Lembaga Pendidikan: Rumah Tangga
"Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang"
Disusun Oleh:
Abdul Malik (2021213045)
Abdul Malik (2021213045)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014/2015
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat atas karunia-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusun makalah yang berjudul “Lembaga Pendidikan: Rumah Tangga Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang
” dalam penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah Hadis Tarbawi 11n, Pendidikan
Agama Islam STAIN PEKALONGAN. Tidak ketinggalan pula sholawat serta salam kita
curahkan kepada junjungan Nabi agung kita Muhammad Rosulillah Saw, semokitasemua
mendapatkan syafa’at-Nya di yaumul kiamah. Amin
Dengan kemampuan
yang sangat terbatas, kami sudah berusaha dan mencoba mengeksplorasi,
menyintesiskan, dan mengorganisasikan dari beberapa buku mengenai teori
pembahasan materi ini. Namun demikian apabila dalam makalah ini dijumpai
kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan maupun isinya, maka kami dengan
senang hati menerima kritik konstruktif dari pembaca.
Akhirnya, semoga
makalah yang sedehana ini dapat bermanfaat adanya. Amin yaa robbal’alamin.
Selamat membaca!!!
Pekalongan, 13 Februari 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Membangun keluarga merupakan fitrah yang telah
digariskan oleh Yang Mahakuasa. Adam manusia pertama yang tidak mampu mengemban
misi sendiri sebagai khalifatullah. Beliau membutuhkan seorang pendamping
dari jenisnya. Sosok manusia yang bisa diajak bekerjasama, bertukar rasa, dan
memadu cinta. Allah pun menciptakan Hawa.
Hal ini merupakan fitrah manusia dan anugerah
terbesar dari Allah SWT yang patut disyukuri. Namun sayang ! meskipun Allah telah
menganugerahkan keberkahan dan kenikmatan yang begitu besar kepada mereka (
manusia), terkadang mereka tidak mau menghargai dan mensyukuri sebagaimana
mestinya, bahkan lebih dari itu, mereka dengan sifat egoisnya sering ingkar dan
banyak yang telah mengubah ikatan yang hangat dan penuh berkah Allah itu
menjadi penjara yang begitu gelap menghimpit bagaikan neraka yang senantiasa
menyala, yang tidak jarang berujung pada bubar dan hancurnya ikatan tali
pernikahan yang begitu mulia.
Memang perceraian itu dibolehkan oleh Allah,
namun demikian sekaligus merupakan perbuatan yang sangat ia benci. Abghadul
halali ilallah al- thalaq ( perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah
adalah perceraian).
Nah ! dalam rangka itulah kami coba hadirkan
pembahasan tentang konsep keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Landasan teori
Keluarga Sakinah
Salah satu tujuan syariat islam adalah
memelihara kelangsungan keturunan atau hifzh an- nasl melalui perkawinan
yang sah menurut agama dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.
Dengan perkawinan yang sah menurut agama, pasangan suami isteri tidak memiliki
beban kesalahan/ dosa untuk hidup bersama, bahkan memperoleh berkah dan pahala.
Keyakinan ini bermakna untuk membangun sebuah keluarga yang dilandasi nilai-
nilai moral agama.
Perkawinan yang juga sah menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku menjadikan pasangan suami isteri memperoleh
kepastian dan perlindungan hukum sebagai warga negara bila terjadi kasus- kasus
hukum di kemudian hari. Anak- anak memperoleh kejelasan status siapa ayah dan
ibu mereka di hadapan hukum.
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting
dalam proses pengasuhan anak. Meskipun bukan menjadi satu- satunya faktor,
keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian
dan kemampuan anak. Secara teoritis dapat dipastikan bahwa dalam keluarga yang
baik, anak memiliki dasar- dasar pertumbuhan dan perkembangan yang cukup kuat
untuk menjadi manusia dewasa.
Pada intinya lembaga keluarga terbentuk
melalui pertemuan suami isteri yang permanen- dalam masa yang cukup lama-
sehingga berlangsung proses reproduksi. Dalam bentuknya yang paling umum dan
sederhana, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dua komponen yang pertama,
ibu dan ayah, dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan
anak, khususnya pada usia dini. Baik ayah maupun ibu, keduanya adalah pengasuh
utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan
biologis maupun psikologis.
Dalam kehidupan keluarga, suami isteri umumnya
mengharapkan agar anaknya kelak menjadi generasi yang berkualitas, sehat
jasmani rohani, cerdas, bermoral, mangabdi kepada Allah dan Rasul-Nya serta
taat kepada orang tuanya. Rasulullah berpesan agar mencari calon isteri yang
dapat memberikan keturunan yang baik.
تزوجوا في الحجر الصالح فإن العرق دساس ( رواه
ابن العادي )
Kawinilah olehmu perempuan yang baik. Sebab ,
sesungguhnya keturunan itu kuat pengaruhnya. ( HR. Ibnu Addi )
Keluarga
yang baik menurut pandangan Islam biasa disebut dengan istilah keluarga sakinah.
Hal ini diperoleh dari Al Quran surat Ar-Ruum ayat 21 yang menyebut tujuan
perkawinan dalam aspek kerohanian, yaitu ketenangan hidup yang dapat
menumbuhkan ikatan rasa mawaddah dan rahmah ( cinta dan kasih
sayang) diantara para anggota keluarga. Dalam keluarga sakinah, antara suami
isteri terjalin hubungan saling menghormati, saling menanamkan rasa persatuan,
ibarat pakaian dengan badan pemakainya, saling percaya mempercayai, setia dan
jujur serta mu’asyaroh bil ma’ruf selalu ditegakkan dalam kehidupan
keluarga.
Ciri utama keluarga ini adalah adanya cinta
kasih Yang permanen antara suami isteri. Hal ini bertolak dari prinsip
perkawinan sebagai mitsaqan ghalizha ( QS. An-Nisa: 21), yaitu
perjanjian yang teguh untuk saling memenuhi kebutuhan satu sama lain. Ciri ini
dibangun atas dasar prinsip bahwa keluarga adalah amanat yang masing- masing
pihak terikat untuk menjalankannya sesuai dengan ajaran Allah SWT. Selain itu
keluarga sakinah pada dasarnya memperhatikan prinsip kesetaraan, saling
membantu dan melengkapi dalam pembagian tugas antara suami isteri dalam urusan
keluarga sesuai kesepakatan bersama.[1]
B. Teori pendukung
Keluarga surgawi
Suasana surgawi, suasana yang penuh kedamaian
dalam rumah tangga merupakan idaman mutlak setiap individu manusia dalam
mendayung bahtera kehidupannya didunia ini. Namun demikian untuk meraih idaman
yang sangat menyenangkan hati itu bukanlah perkara yang mudah dan gampang
segampang orang yang menguliti kacang rebus, tetapi memerlukan kiat dan aturan
main ( rule of games ) tertentu yang harus dijalankan secara sungguh-
sungguh dan ikhlas oleh individu- individu yang terlibat didalamnya. Tanpa kesungguhan dan keikhlasan dari
individu- individu itu maka bukanlah kebahagiaan yang akan dicapai, tetapi
sebaliknya malah penderitaan dan kesengsaraan yang akan menindih. Kaitannya
dengan aturan main yang harus dipedomani oleh segenap anggota keluarga diatas-
terutama suami isteri- maka tulisan ini akan mencoba menghadirkan konsep-
konsep islam yang telah disistimatisir sedemikian rupa dengan merujuk pada
Quran dan Sunah Rasul serta pendapat ulama sebagai warasatul ambiya.
Tidak bisa disangkal bahwa hasrat pemuda
pemudi kita ketika mencapai usia dewasa pasti berkeinginan kuat untuk menikah.
Pemuda dan pemudi sangat tertarik kepada pasangannya bagaikan magnet alam. Hal
ini disamping merupakan fitrah manusia juga merupakan anugerah terbesar dari
Allah SWT yang patut disyukuri, karena bagaimanapun pernikahan itu ibarat tali
Allah yang menambatkan dua hati yang mampu melahirkan ketentraman hidup dua
insan yang berlainan jenis dalam rumah tangga yang sakinah.
Komponen tegaknya suasana keluarga sakinah
Menurut Ibrahim Amini dalam bukunya Principles
of Marriage Family Ethics ( Bimbingan Islam untuk kehidupan suami isteri,
Al Bayan, 1991) bahwa kehancuran dalam sebuah keluarga itu terjadi akibat
ketidak pedulian suami istri atas tugas masing- masing, dan juga akibat
ketidaksiapan mereka memasuki pintu pernikahan. Untuk menghindari hal yang
tidak kita inginkan tersebut maka ada beberapa hal pokok yang harus ditunaikan
oleh suami istri:
Pertama, bagi seorang isteri tugas utamanya adalah merawat dan
mengurus suami, artinya disamping sumber ketenangan dan ketentraman bagi suami,
isteri juga harus menjadi pendorong utama ( agent of motivation) untuk
melakukan perbuatan- perbuatan yang baik ( ma’ruf) dan sekaligus
berupaya menghindarkan suami dari perbuatan yang sesat dan mungkar. Untuk
mencapai hal yang demikian, islam menganjurkan agar para isteri mampu melakukan
hal- hal sebagai berikut :
1. Menjaga kehormatan dan harta suami
2. Mengungkapkan rasa cinta yang tulus hanya pada
suaminya
3. Jangan mengeluh dan mengumbar penderitaan
secara sembarangan kepada orang lain, karena bisa mengakibatkan campur tangan yang
tidak bertanggung jawab
4. Hargailah suami bagaimanpun keadaannya, dan
jangan berpaling kepada orang selain suaminya
5. Berhematlah dalam pengeluaran uang kebutuhan
sehari - hari dengan menyesuaikan pada pendapatan yang dihasilkan oleh
suaminya.
6. Maafkanlah kesalahan- kesalahan yang diperbuat
suaminya sepanjang kesalahan yang diperbuat suaminya tidak menyangkut hal yang
prinsipil dalam ajaran Islam
7. Jangan terlarut dengan pembicaraan orang lain
yang bersifat menfitnah dan mengadu domba.
Kedua, disamping itu, bagi suami juga mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tidak ringan, yakni:
1. Merawat dan mencintai isteri dengan sepenuh
hati, maksudnya suami harus bertanggung jawab terhadap nafkah lahir batin yang
dibutuhkan oleh isterinya, sehingga isterinya bisa benar- benar merasa memiliki
secara utuh terhadap suaminya.
2. Jangan mencari- cari kesalahan isteri dengan
alasan yang tidak asasi dan rasional
3. Memberi tauladan yang baik pada isteri
4. Suami dilarang meninggalkan isteri terlalu
lama, apalagi kalau sudah mempunyai momongan ( anak).
5. Suami harus senantiasa menunjukkan rasa terima
kasih kepada isteri
6. Janganlah memancing isteri untuk cemburu pada
wanita.[2]
Disamping hal yang dikemukakan diatas ada
beberapa hal lagi yang harus diperhatikan oleh suami isteri untuk meraih suasana
sakinah dalam rumah tangga, yakni harus selalu waspada terhadap rasa cemburu
yang tidak beralasan; jika dalam keluarga terjadi ketegangan yang tidak
terhindarkan, cobalah dirahasiakan sambil dicari jalan keluarnya. Hal ini
sesuai dengan saran Rasulullah dalam sebuah sabdanya : Atasi dan selesaikan
persoalanmu serta rahasikanlah.
Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama
Satu hal yang paling sangat penting dalam
mencapai keluarga yang bersuasana surgawi, yakni orangtua harus mampu mendidik
dan mengarahkan putra- putrinya pada jalan yang benar- benar diridhoi oleh
Allah SWT. Bagaimanapun harmonisnya hubungan suami isteri, namun dalam mendidik
anak tidak tepat maka akhirnya keharmonisan itu akan terganggu dan bahkan akan
hancur karenanya.
Untuk itulah islam sebagai agama yang
memproklamirkan diri sebagai agama yang rahmatan lil alamin memberikan
dasar- dasar dan konsep kunci dalam mendidik anak agar anak nantinya bisa
berjalan selaras dengan apa yang menjadi dambaan orang tua.
Mahmud Al- Shabbagh menandaskan bahwa ada
beberapa hal penting yang harus dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya,
diantaranya:
Pertama, pendidikan anak dalam islam memiliki keunikan
tersendiri, dimana dalam islam pendidikan anak dimulai sejak anak sebelum
dilahirkan, tepatnya ketika mencari calon suami atau isteri. Mencari calon
suami atau isteri dalam islam harus didasarkan atas dasar taqwa dan keshalihan,
jelasnya nasab dan kehormatan. Pernikahan yang dilakukan atas dasar taqwa
inilah yang nantinya akan melahirkan anak- anak yang suci dari segala segi,
tercetak dari akhlak- akhlak islam yang mulia.
Kedua, pendidikan terhadap anak yang baru dilahirkan. Bagi
anak yang baru dilahirkan dari rahim ibunya harus disambut dengan gembira oleh
orang yang berada di sekelilingnya( keluarga). Sedangkan kewajiban orangtuanya
adalah:
1. Mengazani dan mengiqamati
2. Men- tahnik- kan ketika anak dilahirkan
3. Mencukur rambut bayi
4. Memberi nama yang baik
5. Mengaqiqahi anak
6. Mengkhitan anak
7. Menyusui[3]
C. Materi Hadits 1 : Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang
1- قَالَ أَبُو عَبْدِاللهِ الْجَدَلِي قُلْتُ
لِعَائِشَةَ كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فى أَهْلِهِ
قَالَتْ :{كَانَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا
وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا سَخَابًا بِالْأَسْوَاقِ وَلَا يُجْزِئُ
بِالسَّــيِّـــئَةِ مِثْلَهَا وَلَكِنْ عَفُوٌّو وَ يَصْفَحُ} (رواه أحمد فى
المسند, باقى مسند الأنصارى)
Kosa kata :
احسن : bagus- bagusnya ( paling)
فاحشا : kasar
يجزئ : membalas
با لسيئة : dengan keburukan
عفو : pemaaf
يصفح : mengungkit
Artinya :
“Abu
Abdullah Al-Jadali r.a. berkata, Suatu hari aku bertanya kepada Aisyah r.a
tentang akhlak Nabi Muhammad saw. Ia Menjawab. “Bagus-bagusnya manusia adalah nabi Muhammad saw Beliau Tidak pernah bersikap kasar dan
tidak pernah berteriak dipasar dan tidak pernah
membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi beliau selalu memaafkan dan
tidak mengungkitnya." (HR. Imam Ahmad).
Meneladani
akhlak Rasulullah SAW
Nabi
muhammad shallallahu alaihi wasallam merupakan produk Al- Qur’an.
Gemblengan Allah memalui wahyu telah membentuk pribadi Rasul. Al- Qur’an adalah
sumber segala perilaku beliau. Sosok paripurna yang mengemban dua misi
terintegrasi yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah.[4] Rasulullah
adalah teladan yang baik. Sisi kemanusiaan terungkap indah. Betapa dengan kasih
ia mengayomi jagat semesta. Kecintaannya tertuju kepada semua makhluk. Ia
tersohor mengasihi anak- anak. Ia penyayang binatang. Ia berpihak kepada yang
lemah. Ia mengasihi dan menghormati perempuan.
Rasulullah
membuktikan tindakan itu melalui perilakunya didalam keluarga maupun
masyarakat. Dalam mengayuh bahtera rumah tangga ia tak mendudukkan dirinya bak
penguasa, dan para anggota keluarganya sebagai hamba. Ia menjadikan semua sebagai
bagian yang sama penting dari satu tubuh. Di dalam mengayuh bahtera kehidupan
berumah tangga. Bahtera beliau tidak selamanya bertabur harmoni. Penghuni rumah
tangga Rasul, seperti lazimnya penghuni rumah tangga pada umumnya, tidak selalu
bersatu padu. Pemicu persoalan bisa beragam: kekecawaan, ketersinggungan,
perbedaan pendapat, kesalah pahaman dan masih banyak lagi sebab lainnya. Semua
itu dapat menyulut api ketegangan yang seringkali memuncak menjadi pertikaian.
Menghormati
isteri : menolak kekerasan
Rasulullah, sebagai lazimnya manusia biasa,
menjalani hidup berkeluarga. Padanya terdapat pula perasaan yang bersifat
manusiawi sebagaimana yang dimilki umat manusia. Sehat dan sakit, susah dan
senang, suka dan tidak suka, cemas, takut, khawatir, harapan, kecewa, cinta,
rindu.
قل إنما أنا بشر مثلكم
“ katakanlah ( hai
Muhammad). Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian. ( QS. Al-
Kahfi: 110).
Dalam menyelesaikan
seriap persoalan, Rasul mencontohkan cara penyelesaian yang manusiawi. Sebuah
praktek hidup yang dimaksudkan agar mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Cara
Rasul menyelesaikan perkara rumah tangganya merupakan acuan terbaik bagi kita
yang mengaku sebagai umatnya.
Namun
tidak semua pihak menyetujui perilaku dan kebijakan Rasul. Termasuk sikapnya
dalam menyelesaikan “ perseteruan” dengan ummahatul mukminin dikala itu.
Banyak lelaki di Madinah termangu- mangu, bingung dan heran. Sebagaian malah
kesal. Mereka tidak habis mengerti mengapa Rasulullah selalu memberi angin
kepada perempuan. Mengapa Rasul tak berlaku seperti kebiasaan lelaki lainnya
yang dengan yakin memberi pelajaran kepada isteri melalui hardikan dan pukulan.
Penuturan Umar ibn Khattab berikut ini memberikan gambaran tentang itu.
Umar
pernah berkata:” ya Rasul, maukah engkau mendengarkan aku? Kami kaum Quraisy
biasa menguasai isteri kami. Kemudian kami pindah kesebuah masyarakat( Madinah)
dimana laki- laki dikuasai isteri mereka. Kemudian kaum perempuan kami meniru
perilaku perempuan Anshar ini. Suati hari aku memarahi isteriku dan ia
membalasnya. Aku tidak menyukai perbuatan seperti itu. Dan ia berkata “ Apakah
engkau tak menyukai aku membalasmu? Demi Allah, para isteri Rasul membalas
beliau. Sebagian mereka mendiamkan beliau sepanjang hari sampai malam.’ Umar
lalu berkata :” Ia celaka dan merugi. Aapakah ia merasa aman dari dari
kemurkaan Allah karena kemarahan
Rasul-Nya sehingga ia mendapat hukuman?” Nabi tersenyum.
Demikianlah
salah satu ciri khas Rasul. Senyum selalu ia kembangkan. Perilaku seperti
itulah yang menimbulkan karisma yang begitu kuat. Senyum Rasul merupakan salah
satu senjata yang sangat ampuh. Bahkan ketika Umar mengutarakan ketakutan
terhadap bahaya yang dihadapi kaum lelaki yang disebabkan oleh potensi
pemberontakan kaum perempuan. Rasulullah hanya menanggapinya dengan senyum.
Tidak
sebagaimana lazimnya kaum lelaki pemberang dan suka memukul isteri, Rasul
adalah seorang lelaki berperangai lembut. Lelaki mulia yang berucap dengan
penuh kearifan,” Aku tak tahan melihat lelaki yang gampang memukul
isterinya.”
Mengelola pertikaian : belajar dari rumah
tangga Rasulullah
Suatu
hari, dikota Madinah, tampak banyak orang berkerumun di Masjid Nabawi. Tepatnya
diseputar ruangan kecil dimana Rasul tengah “ menarik diri” dari ummahatul
mukminin, ibu kaum beriman( panggilan kehormatan kepada isteri Rasul ).
Wajah Rasul terlihat muram. Ini sebuah pertanda bahwa hatinya tengah galau.
Kegalauan yang disebabkan oleh guncanagan yang melanda bahtera rumah tangganya.
Para ummahatul mukminin menuntut tambahan nafkah. Nafkah yang selama ini
diberikan Rasulullah dirasakan kurang mencukupi kebutuhan mereka.
Rasul
sungguh bersedih. Karena disatu sisi beliau menghargai hak para isterinya untuk
mengungkapkan keinginan, menyuarakan hasrat. Ini adalah buah dari suasana
demokratis yang memang sengaja ditumbuhkan didalam rumah tangganya. Dan ketika
para ummahatul mukminin mencuatkan tuntutan mereka secara blak-balakan,
Rasul dapat memahaminya dengan sepenuh hati. Namun disisi lain sungguh mustahil
baginya untuk memenuhi tuntutan itu. Ia bukanlah orang yang berlebih, apalagi
kaya raya. Ia memilih hidup sederhana lagi bersahaja. Ia tak sanggup memenuhi
tuntutan para ummahatul mukminin.
Sebagai
seorang suami yang bijaksana, Rasul membawa pergi kerisauannya keluar rumah.
Tujuannya : masjid. Dimasjid beliau mencoba merenungkan kejadian demi kejadian.
Di masjid beliau mencoba meneduhkan jiwa dengan tafakkur. Di masjid beliau
mencoba mengoreksi diri, malihat ke dalaman kalbu. Di masjid beliau memohon
petunjuk kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar terbaik dari persoalan
rumit ini.
Di dalam
masa perenungan itu, Rasul enggan betemu orang lain. Ia sengaja menyendiri.
Perilakunya mengemparkan kota Madinah. Banyak penduduk kota itu yang bertanya-
tanya : gerangan apa yang sedang terjadi ? tak berapa lama kemudian tersiar
berita bahwa Rasul telah menceraikan para ummahatul mukminin. Penduduk
Madinah, khususnya umat Islam, semakin tergunjang. Ternasuk Umar ibn Khattab,
mertua sekaligus sahabat Rasul.
Hari
berganti hari. Setelah hampir sebulan Rasul menyendiri guna mencari jalan
keluar terbaik bagi permasalahan keluarga yang dihadapi, turun firman Allah
yang termaktup dalam surat al- Ahzab: 28- 29.
يأيها النبي قل لأزواجك ان كنتن تردن الحيوة الدنيا و زينتها
فتعالين أمتعكن و أسرحكن سراحا جميلا () و إن كنتن تردن الله و رسوله, و الدار الأخرة
فإن الله أعد للمحسنت منكن أجرا عظيما
Hai Nabi, katakanlah kepada istei- isterimu:” jika kamu menginginkan
kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah akan kuberikan kepadamu mut’ah dan
aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika menghendaki Allah dan Rasul-
Nya serta negeri akherat, sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang
berbuat baik diantaramu pahala yang besar.”
Rangkaian ayat itu memberikan keluasan kepada ummahatul
mukminin untuk menjatuhkan pilihan. Apakah mereka ingin tetap bersama Nabi atau
memilih hidup mendampingi Nabi. Bersatu kembali untuk meneruskan amanah
perjuangan.
Itulah
sunnah Rasul. Dengan cara yang ma’ruf, kerumitan berumah tangga dapat diatasi.[5]
D. Refleksi hadis dalam kehidupan
Islam adalah agama fitrah, agama yang memberi
pedoman hidup kepada manusia sesuai dengan tuntunan fitrah hidupnya yang multi
dimensional. Manusia yang bernaluriah seksual dan berketurunan diberi pedoman
hidup berkeluarga secara beradab dan berkehormatan. Lembaga perkawinan tidak
hanya bernilai manusiawi, tetapi juga bernilai pengabdian kepada Tuhan. Akad
nikah sebagai awal kehidupan berkeluarga mutlak dilakukan. Dengan siapa
perkawinan dapat dilakukan, diatur sangat jelas, agar tujuan perkawinan dapat
tercapai.
Perkawinan untuk selamanya, tidak dibatasi
untuk waktu tertentu, sebagaimana tercermin dalam ajaran Al- Qur’an bahwa
antara suami isteri jika terjadi ketidak cocokan agar dihadapi dengan penuh
kesabaran ( QS. An- Nisa: 19). Jika ketidak cocokan terasa sangat tajam,
sehingga dikhawatirkan akan terjadi keretakan, supaya diupayakan agar suami
isteri berdamai kembali, dengan jalan mengangkat wasit ( hakam) dari keluarga
suami isteri ( QS. An- Nisa: 35). Jika usaha untuk mendamaikan suami isteri
tidak mungkin karena ketidak cocokan mengakibatkan siksaan hidup berkeluarga,
maka perceraian dapat dilakukan dengan , hingga tiga tahap. Tahap pertama dapat
dilakukan talaq raj’i. Jika dirasakan ada kemungkinan akan dapat hidup
baik bersuami isteri, mereka dapat kembali (ruju)’ hidup bersuami
isteri. Jika usaha untuk membangun kembali hidup bersuami isteri masih belum juga
berhasil, ketidak cocokan masih terasa tajam, dapat dilakukan perceraian yang
kedua kalinya, jika dirasakan ada gambaran akan dapat memperbaiki hidup
bersuami isteri lagi, mereka masih diberi kesempatan ruju’ yang kedua
kalinya, jika kemudian tidak mungkin tercapai keserasian hidup bersuami isteri,
maka dimungkinkan perceraian yang ketiga kalinya. Perceraian yang ketiga
kalinya ini tidak memberi kesempatan ruju’ antara suami isteri, kecuali
istri telah kawin dengan orang lain, yang kemudian terjadi perceraian dengan
suami yang lain itu (QS. Al- Baqarah: 229-230).
Islam mengatur pembagian tugas antara suami
dan istri, suami sebagi kepala keluarga yang berkewajiban mencukupkan nafkah
keluarga sesuai dengan kemampuannya dan istri sebagai penyelenggara rumah
tangga ( QS. An- Nisa: 34).[6]
Suami istri yang telah dianugerahi keturunan
hendaklah merasa menerima titipan/ amanah kepercayaan dari Allah yang wajib
dibimbing menuju hidup yang bermanfaat( shalih). Menjadi orang tua harus dapat
memberi contoh kehidupan terhormat kepada anak- anak.
E. Aspek tarbawi
1. Dalam berkehidupan senantiasa agama harus
selalu dilibatkan dalam perilaku kehidupan manusia dalam segala bidang
kehidupan, termasuk bidang perkawinan.
2. Kita harus senantiasa berupaya agar keluarga
kita tidak dijangkiti oleh penyakit modern yang bisa mengancam struktur
kehidupan kita yang islami.
3. Keluarga memilki peran yang sangat signifikan
dalam upaya membentuk kepribadian anak, mengembangkan potensi anak, sehingga
sangat diperlukan kenyamanan kehidupan anak di keluarga yang penuh kasih sayang
( sakinah).
4. Kita sebagai umat islam harus benar- benar kaffah,.
Kita telah dipercaya oleh Allah sebagai penguasa tunggal “ mengelola bumi
kehidupan”( khalifatulah fil ardh), untuk itu kita harus benar- benar
melaksanakan amanat itu dengan sebaik- baiknya.
BAB 111
PENUTUP
Hidup berumah tangga , bukan hanya sekedar
mengganti status dari jomblo menjadi memiliki pasangan. Dibalik perubahan
tersebut tersimpan tanggung jawab untuk bersama- sama membangun kehidupan yang
lebih baik.
Berumah tangga bukan hanya sekedar memiliki
pasangan yang cantik/ ganteng, kaya, memiliki jabatan tinggi, dan terkenal.
Lebih dari itu, setiap pasangan harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas
dan bekal yang cukup, terutama dalam hal agama. Sepasang suami isteri pada
akhirnya akan menjadi seorang ayah dan ibu yang memiliki tugas sebagai aktor
utama dalam pendidikan anak.
Ketika dalam berkeluarga , menghadapi
persoalan yang rumit kita harus bisa menghentikan berbagai bentuk kejahatan
dibalik jeruji rumah tangga itu. Kita harus mulai peduli dengannya. Sebagai
umat Muhammad. Sebagai penegak agama keadilan. Sungguh kita dititahkan untuk
itu. Semoga kita bisa mendayung menuju maghligai yang sakinah mawaddah
warahmah
DAFTAR PUSTAKA
Azhar , Ahmad dan fauzi rahman. 1999. Keluarga
sakinah, keluarga surgawi. Yogyakarta: Titian ilahi press.
Ciciek,
Farha.1999. Ikhtiar mengatasi
kekerasan dalam rumah tangga. Jakarta :
Lka .
Falah, Saiful.
2014. Parens Power. Jakarta : Republika.
Fuaduddin. 1999.
Pengasuhan anak dalam keluarga islam. Jakarta : Lka dan jender.
Tentang
Penulis
|
pendidi pendidikan
mulai dari RA. Masyithoh , TAHUN 2000 melanjutkan ia meneruskan
pendidikannya di MII di desanya Kalipucang selama selama 6 tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya di MTs
Ribatul
Muta’allimin landungsari Pekalongan dan tahun 2009 melanjutkan melanjutkan
pendidikannya di MAS SimbangKulon dan merangkap mukim mukim
di ma’had Nurul Huda. Tahun 2012 ia berstatus mutakhorij mutakhorij
mumtaz dari pendidikanya.
Pada
tahun 2013, ia mulai pendidikan formalnya di STAIN Pekalongan, di fak.tarbiyah
prodi PAI. Dengan langkah semangat dan energik yang ia miliki, ia bercita- cita
melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Dengan kata motivasi “
raih cita demi yang kau cinta”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar