TAFSIR TARBAWI
ADAB MENCARI ILMU
“Kisah Nabi Musa dan Al-Khidr”
(Q.S Al-Kahfi : 65-70)
Muhamad Faishal D (2021114224)
Kelas
: G
JURUSAN
TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah,
tuhan semesta alam semoga rahmat dan kesejahteraan senantiasa di limpahkan oleh
Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para keluarga dan sahabatnya.
Dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT atas karunia dan
nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Adab
Masuk Rumah“ “Niat-Niat Baik Dapatkan Doa dan Ampunan “ ini yang
sekarang ada di hadapan para pembaca yang budiman.
Penulis telah berupaya
menyajikan laporan ini dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak komprehensif. Di
samping itu,apabila terdapat kesalahan dan kekurangan,baik dalam pengetikan
maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca guna penyempurnaan penulisan berikutnya.
Semoga makalah yang
sederhana ini menambah khasanah keilmuan dan dengan ini saya mempersembahkan
dengan penuh rasa terima kasih, semoga allah SWT memberkahi sehingga
dapat memberikan manfaat. Amin ya robbal ‘alamin.
Pekalongan, 31 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain adalah untuk menyembah
Kepada-Nya sekaligus sebagai khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu,
manusia diciptakan lebih sempurna daripada makhluk lainnya dengan dibekali
akal, pikiran, dan hati. Tugasnya sebagai khalifah adalah melestarikan dan
memanfaatkan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk kemakmuran umat
manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya
pendidikan. Pendidikan itu tidak akan terjadi apabila tidak ada
komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan pendidikan tersebut, di
antaranya adalah pendidik (subyek pendidikan), anak didik (obyek pendidikan),
materi pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Untuk itu dalam makalah
akan membahas labih lanjut tentang subyek dan obyek pendidikan yang diilhami
dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS. Al-Kahfi Ayat 65-70
Ayat dan Terjemahan
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا﴿٦٥﴾
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا
عُلِّمْتَ رُشْدً﴿٦٦﴾
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا﴿٦٧﴾
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا﴿٦٨﴾
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ
أَمْرًا﴿٦٩﴾
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ
لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا﴿٧٠﴾
Terjemahan:
65. lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami[886].
66. Musa berkata kepada
Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.”
68. dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu?"
69. Musa berkata:
"Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata:
"Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
B.
Penjelasan Ayat
Ayat 65. Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah nabi Musa Yusa’
menelusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi, sampailah keduanya pada batu
itu yang pernah mereka jadikan tempat beristirahat. Di sana mereka mendapatkan
seorang hamba diantara hamba-hamba Allah ialah Al-Khidhir yang berselimut
dengan kain putih bersih. Menurut Sa’id bin Jubair, kain putih itu menutupi
leher sampai dengan kakinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan bahwa al Khidhir
itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu tidak
diberikan kepada nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugrahkan suatu
ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada al Khidhir.
Ayat 66. Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap nabi Musa sebagai
calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk
pertanyaan itu berarti nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati.
Beliau menempatkan dirinya sebagai seorang yang bodoh dan mohon diperkenankan
mengikutinya, supaya al Khidhir sudi mengajarkan sebagai ilmu yang telah Allah
berikan kepadanya. Sikap yang demikian menurut al Qadi, memang seharusnya
dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan pada muridnya.
Ayat 67. Dalam ayat ini al Khidhir menjawab pertanyaan nabi Musa sebagai berikut:
“hai Musa, kamu tak akan dapat sabar dalam menyertaiku. Karena saya memiliki
ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya,
dan kamu memiliki ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu yang aku tidak
mengetahuinya.[1]
Ayat 68. Dalam ayat ini al Khidhir menegaskan kepada nabi Musa tentang sebab nabi
Musa tidak akan dapat bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di
sana nabi Musa akan melihat kenyataan al Khidhir yang secara lahiriah
bertentangan dengan syarat dengan nabi Musa as. Oleh karena al Khidhir berkta
kepada nabi Musa : “bagaimana kamu dapat bersabar terhadap perbuatan-perbutan
yang lahirnya menyalahi syariatmu, padahal kamu seorang nabi. Atau mungkin juga
kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriah bersifat munkar,
secara bathiniyyah kamu tidak mengetahui maksudnya atau kemaslahatannya.
Sebenarnya memang demikian sifat orang yang tidak bersabar terhadap perbuatan
munkar yang dilihatnya. Bahkan segera mengingkarinya.
Ayat 69. Dalam ayat ini nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan
menyalahi apa yang dikerjakan oleh nabi Khidhir, dan berjanji pula akan
melaksanakan perintak nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan
perintah Allah. Janji yang beliau ucapkan dalam ayat ini didasarkan dengan
kata-kata “Insya Allah” karena beliau sadar bahwa sabar itu perkara yang santa
besar dan berat, apalagi etika menyampaikan kemungkaran, seakan-akan panas hati
beliau tak tertahan lagi.
Ayat 70. Dalam ayat ini al Khidir dapat menerima Musa as dengan pesan “ jika kamu
(nabi Musa) berjalan bersamaku (nabi Khidir) maka janganlah kamu bertanya
tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan kepadamu duduk persoalanya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya. [2]
Tafsir Ibnu
Katsir
Allah menceritakan tentang ucapan
Musa kepada orang ‘alim, yakni Khidhir yang secara khusus diberi ilmu oleh
Allah Ta’ala yang tidak diberikan kepada Musa, sebagaimana dia juga telah
menganugrahkan ilmu kepada Musa yang tidak dia berikan kepada Khidhir. قال له موسى هل أتّبعك “Musa berkata kepada Khidhir:
Bolehkah aku mengikutimu.” Yang demikian itu merupakan pertanyaan penuh
kelembutan, bukan dalam bentuk keharusan dan pemaksaan. Demikian itulah
seharusnya pertanyaan seorang pelajar kepada orang berilmu. Dan ucapan Musa (أتّبعك) “Bolehkah aku mengikutimu?” yakni
menemanimu. (على أن
تعلّمن ممّاعلّمت رشدا ) “supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Maksudnya, sedikit ilmu
yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepadamu agaraku dapat menjadikannya sebagai
petunjuk dalam menangani urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
Pada sat itu, Khidhir (قال) “Berkata” kepada Musa: (إنّك لن تستطيع معي صبرا) “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku.” Maksudnya, sesungguhnya engkau tidak akan sanggup
menemaniku, sebab engkau akan menyaksikan berbagai tindakanku yang bertentangan
dengan syari’atmu, karena aku bertindak berdasar ilmu yang diajarkan Allah
kepadaku dan tidak dia ajarkan kepadamu. Engkau juga mempunyai ilmu diajarkan
Allah kepadamu tetapi tidak dia ajarkan kepadaku. Dengan demikian,
masing-masing kita dibebani berbagai urusan dari-Nya yang saling berbeda, dan
engkau tidak akan sanggup menemaniku. (وكيف تصبرعلى مالم تحط به خبرا) “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Aku
mengetahui bahwa kamu akan menolak apa yang kamu tidak mengetahui alasannya.
Tetapi aku telah mengetahui hikmah dan kemaslahatan yang tersimpan didalamnya,
sedang kamu tidak mengetahuinya. Musa berkata: (ســتجدني إن شاءالله صابراً) “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai seorang
yang sabar,” yakni atas apa yang aku saksikan dari beberapa
tindakanmu. (ولا أعصي لك أمرا) “Dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan
apanpun.” Maksudnya, dan aku tidak menentangmu mengenai sesuatu. Pada saat itu,
Khidhir memberikan syarat kepada Musa: (فإن آتّبـعـتني فلاتسئلني عن شيئ) “Ia berkata: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah
kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun.” Yakni,
dalam taraf pertamanya. (حـتّى أحدث لك منه ذ كــرا) “Sampai aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.” Yakni,
sehingga aku yang mulai memberikan penjelasan kepadamu sebelum kamu bertanya
kepadaku.[3]
C.
Aspek Tarbawi
1).
Seseorang
tidak boleh bersikap sombong atas ilmu yang telah didapatkannya, akan tetapi
harus rendah hati dan mengembalikan ilmunya itu kepada Allah Swt.
2)
Orang yang
bertekad mencari ilmu harus menetapkan kriteria orang yang akan diguruinya
serta tempat yang menjadi tujuannya, sehingga ia tidak akan salah arah.
3)
Seorang guru
dianjurkan untuk terus menerus mencari ilmu dan jangan merasa malu untuk
mengubah posisi menjadi murid.
4) Seharusnya seorang murid
menyadari bahwa untuk mengetahui rahasia dari sesuatu memerlukan waktu cukup
panjang, sehingga tidak selayaknya ia ingin segera tahu dengan mengobral
pertanyaan.
5)
Anak didik
hendaknya mempunyai niat yang suci dalam hatinya sehingga mudah mencerna dan
memahami pelajaran.
6)
Seorang anak
didik haruslah memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali dan memahami suatu
ilmu.
7) Patuh dan
hormat terhadap guru
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari kisah di atas
tentang Nabi Musa dan Al-Khidr yang menceritakan tentang interaksi guru dengan
murid. Penghoramatan
seorang peserta didik terhadap seorang pendidiknya telah dicontohkan oleh Nabi
Musa as terhadap al- Khidir. Di antara bentuk-bentuk penghormatan Nabi Musa as
terhadap al- Khidir adalah berbicara dengan lemah lembut, tidak banyak bicara,
dan menganggap al-Khidir lebih tahu daripada dirinya
Daftar Pustaka
Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta:Lentera Hati), hlm. 94-100
Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. 2000. Tafsir Ibnu Katsir(Terjemah),
Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo
Biografi Penulis
Nama : Muhammad Faishal
Darmawan
Nim : 202114224
Ttl : Batang, 19
Januari 1996
Alamat : Perum.
Wirosari 2, rt05 rw 08, Sambong, Batang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar