Laman

new post

zzz

Sabtu, 15 September 2012

psikologi agama kelas B: kebutuhan agama

psikologi agama kelas B: kebutuhan agama - word


psikologi agama kelas B: kebutuhan agama - ppt





BAB I
PENDAHULUAN

Manusia tampil dimuka bumi ini sebagai homo religious yang mempunyai makna bahwa ia memiliki sifat-sifat religious. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar, manusia mempunyai dorongan dan kegunaan guna mendapatkan keamanan hidup dan pemenuhan kebutuhan di bidang keagamaan. Manusia juga merupakan makhluk yang spesifik, baik dilihat dari segi fisik maupun non fisiknya. Sedangkan fisik atau jasmani manusia dikaji dan diteliti oleh disiplin ilmu anatomi, biologi, ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lainnya, kemudian jiwa manusia dipelajari secara khusus oleh psikologi. Selanjutnya dalam perkembangannya, para ahli melihat bahwa psikologi memiliki keterkaitan  dengan masalah-masalah  kehidupan batin manusia yang dalam yaitu agama. Untuk itu, kali ini pemakalah akan membahas tentang “kebutuhan beragama” yang termasuk salah satu kebutuhan manusia dalam kehidupan manusia.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Faktor yang mempengaruhi kebutuhan agama.
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Tatkala Allah membekali insan dengan nikmat berpikir dan daya penilitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kagarangan dan kebengisan alam. Hal inilah yang mendorong insan untuk mencari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya di saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan apa yang dicarinya pada gejala alam. Secara berangsur dan silih berganti gejala-gejala alam tadi diselaraskan dengan jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda-benda lainnya dari gejala-gejala alam.[1]
Menurut Nico Syukur Bister Ofm,motivasi untuk beragama dibagi menjadi empat, yaitu :
a.       Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan.
b.      Motivasi beragama yang didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
c.       Motivasi yang didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia.
d.      Motivasi yang didorong oleh keinginan menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.[2]
B.     Kebutuhan agama berdasarkan tingkat usia pada manusia.
1.         Agama pada masa anak.
Menurut para ahli, anak dilahirkan bukan sebagai makhluk yang religius, ia tak ubahnya seperti makhluk yang lainnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya.
Menurut thomas,  manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu :
a.       Keinginan untuk selamat.
b.      Keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru.
c.       Keinginan untuk mendapatkan tanggapan baru.
d.      Kenginan untuk dikenal.
Melalui pengalaman-pengalaman yang diterima dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak. Sementara menurut Woodwort berpendapat bahwa bayi dilahirkan telah memiliki insting, diantaranya adalah insting keagamaan. Anak mengenal tuhan pertama kali melalui bahasa, dari kata-kata orang yang ada dalam lingkunganya.[3]
Pada awalnya anak masih acuh tak acuh menerima tentang Tuhan, namun setelah menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya, maka timbulah perhatian kepada Tuhan, maka mulailah ia mearasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang gaib yang tidak dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata –kata yang diucapkan oleh orang tuanya, maka lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran tuhan dalam pemibanaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis.[4]
Tahap perkembangan beragama dalam anak :
a.       The fairly tale stage (tingkat dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3-6 th, konsep mengenai tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menenggapi agama, anak masih menggunakan konsep fantastis, yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.[5]


b.      The realictic stage(tingkat kepercayaan).
Ide-ide tentang tuhan telah tercerminkan dalam konsep-konsep yang realistik, dan biasanya muncul dari lembaga agamaatau pengajaran orang dewasa. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas emosional, sehingga melahirkan konsep tuhan yang formalis.
c.       The individual stage(tingkat individu).
Pada tingkat ini anak mulai memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usianya. Konsep keagamaan yang individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan :
Ø  Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan sebagian kecil fantasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh luar.
Ø  Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
Ø  Konsep ketuhanan yang bersifat humanistic, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.[6]
2.      Agama pada masa remaja.
Pada dasarnya remaja telah membawa potensi beragama sejak dilahirkan dan itu merupakan fitrahnya, yang selanjutnya adalah bagaimana remaja mengembangkan potensi tersebut.[7] Ide-ide agama, dasar-dasar dan pokok-pokok agama paada umumnya diterima seseorang pada masa kecilnya. Apa yang diterima sejak kecil akan berkembang dan tumbuh subur, apabila anak(remaja) dalam menganut kepercayaan tersebut tidak mendapat kritikan, dan apa yang tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakan.[8]
Keadaan emosi remaja yang belum stabil akan mempengaruhi keyakinannya pada Tuhan dan pada kelakuan keberagamaannya, yang mungkin bisa kuat atau lemah. Kebutuhan akan Allah, misalnya, kadang-kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tenteram, dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam, ketika ia takut gagal atau mungkin ,merasa berdosa.[9]
Masa remaja merupakan masa yang labil, belum stabil emosinya. Bagi remaja ibadah seolah-olah hanya untuk menenteramkanhati yang gelisah. Makin rajin ibadahnya jika merasa bersalah, dan makin berkurang ibadahnya jika merasa tidak bersalah.[10] Disamping itu masa remaja merupakan masa dimana remaja mulai mengurangi hubungan dengan orang tuanya, dan berusaha untuk dapat berdiri sendiri dalam menghadapi segala kenyataan-kenyataan yang ada. Hal ini menyebabkannya remaja berusaha mencari pertolongan Allah SWT. Faktor yang mendorong remaja atas kebutuhan agama, adakalanya kebutuhannya akan Tuhan sebagai pengendali emosional, karena takut(berdosa) dan karena lingkungan.
3.      Agama pada masa dewasa dan usia lanjut.
a.       Agama pada dewasa :
Pada masa dewasa, seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber pada ajaran-ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain dalam kahidupan. Dengan kata lain, orang dewasa memilih nilai-nilai dan berusaha mempertahankannya. Orang dewasa telah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.[11]
Kesadaran beragama pada usia dewasa merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan rangsangan yang datang dari luar. Sedangkan motivasi beragama pada orang dewasa didasarkan pada penalaran yang logis, sehingga ia akan mempertimbangkan sepenuhnya menurut logika. Sama halnya dengan motivasi beragama, ekspresi beragama pada dewasa sudah menjadi hal yang tetap, istiqomah. Artinya, sudah tidak percaya ikut-ikutan lagi. Tapi lebih berdasar pada kepuasan atau nikmat yang diperoleh dari pelaksanaan ajaran agama tersebut.[12]
b.      Agama pada lanjut usia :
Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketiak gejolak kehidupan seksaul sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehiduapan manusia usia lanjut yang makin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan bekal diri untuk kehidupan di akhirat kelak.
Pada penelitian lain terungkap bahwa yang menentukan sikap  keagamaan pada usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi, kecenderungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepat datangnya kematian merupakan salah satu factor yang menentukan berbagai siakp keagamaan di usia lanjut. Penelitian ini, misalnya dilakukan oleh M.Argyle dan Elle A. Cohen.[13]
C.    Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat.
1.      Berfungsi edukatif.
Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang, mempunyai latar blakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnuya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
2.      Berfungsi penyelamat.
Keselamatan yang dibrikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral berupa keimanan kepada tuhan dengan tujuan agar dapat berkomunikasi baik secara langsung maupun dengan perantara.
3.      Berfungsi sebagai pendamaian.
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan salah akan segera hilang dari batinnya apabilaseseorang pelanggar telah menebus dosanya, melalui tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.
4.      Berfungsi sebagai kontrol sosial.
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosialsecara indiviu maupun kelompok, karena agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya dan agama secara dogmatis mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis(wahyu, kenabian).
5.      Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas.
Para penganut agama yang sama secar psikologis akan merasa memliki kesamaan dalam satu-kesatuan: iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas.
6.      Berfungsi transformatif.
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
7.      Berfungsi kreatif.
Ajaran agama mendorong dan mengajak pemganutnya untuk bekerja produktif  bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain, serta dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8.      Berfungsi sublimatif.
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus karena dan untuk Allah merupakan suatu ibadah.[14]




BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan.
Manusia dalam hidupnya sangat memerlukam agama dalam upaya sebagai tuntunan dalam menjalani hidup, agar tidak salah melangkah dan tersesat dalam menjalani amanat yang diberikan oleh Tuhan-Nya. Juga sebagai bekal agar mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan didunia maupun di akhirat nanti.
Jadi agama merupakan  suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap manusia.

B.     Kritik dan saran.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih banyak kekurangan, untuk itu, kami mohon kritik dan saran para pembaca. Semoga makalah yang kami tulis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.



[1] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama.(Bandung:PT Mizan Pustaka) hal.102
[2] Sururin, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada) hal.70
[3] Jalaluddin dan Ramayulis dalam Sururin. Op.cit hal.48.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,cet.15 (Jakarta:Bulan Bintang 1996) hal.36
[5] Sururin, op.cit. hal.52
[6] ibid hal.54
[7] Ibid hal.66
[8] Zakiah Daradjat, op.cit. hal.72
[9] Sururin, op.cit. hal.68
[10] Zakiah Daradjat. Op.cit.hal.84
[11] Jalaluddin, op.cit. hal.93
[12] Sururin, op.cit. hal.86
[13] Ibid hal.90
[14] Jalaluddin, op.cit. hal.327




psikologi agama kelas A: kebutuhan agama

psikologi agama kelas A: kebutuhan agama - word

psikologi agama kelas A: kebutuhan agama - ppt






MAKALAH
KEBUTUHAN  AGAMA

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Psikologi Agama
Dosen pengampu : M. Ghufron Dimyaty, Msi



Disusun oleh :
1.      Dewi Refiyanti                 2022 111 017
2.      Nestiti Sunarti                  2022 111 018
3.      Abdus Syakur                 2022 111 021
4.      Khamid                            2022 111 024

Kelompok  II
PBA / A, SMT 3

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PEKALONGAN
ANGKATAN 2012-2013
BAB 1
PENDAHULUAN
      Latar belakang masalah
Pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinyapada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama. Maka orang-orang tersebut akan dengan sendirinya mempunyai kecenderenungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama. 
      Rumusan Masalah
1.         Mengetahui kebutuhan manusia akan agama
2.         Untuk mengetahui pendidikan agama bagi anak
3.         Untuk mengetahui agama pada masa remaja
4.         Untuk mengetahui perkembangan usia lanjut dan agama













BAB II
                                                         PEMBAHASAN
            A.1. Kebutuhan Manusia akan Agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang  beragama (homo religious). Dalam ajaran agama islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama.
Prof.Dr. hasan Langgulung mengatakan:
“salah satu cirri fitrah ini ialah bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain, manusia itu adalah dari asal mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrah-Nya”.
Dalam Munjid juga ditemukan bahwa fitrah juga mempunyai arti yaitu: ”sifat yang mensifati segala yang ada pada saat selesai diciptakan”. Arti-arti diatas masih bersifat umum untuk mengkhususkan arti fitrah hendaklah diperhatikan maksud firman Allah SWT sebagai berikut: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah). Tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. (QS Al-Rum 30:30) Mushthafa Al-Maraghi menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: “tetaplah pada tabiat yang telah ditetapkan  Allah pada diri manusia, maka Allah menjadikan fitrah mereka itu cenderung kepada tauhid itu sendiri dengan petunjuk yang benar dan berasal dari akal”.
Menurut muzayyin Arifin, berdasarkan pandangan ulama yang telah memberikan makna terhadap istilah fitrah yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung beberapa komponen psikologi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia. Komponen itu terdiri atas:
1)        Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama islam saja.
2)        Kemampuan dasar untuk beragama Islam (ad-dinul aayyimaah) dimana faktor iman merupakan intinya.
3)        Muwahib (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan)  yang mengacu pada keimanan kepada Allah.
Karena adanya fitrah ini, maka manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama. Manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan.[1]
            A.2. Kebutuhan Ibadah (Agama)
       Bentuk kebutuhan agama dalam hal ini dirtikan sebagai kebutuhan beribadah sebagai salah satu tugas manusia. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia dan jin diciptakan bertugas untuk beribadah.
و ما خلقت الجن و الانس الا ليعبدون

“…. Tidak ku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. 
Tugas Beribadah ini beruhubungan erat dengan tugas sebagai khalifah, ibadah sebagai implementasi hubungan vertikal, sedangkan khalifah sebagai implementasi hubungan kebawah dengan alam. Ibadah merupakan implementasi ketundukan dan kepatuhan kepada atasan, sementara khalifah merupakan implementasi kekuasaan yang bertanggung jawab dan pengelolaan yang ramah lingkungan[2].
B. Pendidikan Agama Bagi Anak-anak
Perkembangan anak pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama) akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Bagaimana cara memberikan pengalaman keagamaan kepada anak akan ikut membentuk pribadinya....? apa yang dapat dilakukan oleh guru agama...?
diantara masalah yang perlu di ketahui oleh guru agama dan akan di bicarakan dalam bidang ini adalah : pembinaan pribadi anak, perkembangan agama pada anak, pembiasaan pendidikan  pada masa anak, dan  beberapa hal yang prlu di ketahui dan di ingat oleh guru agama.

    C.  Perkembangan Agama pada Remaja
Masa remaja adalah masa yang penuh kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan atau diatas peralihan atau diatas jembatan goyang, yang menghubungkan masa kanak-kanak yang penuh keberuntungan dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri. Apabila seorang remaja telah merasa dapat bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, mampu mempertanggung jawabkan setiap tindakannya dan dapat menerima filsafat hidup yang terdapat dalam masyarakat dimana pun ia hidup, maka waktu itu dia telah dapat dikatakan dewasa.
Jika kita ingin meneliti dan mempelajari jalan perkembangan perasaan agama pada remaja, kiranya kita tidak dapat mengabaikan faktor-faktor terpenting dalam pertumbuhan remaja itu, antara lain:
1)        Pertumbuhan mental remaja
Ide-ide dan pokok ajaran-ajaran agama yang diterimanya waktu kecil itu akan berkembang dan bertambah subur, apabila anak atau remaja dalam menganut kepercayaan itu tidak mendapat kritikan-kritikan dalam hal agama itu. Dan apa yang bertumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang diperpeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.
2)        Masalah mati dan kekekalan
Pada masa remaja pengertian tentang mati telah lebih meluas dan mendalam, sehingga ia memandangnya sebagai suatu phenomena umum yang wajar, yang akan menimpa semua orang dan juga dirinya sendiri, bahkan akan terjadi atas seluruh makhluk. Yang berarti bahwa pemikirannya itu tidak berhubungan dengan manusia saja, tapi sebagai hukum alam  yang umum. Kendatipun pikiran tentang mati itu telah meningkat, namun mereka tidak dapat menghilangkan kegelisahan, yang mengambil bentuk sebagai berikut:

a)                  Takut berpisah dengan keluarga
b)                  Takut dirinya akan mati
3)        Emosi dan pengaruhnya terhadap agama
Diantara sebab-sebab atau sumber-sumber kegoncangan emosi pada masa remaja, adalah konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi pada remaja dalam kehidupan, baik yang terjadi pada dirinya sendiri, maupun yang terjadi dalam masyarakat umum atau disekolah. Diantara konflik yang membingungkan dan menggelisahkan remaja ialah jika mereka merasa atau mengetahui adanya pertentangan tentang antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan.
4)        Perkembangan moral dan hubungannya dengan agama
Kita tidak dapat mengatakan seorang anak yang baru lahir bermoral atau tidak bermoral. Karena moral itu bertumbuh dan berkembang dari penglaman-pengalaman yang dilalui oleh anak-anak sejak lahir. Pertumbuhannya sudah dapat dikatakan mencapai kematangannya pada usia remaja, ketika kecerdasannya telah selesai bertumbuh. [3]
D.    Perkembangan usia lanjut dan agama
Perkembangan selanjutnya digambarkan oleh garis lurus sebagai gambarn terhadap kemntapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia kedewasaan hingga ke usia seiar 50 tahun, perkembangan fisik manusia boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Barulah diatas usia 50 tahun mulai terjadi penurunan perkembangan yang drastis hingga mencapai usia lanjut. Oleh karena itu, umumnya garis perkembangan pada periode ini digambarkan oleh garis menurun. Periode ini disebut sebagai periode regresi (penurunan).
Mengenai kehidupan keagamaan pada lanjut ini William James menyatakan bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir (Robert H. Thouless, 1992: 107).


                                            BAB III
                                         PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari makalah tentang “Kebutuhan Agama” dapat disimpulkan bahwa ajaran agama itu sangat berpengaruh besar terhadap jiwa kita,  dan pendidikan agama sangat di butuhkan pendidikan sejak dini sehingga di usia lanjut dapat membentuk kepribadian yang baik.

B.     Penutup
Demikian makalah tentang “kebutuhan agama” yang telah kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran sangat kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.



















DAFTAR PUSTAKA


Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Palembang: PT. Raja Gafindo Persada.
Daradjat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1] Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Palembang: PT. Raja Gafindo Persada.                
[2] Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[3] Daradjat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.