TAFSIR TARBAWI
"MASUKILAH RUMAH MELALUI PINTUNYA"
Kharirotun Na’im
2021114240
Kelas: H
JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masukilah
rumah melalui pintunya”. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
saw, sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah
wawasan pengetahuan mengenai penafsiran Q.S Al-Baqarah ayat 189. Makalah ini
disajikan sebagai bahan materi dalam diskusi mata kuliah Tafsir Tarbawi II
STAIN Pekalongan.
Penulis menyadari bahwa kemampuan
dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan
mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai sumber ajaran yang
saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan
kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan senang
hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata, semoga makalah yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman. Amin yaa
robbal ‘alamin.
Pekalongan, Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Setelah
selesai pembicaraan tentang bulan puasa Ramadhan dan apa yang berkaitan
dengannya, ayat berikut beralih kepada persoalan yang sangat erat dengan
pelaksanaan puasa, dari segi penentuan waktu, awal, dan akhirnya, yaitu soal
bulan. Memang cukup banyak hukum-hukum agama yang dikaitkan dengan kehadiran
dan kepergian bulan, seperti puasa, zakat, haji, masa hamil, masa tunggu dan
menyusukan bagi wanita, dan sebagainya. Bahkan bulan dinilai sebagai semacam
hakim yang memutuskan perkara, yang ini boleh dan yang itu tidak boleh. Saat
ini anda boleh berpuasa, saat itu tidak. Saat ini wukuf diarafah dan bukan hari
itu, dan lain-lain. Karena itu wajar ayat berikut berbicara tentang bulan yang
bermula dari pertanyaan sahabat Nabi serta jawaban al-Qur’an.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah
sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya
sebagai berikut :
1. Apa definisi judul tentang adab
dalam memasuki rumah melalui pintunya?
2. Apa saja hadis atau ayat yang
mendukung ?
3. Bagaimana teori pengembangan
Q.S Al-Baqarah ayat: 189 ?
4. Bagaimana aplikasi dalam
kehidupan Q.S Al-Baqarah ayat: 189 ?
5. Apa saja nilai-nilai tarbawi
Q.S Al-Baqarah aya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Judul
Adab berarti perilaku dan sikap sopan. Kata ini dapat juga berarti
do’a, hal ini karena do’a dapat membimbing manusia kepada sifat yang terpuji
dan melarang sifat yang tidak terpuji. Kata adab dalam berbagai konteksnya
mencakup arti ilmu dan ma’rifat, baik secara umum maupun dalam kondisi tertentu,
dan kadang-kadang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang di anggap cocok dan
serasi dengan selera individu tertentu.
Salah seorang tokoh pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ia
menggunakan istilah adab dalam pendidikan Islam digunakan untuk menjelaskan
proses penanaman adab kepada manusia. Istilah yang digunakan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang kebanyakan menggunakan
istilah tarbiyah.[1]
Rumah adalah sebuah bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal
dalam jangka waktu tertentu. Dalam artian yang lebih spesifik pengertian adalah
mengacu pada konsep-konsep sosial kemasyarakatan yang terjalin di dalam
bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, tempat bertumbuh, makan, tidur,
beraktivitas. Rumah juga dapat berfungsi sebagai tempat untuk menikmati
kehidupan yang nyaman, untuk beristirahat, serta tempat berkumpulnya keluarga. Setiap muslim hendaknya memperhatikan sunnah-sunnah ketika ia akan
keluar masuk rumah yang demikian itu disebut adab dalam rumah.
B.
Hadits/ Ayat
Pendukung
a.
Surat Yusuf
ayat 111
ôs)s9 c%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVÏtn 2utIøÿã `Å6»s9ur t,ÏóÁs?
Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷yt @ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sã ÇÊÊÊÈ
Artinya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Terdapat kisah sebagai berikut Nabi saw. melarang ahli madinah
melakukan pencangkokan putik jantan kepada putik betina pohon korma mereka.
Akhirnya, korma tersebut tidak mengeluarkan buahnya dengan baik. Kemudian,
mereka menanyakan kembali kepada Rasulullah saw. yang kemudian di jawab dengan
pernyataan di atas.
Cerita-cerita yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an, tidak dikemukakan
masalah yang berkaitan dengan kisah, berita untuk diketahui keadaan mereka.
Tetapi disajikan dalam bentuk yang merupakan contoh kejadian antara Rasul dan
umatnya, di samping penjelasan Sunnatullah untuk mereka. Sekaligus merupakan
perhatian kepada kaum kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. yang memantapkan iman kaum muslimin[2].
C.
Teori
Pengembangan
1.
Ayat dan
Terjemah
tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Artinya:
“mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Al-Baqarah:
189)
2.
Penafsiran Ayat
a.
Tafsir Al-Azhar
Dalam beberapa riwayat ada tersebut bahwa beberapa orang sahabat
Nabi Saw datang bertanya kepada beliau tentang hilal, yaitu bulan sabit sejak
hari permulaan bulan sampai kira-kira hari ketujuh. Menurut riwayat ibnu Asakir
dari Ibnu Abbas, meskipun sanad haditsnya dha’if, yang datang bertanya itu
ialah Mu’as bin Jabal, sahabat Anshar yang terkenal dari Tsa’labah bin Usman.
Mereka bertanya: “wahai Utusan Allah, mengapa bulan sabit itu terbit dan naik
mula-mula sangat halusnya. Laksana benang, kemudian jadi bertambah besar dan
lama-lama jadi penuh (purnama), kemudian surut lagi dan kurang lagi, sampai
kecil pula sebagai keadaan semula, tidak tetap dalam satu keadaan saja?”
Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir membawakan pula riwayat semacam ini
yang mereka terima dari Qatadah. Tetapi tidak mereka sebutkan siapa nama
orang-orang yang bertanya itu. Ibnu Abi Hatim membawakan riwayat semacam itu
pula yang diterimanya daripada Abul Aliyah. Demikian juga satu riwayat Ibnu
Jarir yang diterimanya dari ar-Rabi’ bin Anas. Maka untuk menjawab pertanyaan
yang bertanya itu datanglah ayat ini: “mereka bertanya kepada engkau dari
hal bulan sabit. Katakanlah: Dia itu adalah waktu-waktu yang ditentukan untuk
manusia dan (untuk) haji.” (pangkal ayat 189)
Kemudian datanglah sambungan ayat: “Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa.” Menurut penafsiran dari penafsir Abu
Ubaidah bahwa sambungan ini adalah senafas dengan yang sebelumnya, yaitu kalau
hendak masuk ke dalam rumahmu janganlah dari pintu belakang. Maksudnya kalau
hendak menanyakan sesuatu hal kepada seseorang hendaklah pilih soal yang pantas
dapat dijawab oleh orang itu. Kalau hendak menanyakan mengapa bulan mulanya
laksana sabit, lama-lama penuh dan akhirnya kecil sebagai sabit lagi, janganlah
hal itu ditanyakan kepada Nabi. Tetapi tanyakanlah kepada ahli falak.
Tetapi menurut Bukhari dan beberapa perawi hadits yang lain, yang
mereka terima dari al-Baraa, di zaman jahiliyah kalau orang-orang itu naik
haji, kalau pekerjaan haji belum selesai, mereka selalu masuk rumah dari pintu
belakang. Suatu hal yang tidak perlu dan tidak berasal dari manasik ajaran Nabi
Ibrahim. Maka yang penting bukanlah menambah peraturan haji satu lagi, pulang
ke rumah melalui pintu belakang. Yang penting ialah menjaga takwa hati kepada
Allah dalam mengerjakan ibadat itu. Selanjutnya Allah bersabda: “Dan datanglah
ke rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan takwalah kepada Allah, supaya kamu
beroleh kejayaan.” (ujung ayat 189).[3]
b.
Tafsir
Al-Misbah
“ Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Pertanyaan mereka
malam ke malam ia membesar hingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan
mengecil lagi, sampai menghilang dari pandangan? Katakanlah, “Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia”. Waktu dalam penggunaan al-qur’an adalah
batas akhir peluang untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia adalah kadar
tertentu dari suatu masa. Dengan keadaan bulan seperti itu, manusia dapat
mengetahui dan merancang aktivitasnya sehingga dapat terlaksana sesuai dengan
masa penyelesaian (waktu) yang tersedia, tidak terlambat, apalagi terabaikan
dengan berlalunya waktu, dan (juga untuk waktu pelaksanaan ibadah) haji.
Seperti terlihat diatas, jawaban yang diberikan ini, tidak sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan. Karena jawaban yang seharusnya diberikan
adalah bahwa bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui permukaannya yang
tampak dan terang hingga terbitlah sabit. Apabila pada paruh pertama, bulan
berada pada posisi diantara matahari dan bumi, bulan itu menyusut yang berarti
muncul bulan sabit baru. Dan apabila berada di arah berhadapan dengan
matahari,di mana bumi berada di tengah, akan tampak bulan purnama. Kemudian
purnama itu kembali mengecil sedikit demi sedikit sampai ke paruh kedua. Dengan
demikian sempurnalah satu bulan Qomariyah selama 295.309 hari. Atas dasar ini,
dapat ditentukan penanggalan arab, sejak munculnya bulan sabit hingga bulan
tampak sempurna sinarnya. Bila bulan sabit tampak seperti garis tipis di ufuk
barat, kemudian tenggelam beberapa detik setelah tenggelamnya matahari, ketika
itu dapat terjadi ru’yat terhadap bulan. Demikian ditentukan perhitungan waktu
melalui bulan, demikian juga diketahui permulaan dan akhir masa pelaksanaan
ibadah haji. Penyebutan hai secara khusus untuk menegaskan bahwa ibadah
tersebut mempunyai waktu tertentu, tidak boleh diubah dengan mengajukan atau
menundanya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik melalui praktek
yang dinamai oleh al-qur’an dengan an-Nasi’. “sesungguhnya nasi’/ mengundur-undurkan
(bulan haram) itu adalah menambah kekafiran” (QS. At-Taubah: 37)
Kembali kepada pertanyaan sahabat Nabi di atas, al-qur’an tidak
menjawabnya sesuai dengan harapan mereka, tetapi memberi jawaban lain yang
lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Hal srupa banyak terjadi dengan tujuan
mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih wajar ditnayakan daripada yang telah
diajukan. Memang al-qur’an mendidik manusia, dan slah satu bentuk pendidikannya
adalah mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.
Memang tidak salah bila al-qur’an menjawab pertanyaan mereka dengan
jawaban ilmiah, sebagaimana dijelaskan dalam astronomi, yakni keadaan bulan
seperti itu akibat peredaran bulan dan matahari, serta posisi masing-masing
dalam memberi dan menerima cahaya matahari. Tetapi bila jawaban ini yang
disampaikan, maka disamping masalah yang lebih penting tidak terungkap,
penjelasan menyangkut pertanyaan itu bukan merupakan bidang al-qur’an, karena
al-qur’an adalah kitab hidayah, bukan kitab ilmiah. Disamping itu, jawaban
ilmiah berdasar astronomi belum terjangkau oleh para penanya ketika itu.
Demikian ayat ini mengajarkan, agar tidak menjawab persoalan yang tidak
termasuk otoritas anda, tidak juga memberi jawaban yang di duga keras tidak
dimengerti oleh penanya, sebagaimana ia mengajarkan agar mengarahkan penanya
kepada pertanyaan dan jawaban yanng bermanfaat baginya, di dunia atau akhirat.[4]
C.
Aplikasi Hadits
dalam Kehidupan
Dalam ayat ini Allah memberitahukan kesalahan yang mereka lakukan,
yakni dalam hal memasuki rumah dari belakang, dan dugaan mereka bahwa hal
tersebut termasuk amal kebajikan, kemudian Allah menjelaskan kepada mereka
tentang kebajikan yang hakiki. Kebajikan yang hakiki adalah takwa kepada Allah
dengan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan kotor, serta
menghiasi diri dengan keutamaan-keutamaan, dan mengikuti kebenaran dan beramal
kebajikan. Datangilah rumah kalian dari depan, dan hendaklah batin kalian
adalah cermin lahiriyah, dan bertakwalah kepada Allah jika kalian mengharapkan
keberhasilan dalam amaliyah dan mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Orang-orang yang bertakwa kepada Allah selalu mendapatkan ilham menuju jalan
keberhasilan[5].
D.
Aspek Tarbawi
1.
Al-qur’an
bukanlah kisah ilmiah yang menjelaskan teknis suatu fenomena, sebagaimana
halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal dewasa ini.
2.
Hendaknya
seseorang tidak berhenti pada bentuk-bentuk sesuatu, tetapi menukik ke
kedalaman guna mengetahui hikmah dan rahasia tertentu.
3.
Adat kebiasaan
yang buruk, antara lain, seperti masuk melalui atap rumah, hendaknya
ditinggalkan sedang yang baik dipertahankan dan yang kurang baik diluruskan[6].
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Adab berarti perilaku dan sikap sopan. Kata ini dapat juga berarti
do’a, hal ini karena do’a dapat membimbing manusia kepada sifat yang terpuji
dan melarang sifat yang tidak terpuji. Kata adab dalam berbagai konteksnya
mencakup arti ilmu dan ma’rifat, baik secara umum maupun dalam kondisi
tertentu, dan kadang-kadang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang di anggap
cocok dan serasi dengan selera individu tertentu.
Dalam ayat ini Allah memberitahukan kesalahan yang mereka lakukan,
yakni dalam hal memasuki rumah dari belakang, dan dugaan mereka bahwa hal
tersebut termasuk amal kebajikan, kemudian Allah menjelaskan kepada mereka tentang
kebajikan yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. Tafsir
Al-Azhar Jakarta : Pustaka Panjimas.1987.
Munir, Ahmad. Tafsir
Tarbawi. Yogyakarta: Teras. 2008.
Mustafa, Ahmad. Tafsir
Al-Maragi Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989.
Shihab, M. Quraish.
Al-Lubab-makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an. Tanggerang
: Lentera Hati, 2012.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Misbah- pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Ciputat : Lentera Hati, 2009.
PROFIL PENULIS
Nama : Kharirotun Na’im
TTL : Pekalongan, 31 Januari 1996
Alamat : Desa Kutosari, Kec.
Karanganyar, Pekalongan
Alumni : MAS Simbangkulon
No. Hp : 085712530431
Email : Kharir31196@gmail.com
[1] Ahmad Munir, Tafsir
Tarbawi, cet. I (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm.43-44
[2] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi juz II(Semarang: Karya Toha Putra, 1993),
hlm. 148
[3] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juz II, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. 148-150
[4]
M.Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 389-391
[6] M. Quraish
Shihab, Al-Lubab makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an. (Tanggerang : Lentera Hati, 2012). Hlm. 61-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar