Hadits
Tarbawi
" BERFIKIR DAN BERJUANG UNTUK RAKYAT "
Rika
Agustina
2021214439
KELAS : L
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM / JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Berfikir
Dan Berjuang Untuk Rakyat” ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam
semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan sahabatnya. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah hadis tarbawi II dan teman-teman
yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini berisi penjelasan mengenai berfikir dan berjuang untuk
rakyat, dipandang dari sisi pengertian, dan dihubungkan dengan ayat al-qur’an
dan hadis yang berkaitan dengan berfikir dan berjuang untuk rakyat, serta
dijelaskan bagaimana penerapan dalam kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai pendidikan
yang dapat di ambil dari hadis ini.
Penulis telah berupaya menyajikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya. Disamping itu, apabila dalam makalah ini didapat
kekurangan dan kesalahan baik dalam pengetikan maupun isinya maka penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran guna menyempurnakan penulisan
berikutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin ya
robbal ‘alamiin.
Pekalongan, Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Di
era modern seperti saat ini, banyak kasus-kasus sosial belum sepenuhnya terpecahkan.
Beragam masalah sosial kerap kali menjadi isu-isu penting yang menarik untuk
dibicarakan. Namun solusi yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan ini,
belum juga menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dari sekian permasalahan
yang ada ekonomi menjadi faktor yang dominan dalam hal ini. Kemiskinan seolah
menjadi hal biasa ditengah kewewahan dunia yang hanya dimiliki oleh beberapa
orang saja. Dibutuhkan seorang sosok pemimpin yang berfikir dan berjuang untuk
rakyatnya.
Seorang
pemimpin yang berfikir dan berjuang
untuk rakyatnya akan selalu memperhatikan keadaan rakyatnya. Tanggung jawab
yang dipercayakan kepadanya menuntut seorang pemimpin menjadi sosok yang sangat
dihormati oleh rakyatnya. Oleh karena itu, figur dan karakter seorang pemimpin
sangat mempengaruhi kesejahteraan rakyatnya.
Dibutuhkan
seorang pemimpin yang tidak hanya sekedar mempunyai visi-misi yang semu, tetapi
juga realisasi yang nyata dari kedua hal tersebut. Sehingga tanggung jawab kepemimpinan
yang dibebankan kepadanya, benar-benar tercapai.
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang
pemimpin, setiap manusia dapat menjadi seorang pemimpin. Karena manusia
diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini. Yang perlu diingat bahwa setiap orang
dapat menjadi seorang pemimpin, akan tetapi tidak semua orang memiliki jiwa
pemimpin. Manusia sebagai khalifah dibumi akan dimintai pertanggung jawaban
atas kepemimpinannya di muka bumi ini. Menjadi seorang pemimpinpun harus dapat
mempertanggung jawabkan atas apa yang telah dipimpinnya. Dalam makalah ini, akan membahas hadits tentang berfikir
dan berjuang untuk rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Berfikir adalah suatu kegiatan mental yang
melibatkan kerja otak untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan
keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan berjuang berarti usaha atau
suatu hal yang dilakukan manusia untuk mendapatkan atau mencapai sesuatu.[1]
Jadi yang dimasud berfikir dan berjuang untuk
rakyat adalah suatu kegiatan atau usaha-usaha yang
dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mencapai sesuatu yang bertujuan
memberikan yang terbaik untuk orang yang dipimpinnya, yaitu dengan cara
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya.
Pemimpin sendiri memiliki arti, seseorang yang
dapat mempengaruhi dan menggerakkan seseorang/sekelompok orang untuk
mengerahkan usaha bersama guna mencapai sasaran/tujuan yang telah ditentukan.[2]
Menjadi
seorang pemimpin harus dapat mempertanggung jawabkan atas apa yang telah
dipimpinnya dalam suatu hadis di jelaskan. Rasulullah bersabda yang artinya:
Sesungguhnya
Ubaidillah bin Ziad menjenguk Ma’qil bin
Yasar dalam sakitnya kemudian Ma’qil berkata kepadanya: “aku akan membacakan
hadits ku kepadamu, seandainya jika aku tidak akan meninggal maka aku akan
tidak membacakan hadits ini kepadamu. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
tidaklah seorang pemimpin yang memimpin perkara orang muslimin kemudian dia
tidak bersungguh-sungguh dan tidak berbuat baik kepada mereka kecuali dia tidak
akan masuk surga bersama mereka” (H.R.
Muslim.(
Hadis
di atas memberi pengertian bahwa seseorang yang di serahkan kepadanya urusan
rakyat, lalu dia tidak memelihara rakyatnya dengan sempurna dan tidak
memperhatikan urusan-urusan rakyat yang membawa mereka kepada kebaikan dan
kejayaan, tidak mendapat bau syurga.
B.
Ayat atau hadist pendukung
a.
Ayat al-Qur’an
Telah banyak contoh kisah pemimpin yang zalim kepada
masyarakat yang dipimpinnya dan Allah tidak mengingkari janjiNya untuk
membinasakan para pemimpin yang zalim. Allah telah menyiapkan adzab yang pedih bagi
pemimpin zalim yang menyengsarakan rakyatnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang
berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak.
Mereka itu mendapat ‘adzab yang pedih” (QS. Asy-Syuuraa : 42).
b.
Hadist pendukung
Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya manusia yang paling dicintai
Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi allah adalah
seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan
sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits lain ditegaskan bahwa para pemimpin zalim
yang menipu rakyat dengan janji-janji palsunya, diharamkan baginya surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian
ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim). Dalam lafadh yang lain disebutkan : ”Ia mati dimana ketika matinya itu ia dalam
keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga”
“setiap
pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal
mungkin untuk
mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka dia tidak akan bisa
masuk surga bersama kaum muslimin itu. (HR. Muslim)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan turunnya
kesusahan bagi para pemimpin zalim penindas rakyat.
. وَمَنْ شَقَّ
عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً
فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ.
“Ya Allah, siapa saja yang
mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah
ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” (HR.
Muslim).
C.
Teori pengembangan
Dalam hadis yang dijelaskan diatas إِلَّا لَمْ
يَدْخُل مَعَهُمْ الْجَنَّة ada
dua penafsiran mengenai hal ini. Pertama, Allah mengharamkan syurga bagi orang
yang menghalalkan perbuatan tersebut . kedua, ia tidak akan masuk syurga
bersama orang-orang mendapatkan kemenangan.[3]
Hadis ini merupakan peringatan
keras terhadap pemimpin yang mencurangi urusan kaum muslimin, padahal Allah
telah memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Jika
seorang pemimpin berkhianat (tidak bertanggung jawab) terhadap apa yang sudah
dipercayakan kepadanya, tidak memberi nasihat, tidak memberikan informasi yang
seharusnya mereka ketahui, tidak membela dan menghalangi mereka dari sesuatu
yang menyimpang, melalaikan hak mereka, tidak menegakkan hukum, tidak
memberikan rasa aman, tidak membantu mereka dari musuh-musuh islam, tidak
berbuat adil kepada mereka, maka pemimpin tersebut telah berbuat curang kepada
mereka, dan merupakan dosa besar yang dapat membinasakan serta menjauhkan dari
syurga.[4]
Pada prinsipnya setiap orang pasti
berada pada posisi sebagai pemegang daulat yang disebut Ra’in (penguasa atau pemimpin yang melindungi). Nabi Muhammad
menyatakan bahwa setiap orang adalah ra’in terhadap rakyat atau bawahan yang
harus dilindunginya. Seorang amir adalah ra’in yang mengayomi rakyat di
ingkungan keamirannya. Suami adalah ra’in yang mengayomi keluarganya. Pemberi
kerja adalah ra’in yang mengayomi pekerja yang merupakan rakyatnya.[5]
Tanggung jawab para pemimpin sangat besar.
Sangat besar bahayanya apabila melalaikan amar makruf nahi munkar, karena
mereka memiliki wewenang dan kekuasaan. Mereka memiliki kekuatan untuk
memberlakukan apa yang mereka perintahkan dan yang mereka larang, dan memaksa
manusia untuk melakukannya, sementara manusia masih menghargai perintah dan
larangan seorang pemimpin. Oleh karena itu Rasulullah bersabda, “orang-orang
yang bisa diatur oleh kekuasaan lebih banyak daripada yang bisa diatur dengan
al-qur’an.” (disebutkan oleh ibnu Al-Atsir dalam An-Nihayah). Sehingga seorang
pemimpin seyogianya tidak
menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk hal-hal yang tidak baik.
[6]
Dalam politik islam, jabatan
pemimpin dimaksudkan agar dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan
syari’atNya, serta membimbing kepada kemaslahatan dan kebaikan, mengurus
kepentingan dengan jujur dan adil serta memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan
terhormat.
Usaha yang dilakukan oleh seorang
pemimpin dalam berfikir dan berjuang untuk rakyatnya yaitu dengan cara
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai kepala negara dengan sebaik-baiknya.
Kaidah umum yang ditetapkan oleh syariat illahi maupun hukum duniawi adalah
bahwa setiap hak harus seimbang dengan kewajiban.
Adapun kewajiban-kewajiban kepala negara (pemimpin) adalah:
a. Menegakkan
agama, menjelaskan hukum dan pengajarannya kepada seluruh umat.
b. Mengatur
kepentingan negara sesuai dengan ketentuannya, sehingga membawa kebaikan bagi
individu maupun jama’ah, kedalam ataupun keluar.
Sedangkan
hak-hak kepala negara meliputi ditaati dalam hal yang baik, mendapatkan hak
financial yang mencukupi diri dan keluarganya secara tidak berlebihan.[7]
D.
Aplikasi hadis dalam kehidupan
1. Sebagai seorang pemimpin harus selalu
memperhatikan keadaan rakyatnya.
2. Sikap amanah harus ditanaman pada diri kita sebagai
khalifah di muka bumi ini.
3. Menjalankan
amanat dengan dilandasi
keikhlasan dan nilai-nilai keadilan agar tidak terjadi penyalahgunaan jabatan
dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.
4. Senantiasa berbuat baik dalam keseharian kita
karena semua perbuatan yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah SWT.
E.
Nilai tarbawi
Dari hadis yang telah dijelaskan di atas dapat
kita ambil pelajarannya, yang diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan
pengertian tentang kepemimpinan yang baik dan benar sehingga dapat menjadi
pemimpin masa depan yang dapat membawa kehidupan
kearah yang mulia dan terhormat.
b. Seorang pemimpin harus bisa memimpin rakyatnya dengan baik dan bijak karena
segala yang berhubungan dengan kepemimpinannya akan dimintai pertanggung
jawaban.
c. Menumbuhkan
sikap kepemimpinan dengan meneladani teladan Rasulullah Saw.
d. Menumbuhkan
sikap amanah pada diri individu sebagai khalifah di muka bumi ini sehingga
terciptanya kehidupan yang aman dan sejahtera.
e. Mengetahui
dan mengerti pentingnya berfikir dan berjuang
untuk rakyat sebagai seorang pemimpin sehingga mampu memberikan manfaat atau
kontribusi untuk kemajuan umat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai
seorang pemimpin yang di serahkan kepadanya urusan rakyat, ia harus senantiasa
berfikir dan berjuang untuk rakyatnya dengan menjalankan hak dan kewajiban-kewajibannya sebaik mungkin. Pemimpin
harus dapat mengatur umat dengan hukum Allah dan syari’atNya, serta membimbing
kepada kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingan dengan jujur dan adil
serta memimpinnya ke arah kehidupan mulia dan terhormat. Karena segala yang
berhubungan dengan kepemimpinannya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah
SWT.
TEKS MATERI HADIS
Hadist : 44 Berfikir Dan Berjuang Untuk Rakyat
أن عبيد الله
بن زياد عاد معقل بن يسار في مرضه فقال له معقل اني محدثك بحديث
لولا اني في الموتي لم احدثك به سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول :
{مَا مِنْ أَمِير يَلِي أَمْر الْمُسْلِمِينَ
ثُمَّ لَا يَجْهَد لَهُمْ وَيَنْصَح إِلَّا لَمْ يَدْ خُل مَعَهُمْ الْجَنَّة}
(رواه مسلم في الصحيح )
Sesungguhnya Ubaidillah bin Ziad
menjenguk Ma’qil bin Yasar dalam
sakitnya kemudian Ma’qil berkata kepadanya: “aku akan membacakan hadits ku
kepadamu, seandainya jika aku tidak akan meninggal maka aku akan tidak membacakan
hadits ini kepadamu. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: tidaklah seorang
pemimpin yang memimpin perkara orang muslimin kemudian dia tidak
bersungguh-sungguh dan tidak berbuat baik kepada mereka kecuali dia tidak akan
masuk surga bersama mereka”
(H.R. Muslim.(
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi.
2009. Al-Minhaj syarh shahih muslim ibn
al-hajjaj. jilid 2. (edisi
terjemahan oleh Agus Ma’mun) Jakarta: Darus sunnah press.
Al-Bugha, Musthafa dan Syaikh
Muhyiddin Mistu. 2002. Al-Wafi syarah hadits
arba’in Imam An-Nawaw. edisi
terjemahan oleh Imam Sulaiman. Jakarta: pustaka al-kausar.
Ash
shiddieqy,Hasbi. 2002. Mutiara hadis.
jilid 1. Jakarta: Bulan bintang.
Gunawan,
Ary H. 2000. sosiologi pendidikan. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Hasan, Chalidjah. 1994. Dimensi- Dimensi Psikologi Agama. Surabaya:
Al Ikhlas.
Ka’bah, rifyal. 2005. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta:
khairul bayan.
Muhibbin. 1996. Hadis-hadis politik. Yogyakarta: pustaka
pelajar offset.
PROFIL PENULIS
RIKA AGUSTINA lahir di pekalongan, tanggal 17 agustus 1996. Ia bertempat tinggal
di RT.04, RW.02 desa Srinahan, kecamatan kesesi, kabupaten pekalongan.
Pendidikan formal yang ia tempuh yaitu
SDN 01 Srinahan, kemudian melanjutkan di SMP Muhammadiyah Kesesi, dan
dilanjutkan di SMK Prima Kesesi, jurusan teknologi komunikasi dan jaringan, dan
sekarang sedang menempuh study S1 di STAIN (sekolah tinggi agama islam negeri) Pekalongan,
jurusan tarbiyah, dengan program studi
PAI.
[3]
Hasbi Ash shiddieqy, Mutiara
Hadis, jilid 1 (Jakarta: Bulan bintang , 2002), hlm. 330.
[4] An-Nawawi,
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn
Al-Hajjaj, jilid 2, edisi terjemahan oleh Agus Ma’mun. (Jakarta: Darus
sunnah press, 2009), hlm. 51.
[5] Rifyal ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, cet.I (Jakarta: khairul bayan,
2005), hlm. 51.
[6] Musthafa Al-Bugha dan Syaikh
Muhyiddin Mistu, Al-Wafi
Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi, edisi
terjemahan oleh Imam Sulaiman, (Jakarta: pustaka al-kausar, 2002), hlm. 333.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar