Subyek Pendidikan “Majazi”
“Khidir guru Nabi Musa”
Qur’an surat Al-Kahfi ayat 66
Rizki Rakhmawati
Kelas D
Fakultas Tarbiyah Prodi PAI
IAIN Pekalongan
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Surah Al-Kahfi artinya gua, disebut juga surah Ashab Al-Kahfi yaitu
surah ke-18 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 110 ayat dan termasuk
kedalam surah Makiyah. Dinamai Al-Kahfi dan Ashabul Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni
Gua. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surah ini pada ayat
9 sampai dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua
bertahun-tahun lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah
cerita dalam surah ini, yang kesemuanya mengandung pelajaran-pelajaran yang
sangat berguna bagi kehidupan umat manusia.
Menyinggung
tema makalah ini yaitu Subyek Pendidikan “Majazi”. Dimana pengertian dari
subjek pendidikan merupakan orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam
memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan
dapat dipahami oleh objek pendidikan. Sedangkan Majaz ialah penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya
yang lazim. Kebalikan dari majaz adalah haqiqah. Dan berbicara mengenai judul
makalah ini “Khidir guru Nabi Musa” yakni yang menjadi atau yang disebut
sebagai subjek pendidikan secara majazi ialah yang mana khidir dijuluki sebagai
guru nabi Musa sebagaimana Menurut
Quraish Shihab, dalam Qur’an surat al-Kahfi ayat 66 menjelaskan tentang ucapan
nabi Musa terhadap nabi Khidhir yang sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk
diajar tetapi permintaanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku
mengikutimu?”. Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu
sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan
pelajar. Beliau juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya
secara pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk baginya.
B. Judul
Subyek Pendidikan “Majazi” : Khidir guru Nabi Musa.
C. Nash
قَا لَ لَه مُوْ سى هَلْ اَ تَّبِعُكَ عَلى اَنْ
تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
D. Artinya
“Musa berkata kepadanya, “Bolehkah
aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah
diajarkan kepadamu (untuk menjadi petunjuk?”
E.
Arti Pentingnya untuk Dikaji
Qur’an surat Al-Kahfi
ayat 66 ini sangat menarik untuk
dikaji karena didalamnya menjelaskan
bahwa subjek pendidikan bisa siapa saja yang berkompeten di dalam
bidangnya tanpa terkecuali dan tanpa pandang bulu seperti pada ayat ini, ketika
nabi Musa berguru kepada Khidir walaupun Khidir merupakan salah satu nabi
sedangkan Musa merupakan nabi dan rasul tetapi Allah menyuruhnya untuk berguru
atau menuntut ilmu kepada Khaidir dikarenakan Khaidir merupakan orang yang
berkompeten dalam rangka mengajarkan Musa. Jadi sebagai seorang pendidik atau
sebagai subjek pendidikan hendaklah menguasai seluk beluk bidang yang
digelutinya dalam hal yang akan diajarkannya kepada peserta didik.
BAB II
ISI
A. Teori
1. Pengertian Pendidik
Dari segi
bahasa, pendidik adalah orang yang mendidik. Dari pengertian ini timbul kesan
bahwa pendidik ialah orang yang melakukan kegiatan dalam hal mendidik.[1]
Pendidik adalah orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu
melaksanakan tugasnya sebagai makhuk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai
makhluk sosial dan sebagai individu yang
sanggup berdiri sendiri.[2]
Dalam konteks pendidikan Islam,
pendidik sering disebut dengan murabbi, mua’llim, muaddib.[3]
Namun istilah lain yang lazim dipergunakan untuk pendidik ialah guru.[4]
2. Tugas Pendidik
a.
Membimbing
si terdidik
Mencari pengenalan terhadapnya mengenai kebutuhan,
kesanggupan, bakat, minat dan lain sebagainya.
b.
Menciptakan
situasi untuk pendidikan
Yang
dimaksud dengan situasi pendidikan yaitu suatu keadaan di mana
tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan dengan hasil
yang memuaskan.
Tugas lain,
ialah harus pula memiliki pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan,
pengetahuan-pengetahuan keagamaan dan lain-lainnya.
3. Keutamaan Menjadi Pendidik
Imam
Al-Ghazali seorang ahli didik Islam juga memandang bahwa pendidik mempunyai
kedudukan utama dan sangat penting. Beliau mengemukakan keutamaan dan
kepentingan pendidik tersebut dengan mensitir beberapa hadis dan asar.
Nabi SAW
bersabda: “Barang siapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada
manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang siddiq (orang yang selalu
benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar Siddiq).” Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya pemberian dan
hadiah ialah kata-kata berhikmat. Engkau dengar lalu engkau engkau simpan
baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim, engkau ajari dia.
Perbuatan yang demikian mempunyai ibadat setahun.” Nabi Muhammad SAW bersabda
pula: “Bahwasannya Allah SWT, Malaikat-malaikatnya, isi langit dan bumi sampai
kepada semut yang di dalam lubang dan ikan di dalam laut, semuanya berdoa
kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia.”
Sedemikian
tinggi penghargaan Al-Ghazali terhadap pekerjaan guru, sehingga diumpamakannya
bagaikan matahari ataupun minyak wangi. Matahari adalah sumber cahaya yang
dapat menerangi bahkan memberikan kehidupan. Sebab dengan ilmu yang
diperoleh dari guru, teranglah baginya yang benar dan akhirat. Adapun mengenai
minyak wangi adalah benda yang disukai setiap orang. Karena ilmu itu penting
bagi kehidupan manusia dunia dan akhirat sehingga setiap orang pasti
menuntutnya dan mencintainya.
Di samping
dalil-dalil nash seperti tersebut di atas Imam Al-Ghazali juga mengemukakan
pentingnya pekerjaan mengajar itu dengan mempergunakan dalil akal. Guru mengolah bagian yang mulia dari antara
anggota-anggota manusia, yaitu akal dan jiwa dalam rangka menyempurnakan,
memurnikan dan membawanya mendekati Allah semata.”[5]
4. Sifat-sifat yang Harus Dimiliki oleh Seorang Pendidik
Menurut Prof.
Dr. Moh. Athiyah Al Abrasy seorang pendidik Islam itu harus memiliki
sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Adapun
sifat-sifat itu ialah:
a.
Memiliki
sifat zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridhaan
Allah semata.
b.
Seorang guru
harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa besar, sifat ria (mencari nama), dengki,
permusuhan, perselisihan dan lain-lain sifat yang tercela.
c.
Ikhlas dalam
kepercayaan, keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam pekerjaannya merupakan
jalan terbaik ke arah suksesnya di dalam tugas dan sukses murid-muridnya.
d.
Seorang guru
harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan kemarahan, lapang
hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berpribadi
dan mempunyai harga diri.
e.
Seorang guru
harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya tehadap anak-anaknya sendiri,
dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya
sendiri.
f.
Seorang guru
harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat, kebiasaan, rasa dan pemikiran
murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik murid-muridnya.
g.
Seorang guru
harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam
pengetahuannya, tentang itu sehingga mata pelajaran itu tidak akan bersifat
dangkal.[6]
B.
Tafsir Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 66
1.
Tafsir Al-Maraghi
Al-Khadir (dengan
harakat fathah dan kasrah pada huruf kha’, sedang dad memakai kasrah
atau sukun). (Jadi bisa dibaca Al-Khadir atau Al-Khadr atau Al-Khidir atau
Al-Khidur) adalah julukan guru Nabi Musa yang bernama Balya bin Malkan.
Kebanyakan ulama perpendapat bahwa Balya adalah seorang nabi. Dan untuk itu,
mereka mempunyai beberapa dalil. Yaitu:
a.
Firman Allah
Ta’ala:
QS. Al-Kahfi, 18:65, yang
artinya:
“Yang telah
Kami berikan kapadanya rahmat dari sisi Kami.”
Rahmat di sini, yang dimaksud ialah
kenabian, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
QS. Az-Zukhruf, 43:32, yang artinya:
“Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat (Nubuwwah) Tuhanmu.”
b.
Firman Allah
Ta’ala:
QS. Al-Kahfi, 18:65.
“Dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Dengan pertanyaan ini, berarti Allah
telah mengajarkan kepada Al-Khidir tanpa perantara seorang guru dan tanpa
bimbingan dari seorang pembimbing. Padahal, siapa pun yang seperti itu halnya,
maka dialah seorang nabi.
c.
Bahwa Musa
berkata kepadanya:
QS. Al-Kahfi, 18:66, yang artinya:
“Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu.”
Sedangkan
seorang nabi takkan belajar kecuali dari seorang nabi pula.[7]
2. Tafsir Al-Azhar
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan
(tazkiyah) dari pada pengaruh hawa-nafsu
dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni laksana kaca, maka timbullah nur
dalam dirinya dan menerima dia akan nur dari luar; itulah yang disebut Nurun
‘ala nurin! Maka bertambah dekatlah
jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabin. Kalau telah
sampai pada maqam yang demikian, mudahlah dia menerima langsung ilmu
dari Ilahy. Baik berupa wahyu serupa yang diterima Nabi dan Rasul, atau berupa ilham
yang tertinggi martabatnya, yang diterima oleh orang yang shalih.
Dan orang yang telah mencapai
martabat yang demikian itu dapat segera dikenal oleh orang yang telah sama
berpengalaman dengan dia, walaupun baru sekali bertemu. Sebab sinar dari Nur
sama sumber asal tempat datangnya.
Oleh sebab itu baru saja
melihat orang itu yang pertama kali, Musa telah tahu bahwa itulah orang yang disuruh Tuhan dia mencarinya. Tidaklah
kita heran jika langsung sekali Musa menegornya dengan penuh hormat: ,,Berkata
Musa kepadanya: ,,Bolehkah aku mengikuti engkau?” Dengan (syarat) engkau
ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan kepada engkau, sampai aku
mengerti?”
Suatu
pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga menunjukkan bahwa Musa setelah
menyediakan diri menjadi murid dan mengakui dihadapan guru bahwa banyak hal
yang dia belum mengerti. Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan
kepadanya, sampai dia mengerti sebagai seorang murid yang setia.[8]
2.
Tafsir Al-Mishbah
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata
kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah
aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan
kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah
kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?”
Kata ( أتّبعك) attabi’uka asalnya
adalah ( أتبعك) atba’uka dari
kata (تبع)
tabi’a, yakni mengukuti. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata attabi’uka
mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau
tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk
petanyaan, “Bolehkah aku mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai
pengajaran yang diharapkan itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri
beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga menggaris bawahi kegunaan
pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk
baginya. Di sisi lain, beliau
mengisyaratkan keluasan ilmu hampa yang saleh itu sehingga Nabi Musa as. hanya
mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan
kepadanya. Dalam konteks itu, Nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang
engkau ketahui wahai hamba Allah", karena beliau sepenuhnya sadar
bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni dari Allah Yang Maha
Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam ucapannya itu tidak menyebut nama Allah
sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah merupakan aksioma bagi
manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang saleh itu juga
penuh dengan tata krama.[9]
B.
Aplikasi dalam
Kehidupan Sehari-hari
seorang pendidik harus menyadari betul keagungan profesinya. Ia harus
menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhi semua akhlak yang
tercela. Ia tidak boleh kikir dalam menyampaikan pengetahuannya dan menganggap
remeh semua masalah yang merintangi, sehingga mampu mencapai target dan misinya
dalam melakukan sistem pendidikan. Sikap seperti ini akan mampu mendorong
seorang pendidik untuk melakukan hal-hal besar dalam menjalani profesinya demi
mendapatkan hasil yang maksimal baik anak didiknya.
C.
Aspek
Tarbawi
·
Pendidik berperan utama dalam pembentukan akhlak peserta didik.
·
Pendidik harus
mengetahui minat dan bakat yang dimiliki Peserta Didik.
·
Dalam mencari
ilmu kita harus menyediakan bekal, agar kita bisa bersungguh-sungguh dalam
mencari ilmu tersebut.
·
Kita harus bersabar dan berjuang dalam menuntut ilmu sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Musa as.
·
Sebagai
murid harus memiliki sikap sopan santun terhadap guru dan berendah diri
kepadanya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas, dapat kita
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pendidik adalah orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan
tugasnya sebagai makhuk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk
sosial dan sebagai individu yang sanggup
berdiri sendiri. Guru mengolah bagian yang mulia dari antara anggota-anggota
manusia, yaitu akal dan jiwa dalam rangka menyempurnakan, memurnikan dan
membawanya mendekati Allah semata.
Adapun dalam
melaksanakan tugasnya seorang guru hendaknya menguasai mata pelajaran terlebih
dahulu yang nantinya akan diajarkan kepada peserta didik tersebut, dalam menyampaikan materi diusahakan dilengkapi dengan praktik, kemudian
diambilah hikmah atau nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Mampu menghiasi wajahnya dengan senyum setiap saat. Menggunakan kata-kata yang baik dan bijak. Memiliki sifat zuhud, pemaaf, ikhlas, dan mampu memahami karakteristik dan
mengenal nama dari masing-masing peserta didik, di luarnya mampu berpenampilan
sopan serta di dalamnya bersih dari yang namanya penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1982. Tafsir
Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
Mahmud. 2011. Pemikiran pendidikan islam. Bandung: CV Pustaka.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT.
Karya Toha Putra.
Salim, Moh. Haitami dan
Syamsul Kuriawan. 2012. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Shihab, M. Quraish . 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati.
Uhbiyati, Nur.
1998. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Set
PROFIL
PRIBADI
Nama
Rizki Rakhmawati, lahir di Tegal, pada tanggal 26 Juni 1996. Anak pertama dari
3 bersaudara. Alamat
Desa Kertayasa Rt.05/Rw.02 , Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal.
Mengenyam
Pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Kertayasa 02 Th.2003-2009, Sekolah Menengah Pertama Negeri
02 Kramat Th.2009-2012, Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Kramat Jurusan IPA
(Ilmu Pengetahuan Alam) Th.2012-2015 , S1 IAIN Pekalongan Fakultas Tarbiyah Prodi PAI (Pendidikan Agama
Islam) Th.2015- sekarang.
[1] Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan
Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 135.
[2]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1998), hlm. 65.
[3] Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka, 2011), hlm. 131.
[4] Nur Uhbiyati, Loc.
Cit., hlm. 65.
[5]Ibid., hlm. 66-69.
[6] Ibid., hlm. 77.
[7] Ahmad
Mushthafa AL-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1993), hlm.343-344.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982),
hlm. 229-230.
[9] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 97-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar