OBYEK PENDIDIKAN INDIRECT
"KAUM MUSLIMIN UMAT TERBAIK"
Imaduddin Fatchullah
NIM. (2117345)
Kelas L
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan segala nikmat dan
karunianya, sehingga makalah ini bisa sampai ketangan anda sekalian. Shalawat
dan salam teruntuk baginda Nabi Muhammad saw, yang senantiasa
kita nantikan sya’fatnya di yaumul akhir nanti.
Makalah ini dibuat sebagai guna memenuhi tugas Tafsir Tarbawi. Berharap
dibuatnya makalah ini akan dapat memberi wawasan dan pengetahuan baru, bagi
para pembaca khususnya para mahasiswa. Selaku pembuat makalah ini sadar ,
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Karena penulis adalah manusia biasa, maka dari itu perlu kritik dan saran dari pembaca dan mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dari makalah.
Pekalongan, November 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah
telah memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman agar berpegang teguh kepada
tali Allah, dan mengingatkan meraka akan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan
kepada mereka untuk melunakkan hati mereka pada ukhuwah islamiyah, lalu Allah
memperingatkan mereka jangan sampai seperti orang-oran ahlul kitab yang selau
menantang dan berbuat maksiat. Sekaligus, Allah mengancam mereka bila berbuat
begitu dengan siksaan yang pedih.
Mengingat
keadaan umat islam yang diciptakan sebagai sebaik-baik umat sudah seharusnya
hal-hal yang menguatkan panggilan mereka ini jangan terlepas dari diri mereka,
karena hal ini adalah keistimewaan dari umat islam, hal ini tidak akan bisa
dicapai melainkan dengan jalan memelihara (mengikuti) perintah-perintah Allah
dan meninggalkan larangan-laranganya.
Allah
telah memberikan keistimewaan pada umat islam bila umat islam melakukan amar
ma’ruf dan nahi mungkar dan Allah juga memuji umat islam bahwa umat islam
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan didunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakikat tentang Ummat ?
2.
Apa Dalil Kaum Muslimin Ummat Terbaik ?
3. Bagaimana Ummat Islam membangun Peradaban ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hakikat Ummat terbaik.
2.
Untuk mengetahui dalil tentang Kaum Muslimin Ummat Terbaik.
3. Untuk mengetahui Ummat Islam membangun Peradaban.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Ummat
Manusia
adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWt yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling
tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Allah SWT bahkan Allah menyuruh para
malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat barat memiliki
pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta
dibekali dengan akal dan pikiran. Lalu bagaimanakah hakikat manusia dalam
pandangan islam? Berikut
penjelasannya.
Dalam agama islam, ada enam peranan
yang merupakan hakikat diciptakannnya manusia. Berikut ini adalah dimensi
hakikat manusia berdasarkan pandangan agama islam
1. Sebagai Hamba Allah
Hakikat manusia yang utama adalah
sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai seorang hamba maka manusia wajib
mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala perintahnya dan menjauhi
segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang manusia juga wajib menjalankan
ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahnya), zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan melakukan ibadah
lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana yang disebutkan
dalam ayat berikut ini
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).
2. Sebagai al- Nas
Dalam al- Qur’an manusia juga
disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran cenderung mengacu pada
hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam masyarakat.
Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk sosial
yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut
“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan
(mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An
Nisa:1).
“Hai manusia sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: Al
Hujurat :13).
3. Sebagai khalifah Allah
Telah disebutkan dalam tujuan
penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh Allah SWt
sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi. “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”(QS Shad:26).
Sebagai seorang khalifah maka
masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.
4. Sebagai Bani Adam
Manusia disebut sebagai bani Adam
atau keturunan Adam agar tidak terjadi kesalahpahaman bahwa manusia merupakan
hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan oleh Charles Darwin. Islam
memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-nilai pengetahuan
dan hubungannya dalam masyarakat. Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman.[1]
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak
Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga.” (QS : Al araf 26-27).
5. Sebagai al- Insan
Tidak hanya disebut sebagai al nas,
dalam Alqur’an manusia juga disebut sebagai Al insan merujuk pada kemampuannya
dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta kemampuannya untuk berbicara dan
melakukan hal lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al hud berikut ini
“Dan jika Kami rasakan kepada
manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia
menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: Al
Hud:9).
6. Sebagai Makhluk Biologis
(al- Basyar)
Manusia juga disebut sebagai makhluk
biologis atau al basyar karena manusia memiliki raga atau fisik yang dapat
melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak dan lain
sebagainya sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti
makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk
biologis dapat berakhir dan mengalami kematian, bedanya manusia memiliki akal
dan pikiran serta perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di
akhirat.
Segala hakikat manusia adalah fitrah
yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat menjalankan peran dan fungsinya
dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi tugas dan perannya
sehingga tidak menghilangkan hakikat utama penciptaannya.
B.
Dalil Tentang Kaum Muslimin Adalah Umat
Terbaik
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتابِ لَكانَ خَيْراً لَهُمْ
مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفاسِقُونَ (110) لَنْ يَضُرُّوكُمْ
إِلاَّ أَذىً وَإِنْ يُقاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الْأَدْبارَ ثُمَّ لَا
يُنْصَرُونَ (111) ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلاَّ
بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَباؤُ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كانُوا يَكْفُرُونَ
بِآياتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِياءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذلِكَ بِما عَصَوْا
وَكانُوا يَعْتَدُونَ (112)
Artinya : ”Kamu
adalah sebaik-baiknya umat yang telah dikeluarkan antara manusia, (karena) kamu
menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar serta percaya
kepada Allah. Dan kalau sekiranya berimanlah ahlul kitab sesungguhnya itulah
yang baik bagi mereka, (tetapi) antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik (110). Tidaklah mereka akan membahayakan
kamu, kecuali menggangu (sedikit), dan jika mereka memerangi kamu, mereka akan
berbalik punggung kepada kamu (kalah), sesudah itu mereka tidaklah akan
dimenangkan (111). Mereka itu ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada,
kecuali (jika mereka berpegang) pada tali Allah dan tali manusia. Sepantasnya
mereka kena murka Allah dan ditimpa kehinaan (kemiskinan). Yang demikian itu
ialah karena sesungguhnya mereka telah kufur kepada ayat-ayat Allahdan mereka
bunuh Nabi-nabi dengan tiada kebenaran. Demmikianlah, karena mereka telah durhaka
dan melanggar peraturan (112).[2]
Pada ayat
yang telah tertulis diatas telah
diperintahkan dengan nyata dan tegas supaya dikalangan jamaah Islamiyah itu
diadakan umat yang khusus menyuruhkan kabaikan, yaitu iman, menyuruh berbuat yang
ma’ruf dan melarang perbuatan yang mungkar. Ayat ini menegaskan sekali lagi
hasil usaha itu yang nyata, yang konkrit. Yaitu kamu menjadi sebaik-baiknya
umat yang dikeluarkan anatara manusia di dunia ini. Dijelaskan sekali lagi,
bahwa kamu mencapai derjat yang demikian tinggi, sebaik-baiknya umat, karena
kamu memenuhi ketiga syarat yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar, iman kepada Allah.
Kalau yang ketiga tidak ada, niscaya kamu bukanlah umat yang sebaik-baiknya
umat, bahkan mungkin menjadi seburuk-buruknya umat.Karena itu apabila kita
membaca ayat ini, janganlah hanya memegang pangkalnya saja, lalu membangga,
sebagaimana membangganya orang Yahudi mengatakan, bahwa mereka adalah “Kaum
Pilihan Tuhan”.
Ketiga dasar yang
membawa mutu kebaikan isi pada hakikatnya adalah satu. Beriman kepada Allah
adalah dasarnya yang sejati. Apabila telah mengakui dan merasakan beriman
kepada Allah, timbullah kebebasan jiwa. Keimanan kepada Allah menghilangkan
ketakutan dan dukacita menimbulkan daya hidup. Tegasnya juga menimbulkan
dinamika hidup. Itulah jiwa bebas ! Maka dengan sendirinya kemerdekaan jiwa
karena tauhid itu menimbulkan pula kemerdekaan yang kedua, yaitu kemerdekaan
kemauan, (iradat,will). Lalu beerani
menyatakan pikiran-pikiran yang baik untuk kemaslahatan umat dan kemajuan,
sebab hidup lebih maju adalah tabiat kemanusiaan. Disinilah terletak Amar
Ma’ruf.
Suatu masyarakat yang mencapai martabat
setinggi-tingginya dalam dunia ini, ialah bilamana dia mempunyai kebebasan. Dan
intisari kebebasan itu ada tiga perkara :
1)
Kebebasan kemauan (iradat). Disebut dalam bahasa Indonesia lama yaitu Karsa.
2)
Kebebasan menyatakan pikiran. Disebut dalam bahasa Indonesia yaitu Priksa.
3)
Kebebasan jiwa dari keraguan,
dan hanya satu jadi tujuan. Disebut dalam bahasa Indonesia yaitu Rasa.
Apabila
seseorang mempunyai kebebasan iradat,
kemauan atau karsa, niscaya dia berani menjadi penyuruh dan pelaksana perbuatan
yang ma’ruf. Kebebasan itulah pokok pertama bagi seorang pemimpin yang
mempunyai cita hendak membawa kaumnya kepada keadaan yang lebih baik. Sehingga
masyarakat tidak membeku (statis), bahkan berputar terus, mempunyai dinamika
untuk mencapai yang lebih sempurna. Sebab cita menimbulkan cipta.[3]
Semua orang memikul tanggung jawab, seorang ayah
terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, bahkan istripun terhadap suaminya,
guru terhadap muridnya, imam terhadap makmumnya, penguasa terhadap rakyatnya
dan puncaknya ialah Nabi terhadap
umatnya.
Kemudian datanglah kebebasan berpikir dan kebebasan
menyatakan pikiran itu, menimbulkan keberanian menentang yang mungkar, yang
salah. Mungkar artinya yang ditolak yang tidak diterima oleh peri-kemanusiaan
yang sehat.
Rantai dan belenggu yang mengikat jiwa ialah benda. Dan benda itu pecah berderai, sebab
zarrah asalnya. Jiwa harus dibebaskan dari benda itu
dan ditunjukan kepada satu saja, yaitu pencipta
benda. Orang yang diikat dengan
benda pasti menjadi musyrik. Sebab benda itu pecah. Dan tujuan akal yang sehat
bukanlah kepada pecah, tetapi kepada Esa !
Percaya kepada Allah itulah menumbuh-suburkan rasa
tanggung jawab. Tak ada alam, baik langit atau bumi sekalipun tempat takut,
Apalagi manusia. Orang yang beriman kepada Allah adalah berani, karena
takutnya. Alangkah ganjilnya. Dia berani menghadapi segala macam bahaya didalam
hidup, karena dia takut kepada siksa Allah sesudah mati. Dia berani mati badan
karena takut nama.
Menilik ayat ini, tidaklah terhalang bagi ahlul-kitab
akan mencapai derajat sebaik-baiknya umat
dikeluarkan antara manusia, jika mereka menyuruh berbuat ma’ruf, melarang
perbuatan munkar, dan percaya kepada Allah. Walaupun mereka bukan Islam.
Kebebasan tanpa ikatan Undang-undang dan disiplin
adalah chaos, dan chaos adalah musuh
kemerdekaan nomor satu. Kebebasan diri sendiri terhenti apabila telah bertemu
dengan kebebasan orang lain. Akhlak adalah penghubung yang mutlak antara saya
dengan engkau. Apabila kacau hubungan antara saya dengan engkau, apabila
kepentingan diriku lebih aku tonjolkan daripada kepentingan engkau, dan engkaupun menonjolkan kepentinganmu pula,
maka yang naik akhirnya ialah siapa yang kuat, bukan siapa yng benar.[4]
C. Ummat Islam membangun Peradaban.
Nabi Muhammad
saw pernah bersabda dalam sebuah hadis: “Aku diutus adalah dalam rangka
memperbaiki akhlak.” Itu berarti ketika sebelum Muhammad diangkat sebagai
Rasul, masyarakat kurang berakhlak. Kalau kita rujuk kepada definisi, peradaban
adalah sikap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sopan santun, budi bahasa
dan kebudayaan sesuatu bangsa. Semua itu adalah bagian dari ajaran akhlak.
Nabi Muhammad
berusaha memperbaiki akhlak masyarakat jahiliyah, sehingga menjadi
masyarakat yang berperadaban. Dalam mukadimah pidato ulama selalu
menyampaikan selawat dan salam kepada Nabi Muhammad yang telah membawa umat ini
dari alam yang gelap, jahiliyah atau zulumat, ke alam yang berperadaban yang
mencerahkan yang sering disebut ila an-nur.
Bagaimana
ciri masyarakat jahiliyah? Seperti digambarkan sejarah mereka suka bertengkar
sesamanya, baik karena suku, dengan membanggakan sukunya dan merendahkan suku
lain, maupun karena merebut sumber-sumber ekonomi yang sekarang sering disebut
proyek. Pertengkaran tidak hanya adu mulut dengan bahasa kasar, tetapi juga
sampai menganiaya lawannya bahkan membunuh.
Jadi ketika
itu orang-orang kaya harus ada bodyguard yang kuat, kalau tidak akan diperas
atau dirampok. Demikian juga dalam dagangnya sering tidak jujur baik
timbangannya maupun soal kualitas barang. Sisi lain mereka suka makan riba
dengan meminta bayaran lebih pada yang berutang, sehingga mengakibatkan yang
berutang semakin menderita.
Mereka suka meminum khamar, yang efeknya begitu buruk, mulai dari
kacaunya ingatan sampai pada lebih bersemangat berbuat maksiat. Perlakuan
mereka pada perempuan dengan semena-mena. Sebagian memang mereka kawin, bahkan
kawin banyak, tetapi tidak diimbangi dengan tanggungjawab untuk keturunannya
sehingga begitu banyak anak-anak mereka terlantar. Keterlantaran anak-anak
mereka termasuk dalam bidang pendidikan. Karena mereka tidak mendapat
pendidikan yang baik sehingga mereka tidak memiliki skill dalam kehidupannya,
maka mereka sering jadi buruh kasar saja bahkan menjadi budak.
1. Kesamaan Akidah
Kehadiran ajaran Islam adalah untuk memperbaiki itu semua. Sejak awal
Nabi mempersaudarakan semua manusia. Persatuan bukan lagi berdasarkan suku,
tetapi atas kesamaan akidah. Siapa saja yang sudah mengucap kalimat tauhid:
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusanNya”, maka mereka
semua adalah saudara, suku apapun atau dari manapun dia datang.
Islam menganjurkan agar umat bersikap jujur dan selalu
amanah jika dipercaya. Sudah sangat populer hadis Nabi yang menyatakan bahwa
ada tiga hal yang dapat digolongkan sebagai orang munafik yaitu apa bila
berbicara ia berdusta, bila dia berjanji dia ingkar, dan apa bila dipercaya dia
berkhianat.
Islam mengajarkan umat menghargai sesama manusia, bahkan dianjurkan
saling kasih sayang. Karena itu, memeras, merampas, merampok adalah tindakan
yang sangat dicela. Karena masyarakat yang ada sekeliling Nabi ketika itu masih
jahiliyah, maka perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad adalah iqra’.
Kalimat iqra’ pada wahyu pertama yang diartikan membaca, maksudnya adalah
mulai dari membaca, menelaah, menganalisis, mengodifikasi dan menulis kembali.
Dari sumber wahyu inilah yang banyak memberi inspirasi para ulama dulu
mengembangkan peradaban Islam.
Dengan sifat-sifat yang dianjurkan Islam ditambah dengan anjuran belajar,
umat Islam pada peride awal telah memiliki peradaban yang unggul. Dalam sejarah
diceritakan sekian ratus tahun umat Islam menjadi umat yang dapat dibanggakan,
baik dari sisi budi pekertinya maupun dari sisi karya nyatanya yang dapat
menyejahterakan masyarakat dunia.
Katika itu sering sebuah negara yang kadang-kadang penduduknya mayoritas
non muslim, tapi pemegang tampuk pimpinannya adalah ulama Islam. Seperti juga
Nabi Muhammad di awal membangun Negara Madinah, kebanyakan warganya adalah non
muslim, tetapi mereka memberi kepercayaan kepada Muhammad sebagai pemimpin
negaranya.
Apa yang dipraktikkan Nabi sebagai seorang kepala negara ketika itu,
mengagumkan semua bangsa. Mulai dari karakter kepemimpinannya yang cinta rakyat
tanpa pilih bulu, sampai sistem pengelolaan negara yang adil dan beradab dan
penuh dengan semangat pengabdian. Tidak ada ilmuwan yang jujur yang tidak
mengaku kesuksesan Nabi Muhammad dalam membangun peradaban manusia yang
mengagumkan itu, bahkan ilmuwan non muslim sekalipun.
Sejarah juga mencatat ada masa-masa kemunduran Islam. Ini dikarenakan
umatnya yang sudah meninggalkan inti ajaran Islam yaitu bersungguh-sungguh
dalam belajar untuk menguasai ilmu sesuai perkembangan zaman. Inilah yang
dikumandangkan oleh ulama-ulama kita selama ini, hendaknya umat Islam sekarang
berjihad untuk menguasai kembali ilmu pengetahuan dan berijtihad untuk
inovasi-inovasi baru.[5]
Tetapi kita jangan lupa seperti anjuran Alquran, iqra’ bismi
Rabbikalladzi khalaq. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Maksudnya mencari ilmu atas nama Allah. Semua ilmu yang kita miliki harus
karena Allah, yaitu didasarkan pada iman. Karena ilmu tanpa didasari oleh iman
akan berbahaya. Mengutip pendapat Quraish Shihab: “Iman tanpa ilmu bagai pelita
di tangan bayi, tetapi ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.”
Daftar Pustaka
Hamka.1983.,Tafsir Al Azhar Juz
IV.Jakarta: Pustaka Panjimas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar