OBJEK PENDIDIKAN TAK
LANGSUNG
“Ummat Terbaik”
QS. Ali
Imran : 110
Lia
Hikmatul Maula
NIM. (2117326)
Kelas E
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT telah
memerintahkan hamba- hambaNya yang beriman agar berpegang teguh pada tali
Allah, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada
mereka untuk merukunkan hati mereka pada ukhuwah islamiyah. Lalu Allah
memperingatkan mereka jangan sampai seperti orang-orang ahlul kitab yang selalu
menentang dan berbuat maksiat. Sekaligus Allah mengancam mereka bila berbuat
begitu saja dengan siksaan yang pedih. Setelah itu, Allah menuturkan hal-hal
tersebut tentang orang yang tampak putih wajahnya dan yang tampak hitam,
disertai penuturan tentang sesuatu mengenai akhirat.
Kemudian disini
Allah mengiringi hal-hal tersebut dengan penuturan tentang keutamaan
orang-orang yang melakukan ukhwah dalam agama dan berpegang teguh pada tali
Allah. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan mereka agar kamu taat dan
menurut, Sebab mengingat keadaan mereka yang diciptakan sebagai sebaik-baiknya umat sudah seharusnya
hal-hal yang meenguat panggilan mereka ini jangan terlepas dari diri mereka,
karena hal ini merupakan keisrimewaanmereka.Hal ini tidak akan dicapai
melainkan dengan jalan mengikuti perintah-perintah Allah dan meninggalkan
laranganNya. Didalam makalah ini akan di jelasakan mengenai umat terbaik yang
terkandung dalam Qs.Ali-Imran ayat 110.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian umat terbaik?
2.
Bagaimana tafsir surat Ali Imran ayat 110?
3.
Bagaimana aplikasi surat ali imran dalam kehidupan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui arti umat terbaik
2.
Untuk mengetahui tafsir surat ali imram ayat 110
3.
Untuk mengetahui aplikasi surat ali imran dalam kehidupan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Kata ummat
terambil dari kata amma-yaummu yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani.
Dari akar yang sama, lahir antara lain kata um yang berarti “ibu” dan imam yang
maknanya “pemimpin”; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan
harapan anggota masyarakat.
Dalam kata
“umat” terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat mengandung arti gerak
dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju
pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus gerak maju dengan gaya dan
cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya.
Ali syariati
mendefinisikan kata umat-dalam konteks sosiologis-sebagai “himpunan manusiawi
yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu-membahu, dan
bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama”.[1]
B.
Tafsir QS. Ali Imran Ayat 110
1. Tafsir Al Qurthubi
Pada firman
Allah, “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” terdapat
tiga permasalahan:
Pertama:
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Bahaz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya,
bahwasanya dia mendengar Rasulullah bersabda mengenai firman Allah, “kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Sabda beliau,
اَنْتُمْ تُتِمُّوْنَ سَبْعِيْنَ أمَّةً أَنْتُمْ خَيْرُهَاوَاكْرَمُهَاعِنْدَالله
“ kalian
menyempurnakan jumlah tujuh puluh umat. Kalian adalah umat yang terbaik dan
paling mulia di sisi Allah.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Abu
Hurairah berkata, “Kita adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk
manusia. Kita harus mengajak mereka pada ajaran Islam. Mujahid mengatakan bahwa
firman Allah, “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”
Sesuai dengan syarat-syarat yang disebutkan pada ayat tersebut. Ada yang
mengatakan bahwa maknanya adalah: Kalian sebelumnya telah tercatat di Lauh
Mahfuzh. Ada yang berpendapat bahwa maknanya: Kalian yang telah beriman adalah
sebaik-baik umat. Yang lain mengatakan bahwa ayat ini turun untuk menyampaikan
kabar gembira akan kedatangan Rasulullah dan umatnya. Jadi, maknanya adalah:
kalian adalah sebaik-baik umat daripada pendahulu kalian, yaitu para ahli
kitab. Al Akhfasy mengatakan bahwa maksudnya adalah sebaik-baik pemeluk agama.
Kedua:
Berdasarkan dengan nash yang telah diturunkan tersebut telah diyakini bahwa
umat ini adalah umat terbaik. Para imam meriwayatkan dari hadits Imran bin
Hashim, dari Rasulullah, bahwasanya beliau bersabda,
خَيْرُالنَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ
“sebaik-baik
manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian mereka yang hidup
setelahnya,kemudian mereka yang hidup setelahnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa
umat pertama dari umat ini adalah umat yang paling baik daripada umat
setelahnya. Seperti inilah pendapat sebagian para ulama. Mereka mengatakan
bahwa orang yang menjadi sahabat Rasulullah dan sempat melihat beliau meski
hanya sekali dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang yang lebih baik daripada
mereka yang hidup setelahnya. Sesungguhnya keutamaan persahabatan dengan Rasulullah tidak dapat
dibandingkan dengan amal perbuatan. Sabda Rasulullah yang berbunyi,
“sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku,” maksudnya bukan yang hidup
pada masa beliau secara umum (keseluruhan). Karena, dalam satu masa selalu
terdapat orang yang baik dan tidak baik.
Ketiga: Firman
Allah,
تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ
“Menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,” adalah pujian bagi umat
ini, selama mereka melaksanakannya dan memiliki sifat tersebut. Jika mereka
tidak melakukan perubahan yang positif dan berdiam diri terhadap kemungkaran
maka akan hilang pujian terhadap mereka. Sebaliknya, jika seperti itu mereka
lebih berhak memperoleh cacian. Sikap seperti itulah yang menyebabkan mereka
binasa. Penjelasan tentang amar ma’ruf nahi munkar telah dijelaskan pada awal
surah ini.
Firman Allah,
“sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,” adalah
pemberitahuan bahwa jika ahli kitab beriman kepada Nabi Muhammad SAW maka itu adalah kebaikan bagi mereka. Ayat ini juga memberitahukan bahwa di antara
mereka (kaum ahli kitab) ada yang beriman dan ada pula yang fasik. Namun, orang
fasik di antara mereka lebih banyak.[2]
2. Tafsir Al Azhar
Ayat ini
mengaskan sekali lagi hasil usaha itu yang nyata, yang kongkrit. Yaitu kamu
menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan antara manusia di dunia ini.
Dijelaskan sekali lagi, bahwa kamu mencapai derajat yang demikian tinggi,
sebaik-baik uamat, karena kamu memenuhi ketiga syarat: Amar Ma’ruf, Nahi
Munkar, dan Iman kepada Allah. Ketiga inilah yang menjadi sebab, kamu disebutkan
yang sebaik-baik umat. Kalau yang ketiga tidak ada, niscaya kamu bukanlah yang
sebaik-baik umat, bahkan myngkin menjadi seburuk-buruk umat. Karena itu apabila
kita membaca ayat ini, janganlah hanya memegang pengkalnya, lalu membangga
sebagaimana membangganya orang Yahudi mengatakan, bahwa mereka adalah “Kaum
Pilihan Tuhan”.
Ketiga dasar
yang membawa mutu kebaikan isi pada hakekatnya adalah satu. Pertama Amar
Ma’ruf, kedua Nahi Munkar, yang ketiga yakni beriman kepada Allah adalah
dasarnya yang sejati. Apabila telah
mengakui dan merasakan beriman kepada Allag, timbullah kebebasan Jiwa. Sebab
percaya kepada Allah tidak memberi tempat untuk mempersekutukan kepercayaan
kepada orang lain dengan kepercayaan kepada Allah. Orang yang beriman kepada
Allah, bebas merdekalah dia dari pengaruh yang lain, sebab yang lain makhluk
Tuhan belaka. Keimanan kepada Allah menghilangkan ketakutan dan duka cita
menimbulkan daya hidup. tegasnya juga menimbulkan dinamika hidup. maka dengan
sendirinya kemerdekaan jiwa karena tauhid itu menimbulkan pula kemerdekaan yang
kedua, yaitu kemerdekaan kemauan. Lalu berani menyatakan pikiran-pikiran yang
baik untuk kemaslahatan umat dan kemajuan, sebab hidup lebih maju adalah tabiat
kemanusiaan. Di sinilah terletak Amar Ma’ruf.
Kemerdekaan kemauan
menimbulkan kelanjutannya, yaitu kemerdekaan menyatakan pikiran, menentang hal
yang dianggap munkar.
Keberanian
menyatakan, bahwa ini adalah ma’ruf lebih sulit dari menyatakan bahwa itu
adalah munkar. Sebab besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang
kita dianjurkan supaya mengatakan yang sebenarnya. Tetapi apabila yang
sebenarnya kita katakan, orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat
melepaskan kebiasaannya. Iman kepada ayat ini dijadikan bahan yang terakhir
sebab dialah dasar iamn kepada Allah itu lemah, niscaya Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak akan berlangsung.
Kekurangan iman kepada Allah menyebabkan hilangnya keberanian untuk
beramarma’ruf nahi munkar. Dan kalau keberanian ini sudah tidak ada lagi, maka
tidak lagi terhitung sebaik-baik umat.
Menilik ayat
ini, tidaklah terhalang bagi ahlul kitab akan mencapai derajat sebaik-baik umat
dikeluarkan antar manusia, jika mereka menyuruh berbuat ma’ruf melarang
perbuatan munkar dan percaya kepada Allah. Walaupun mereka bukan Islam.
Sosiologi
Modern telah menemui kebenaran ayat ini. Menurut sosiologi modern, kebebasan
seseorang diikat oleh undang-undang (syari’at). Syari’at bersumber pada akhlaq
dan akhlaq bersumber pada kepercayaan kepada Allah.[3]
3.Tafsir Ibnu
Katsir
Allah ta'ala memberitahukan
ihwal umat ini bahwa mereka adalah umat terbaik. Allah berfirman, Kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia.” Al Bukhari meriwayatkan dari Abu
Hurairah sehubungan dengan ayat, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi
manusia,” Dia berkata, “Kamu adalah sebaik-baik manusia atas manusia lainnya.
Dahulu kamu datang kepada mereka, sedang lehermu masih dibelenggu, sebelum kamu
masuk Islam.” Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abbas dan sejumlah tabiin.
Adapun maksud ayat ini: mereka adalah umat yang paling baik dan paling berguna
bagi umat lainnya. Oleh karena itu, Allah berfirman, “kamu menyuruh kepada yang
Ma'ruf melarang dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” Imam Ahmad
meriwayatkan dari durah binti Abu Lahab, Dia berkata,” seseorang bangkit dan
menuju nabi Saw. Ketika beliau berada dalam mimbar, selalu bertanya, 'Ya
Rasulullah, Siapakah manusia yang paling baik?' beliau bersabda, 'manusia yang
paling baik ialah yang paling tenang, paling bertakwa, paling giat menyuruh
kepada Ma'ruf, paling gencar melarang kemungkaran, dan paling rajin
bersilaturahmi.” ayat di atas mencakup seluruh umat pada setiap abad.
Sebaik-baiknya ra manusia ialah ra manusia pada saat nabi Saw. diutus, kemudian
era generasi sesudahnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat lain,
“demikianlah, kami telah menjadikan kamu sebagai umat pilihan agar kamu menjadi
para saksi bagi umat manusia.”[4]
4. Tafsir Al-Maraghi
Kalian adalah
umat yang paling baik di alam wujud sekarang, karena kalian adalah orang-orang
yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalian adalah orang-orang yang beriman
secara benar, yang bekasnya nampak pada jiwa kalian, sehingga terhindarlah
kalian dari kejahatan, dan kalian mengarah pada kebaikan, padahal sebelumnya
kalian umat yang dilanda kejahatan dan kerusakan. Kalian tidak melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak beriman secara benar.
Gambaran atas
sifat ini memang cocok dengan keadaan orang-orang yang mendapatkan khitab ayat
ini pada masa permulaan. Mereka adalah Nabi saw dan para sahabat yang bersama
beliau sewaktu Al-Qur’an diturunkan. Pada masa sebelumnya, mereka adalah
orang-orang yang saling bermusuhan. Kemudian hati mereka dirukunkan. Mereka
berpegang pada tali (agama) Allah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Orang-orang yang lemah di antara mereka tidak takut terhadap orang-orang yang
kuat, dan yang kecilpun tidak takut pada yang besar. Sebab iman telah meresap
ke dalam Qalbu dan perasaan mereka, sehingga bisa ditundukkan untuk mencapai
tujuan Nabi saw. di segala keadaan dan kondisi.[5]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
1.
Menyuruh (mengajak) manusia kepada perkara-perkara yang ma’ruf
(kebaikan).
2.
Mencegah (melarang) manusia dan melakukan kemungkaran.
3.
Dalam usaha-usaha tersebut senantiasa menjaga dan memelihara diri
dengan mentaati segala perintah-perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
4.
Menjaga tali silaturrahim antar umat.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Selalu bertaqwa kepada Allah Swt
2.
Menjauhi dan meninggalkan perbuatan munkar
3.
Kemauan dalam berbuat baik dan menyampaikan kebaikan
4.
Memberikan nasihat dalam pendidikan baik tentang ma’ruf maupun yang
munkar
5.
Seorang guru harus tegas dalam pembelajaran dan berani mengatakan
yang sebenarnya
6.
Berani mengambil resiko dalam pendidikan amar ma’ruf nahi munkar
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan mengenai surat
Ali Imran ayat 110 diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia
mempunyai tanggung jawab dalam kehidupannya untuk saling menyerukan dalam
kebenaran dan saling mengingatkan atau memperingatkan dalam keburukan dan
dilandasi dengan keimanan kepada Allah karena pada hakikatnya manusia telah
diciptakan Allah dengan begitu sempurna dan kepada umat islam diberi keutamaan
dari pada umat yang lain jika seseorang itu mampu mengamalkan untuk saling
mengingatkan dalam kebaikan dan saling menegur jika ada keburukan.Namun, jika
umat islam tidak melaksanakan itu maka dia tidak termasuk dalam sebaik-baik
umat karena yang termasuk sebaik-baik umat adalah seseorang yang mampu
mengamalkan Amar Ma’ruf, Nahi Munkar dan beriman kepada Allah
B.
Saran
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami
menyadari dalam penulisaan makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun kami perlukan untuk menyempurnakan makalah
ini dan makalah yang akan kami buat selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi
pembacanya.
Daftar Pustaka
Al Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an.
Jakarta : Pustaka Azzam.
M QuraishShihab. 1996. Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas
Berbagai Persoalan Umat. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Hamka. 1983. TafsirAl-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa
syihabuddi. Jakarta : Gema Insani Press.
Al Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al Maragi Semarang :
PT Karya Toha Putra Semarang.
[1]M QuraishShihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Berbagai
Persoalan Umat (Bandung : PT Mizan Pustaka, 1996) hlm.429-433
[2]Al Qurthubi, Syaikh Imam, Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2008), hlm.421-429)
[3]Hamka, TafsirAl-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) hlm. 63-65
[4] Muhammad Nasib Ar Rifa'i, Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa syihabuddi,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1999) hlm. 564-665
[5]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al Maragi (Semarang : PT Karya Toha
Putra Semarang, 1993), hlm.48-49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar