Laman

new post

zzz

Rabu, 13 Maret 2013

f5-3 a. zaenodin: KEOTENTIKAN QUR’AN SUNNAH

MAKALAH
MENGGUGAT KEOTENTIKAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SERTA HADITS MENGENAI PENAFSIRAN DAN
 PEMAHAMAN YANG KELIRU”

Tugas Disusun Guna Memenuhi
Mata Kuliah              : Hadits Tarbawi 2
Dosen Pengampu      : Ghufron dimyati, M.S.I


Disusun Oleh:
  Nama  : Amat Zaenodin
Nim    : 2021111230
Kelas  : F

                                                         

JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2013

BAB 1
PENDAHULUAN

Sumber  hukum islam sudah dikenal  oleh umatnya, yaitu al-qur’an yang dijamin kebenaran dan keutuhannya. Sedang as-sunnah tidak diragukan lagi merupakan sumber hukum kedua.
Al-qur’an mengandung kaidah-kaidah umum syariat islm dn hukum-hukum yang universal, sebab as-sunnah menafsirkan kaidah-kaidah tersebut, merumuskannya secara bmempelajari dan mendalaminya.
Sejak dahulu sampai sekarang al-qur’an dn as-sunnah telah dirongrong oleh segolongan yang mengingkarinya. Perbuatan tersebut dimaksudkan menfitnah dan menghancurkan sendi-sendi islam yang kokoh dan kuat. Banyak buku-buku yang diterbitkan mereka guna mempengaruhi pendirian kaum muslimin.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadist
حد ثنا سعيد بن أبى مريم: حدثنا أبوغسان قال: حدثنى زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار,عن أبى سعيد رضي الله عنه :أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: (( لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر, وذراعابذراع حتى لو سلكوا جحرضب لسلكتموه )). قلنا: يارسولوالله اليهودوالنصارى؟ قال النبى صلى الله عليه وسلم((فمن؟)) 
B.     Terjemahan
            Sa’id bin Abi Maryam menceritakan kepada kami: Abu Ghasan menceritakan kepada kami dan berkata: Zaid bin Aslam menceritakan kepadaku (Abu Ghasan) dari ‘Atho bin Yasar  dari Abu Sa’id ra, : Nabi saw, pernah bersabda,” tentu kalian akan mengikuti kebiasaan bangsa-bangsa sebelum kalian setahap demi setahap, bahkan ketika mereka masuk ke liang kadal, kalian pun akan mengikuti mereka.”Kami berkata,”Ya Rasulullah! Apakah yang engkau maksud, orang-orang Yahudi dan Nsrani?”Rasulullah saw, menjawab,”Siapa lagi?”[1]
C.     Mufrodat
تَبِعَ        : mengikuti
شِبْرٌ       : sejengkal
سَلَكَ       : melalui
 جُحْرَ:     masuk lubang
ضَبِّ:      kadal

D.  Biografi Perawi
Nama lengkap Abu Sa’id Al Khudri ialah Sa’ad bin malik bin Sinan Al Khunri Al Khazraji Al Anshori. Beliau masih sangat kecil pada waktu perang uhud. Perang yang pertama kali di ikutinya adadalah perang khandaq. Beliau ikut 13 kali perang bersama rosul. Beliau wafat tahun 74 H.
Abu Sa’id termasuk salah seorang sahabat yng banyak meriwayatkan hadist nabi SAW. ia menerima hadist dari nabi 1170 hadist, 43 hadist disepakati Bukhari dan Muslim, 26 hadits diriwayatkan Bukhari sendiri dan 52 hadits oleh Muslim sendiri.
            Beliau meriwayatkan hadits dari Nabi saw sendiri dan dari para sahabat, diantaranya ialah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Hadits Abu Said diriwayatkan oleh banyak sahabat, diantaranya ialah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zabir, Mahmud, Labid, Abu Umamah bin Shal, dan Abu at- Tufail.
Diantara tabiin senior adalah Ibnu Al Musayyab, Abu Utsman al Nahdy, Thoriq bin Syihab, Ubaid bin Sa’ad, Atha bin Abdillah, dan lain-lain.[2]
E.   Keterangan  Hadits
1. Keontetikan al Quran
Al-Quran adalah kitab yang mulia yang diturunkan karena suatu rahmat dari Allah. Al Quran membawa kebenaran dan tidak ada yang dapat mengubahnya, karena dijaga oleh Allah dari segala kebathilan yang datang dari segala penjuru arah.[3]
انّا نحن نزّلنا لذّكروانّ له لحا فظون
“sesungguhnya Kami yang menurunkan al Quran dan Kamilah pemelihara-pemelihara-Nya”. (QS. al- Hijr: 9).
            Demikianlah Allah menjamin keontetikan Al Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat diatas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al Quran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw.



Bukti-bukti dari Al-Qur’an sendiri:
huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam al-Qur’an adalah jaminan keutuhan Al-Qur’an sebagaimana diterima oleh Rasulullah saw. Tidak berlebih dan berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur’an.kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
Huruf  qaf yang merupakan awal dari surah ke-50,ditemukan terulang sebanyak 57=3x19. Huruf ka, ha’, ya’ ‘ain dan shad dalam surah maryam ditemukan sebanyak 798=42x19.
Bilangan-bilangan tersebut yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat Al-Qur’an oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keotentikan Al-Qur’an.[4]

2.    Keontetikan Hadist
Barang siapa yang mempelajari pendirian ulama dalam rangka menyelidiki hadist niscaya ia akan optimal. Perjuangan mereka ditujukan menjaga kemurnian hadist palsu serta untuk memberantas pembuat dan pembuatannya.
Dibawah ini akan dikemukakan langkah-langkah yang di tempuh ulama dalam meneliti as sunnah yaitu:[5]
a.       Penelitian Sanad
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendukung penelitian hadist dengan tujuan utamanya menilai dan membuktikannya secara historis bahwa apa yang disebut hadist itu memang benar dari Rosulullah. Objek penelitian kritik sanad adalah hadist yang masuk kategori hadist ahd dan bukan yang mutawatir.[6]
b.      Mengukuhkan hadist-hadist
            Pengukuhan ini dilakukan dengan jalan meneliti dan mencocokan kembali kepada para sahabat, tabi’in dan ulam ahli hadist.
c.       Meneliti rawi hadist dalam menetapkan status kejujurannya.
Dengan demikian dapat disisihkan mana hadist shahih dan mana yang palsu serta mana yang kuat dan mana yang dhaif.[7]

F. Aspek Tarbawi
Adanya kecermatan dan ketelitian dalam membaca atau mendengarkan Al Qur’an dan As Sunnah yang diterima.
Ø  Al Qur’an merupakan sumber hukum islam pertama.
Ø  As Sunnah merupakan sumber hukum islam ke dua.
Ø  Percaya akan apa yang dibaca dan di dengar dalam Al Qur’an.
Ø  Mendalami metode yang dilakukan muhaditsin menghasilkan ilmu yang komplit.

G.  MATERI HADITS
عن عبد الرحمن العذري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يرث هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تأويل الجاهلين وانتحال المبطلين وتحريف الغالين ( رواه البيهقي في السنن الكبيري )[8]

H.  TERJEMAHAN
Dari Abdirahman al Adzari berkata, Rasulullah SAW berkata: “ Akan mewarisi ilmu ini dari setiap generasi, orang- orang yang terpercaya dari padanya. Mereka itu melakukan upaya membantah segala penafsiran orang- orang bodoh dan kebohongan orang- orang sesat, serta membantah penyimpangan orang- orang yang melampaui batas. (HR. Baihaqi).[9]


I.       MUFRODAT           
Mewariskan                                         : يرث
Ilmu                                                     :  العلم
Orang-orang terpercaya (adil)             : كل خلف عدوله
Menafikan (membantah)                     :  ينفون
Pendapat orang-orang bodoh              :  تأويل الجاهلين
Kebohongan orang-orang sesat           : وانتحال المبطلين
Penyimpangan orang-orang ghulu’.    : وتحريف الغالين
J.  BIOGRAFI PERAWI
Abdirrahman al Adzari adalah ayah dari Ibrahim yang termasuk golongn dari tabi’in yang menyendiri (terakhir). Saya (Mualik) tidak melihat beliau seorang yang lemah. Beliau memursalkan hadits yang berbunyi:
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله
“Akan membawa ilmu ini dari setiap orang akhir zaman”
Tidak hanya satu orang yang meriwayatkan hadits tersebut, diantaranya Mu’an ibn Rifa’ah.[10]
K.  KETERANGAN HADITS
                 Hadits tersebut diatas merupakan hadits yang menjelaskan mengenai sebab terjadinya penafsiran dan pemahaman yang keliru mengenai Al Quran dan hadits, diantaranya yaitu penafsiran orang- orang  bodoh, orang- orang batil dan orang- orang ghulu.
                 Pada kata “kholafin” berarti yang dibebani berlebihan, selain itu juga berarti setiap orang yang datang setelah orang terdahulu, dapat juga diartikan suatu masa dari manusia. Selain itu pada kata “Takhrifa” berarti merubah huruf dan kalimat dari makna yang sebenarnya seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi terhadap Taurat.[11]
                 Penafsiran Al Quran pada dasarnya merupakan otoritas Nabi Muhammad SAW, karena hanya beliaulah yang memahami apa yang dimaksud oleh wahyu. Akan tetapi karena nabi tidak menjelaskan secara keseluruhan ayat- ayat Al Quran, maka setelah wafat para shahabat memahami Al Quran dengan cara bertanya kepada shahabat yang dikenal sebagai penafsir Al Quran ataupun dengan cara mengintepretasikan secara luas ayat- ayat Al Quran. Sehingga hal ini menimbulkan terjadinya kekeliruan dalam penafsiran  wahyu bagi mereka yang kurang berkompeten.
                 Dalam hadits tersebut secara tidak langsung menyeru orang- orang berilmu disetiap generasi untuk berupaya membantah tafsiran orang- orang bodoh, kebohongan orang- orang sesat dan penyimpangan orang- orang yang melampaui batas terhadap AlQuran dan Hadits. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang, seseorang atau suatu kelompok tertentu dapat dengan mudah memanipulasi tafsiran sehingga menimbulkan pemahaman yang salah untuk kepentingan- kepentingan tertentu.
                 Agar tidak terjadi kekeliruan dalam penfsiran ayat- ayat Al Quraan maka ada baiknya para mufasir memperhatikan adab dalam mentafsirkan Al Quran. Adapun etikanya adalah sebagai berikut:
1.      Memiliki niat dan perilaku baik.
2.       Jujur dan teliti dalam penukilan.
3.      Bersikap independen.
4.      Mempersiapkan dan menempuh langkah- langkah penafsiran secara sistematis.[12]
L.      ASPEK TARBAWI
            Dari uraian diatas mengenai hadits tentang Penafsiran dan Pemahaman yang Keliru, maka dapat diambil aspek tarbawi sebagai berikut:
1.      Kita sebagai orang yang  berilmu hendaknya mengupayakan pembendungan dan pembantahan terhadap penafsiran- penafsiran yang keliru dari orang- oarng yang tidak bertanggungjawab.
2.      Hendaknya kita tidak mengambil fatwa atau keterangan Al Quran maupun hadits dari orang- orang yang bodoh karena akan meniadakan  penafsiran- penafsiran yang sebenarnya.
3.      Dari orang- orang yang batil serta orang- orang ghulu tedapat pemalsuan- pemalsuan tafsir yang merubah makna tafsiran yang sebenarnya.























BAB III
PENUTUP
Dengan demikian Allah menjamin keontetikan Al Qur’an sesuai dengan QS.Al Hijr:9. Yang mana terdapat jaminan keutuhan Al Qur’an dari kata-kata yang digunakan oleh Al Qur’an. Kesemuanya habis terbagi 19. Sesuai dengan jumlah huruf-huruf
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 
Langkah-langkah ulama dalam meneliti As Sunnah: penelitian sanad, mengukuhkan hadist-hadist, meneliti rawi hadist dalam menetapakan status kejujuran.
Tafsir berarti terang, nyata, dan memberi penjelasan. Dalam hubunganya dengan Al Quran, tafsir diartikan sebagai penjelasan maksud yang sukar dari suatu lafadh. Dalam menafsirkan ayat- ayat Al Quran maupun hadits banyak terjadi silang pendapat antara mufasir satu dengan mufasir yang lain.
Orang- orang bodoh dapat memberi penafsiran secara keliru mengenai apa yang ditafsirnya karena kurangnya pemahaman mengenai suatu ilmu tertentu. Orang- orang sesat dan ghulu dapat memberikan pemahaman yang keliru mengenai suatu yang ditafsirkannya karena mungkin memiliki kepentingan- kepentingan tertentu yang dapat berdampak negatif bagi integritas agama.
Oleh sebab itu, tugas orang- orang berilmu adalah membantah segala bentuk penafsiran dari orang- orang bodoh, orang- orang batil dan orang- orang yang melampaui batas agar tidak menyesatkan orang- orang yang mencari ilmu.









DAFTAR PUSTAKA

Adh Dhihabi, Al Imam Hafidz Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad. 1995. Mizanul ‘Itidal. Baairut: Dai Al Kotob Al Ilmiyah.
Al Baihaqi, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakri. 1994. Sunan Baihaqi Al Kubra. Makah: Maktabah Darul Bar.
Assiba’I,Musthafa.1979. Al Hadist sebagai Sunber Hukum. Bandung: CV. Diponegoro
Hadhiri,Choiruddin.2002. Klasifikasi Al Qur’an. Jakarta:Gema Insani Press
http:// alghuroba.org/para.php
Mandur, Ibnu. 1990. Lisan Al Arab. Bairut: Dar Sander.
Rosadisastra, Andi. 2007. Metode Tafsir Ayat- Ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah.
Shihab,Quraish.2000. Membumikan Al Qur’an. Bandung:Mizan
Sumbullah,Ummi.2010. Kajian kritis Ilmu Hadist. Malang:UIN Maliki Press 2000. Al kuttub Al Shittah. Riyadh:Darussalam










       [1] Al Kuttub Al Shittah, (Riyadh:Darussalam,2000), hlm.282
       [2] Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm.117-118
       [3] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, (Jakarta:Gema Insani Press,2002),hlm.204

      [4] Dr.M.Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung:Mizan,2000), hlm.21-22
      [5]  Musthafa Assiba’I, Al Hadist Sebagai Sumber Hukum,  (Bandung:CV.Diponegoro,1979), hlm.143
       [6] Ummi Sumbullah, Kajian kritis Ilmu Hadist, (Malang:UIN Maliki Press,2010), hlm.184
       [7] Ummi Sumbullah, Kajian kritis Ilmu Hadist, (Malang:UIN Maliki Press,2010), hlm.184
       [8] Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakri Al Baihaqi, Sunan Baihaqi Al Kubro, (Makah: Maktabah  Darul Bar, 1994), juz10, hal 209.
       [9] http:// alghuroba.org/para.php diakses pada tanggal 17 februari 2013
       [10]  Al Imam Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adh Dhihabi, Mizanul ‘Itidal, Juz Awal. ( Bairut. Lebanon: Dai al Kotob al Ilmiyah, 1995), hal 166-167.
       [11]  Ibnu Mandur, Lisan al Arab, (Baerut: Dar Sader,1990), Juz IX, hal 43 dan 58.
        [12]   Ibnu Mandur, Lisan al Arab, (Baerut: Dar Sader,1990), Juz IX, hal 43 dan 58.