Usmawati Dewi (2021114073)
Pendidikan Agama Islam H
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT., berkat Rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “ADAB MENCARI ILMU (
Berburu harus sabar hindari sikap Apriori / Su’udhon)” dalam surat Al-Kahfi
ayat 65-70. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Agung Muhammad SAW., keluarga dan sahabatnya.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada beberapa
pihak yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini. Dan saya juga telah
berupaya menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun saya menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap
kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan makalah saya.
Akhir kata semoga makalah yang sederhana ini bisa menambah keluasan
ilmu dan bermanfaat bagi pembaca maupun penulis.
Pekalongan, Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam kehidupan dunia, ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat
penting. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan bagi
kehidupan baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan bermasyarakat. Menurut
al-Ghazali dengan ilmu pengetahuan akan diperoleh segala bentuk kekayaan,
kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, jabatan, dan kekuasaan. Apa yang dapat
diperoleh seseorang sebagai buah dari ilmu pengetahuan, bukan hanya diperoleh
dari hubungannya dengan sesama manusia, para binatangpun merasakan bagaimana
kemuliaan manusia, karena ilmu yang ia miliki.
Dalam kehidupan beragama, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
wajib dimiliki, karena tidak akan mungkin seseorang mampu melakukan ibadah yang
merupakan tujuan diciptakannya manusia oleh Allah, tanpa didasari ilmu.
Minimal, ilmu pengetahuan yang akan memberikan kemampuan kepada dirinya, untuk
berusaha agar ibadah yang dilakukan tetap berada dalam aturan-aturan yang telah
ditentukan. Dalam agama, ilmu pengetahuan, adalah kunci menuju keselamatan dan
kebahagiaan akhirat selama-lamanya.
Dalam mencari ilmu sebaiknya kita harus mempunyai sifat sabar dan
meninggalkan sifat su’udhon agar ilmu yang kita cari lebih cepat dapat kita
mempunyai ilmu yang bermanfaat.
B. Inti ayat al-Kahfi ayat 65-70
Kisah nabi Musa dalam
mencari ilmu, bahwa ia sebelumnya telah diperingatkan bahwa dia tidak mungkin
bersabar menghadapi apa yang belum diketahui dan dikuasainya. Namun, dia tetap
ngotot dengan berazam untuk bersabar memohon pertolongan taufik dengan kalimat
insya Allah, diperkuat pula dengan janji dan menerima persyaratan khidr. Namun
ketika berhadapan dengan kenyataan lapangan berkenaan dengan perilaku Khidr,
dia dengan semangat menyala mengingkarinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi judul
Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang berasal dari
pengamatan panca indra, dari pengalaman yang sering disebut dengan pengetahuan
empirik. Ilmu juga dapat berawal dari cara berfikir manusia dengan
menggunakan rasio (pengetahuan rasional).[1]dan
ketika berbicara tentang sabar, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang
separuh iman dan tentang salah satu prinsip dasar agama. Bahkan menciptakan
langit dan bumi Allah menciptakan dalam enam hari. Dengan begitu, Dia
mengajarkan kepada kita bahwa alam muncul secara bertahap.[2]
Dari hal itu maka dalam kita mencari ilmu kita harus
bersikap sabar dan menghindari diri kita dari sikap berburuk sangka terhadap
apa yang sedang kita pelajari tersebut.
B. Hadis yang berkaitan dengan ayat
Diriwayatkan
dari Abu Musa r.a bahwa Nabi saw bersabda:”perumpamaan teman yang baik (saleh)
dan teman yang buruk (jahat) adalah ibarat peracik minyak wangi dan tukang
pelebur besi. Adapun peracik minyak wangi boleh jadi wewangian akan menempel
padamu, atau kamu akan membelinya atau boleh jadi kamu kecipratan bau wangi
darinya. Dan adapun pelebur besi, bisa jadi apinya akan membakar bajumu, dan
boleh jadi kamu kecipratan bau tak sedap darinya”. (HR.Muslim)[3]
Imam Bukhari telah
meriwayatkan sebuah hadis, bahwa pada suatu ketika Nabi Musa berdiri berkhotbah
dihadapan kaum bani Israil. Lalu ada pertanyaan : “Siapakah orang yang paling
alim?” Maka Musa menjawab, “Aku”. Lalu Allah menegur Nabi Musa karena ia belum
pernah belajar (ilmu gaib), maka Allah menurunkan wahyu kepadanya:
“Sesunggunhya Aku mempunyai hamba yang tinggal di pertemuan dua laut; dia lebih
alim daripadamu”. Musa berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimanakah caranya agar aku
bisa bertemu dengan dia?” Allah berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa seekor
ikan besar, kemudian ikan itu kamu letakkan kepada keranjang. Maka manakala
kamu merasa kehilangan ikan itu, berarti dia berada di tempat tersebut”. Lalu
Nabi Musa mengambil ikan itu dan ditaruhnya pada sebuah keranjang, selanjutnya
ia berangkat disertai dengan muridnya yang bernama yusya’ bin Nun, hingga
keduanya sampai kepada batu besar. Di temapat itu keduanya berhentiuntuk
istirahat seraya membaringkan tubuh mereka, akhirnya mereka berdua tertidur.
Kemudian ikan yang ada dikeranjang berontak dan melompat keluar, lalu jatuh
kelaut.
“Lalu ikan itu melompat mengambil jalanya ke laut
itu”.(al-kahfi:61)
Allah menahan arus air demi untuk jalanya ikan itu,
sehingga pada air itu tampak seperti terowongan. Ketika keduanya terbangun dari
tidurnya, murid Nabi Musa lupa memberitakan tentang ikan kepada Nabi Musa. Lalu
keduanya berangkat melalkukan perjalanan lagi selama sehari semalam. Pada
keesokan harinya Nabi Musa berkata kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan
siang kita”, sampai dengan perkataanya: “Lalu ikan itu melompat mengambil
jalanya kelaut dengan cara yang aneh sekali”. Bekas ikan itu tampak bagaikan
terowongan dan Musa beserta muridnya merasa aneh sekali dengan kejadian itu.[4]
C. Teori Pengembangan ( al- Kahfi 65-70)
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا﴿٦٥﴾
65. lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami[886].
Penjelasan ayat 65
Perjalanan kembali ketempat hilangnya ikan, ditempuh oleh Nabi Musa as.
Bersama pembantunya itu, lalu ketika mereka sampai ketempat ikan itu
mencebur kelaut, mereka berdua bertemu dengan seorang hamba mulia lagi
taat di antara hamba-hamba Kami yang mulia lagi taat, yang telah Kami
anugrahkan kepadanya rahmat yang besar dari sisi Kami, dan yang Kami
ajarkan kepadanya dari sisi Kami, secara khusus lagi langsung, tanpa upaya
manusia, ilmu yang banyak.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa hamba Allah yang dimaksud disini adalah
seorang hamba nabi yang bernama al-khidhr. Tetapi riwayat tentang beliau
sungguh sangat beragam dan sering kalimdi bumbuhi oleh hal-hal yang kurang
irasional. Apakah beliau nabi atau bukan, dari bani Israil atau selainnya, dan
masih banyak hal lain dengan rincian pendapat yang berbeda-beda. Kata al-Khidhr
sendiri bermakna hijau. Nabi saw,
bersabda bahwa penamaan itu disebabkan suatu ketika ia duduk dibulu yang
berwarna putih, tiba-tiba warnanya berubah menjadi hijau (HR. Bukhori melalui
Abu Hurairoh). Agaknya penamaan serta warna itu sebagai simbol keberkahan yang
menyertai hamba Allah yang istimewa itu.
Ayat diatas mengisyaratkan bahwa beliau dianugrahi rahmat dan ilmu. Penganugrahan
rahmat dilukiskan dengan kata (من عندنا) min ‘indina sedang penganugrahan ilmu dengan kata (من لدنّا) min ladunna, yang keduanya bermakna dari
sisi Kami.[5]
قَالَ لَهُ
مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدً﴿٦٦﴾
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا﴿٦٧﴾ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا
لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا﴿٦٨﴾ قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا
وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا﴿٦٩﴾ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي
عَنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا﴿٧٠﴾
Terjemahan:
66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku.”
68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang
yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu".
D.
Penjelasan ayat
66-70
Pada ayat 66,
dijelaskan alangkah sopan adab yang ditunjukan oleh seorang nabi Allah ini.
Musa memomohon penjelasan pemahaman tanpa memaksa, dan ia mencari ilmu yang
dapat memberikan petunjuk dari hamba saleh yang alim itu.
Namun, ilmu hamba yang
saleh itu bukanlah ilmu seorang manusia yang sebab-sebabnya jelas dan
hasil-hasilnya dekat. Sesungguhnya ia termasuk ilmu laduni tentang perkara
gaib, yang diajarkan oleh Allah kepadanya tentang qadar yang diinginkan-Nya
tentang hikmah yang diinginkan-Nya. Oleh karena itu, Musa tidak akan mampu
bersabar bersama hamba saleh itu dan perilaku-perilakunya yang tampak
dipermukaan kadangkala terbentur dengan logika akal yang lahiriah dan
hukum-hukum yang lahiriyah. Pasalnya, perilaku hamba yang saleh itu
mengharuskan adanya pengertian dan pengetahuan tentang hikmah gaib yang ada
dibaliknya.
Pada ayat 66-67, Musa berazam akan bersabar dan taat, sambil memohon pertolongan
dari Allah dan pantang menyerah untuk merealisasikan kehendaknya. Pada ayat
69,diceritakan Hamba sholeh itupun masih menekankan dan memperjelaskan
permasalahannya. Ia menyebutkan persyaratannya dalam menemaninya sebelum
memulai perjalanan. Yaitu, Musa harus bersabar untuk tidak bertanya dan meminta
penjelasan tentang sesuatu dari perilaku-perilakunya hingga rahasianya terbuka
sendiri baginya.
Pada
ayat 70, Musa pun menyetujui dengan penuh kerelaan. Maka, dihadapan kita
berputarlah episode awal dari kisah dua orang ini.
“Maka
berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir
melubanginya ... “
Perahu itu membawa
keduanya dan juga membawa para penumpang lainnya. Mereka sedang berada di
tengah-tengah lautan. Kemudian hamba sholeh itu tiba-tiba melubangi perahu itu.
Tampak jelas bahwa perbuatan ini membawa kesulitan bagi perahu dan para
penumpangnya dengan ancaman bahaya tenggelam dan mereka menjadi terjepit. Jadi,
kenapa hamba sholeh ini melakukannya perbuatan keji dan bahaya itu. Musa menjadi lupa akan janjinya yang dikatakan kepada hamba saleh itu dan
persyaratan yang telah diajukan oleh hamba itu, dihadapan perilaku aneh yang
tidak diterima sama sekali oleh akal sehat. Kadangkala seseorang hanya menemani
secara teoritis tentang gambaran umum yang menyeluruh tentang suatu makna. Maka
ketika berbenturan dengan praktek kerja nyata untuk mengimplementasikan makna
itu dalam contoh nyata, dia akan berhadapan dengan fakta lain yang berbeda
dengan gambaran pandangan.[6]
E. Aplikasi dalam kehidupan
Alquran telah menceritakan bagaimana kisah nabi Musa
dalam mencari ilmu, bahwa ia sebelumnya telah diperingatkan bahwa dia tidak
mungkin bersabar menghadapi apa yang belum diketahui dan dikuasainya. Namun,
dia tetap ngotot dengan berazam untuk bersabar memohon pertolongan taufik
dengan kalimat insya Allah, diperkuat pula dengan janji dan menerima
persyaratan khidr. Namun ketika berhadapan dengan kenyataan lapangan berkenaan
dengan perilaku khidr, dia dengan semangat menyala mengingkarinya.
Begitu pula dengan tabiat manusia saat bertemu pada
fakta nyata, yang tidak bisa dipungkiri bahwa ketika berhadapan dengna
kenyataan lapangan, ia akan menemukan fakta dan cita rasa yang berbeda dengan gambaran
pandanganya. Ia tidak akan mengetahui hakikat suatu perkara tanpa merasakan dan
mencobanya.[7]
F. Aspek tarbawi
1. Belajar dari seseorang yang kedudukannya lebih rendah daripada anda
bukanlah aib.
2. Nabi Musa as. yang memiliki ilmu lahiriah menilai sesuatu berdasarkan sifat
lahirnya saja. Sesuatu yang bersifat lahir ada pula sisi batinya. Sisi
batiniyah ini yang tidak terjangkau oleh nabi Musa.
3. Penuntut ilmu harus memiliki kesabaran dan tekad yang kuat untuk
bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian, bahkan tenaga, terhadap apa yang
dipelajarinya.
4. Seorang yang percaya harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh yang
dipercayainya, suka atau tidak, mengerti atau tidak. Ini terutama dalam bidang
pembinaan jiwa/ akhlak.
5. Pelajar harus menghormati gurunya. Seperti nabi Musa yang tidak menuntut
untuk diajar, tetapi meminta. Itupun ditunjukan dalam bentuk pertanyaan.
“Bolehkah aku mengikutimu?”[8]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kisah nabi Musa dalam mencari ilmu, bahwa ia
sebelumnya telah diperingatkan bahwa dia tidak mungkin bersabar menghadapi apa
yang belum diketahui dan dikuasainya. Namun, dia tetap ngotot dengan berazam
untuk bersabar memohon pertolongan taufik dengan kalimat insya Allah, diperkuat
pula dengan janji dan menerima persyaratan khidr. Namun ketika berhadapan
dengan kenyataan lapangan berkenaan dengan perilaku Khidr, dia dengan semangat
menyala mengingkarinya.
Begitu pula dengan tabiat manusia saat bertemu pada
fakta nyata, yang tidak bisa dipungkiri bahwa ketika berhadapan dengan
kenyataan lapangan, ia akan menemukan fakta dan cita rasa yang berbeda dengan
gambaran pandanganya. Ia tidak akan mengetahui hakikat suatu perkara tanpa
merasakan dan mencobanya.
Sebagai seorang yang beriman kita harus bisa mempunyai
rasa sabar dalam diri kita dalam keadaan apapun, terutama dalam mencari ilmu
agar ilmu yang kita cari dapat dimiliki oleh kita dan ilmu itu insya Allah akan
menjadi ilmu yang manfaat.
DAFTAR PUSTAKA
al-Mahalli
, Imam Jalaludi dan Imam Jalaludin as-Suyuti. 2010. Terjemahan Tafsir
jalalain berikut Asbabun Nuzul jilid 2,Penerjemah Bahrun Abu Bakar. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Departemen
Agama RI. 2009. Al-Qur’an dan
Terjemahannya disertai Tanda-Tanda Tajwid dengan Tafsir Singkat. Jakarta:
Bayan Qur’an
Khaled,
Amr. 2010. Buku Pintar Akhlak. terj. Fauzi Faisal Bahreisy. Jakarta:
Zaman
Quth,
Sayid. 2003. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an jilid 7,
terj Ahmad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani Press
Saebani, Beni Ahmad dan Abdul Hamid.
2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.8.
Jakarta : Lentera Hati
Shihab,
M. Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah
Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati
Nama : Usmawati Dewi
TTL : Pekalongan, 07 Desember 1996
Alamat : Jl. Otista gang 18,
Rt.03 Rw.04 Soko, Pekalongan Selatan
Cp : 0856 4256 2578
Cita-cita : menjadi seorang guru yang teladan
Motto : Sugestilah diri anda dengan
sugesti yang positif
[1] Beni Ahmad
Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak,(Bandung: Pustaka Setia, 2010),
hlm. 17
[2] Amr Khaled, Buku
Pintar Akhlak, terj. Fauzi Faisal Bahreisy,(Jakarta: Zaman, 2010) hlm. 283
[3] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya disertai Tanda-Tanda Tajwid dengan
Tafsir Singkat (Jakarta: Bayan Qur’an,2009).hlm.301
[4] Imam Jalaludi
al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Terjemahan Tafsir jalalain berikut
Asbabun Nuzul jilid 2,Penerjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 2010), hlm.28
[5] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.8 (Jakarta :
Lentera Hati, 2002), hlm. 94-95
[6]
Sayidh Quth, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an jilid 7,
terj Ahmad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm.
[7]
Ibid., hlm. 331
[8]
M. Quraish
Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an,(Tangerang:
Lentera Hati, 2012), hlm. 310-311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar