Laman

new post

zzz

Kamis, 16 Februari 2012

Kelas B makalah 1 hadits 2-3 Proporsional dalam Rumah Tangga


MAKALAH


PROPORSIONAL DALAM MENDIDIK


Mata Kuliah : Hadis Tarbawi 2

Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I


stain







Disusun Oleh:
ARINTA SYLVIA DAMAYANTI
NIM: 2021110049

                                

Kelas B


Jurusan Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)  PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di dalam keluarga. Dikatakan utama karean pendidikan yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya.
Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak didik.Bilamana keluarga itu beragama Islam maka pendidikan agama yang diberikan kepada anak adalah Pendidikan Islam. Dalam hal ini Pendidikan Islam ditujukan pada pendidikan yang diajarkan Allah melalui Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi.
Salah satu pendidikan yang awal dalam mendidik keluarga versi Islam adalah dengan memberikan pendidikan shalat. Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang tua untuk memberikan pendidikan shalat kepada anak, namun tidak serta merta memberikan dengan cara yang sembarangan, tetap ada adab dan etika serta nilai-nilai pendidikan dalam menjalankannya. Disamping itu, pendidikan terkait dengan perilaku atau khususnya pada anak yang sudah baligh yang sudah mengenal lawan jenis, atau dalam bahasa sekarang disebut dengan “sex education” bagaimana orang tua mendidik anaknya untuk senantiasa menutup aurat dalam keseharian.
Pendidikan shalat dan perintah menutup aurat merupakan dua hal yang sangat terkait, sebab dalam shalat sendiri salah satu syarat syahnya adalah dengan menutup aurat. Disamping itu, Rasul juga memberikan teladan bagi orang tua untuk bisa mendidik anaknya dengan lembut, tidak kasar, membentak. Sebagaimana dalam hadis berikut ini yang menjelaskan tentang bagaimana Rasul mengajarkan untuk mendidik anak melakukan shalat dan batasan aurat yang harus tidak boleh dilihat walaupun oleh orang tuanya sendiri serta hadis tentang bagaimana larangan berkata keras dalam kehidupan sehari-hari dengan keluarga.

BAB II
PROPORSIONAL DALAM MENDIDIK

A.   Materi Hadis
       1.    Hadis Pertama





       2.    Hadis kedua






B.   Terjemah Hadis
       1.    Hadis Pertama
              Dari Amr ibnu Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah SAW bersabda “Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat pada umur 7 tahun, dan pukullah kamu semua terhadap anakmu apabila sampai umur 10 tahun tidak melakukan shalat. Dan pisahlah tidur mereka, dan apabila mereka menikah dengan orang lain atau tetanggamu, maka tidak boleh melihat terhadap sesuatu dari auratnya, dari wajah sampai kedua lutut.” (Hadis riwayat Ahmad di dalam musnadnya, dalam Al Mukhtar min Shahabah).
       2.    Dari Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Rasulullah meyuruh untuk merendahkan suara di dalam rumah”. (Hadis riwayat Bukhari di dalam kitab Abadul Mufrad bab pendidikan dalam keluarga).




C.   Mufrodat
       1.    Hadis pertama
dari Amr ibnu Syu’aib
=
dari ayahnya
=
dari kakeknya
=
berkata
=
Rasulullah SAW bersabda
=
perintahkan/suruhlah
=
anak-anakmu
=
untuk shalat
=
pada usia tujuh tahun
=
dan pukullah mereka
=
(ketika) tidak melakukan shalat
=
pada usia sepuluh tahun
=
dan pisahlah
=
di antara mereka (anak-anakmu)
=
di dalam tidurnya
=
dan apabila
=
menikah
=
di antara mereka
=
dengan orang lain
=
atau dengan tetanggamu
=
maka tidak boleh melihat
=
terhadap sesuatu
=
dari auratnya
=
maka serendah-rendahnya
=
dari wajah
=
sampai kedua lutut
=
dari auratnya
=

       2.    Hadis kedua
dari ibnu Abbas R.A
=
berkata
=
sesunggunya Rasulullah SAW
=
menyuruh
=
untuk merendahkan/menghaluskan
=
suara
=
di dalam rumah
=

D.   Biografi Rawi
       1.    Amr ibnu Syu’aib
Abu Dawud mengatakan : Riwayat Amr Ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya tidak dapat dijadikan Hujjah. Abu Ishaq mengatakan : Dia itu seperti Ayyub dari Nafi‟ dari Ibn Umar, dan al-Nasa‟I menilainya tsiqah. Al-Hafidh Abu Bakar Ibn Zayyad mengatakan : Mendengarnya Amr dari bapaknya adalah sah (benar). Mendengarnya Syuaib dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr juga sah (benar). Imam Bukhari mengatakan: Syuaib pernah mendengarkan dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.
Data-data diatas menunjukkan bahwa Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang diperselisihkan ketsiqahannya. Ulama yang tidak mentsiqahkannya tidak sampai pada men-jarh-nya dalam keadilan dan kedhabitannya, tetapi mereka menilainya negative karena factor eksternal diluar keadilan dan kedhabitannya, yaitu persoalan periwayatannya dari bapaknya. Apakah benar dia pernah mendengar dan belajar kepada bapaknya?. Kalau memang ya, apakah semua hadits yang ia riwayatkan itu memang didengar semuanya dari bapaknya?. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan Ulama al-Jarh wa al-Ta‟dil mengatakan: Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka dia Tsiqah. Kesimpulannya, secara pribadi Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang Tsiqah walaupun tidak penuh atau dengan ungkapan redaksi lain shaduq. Jika dia mengatakan mendengar dari bapaknya, maka haditsnya bisa dijadikan hujjah.
2.    Syu’aib bin Muhammad
Nama lengkapnya Syu’aib bin Muhammad bin ‘Amru bin Al ‘Ash adalah periwayat yang sangat jujur (shaduq), teguh pendiriannya (tsabt) dan pernah meriwayatkan hadis dari bapaknya.
3.    Ibnu Abbas
Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.

Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai  Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun.
E.    Keterangan Hadis
      













“Perintahkanlah kamu semua (wajib) kepada anak-anakmu semua. Dan di dalam riwayat-riwayat lain menggunakan kata “’abna ‘akum” Attibi berkata: “Kata murru aslinya umru hamzahnya itu tersimpan karena untuk meringankan. Ketika fa’lul fi’linya tersimpan, maka tidak membutuhkan hamzah washol untuk mengharokati mim. Untuk shalat diwajibkan, dan mereka anak di umur tujuh tahun. Dan pukullah mereka dengan alasan tidak shalat waktu mereka umur sepuluh tahun. Yaitu apabila anak mereka berumur tujuh tahun maka perintahkanlah kamu semua kepada anak-anakmu untuk melaksanakan shalat. Untuk menjalankan dan melakukan shalat. Dan apabila sudah berumur sepuluh tahun maka kamu diwajibkan untuk memukul anak-anakmu apabila meninggalkan shalat”. Ibnu Abdissalam berkata: “Yang diwajibkan itu orang tua dan anak kecil tidak mendapatkan hukuman wajib shalat.” Dan pisahkanlah kamu semua diantara anak-anakmu di dalam tempat tidur, yang mereka tempati untuk tidur. Apabila berumur sepuluh tahun dikhawatirkan dari munculnya syahwat. Dan sekalipun saudara perempuan mereka. Attibi berkata: “Mengumpulkan perintah untuk shalat dan memisah mereka di tempat tidur untuk anak kecil. Karena mendidik dan untuk menjaga semua yang diperintahkan Allah. Dan mendidik mereka dan untuk saling menjaga diantara makhluk dan agar tidak ada perselisihan untuk menghindari yang dilarang. Dan ketika salah satu diantara anakmu menikah dengan pelayanmu, orang lain atau tetanggamu maka tidak boleh melihat sesuatu selain wajah, yang tidak boleh melihat yang di atas lutut. Dan di dalam satu riwayat tidak boleh melihat antara sesuatu diantara wajah dan lutut. Maka sesungguhnya diantara wajah dan lutut itu adalah aurat. Dan di dalam riwayat Daraqutni: “Kamu tidak boleh melihat orang lain terhadap sesuatu dari auratnya. Sesungguhnya sesuatu di bawah wajah sampai lutut itu adalah aurat. Riwayat dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya di dalam kitab Riyad.”

F.    Aspek Tarbawi
1.    Hadis pertama
Hadits di atas adalah suatu bentuk informasi untuk konteks shalat perintah shalat kepada anak harus sudah mulai keras ditekankan pada usia 7 tahun. Pada usia 10 tahun mulai berlakukan hukuman, yakni memukul yang tanpa mencederai. Pembelajaran shalat yang dilakukan oleh orang tua harus didasarkan pada keadaan psikologis atau perkembangan anak, di dasarkan pada usia 7 tahun karena pada usia tersebut adalah standar rata-rata anak sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga perintah shalat mempunyai peran penting untuk mendidik kepribadian anak. Sedangkan pada usia 10 tahun adalah usia anak mendekati baligh, sehingga pemberian hukuman adalah suatu yang membawa dampak positif bagi anak sebagai potensi dasar dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang hamba kepada Tuhannya.
Ada beberapa tahap dalam memberikan pendidikan shalat kepada anak, yaitu:
Tahap pertama: menyemangati dengan menasehati anak tentang pentingnya sholat 5 waktu. Dalam tahap ini diwajibkan kepada orang tua selain menasehati tentang pentingnya sholat peran orang tua juga dituntut untuk bisa memberi contoh dengan cara mengajak anaknya ikut dalam sholat 5 waktu berjamaah.
Perlu kita ketahui bersama-sama bahwasanya para nabi dimasa kecilnya selau berjalan dan bermain ditengah-tengah para jemaah sholat. Oleh karena itu tidaklah berdosa bagi kedua orang tua untuk mengajak anak-anak mereka ikut dalam sholat berjmaah walaupun mereka belum fasih dalam membaca bacaan sholat. Dan dalam masa ini diwajibkan juga kepada kedua orang tua  untuk tidak membentak anaknya.
Tahap kedua : Tahap ini dilakukan sebelum usia anak menginjak 7 tahun dan tahap ini dibagi dengan empat bagian yaitu,

Bagian pertama: dengan mengajarkan anak  tata cara bersuci yang sederhana seperti, menghindari dari najis seperti najisnya air seni dan lain sebagainya dari macam-macam najis. Dan juga mengajarkan tata cara beristinja' atau membersihkan kotoran setelah buang hajat diikuti dengan adab-adab dalam membuang hajat. Dan setelah itu dengan mengajarkan mereka pentingnya menjaga kebersihan tubuh dan pakain dikuti dengan penjelasan bahwa kebersihan itu semua ada hubungan dengan  syarat dari diterimanya sholat.
Bagian kedua : Mengajarkan kepada anak al-Fatihah dan sebagian surat-surat pendek dalam bacaan sholat. Seperti, surat an-Nas, surat al-Ikhlas Dan lain-lain.
Bagian ketiga: mengajarkan tata cara berwudhu diikuti dengan praktek secara langsung seperti apa yang dilakukan para sahabat terhadap anak-anaknya.
Bagian keempat : sebelum usianya menginjak tujuh tahun kita mulai dengan  melatihnya dalam mengerjakan sholat tetapi bukan secara keseluruhan (lima waktu) namun dengan mengerjakan salah satu darinya misalnya mengerjakan sholat subuh.
Tahap ketiga:  Diantara usia tujuh tahun hingga sepuluh tahun
Anak bisa belajar dan tau bahwa kewajiban sholat lima waktu telah menjadi tugas baginya, oleh karena itu diwajibkan kepada kedua orang tua untuk selalu menasehati putra-putri mereka pada dalam masa ini dikarenakan rasulullah telah mengkhususkan pada masa ini sebagai masa atau periode nasihat dalam perintah mengerjakan sholat yang sesungguhnya. Dalam hal ini dianjurkan kepada orang tua untuk selalu mengulang-ulang dalam menasehati dan mengingati anak-anaknya untuk mengerjakan sholat  dengan lemah lembut, senyuman dan rasa cinta serta kasih sayang. Nah, jika kita menghitung seandainya kita menasehati putra-putri disetiap waktu sholat maka dalam waktu tiga tahun dari usia tujuh hingga sepuluh tahun maka kita telah mengingati sang anak sebanyak 5475 kali. Dan didalam masa ini sang anak juga diharuskan mempelajari tata cara bersuci dan sholat yang baik dan benar diikuti oleh bacaan sholat dan doa-doa setelahnya.
Tahap keempat: tahap ini dilaksanakan pada usia sepuluh tahun yaitu, Perintah mengerjakan sholat dan memukulnya bagi yang meninggalkannya.
Dalam tahap ini dilakukan setelah pelaksanaan tahap yang keempat  dengan berulang-ulang selama tiga tahun dan apabila sang anak masih suka meninggalkan sholat maka di haruskan bagi kedua orang tua untuk memukulnya agar kelak sang anak tidak meremehkan perintah sholat nantinya. Dan didalam masa ini pula kedua orang tua mengajarkan sang anak sholat-sholat sunna seperti witr, dhuha dll. Juga dianjurkan kepada orang tua dalam penekanan perintah melaksanakan sholat subuh dengan tepat waktu hingga tertanam di benak anak kebiasaan yang baik di masa yang akan datang.
Adapun ada batas-batas pemukulan orang tua terhadap anaknya, seperti apa yang disabdakan oleh rasul untuk menjauhi daerah sekitar pipi atau menamparnya.
2.    Hadis kedua
Allah Ta’ala melarang istri-istri Rasulullah beserta para wanita kaum mukminin, untuk merendahkan suara dan menghaluskannya di hadapan kaum laki-laki. Larangan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya keinginan berzina bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, dan bahkan cenderung menggerakkan hatinya itu kepada hal-hal yang mengarah kepada perbuatan zina. Semestinya para wanita berbicara seperlunya saja, tanpa bertele-tele, banyak basa-basi dan diperhalus-haluskan suaranya.
Perintah yang berupa larangan merendahkan suara ini, merupakan target poin paling urgen dalam rangka menyatakan kewajiban berhijab bagi para wanita yang beriman. Dan, sesungguhnya menjauhi dari perbuatan ini bagi seorang wanita, termasuk bagian dari upaya menjaga kemaluannya. Namun, itu tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh rasa malu, sifat 'iffah dan kewajaran. Dan kesemuanya ini pada dasarnya terkandung dan bisa direalisasikan melalui hijab. Oleh karena itu, maka pada aspek berikutnya dibahas tentang perintah yang secara gamblang menyuruh untuk berhijab di dalam rumah.
Dengan merendahkan suara atau tidak meninggikan suara di rumah, maka orang tua telah memberikan pendidikan kepada anak tentang adab dalam berhubungan dengan orang lain, serta memberikan ketenangan batin di dalam rumah tangga.

PENUTUP

            Bahwa Rasul memberikan perintah kepada semua orang tua untuk melakukan pendidikan dasar kepada anaknya dalam melaksanakan perintah dari Allah, sebagai suatu bentuk tanggung jawab dan pelajaran dasar dari aspek kehidupan.
Shalat dan menutup aurat serta adab dirumah adalah salah satu bentuk pendidikan dasar yang harus dierapkan orang tua kepada anaknya. Sehingga sedari dini anak sudah dilatih dan terbiasa dengan segala bentuk kebaikan dan nantinya anak akan terpola dengan keadaan yang baik sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.


PUSTAKA

M. Alawi Al-Maliki. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Imam Nawawi. 2003. Faidhul Qodir. Juz 5. Mesir. Maktabah.
http://www.alsofwah.or.id/cetakkajian.php?id=1477&idjudul=1

kelas D makalah 1 hadits 1 Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang

MAKALAH
HADITS RUMAH TANGGA yang penuh
KASIH SAYANG
 
Disusun guna memenuhi tugas: 
Mata Kuliah :  Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Bapak Muhammad Hufron
 
 
Copy of STAIN2.tif
 
 
 
Disusun Oleh :
I S M A R O H
2021110142
KELAS D
 
 
 
 
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012











BAB I
PENDAHULUAN
 
 
Orang yang budi pekertinya baik yaitu orang yang tidak suka berbuat keji, berkata kotor dan sebagainya. Hal ini terdapat pada karakter Nabi kita yaitu Nabi Muhammad Saw.

 


BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Materi Hadits Rumah Tangga yang Penuh Kasih Sayang
قَالَ اَبُو عَبْدِ اللهِ الْجَدَلِيُّ : قُلْتُ لِعَائِشَةَ كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اَهْلِهِ قَالَتْ: (كَانَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلاَ سَخَّابًا بِا ْلأَسْوَاقِ وَلاَ يُجْزِئُ بِالسَّيِّئَةِ مِثْلَهَا وَلَكِنْ يَعْفُوْ وَيَصْفَحُ)
(رواه أحمد فى المسند, باقى مسند الأنصار)
B.     Terjemahan
Dari Abi Abdullah Al-Jadali, “Aku bertanya kepada Aisyah r.a tentang bagaimana budi pekerti Rasulullah Saw dalam keluarganya”, lalu dia berkata, “Orang yang baik budi pekertinya yaitu dia tidak keji, tidak berteriak keras di pasar-pasar dan tidak membalas kejelekan sepertinya Dia adalah orang yang memaafkan dan toleran.”[1]

C.    Mufrodat
o   Dari Abi Abdullah Al-Jadali
o   قَالَ اَبُو عَبْدِ اللهِ الْجَدَلِيُّ
o   Aku bertanya kepada Aisyah r.a
o   قُلْتُ لِعَائِشَةَ
o   Bagaimana
o   كَيْفَ
o   budi pekerti Rasulullah Saw
o   كَانَ خُلُقُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
o   dalam keluarganya
o   فِى اَهْلِهِ
o   lalu dia berkata
o   قَالَتْ
o   Orang yang baik
o   كَانَ اَحْسَنَ النَّاسِ
o   budi pekerti
o   خُلُقًا
o   dia tidak keji
o   لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا
o   tidak berteriak keras
o   وَلاَ سَخَّابًا
o   di pasar-pasar
o   بِا ْلأَسْوَاقِ
o   tidak membalas
o   وَلاَ يُجْزِئُ
o   dengan kejelekan
o   بِالسَّيِّئَةِ
o   sepertinya
o   مِثْلَهَا
o   Dia adalah orang yang memaafkan
o   وَلَكِنْ يَعْفُوْ
o   dan toleran
o   وَيَصْفَحُ



o   tidak berteriak keras
o   وَلاَ سَخَّابًا
o   di pasar-pasar
o   بِا ْلأَسْوَاقِ
o   tidak membalas
o   وَلاَ يُجْزِئُ
o   dengan kejelekan
o   بِالسَّيِّئَةِ
o   sepertinya
o   مِثْلَهَا
o   Dia adalah orang yang memaafkan
o   وَلَكِنْ يَعْفُوْ
o   dan toleran
o   وَيَصْفَحُ



 D.    Biografi Abu Abdullah al-Jadali
Nama aslinya adalah ‘Abdun ibn ‘Abdun. Adapula yang mengatakan nama aslinya adalah ‘Abdurrahman ibn Abdun.
Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Tahzib berkata: “Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu’in menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat, Ajli memandang dia sebagai seorang tabi’in kelahiran Basrah yang Tsiqat.[1]
 
E.     Keterangan Hadits
[
(كان أحسن) لفظ رواية الترمذى: من أحسن (الناس خلقأ) بالضم لحيازته جميع المحسن والمكارم وتكاملها فيه, ولما اجتمع فيه من حصال الكمال وصفات الجلال والجمال مالا يحصره حد ولايحيط به عد: أئنى الله عليه به فى كتابه بقوله: (وإنك لعلى خلق عظيم) فوصفه بالعظم, وزاده فى المدحة بعلى المشعرة باستعلائه على معالى الأخلاق واستيلائه عليها, فلم يصل إليها مخلوق. وكمال الخلق إنما ينشأ عن كمال العقل لأنه الذى تقتبس به الفضائل وتجتنب الرذائل. وقضية كلام المؤلف أن هذا هو الحميث بتمامه والأمر بخلافه, بل بقيته عند مسلم: فريما تحضر الصلاة وهو فى بيتنا فيأمر بالبساط الذى تحته فيكنس ثم ينضح ثم يؤم رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم ونقوم خلفه فيصى بنا, وكان بساطهم من جريد النخل. كذافى صحيح مسلم (فائدة) روى أبو موسى باسناد مظلم كما فى الإصابة إلى هدية عن حماد عن ثابت عن أنس قال: وفد من اليمن وفيهم رجل يقال له ذؤالة بن عوقلة الثمالى فوقف بين يدى النبى صلى الله عليه وسلم فقال: يارسول الله من أحسن الناس خلقاً وخلقا قال أنا ياذؤالة ةلا فخر, فدكر حدثنا ركيك الألفاظ.2


[1] Al-Manawy, فيض القدير Beirut: مكنبه مصر , 2003, hlm. 95
(كان احسن) : orang yang baik budi pekertinya, yaitu (الناس خاق) manusia yang paling sempurna dan sifat-sifatnya dan kebagusannya dan meliputi keseluruhannya dan Allah memuji kepada-Nya (keterangan dari Al-Qur’an)
Dalam keterangan dalam kitab Al-Madhah keagungan dikenal dengan makhluk yang agung dengan tidak ada bandingan dengan makhluk yang lainnya, dan kemuliaan budi pekerti itu tidak akan muncul dari kesempurnaan akal. Sesungguhnya orang yang tidak bisa melebihi kelebihan-kelebihannya dan dijauhkan dari perkara jelek.
Dan seorang pengarang tidak akan menyia-nyiakan omongannya melalui hadits yang sempurna, bahkan pendapat Imam Muslim itu ditetapkan, seperti dia memerintahkan tentang shalat dan dia sedang di dalam rumah, diperintahkan untuk menyapu di halaman rumahnya, maka Rasul-pun mengerjakannya dan Rasul mengerjakan shalat berjama’ah. Demikian dalam kitab Sholihul Muslim.
(Faedah) diriwayatkan Abu Musa disanadkan oleh Imam Ad-Lam keterangan dalam kitab Ashobah/ الاصابة kepada hidayah dari Imam Ahmad, Imam Sabit, Imam An-Anas. Dan meninggal di kota Yaman dan seorang laki-laki bertanya kepadanya, yaitu Dzawaillah bin Auqolah As-Samali, “Ya Rasulullah Siapakah orang-orang yang baik budi pekertinya?” Rasulullah menjawab “Saya”, Hai Dzawaillah dan saya tidak menjadi pengecut, maka telah disebutkan dalam hadits.
F.Aspek-aspek Tarbawi
1.      Aspek-aspek kebaikan dalam keluarga
a.       Ketulusan Niat
Kalimat bijak yang telah diriwayatkan berasal dari Nabi Saw, “Siapakah yang kawin untuk mencari ridla Allah dan untuk membangun sebuah keluarga, Allah akan menghiasi kepalanya dengan mahkota para malaikat”.
b.      Perkawinan Menghasilkan Berbagai Manfaat
-          Hubungan cinta suami istri
-          Terbebas dari kesepian
-          Kebahagiaan kedua keluarga
-          Kesenangan seksual
-          Memiliki anak-anak, dsb[3]
2.      Memberi maaf dan beruat kebaikan termasuk karakter Nabi Muhammad Saw, yaitu :
-          Tidak kasar tutur katanya
-          Tidak keras hatinya
-          Tidak berteriak keras di pasar
-          Tidak membalas kejelakan dengan kejelakan.[4]
 

 
BAB III
PENUTUP
 
Orang-orang yang baik budi pekertinya yaitu:
1.      Orang yang tidak berbuat keji
2.      Orang yang tidak berkata kotor
3.      Orang yang tidak suka berteriak keras di pasar
4.      Orang yang tidak membalas kejelakan dengan kejelekan
5.      Orang yang memaafkan dan bersikap toleran
 
 

 
DAFTAR PUSTAKA
 
Mustafa al-Adawy, Syekh. 2009. Fikih Akhlak. Jakarta: Qisthi Press.
 
 
Manawy, Al. 2003. فيض القدير . Beirut: مكنبه مصر .
 
Ansarian, Husayn. 2002. Membangun Keluarga yang Dicintai Allah. Jakarta: Pustaka Zahra.

 
RINGKASAN MATERI
 
Hadits  tentang rumah tangga yang penuh kasih sayang
 
Di hadits dijelaskan, bagaimana orang yang mempunyai budi perkti yang baik yaitu:
1.      Orang yang tidak berbuat keji
2.      Orang yang tidak berkata kotor
3.      Orang yang tidak suka berteriak keras di pasar
4.      Orang yang tidak membalas kejelakan dengan kejelekan
5.      Orang yang memaafkan dan bersikap toleran
 


[2] Al-Manawy, فيض القدير Beirut: مكنبه مصر , 2003, hlm. 95
[3]  Husayn Ansarian, Membangun Keluarga yang Dicintai Allah (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm. 220
[4] Op.cit., hlm. 58