Tafsir Tarbawi
Pendidikan Intelektual Transendental
"JANGAN
MENGIKUTI TANPA DASAR ILMU"
Lina
Agustina 2021114039
Kelas H
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan
mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah swt., karena Rahmat dan
hidayah-Nya, makalah yang berjudul
“Pendidikan transidental dan intelektual : jangan mengikuti tanpa dasar ilmu ”.
Ucapan
terima kasihpun penulis haturkan untuk
dosen pembimbing mata kuliah ”Tafsir Tarbawi II” beserta semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan, untuk
itu dengan senang hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini dikemudian hari.
Akhir
kata penulis berharap agar laporan ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, khususnya
bagi penulis dan pembaca pada umumnya .Semoga segala jerih payah kita bernilai
ibadah di sisi Allah Swt.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pekalongan, 7 April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Surat al-Israa' ini adalah surat Makkiyah. Surah ini berisi berbagai tema yang umumnya berkaitan dengan masalah akhlak. Dalam kaitan ini, lebih jauh dikemukakan tentang problem risalah dan para Rasul, serta keistimewaan yang dimiliki risalah Nabi Muhammad saw. Akidah islam adalah akidah ang gamlang, lurus, dan bersih. Sehingga, tak ada sedikit pun dalam akidah islam ini yang berdiri di atas landasan yang penuh karaguan, utopia, atau praduga. Sikap klarifikasi dalam menerima setiap berita, setiap fenomena, dan setiap gerakan sebelum memutuskan tindakan lebih lanjut adalah seruan Al-Qur'an dan sistem metologis islam yang sangat akurat. Karena apabila hati dan akal/ rasio ini lurus di atas manhaj islam, pastilah tak akan ada lagi ruang bagi tumbuhnya utopia,ilusi, dan khurafat dalam dunia akidah/ideologi. Tak ada lagi tempat bagi adanya prasangka dan keragu-raguan dalam dunia hukum dan dunia pergaulan. Juga tak ada lagi tempat bagi penilaian yang dangkal dan hipotesis yang tak berdasarkan fakta dalam dunia penelitian dan praktek-praktek ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Q.S Al-Isra' ayat
36
وَلاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ اِنَّ السَمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلئِكَ كَا نَا عَنْهُ مَسْئُولاً
(٣٦)
Arti :
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuana itu akan dimintai
pertanggungjawabannya."
B.
Penjelasan Q.S
Al-Isra' aat 36
Dan janganlah kamu menganut
mengikuti,"yakni janganlah kamu mengatakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya pengetahuan
tentangnya. Maksudnya, janganlah
kamu mengatakan, "aku telah melihat, padahal kamu tidak melihat, "aku
mendengar padahal kamu tidak mendengar," dan "aku tahu, padahal kamu
tidak tahu, karena Allah ta'ala akan menanyakan
hal itu kepadamu.
Firman allah ta'ala, "semua itu,"yakni
hal-hal yang berkenaan dengan pendengaran, pengliahatan, dan hati,"
akan diminta pertanggungjawabannya". yakni
hamba akan ditanya mengenai hal itu pada hari kiamat, ditanya
tentang dirinya dan perbuatannya.[1]
Pekerjaana apakah yang tidak boleh
diikuti atau dicampuri kalau tidak ada pengetahuan kita dalam hal itu. Sebagian
ulama mengatakan bahwa hukum ini adalah hukum "kulliah" artinya
meliputi segala-galanya. Sebagian
ulama, seperti Muhammad bin Al-Hasan mengkhususkannya
kepada satu macam saja, yaitu mengenai
kesaksian dusta. Maka janganlah seseorang menjadi saksi terhadap sesuatu yang
tidak diketahuinya, sehingga dia berani bersaksi dusta.
Al-Qurthubi berkata, maksud ayat
ini adalah, janganlah seseorang hanya menggunakan prasangka semata-mata. Syaukani
dalam tafsirna berkata, ayat ini
menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh beramal dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuannya dalam hal
itu. Tetapi umum ayat ini telah diberi pengkhususan dengan bolehnya
beramal berdasarkan ijtihad, atau hadis ahad atau beramal dengan keterangan
saksi. Semuanya itu telah dikecualikan dari umumnya ayat
termasuk dalam hal ini adalah hukum-hukum dengan
menggunakan dalil yang lain, seperti pikiran yang tidak
sampai kepada tingkat yakin, melainkan
hanya zan/sangkaan saja. Hal ini telah diberi kelonggaran dan
kelapangan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah ditegaskannya
kepada Mu'az, dan telah kita terangkan didalam tafsir ini.
Berdasarkan
pada kelonggaran yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Kepada Mu'az, maka sebagian ulama
berpendapat, bahwa kelonggaran memakai rakyu
itu ialah selama tidak diperoleh hukumnya
dalam kitab Allah dan sunnah Rasul. Kelonggaran yang
diberikan itu hanya berlaku untuk mujtahid.[2]
C.
Teori
pengembangan
"Dan
janganlah engkau menurut saja dalam hal yang
tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya (pangkal
ayat 36)
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti muslim yang
hendak menegakkan pribadinya. Kita
dilarang allah menurut saja "Nurut" menurut bahasa jawa dengan tidak
menelidiki sebab dan musabab. Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak turut
itu demikian "jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya,
aku dengar padahal tak pernah engkau dengar saya
tahu padahal engkau tak tau. "diawal ayat ini
"wa la taqfu" kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak kemana orang
pergi kesana awak pergi kemana tujuan orang itu awak tak tau.
Diujung ayat
"sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya
itu akan ditanya (ujung ayat 36). Terang disini bahwa orang yang
hanya menuruti saja jejak langkah orang lain. Baik nenek moyangnya
karena kebiasaan, adat istiadat dan tradisi yang
diterima, atau keputusan dan ta'ashsub pada golongan membuat orang tidak lagi
mempergunakan pertimbangan sendiri padahal dia diberi allah akal penting
agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang
dikelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk
dan baik. Sedang pendengaran dan penglihatan adalah penghubung diantara diri
atau diantara hati sanubari kita dengan segala sesuatu untuk diperhatikan dan
dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya, atau buruk
dan baiknya.
Dalam
hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati
bagi menimbang sebab kadang-kadang dipercampur adukkan orang amalan yang
sunnah dengan bid'ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara yang
sunnah tertimbun dan yang bid'ah
muncul dan lebih mashur, maka wajiblah kita beragama dengan ilmu. Memang, orang
yang masih belum banak peralatan tentu akan manut saja kepada yang
lebih pandai. Tetapi sekedar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan
ditanyakan kepada yang lebih
pandai. [3]
Beberapa
kalimat dalam ayat ini menjadi landasan bagi terbangunnya
sebuah manhaj komprehensif untuk urusan hati/jiwa, dan akal/rasio. Manhaj ini
meliputi metodologi ilmiah yang ditemukan
oleh manusia akhir-akhir ini. Lebih dari sekadar metodologi ilmiah, manha ini
pun mempunyai nilai tambah berupa teori untuk meluruskan hati dan
muraqabatullah"pemantauan allah". yakni
suatu keistimewaan manhaj islam yang tak
dimiliki oleh sistem dan metodologi intelektual lainnya yang
kering nilai.
Sikap klarifikasi dalam menerima setiap berita, setiap
fenomena, dan setiap gerakan sebelum memutuskan tindakan lebih lanjut adalah
seruan Al-Qur'an dan sistem metologis islam yang
sangat akurat. Karena apabila hati dan akal/ rasio ini lurus di atas manhaj
islam, pastilah tak akan ada lagi ruang bagi tumbuhnya
utopia, ilusi,
dan khurafat dalam dunia akidah/ideologi. Tak ada lagi tempat bagi adanya
prasangka dan keragu-raguan dalam dunia hukum dan dunia pergaulan. Juga tak ada
lagi tempat bagi penilaian yang dangkal dan
hipotesis yang tak berdasarkan fakta dalam dunia penelitian dan
praktek-praktek ilmiah.
Amanat ilmiah yang sangat di
dambakan para pakar di dunia modern ini, hanyalah
sekelumit dari bagian amanat Intelektual/akal dan amanat spiritual/hati yang
sudah ditetapkan pertanggungjawabannya oleh
Al-Qur'an. Al-Qur'an menetapkan bahwa manusia bertanggung jawab atas
pendengaran, penglihatan, dan hatinya di hadapan
sang pemberi anugerah pendengaran, penglihatan, dan hati. Inilah
amanat atas seluruh anggota tubuh dan indra, akal, dan hati. Suatu amanat yang
akan dimintakan pertanggung jawabanya atas setiap
manusia, dan akan ditanyakan juga
kepada anggota tubuh, pancaindra, akal, dan hati itu seluruhnya.
Sebuah amanat besar dan mendasar, sehingga mampu menggetarkan hati nurani saat
lisan mengucapkan kata-kata, atau tatkala menyampaikan
sebuah riwayat. Juga setiap kali hendak memberikan penilaian atau pernyataan
atas orang lain/ kejadian dan masalah tertentu.
"janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya". Artinya
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang belum kamu
ketahui secara pasti, dan belum kamu klarifikasi kebenarannya,
baik itu berupa berita yang muncul
maupun riwayat tertentu berupa interpretasi terhadap sebuah fenomena/analisis
terhadap sebuah kejadian atau berupa hukum sar'i/ masalah keakinan/akidah.[4]
D.
Hadits/ayat
pendukung
1.
Qs. Al-Hujurat
ayat 12
yang
artinya : "wahai orang – orang yang
beriman ! jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu dosa."
2.
Qs. An-Najm
53:23
Artinya : itu tidak lain hanyalah nama-nama yang
kamu dan Bapak-bapak kamu mengada-ngadakannya,
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembahnya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka.
3.
Qs. An-Nur
24:24
Artinya : pada hari (ketika) lidah, tangan
dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan.
4.
Kendaraan
seseorang yang paling buruk ialah prasangka.
Begitulah, saling
mendukung antar berbagai ayat dan hadits untuk menandaskan manhaj ilmiah yang sempurna dan
integral ini. Sebuah metodologi yang tidak hanya mengharuskan akal semata supaya berhati-hati dalam menetapkan hukum dan melakukan klarifikasi dalam
meneliti. Tetapi, tugas ini juga dibebankan kepada hati/kalbu dalam setiap
intuisi, persepsi, perasaan, dan ketetapan-ketetapannya. Sehingga tidak
sampai terjadi lisan mengucapkan suatu kalimat, dan meriwayatkan suatu peristiwa
atau menukil sebuah riwayat dan juga akal (rasio) tidak akan menetapkan suatu
hukum atau memutuskan suatu perkara, sebelum ia melakukan klarifikasi terlebih
dahulu dan mempelajarinya dari semua sisi tentang kondisi yang melatarbelakangi
dan akibat yang akan timbul dari setiap permasalahan. Dengan begitu tak aka ada
keraguan atau ketidakjelasan akan kebenarannya. Sungguh maha benar Allah yang
telah berfirman. “sesungguhnya Al-Qur’an ini membawa petunjuk kepada jalan yang
lebih lurus.”[6]
E.
Aplikasi dalam kehidupan
Dari
penjelasan Qs. Al-isra' ayat 36, maka banyak
sekali pembelajaran yang bisa didapatkan. Bahwa dalam pendidikan, kita diharuskan untuk
menggunakan akal dan pikiran kita dan juga meminta petunjuk hanya
kepada allah sehingga kita tidak masuk dalam kesesatan melainkan kebenaran.
Jalan yang dipakai jangan hanya taqlid saja
tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan ketentuan allah dan Rasulnya
atau tidak. Dalam belajar kita harus memiliki etika untuk tidak mengikuti
apa-apa yang tidak kita lihat, dengar, maupun yang
tidak sesuai dengan suara hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau mengatakan
hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang
benar karena prasangka tidaklah dibenarkan
sehingga dikhawatirkan akan menyesatkan orang
lain, Haram berkata atau berbuat tanpa didasari oleh ilmu, karena dapat menyebabkan
kerusakan. oleh karena itu kita tidak
boleh mengikuti apa yang kita tidak
mengetahuinya karena allah akan menanyakan anggota
badan ini pada hari kiamat tentang apa yang
telah diucapkan oleh pemilikna atau yang dikerjakan
dari perkataan dan perbuatan yang
dilarang.
F. Aspek tarbawi
1.
Jangan berkata atau berbuat tanpa didasari
oleh ilmu.
2.
Selalu berlindung kepada allah
3.
Allah akan menanyakan anggota tubuh kita apa yang kita lakukan pada saat
didunia.
4.
Gunakanlah pendengaran, penglihatan, dan hati untuk melakukan hal yang
positif.
5.
Jauhilah prasangka karena prasangka itu merupakan pembicaraan yang paling
bohong.
6.
Janganlah bertaqlid pada nenek moyang dan hanya mengikuti hawa nafsu belaka.
BAB III
PENUTUP
Ayat mengenai jangan mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya/dasarnya, bahwasanya dalam kehidupan tidak boleh berprasangka karena
dalam ayat ini sudah dijelaskan larangan untuk berprasangka sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan ayat ini juga menjelaskan tentang
penglihatan, pendengaran dan hati nanti di akhirat akan dimintai
pertanggungjawabannya apa yang dikerjakan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar