METODE PENDIDIKAN SECARA “KHUSUS”
“METODE DIALOGIS”
QS. ASH-SHAFFAT AYAT 102
Tika Lulu Fauzi (2021115365)
Kelas A
JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWTatas rahmat dan hidayah-Nya serta segala kemudahan yang telah
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah tafsir tarbawi yang
bertemakan “Metode Pendidikan Secara Khusus” dengan sub tema “Metode Dialogis”
(QS. Ash-Shaffat ayat 102).
. Tak lupa shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW,yang kita
nantikan syafa’atnya di Yaumul Qiyamah.
Ucapan terimakasih pula
penulis sampaikan kepada :
1.
Ayah dan Ibu yang senantiasa mendo’akan serta memberikan dukungan moril dan
materil kepada penulis.
2.
Bapak Muhammad Ghufron Dimyati M.S.I, selaku dosen matakuliah Tafsir
Tarbawi I, yang telah memberikan amanah untuk menyelesaikan tugas ini
3.
Teman-teman yang senantiasa memberikan masukan dalam penyusunan makalah
ini.
4. Serta semua pihak yang telah
berkonstribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari,
bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan. Baik dari segi penyusunan dan pemilihan kata. Oleh karena itu,
penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari pembaca,sebagai bahan
evaluasi agar dalam tahap penyusunan selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Semoga makalah tentang
“Metode Pendidikan Secara Khusus” dengan sub tema “Metode Dialogis (QS. Ash-Shafaat
ayat 102)” ini bisa bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya,
dan bagi para mahasiswa khususnya.
Pekalongan, 22 November 2016
Tika Luluk Fauzi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satutugas guru adalahmengajar.Hal
inimenyebabkanadanyatuntutankepadasetiap guru
untukdapatmenjawabpertanyaantentangbagaimanaseharusnyamengajar.Dengan kata
lain, setiap guru dituntutuntukmemilikikompetensimengajar. Guru
akanmemilikikompetensimengajarjika, guru paling
tidakmemilikipemahamandanpenerapansecarataktisberbagai model
danmetodebelajarmengajarsertahubungannyadenganbelajardisampingkemampuan-kemampuan
lain yang menunjang.
Metode adalah cara yang fungsinya sebagai alat untuk mencapai tujuan. semakin
baik metode itu, semakin efektif pula pencapaian tujuan. Dengan demikian tujuan
merupakan faktor utama dalam menetapkan baik tidaknya penggunaan suatu metode.
Metode dialogis merupakan salah satu metode pembelajaran dari sekian banyak
metode. Terjadinya interaksi antara guru dan murid seperti tanya jawab akan
menciptakan suasana yang harmonis, sehingga
murid akan menikmati proses pembelajaran dengan rasa senang dan nyaman tanpa
ada paksaan dan ia akan mudah memahami apa yang disampaikan oleh guru dengan
melalui dialog berupa tanya jawab.
B.
Judul
Judul
garis besar makalah ini adalah “Metode Pendidikan Secara Khusus”
dengan sub tema “Metode Dialogis (QS. Ash-Shaffat ayat 102)”.
C.
Nash
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يبُنىَ إنّى أَرَى فى الْمَنَام أَنّى أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْمَاذَا تَرَى قَالَ يأَبَت افْعَلْ ماَ تُؤْمَرُ سَتَجدُنى إنْشَاءَاللهُ
منَ الًصّبرينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat:102)
D. Arti penting
Dalam Qs. Ash-Shaffat ayat 102 diterangkan tentang ketaatan dan kepatuhan
seorang anak kepada apa yang diperintahkan Allah SWT dan orang tuanya, serta
mengajarkan kita untuk selalu bersabar dalam menghadapi cobaan. Siapa saja yang
senantiasa melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah SWT serta bersabar
dalam menerima cobaan dari-Nya akan memperoleh hikmah dari kejadiannya
tersebut, karena Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Metode dalam bahasa Arab disebut
dengan al-thariq, yang artinya jalan. Jalan adalah sesuatu yang dilalui
supaya sampai ke tujuan. Mengajarkan materi pelajaran agar dapat diterima
peserta didik hendaknya menggunakan jalan yang tepat, atau dalam bahasa yang
lebih tepatnya cara dan upaya yang dilakukan pendidik.[1]
Abu al-Fath al-Tawanisi
mendefinisikan metode mengajar sebagai cara-cara yang diikuti oleh guru untuk
menyampaikan informasi ke otak murid-murid.
Kata ‘Dialog’ berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dialogos, yang berarti percakapan. Dialog adalah sebuah
proses yang di dalamnya terjadi komunikasi yang berbentuk percakapan atau
diskusi untuk saling bertukar pikiran dan opini-opini dari apa yang ada di
pikiran individu. Dialog dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Dialog secara langsung nampak dalam pertemuan antar pribadi. Dialog ini disebut
dialog lisan. Sedangkan dialog secara tidak langsung adalah dialog melalui
tulisan.
Dalam dunia pendidikan, dialog antara guru dan murid sangatlah
penting dalam menciptakan suasana yang harmonis, sehingga murid akan menikmati
proses pembelajaran dengan rasa senang dan nyaman tanpa ada paksaan dan ia akan
mudah memahami apa yang disampaikan oleh guru dengan melalui dialog berupa
tanya jawab.
B.
Tafsir
1. Tafsir Ibnu
Katsir
“Maka
tatkala anak itu telah sanggup bersama-sama Ibrahim,” yaitu menjadi besar dan
dewasa serta dapat pergi bersama ayahnya dan sanggup melaksanakan pekerjaan
yang dikerjakan oleh ayahnya, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana
pendapatmu!” sesungguhnya Ibrahim memberitahu anaknya dengan cara seperti itu
agar lebih mudah diterima oleh anaknya dan dengan maksud menguji kesabaran,
keteguhan, dan keistiqamahan anaknya di kala masih kecil dalam menaati Allah
dan menaati ayahnya. Maka dia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
telah diperintahkan kepadamu, yakni laksanakanlah perintah Allah untuk
menyembelihku itu, insya Allah kamu akan mendapatkanku termasuk orang-orang
yang sabar. ”Aku akan bersabar dan mengharapkan pahala-Nya dari sisi-Nya.[2]
2. Tafsir al-Mishbah
Ayat sebelum ini menguraikan janji
Allah kepada Nabi Ibrahim As. Tentang perolehan anak. Demikianlah hingga tiba
saatnya anak tersebut lahir dan tumbuh berkembang, maka tatkala ia yakni sang
anak itu telah mencapai usia yang menjadikan ia mampu berusaha bersamanya yakni
bersama Nabi ibrahim, ia yakni Nabi Ibrahim berkata sambil memanggil anaknya
dengan panggilan mesra: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu dan engkau tentu tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu
ilahi. Jika demikian itu halnya, maka pikirkanlah apa pendapatmu tentang mimpi
yang merupakan perintah Allah itu!” ia yakni sang anak menjawab dengan penuh
hormat: “Hai bapakku, laksanakanlah apa saja yang sedang dan akan diperintahkan
kepadamu termasuk perintah menyembelihku, engkau akan mendapatiku insya Allah
termasuk kelompok para penyabar.”
Ucapan sang anak: (افْعَلْ ماَ تُؤْمَرُ) if’al ma tu’mar, laksanakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu, bukan berkata: “Sembelihlah aku”,
mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah
swt. Bagaimanapun bentuk, cara dan kandungan apa yang diperintahkan-Nya, maka
ia sepenuhnya pasrah. Kalimat ini juga dapat merupakan obat pelipur lara bagi
keduanya dalam menghadapi ujian berat itu.
Ucapan sang anak: (سَتَجدُنى إنْشَاءَاللهُ منَ الًصّبرينَ) satajiduni insya Allah min ash-shabirin, engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk para penyabar,
dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebut terlebih
dahulu kehendak-Nya, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun sang
anak kepada Allah swt.[3]
2.
Tafsir
al-Azhar
“Maka setelah sampai anak itu dapat berjalan betsamanya.” (pangkal
ayat 102). Anak yang sudah dapat berjalan bersama ayahnya ialah di antara usia
10 dengan 15 tahun. Keadaan itu ditonjolkan dalam ayat ini, untuk menunjukkan
betapa tertumpahnya kasih Ibrahim As. kepada anak itu.
Suatu waktu dibawalah Ismail oleh Ibrahim berjalan bersama-sama. Di
tengah jalan, “Berkatalah dia, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya
aku menyembelih engkau. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu!”
Dengan
kata-kata yang halus mendalam, si ayah berkata kepada si anak, yaitu ayah yang
telah tua berusia lebih dari 90 tahun, dan anak yang dihadapi adalah anak yang
berpuluh tahun lamanya ditunggu-tunggu, dan sangat diharapkan.
Disuruhnya anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudian diharapkan
anaknya menyatakan pendapat.
“Berkata dia: - yaitu Ismail - “Ya ayahku! Perbuatlah apa yang
diperintahkan kepada engkau. Akan engkau dapati aku – Insya Allah – termasuk
orang yang sabar.” (ujung ayat 102).
Alangkah
mengharukan jawaban si anak. Benar-benar terkabul doa ayahnya memohon diberi
keturunan yang terhitung orang yang shaleh. Benar-benar tepat apa yang
dikatakan Tuhan tentang dirinya, yaitu seorang anak yang penyabar. Dia percaya
bahwa mimpi ayahnya adalah wahyu dari Allah, bukan mimpi sembarang mimpi. Sebab
itu dianjurkannya ayahnya melaksanakan apa yang diperintahkan.[4]
C. Aplikasi dalam Kehidupan
Qs. Ash-shaffat ayat 102 menjelaskan ketaatan dan kepatuhan seorang
anak kepada Allah SWT dan ayahnya, serta kesabaran dalam menghadapi ujian atau
cobaan. Dari sinilah kita harus meneladani sifat-sifat Nabi Ibrahim As. dan
anaknya Nabi Ismail As. Sebagai orang tua kita hendaknya mengajarkan ketauhidan
kepada sang anak sejak dini, agar ia mempunyai rasa keyakinan yang kuat kepada
Allah SWT, sehingga apapun yang diperintahkan oleh Allah ia kerjakan, serta bersabar
dalam menerima apapun ujian yang diberikan Allah SWT. Dan sebagai anak, kita
harus senantiasa patuh dengan perintah orang tua kecuali dalam hal kemaksiatan.
D. Aspek Tarbawi
1. Kerjakanlah
apa yang telah diperintahkan Allah SWT.
2. Sebagai seorang anak kita harus patuh kepada orang tua (birrul
walidain) kecuali dalam hal kemaksiatan.
3. Bersabarlah dalam menghadapi cobaan atau ujian karena selalu ada
hikmah dibalik kejadian, dan Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar.
4. Dialog merupakan sarana untuk saling bertukar fikiran, sehingga dengan
dialog dapat melatih kita untuk berfikir kritis dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i,
Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir IV. Jakarta: Gema
Insani Press
Hamka.
1994. Tafsir al-azhar juzu’ XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas
Nizar,
Samsul dan Zaenal Efendi Hasibuan. 2011.Hadits Tarbawi. Jakarta: Kalam
Mulia
Shihab,
M. Quraish. 2006.Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
PROFIL
Nama : Tika Luluk Fauzi
NIM : 2021115365
Alamat : Desa. Wiradesa, Kec. Wiradesa, Kab. Pekalongan
Tempat/tanggal lahir : Pekalongan, 06 Desember 1996
Riwayat pendidikan :
- SD N 02 Wiradesa,
Kec. Wiradesa Kab. Pekalongan
- SMP N 01 Wiradesa,
Kec. Wiradesa Kab. Pekalongan
- SMA N 02 Wiradesa,
Kec. Wiradesa Kab. Pekalongan
- IAIN Pekalongan
(masih semester 3)
[1]
Samsul Nizar dan Zaenal Efendi Hasibuan, Hadits Tarbawi, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2011), hlm. 57
[2]
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir IV, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), hlm. 39-40
[3]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006),
hlm. 62-63
[4]
Hamka, Tafsir al-azhar juzu’ XXIII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994),
hlm. 143-144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar