Laman

new post

zzz

Jumat, 02 Desember 2011

woro-woro

mau beli buku klik disini

ilmu akhlak (10) Kelas F


MAKALAH
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA DALAM ETIKA


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Dosen Pengampu                         : M. Ghufron Dimyati M.SI
Mata Kuliah            : Ilmu Akhlak
Kelas       : F
Kelompok                 : 10 (sepuluh)



               











Disusun oleh :

1. Nila Naeli Rohmah         (2021 111 271)
2. Mayda Ar Rohmah        (2021 111 272)
3. Mareta Sofiana              (2021 111 273)
4. Muhammad Faiqi          (2021 111 274)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2011/2012
PENDAHULUAN
          
Manusia adalah makhuk sosial, dalam kehidupan sosial perlu ada tatanan. Adanya tatanan dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting. Ketentuan-ketentuan dalam ilmu akhlak seharusnya dapat membimbing dan mengarahkan perilaku manusia dimana dan kapanpun ia berada. Penilaian tentang baik dan buruknya suatu perbuatan tidak tergantung pada manusia, tetapi perbuatan manusialah yang harus menyesuaikan dengan ketentuan yang sudah digariskan itu.
Oleh karena itu tidak berebihan apabila dikatakan bahawa ilmu akhlak, kemudian diamalkan menjadi akhlak al-karimah merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan kejayaan dan kebahagiaan suatu masyarakat dan bangsa. Artinya suatu bangsa akan jaya dan bahagia apabila para warga dan pemimpinnya mengikuti dan melaksanakan ketentuan yang ada dalam ilmu akhlak yang sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat memiliki akhlak yang mulia.
Menyadari pentingnya penerapan lmu akhlak dalam pembetukan kepribadian manusia, maka tidak mengherankan apabila mata pelajaran akhlak ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diberikan kepada setiap jenjang pendidikan. Dan makalah ini akan membahas salah satu materi dalam ilmu akhlak, agar diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.     










PEMBAHASAN

1.Norma Moral

Norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa di taklukan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma yang lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal itu sudah sering terjadi.
Seperti norma-norma yang lain juga, norma moral pun dirumuskan dalam bentuk positif atau negative. Dalam bentuk positif  norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negative norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan berbohong, dan lain sebagainya.[1]
Norma moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat, tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat, melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan ”wajib”. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, karena setelah itu merasa “tidak mempunyai beban” apapun.[2]
Dan perintah tidak bersyarat, tidak berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang transenden. Disini terdapat kecenderungan  yang bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Tetapi norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, atau mengembalikan harkat kemanusiaan yang sebenarnya. jadi apabila orang taat dengan norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Taat kepada norma moral, bisa berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat.[3]
Ada baiknya, kita menyimak kritik dari kaum positivis bahwa pada umumnya “kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila dengan menunjukan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan memberikan kesukaan.
Sehingga menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah berbuat susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan yang emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukan dua kalimat kognitif, yaitu:
a.       kalimat kognitif analitikyang kebenarannya terkandung dalam istilahnya.
Contohnya : “segi empat mempunyai empat sisi”.
b.      kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam realitas
Contohnya : “Diluar ruang ini hujan turun”.[4]

2. Universalitas Norma Moral

Norma moral bersifat universal, artinya harus selalu berlaku dan dimana-mana.  Mustahillah norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum (yang didasarkan pada undang-undang yang berbeda), tapi tidak mungkin terjadi dengan norma moral. Bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi rahasia bank, sedang negara lain tidak punya. Tapi sulit untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tetapi tidak berlaku di tempat lain.[5]
Suatu aliran dalam pemikiran yang menolak adanya norma universal adalah “etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak mungkin ada norma-norma moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi berbeda. Perilaku manusia selalu berlangsung dalam situasi konkret. Tidak ada situasi yang persis sama. Karena itu hanya situasilah yang menetukan apakah suatu tindakan  boleh disebut baik atau buruk dari segi moral. Baik buruknya tidak bisa ditentukan secara umum, terlepas dari keadaan konkret.
Dalam bentuk ekstreamnya etika situasi ini tidak bisa dipertahankan. Tapi tidak bisa disangkal juga bahwa di sinipun terkandung unsur kebenaran. Hal ini akan kita selidiki dengan beberapa pertimbangan kritis.
·         Tanpa ragu-ragu akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral tertentu tidak tergantung dari situasi. Misalnya, tindakan terorisme seperti meledakan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan korban manusia yang tidak bersalah, tidak pernah dapat dibenarkan. Mungkin kita dapat mengerti motif-motif para teroris. Mungkin mereka memperjuangkan hak-hak territorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah dapat kita setujui tindakan itu sendiri. Tentang kasus tadi dan banyak kasus lain yang sejenis semua orang akan sepakat bahwa disini berlaku norma-norma yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana sama. Malah harus dikatakan bahwa tidak ada etika lagi, kalau tidak ada norma umum. Etika situasi dalam bentuk ekstream sebenarnya mengandung kontradiksi. Kalau setiap situasi membutuhkan norma tersendiri, maka namanya bukan norma lagi dan pemikiran kita tentangnya tidak lagi etika. Etika justru mengandaikan adanya norma umum.
·        Tapi jika kita menolak etika situasi yang ekstream, kita harus menolak juga lawannya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan kecenderungan untuk menegakan norma moral secara buta, tanpa memperhatikan sedikit pun situasi yang berbeda-beda. Dalam hal ini mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal, faktor-faktor diluar norma moral itu sering kali penting untuk menilai kualitas etis suatu perbuatan. Misalnya, kejujuran merupakan suatu norma moral yang umum. Mencuri barang milik orang lain tidak pernah dapat dibenarkan. Tapi dalam kasus seorang miskin mencuri ayam, tentu penilaian etis kita harus lain daripada bila koruptor kelas kakap menyelewengkan milyaran rupiah. Kita harus mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma moral kita harus mempertimbangkan keadaan konkret.
·        Walaupun dalam penilaian etis situasi harus selalu turut dipertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak disebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti bahwa situasi merongrong atau memperlemah norma.[6]

Etika situasi dalam bentuk ekstream tidak tahan uji. Bahkan seperti sudah kita lihat, etika situasi sebenarnya menyangkal adanya norma dan pada akhirnya menghancurkan etika. Etika selalu menuju ke suatu posisi umum. Etika mencari yang mengikat kita semua sebagai manusia. Justru karena itu kita bisa berdiskusi tentang masalah-masalah etis dan dan mengkritik perilaku moral orang lain. Bagi para penyusun Undang-Undang dasar 1945, misalnya ; kolonialisme merupakan suatu masalah etis, karena penjajahan itu ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Karena itu mereka tidak berpendapat bahwa penjajahan harus ditiadakan diwilayah Indonesia saja, melainka bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan “.[7] Tuntunan etis itu mempunyai implikasi universal. Atau jika ada rezim pemerintahan yang didasarkan atas prinsip rasisme, kita protes. Kita tidak mengatakan: “dalam kebudayaan kita hal seperti itu tidak dapat diterima, tapi terserah kalau budaya lain punya pandangan lain”. Sebaliknya, kita yakin bahwa di sini dilanggar suatu norma moral yang berlaku umum. Menerapkan norma itu tidak merupakan urusan pribadi atau lokal saja. Dibidang etis tidak berlaku prinsip “lain ladang lain belalang”. Norma moral mengikat semua manusia.


3. Relativisme Norma Moral
Paul Edward menggolongkan bentuk relativisme dalam 3 macam:
a. Relativisme Kultural
Seringkali dalam perkuliahan, dikemukakan pertanyaan oleh mahasiswa dengan disertai contoh-contoh, misalnya:
“Dikatakan hak berbicara merupakan hak universal, tetapi mengapa di       Indonesia mempunyai aturan berbeda dengan amerika serikat.
“Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri ditempat lain dengan hara-kiri di jepang”.[8]

Inilah letak dari relativisme kultural, kita melihat perbedaan, tetapi sebelum melangkah lebih jauh yang paling penting melihat kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh pertama diatas kesamaan menghormati salah satu hak asasi manusia. Contoh kedua terletak dalam pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus dihadapi dengan tanggung jawab.
Dalam pendapat Sidney Hook, bahwa persoalan semacam ini harus didekati dengan historis dan konkrit, artinya secara historis dan konkrit, budaya Indonesia tidak menerima cara bicara dan mengemukakan pendapat secara terang-terangan atau barangkali negara Indonesia terlalu menganggap resiko menanggung akibat kebebasan bicara baik dari segi politik, ekonomi dan kebudayaan sendiri.[9]

a.       Relativisme Normatif
Kita sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada pernyataan norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan: “saya harus jujur”, maka pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan lain.
Padahal adanya kasus menunjukan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma khusus untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga meskipun di butuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak dapat memecahkan masalah konkrit begitu saja.
Contoh relativisme normative:
·        Sifat jujur, merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh harus “menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lamapau demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.
·        Menolong orang, adalah tindakan yang bermoral. Jikalau ada orang yang jatuh di sungai, itu kewajiban saya untuk menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila saya tidak ada di tempat kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang, dan saya memaksa diri untuk menolong maka saya menjadi orang yang paling tolol didunia.
Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai. Dan dalam pelaksanaan nya kita memperhitungakan syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung dari situasi dan kondisi pelaksanaan.
b.      Relativisme Meta Etika
Semua manusia, kata Sidney hook, lebih sepakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit buruk, keadilan baik, ketidakadilan buruk, dan sebagainya.
Semua nilai dasar tersebut tersebut begitu dituangkan dalam norma, akhirnya pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang disinyalir oleh Kurt Baier, tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita sering tidak mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukan bahwa kita tidak mampu menepati titik pangkal moral tersebut yang berupa :
1). Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan
2). Tidak mencari keuntungan sendiri
3). Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum
4). Mempunyai pengertian teoritik yang yang jelas
5). Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya.[10]

Persoalannya, apabila norma etika diragukan kedudukannya sebagai satu batasan, kesulitan yang timbul memang atas dasar apakah perbuatan manusia dinilai baik buruknya. Sebuah norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran, penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak mengnggap norma nya sendiri paling benar, dan norma orang lain salah.
Yang patut dicatat bahawa norma moral dan perintah, untuk berbuat susila itu tidak semata-mata bersifat keras, mewajibkan dan mendorong orang secara otoriter sebagai sifatnya. Tetapi harus dilihat dari sikap dan tanggapan manusia terhadap norma atau perintah tersebut. Apabila orang dengan ikhlas , sukarela mengerjakan apa yang diminta atau diperintahkan oleh norma atau berbuat susila, maka hal tersebut akan menjelmakan pengaruh yang memberi kesukaan dan bermanfaat saja. Tetapi kalau manusia mencoba melawan dan mencoba melepaskan dari “kekuasaan” norma moral, maka manusia akan mengenal norma dan perintah untuk berbuat susila tadi sebagai hal-hal yang bersifat keras, otoriter, dan memaksa.[11]











KESIMPULAN

Harus diakui bahwa penilaian bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan segi kehidupan. Etika mutlak bagi manusia, sejauh manusia ingin mempunyai nilai secara manusiawi, manusia utuh. Disini tidak ada pilihan lain kecuali ia harus selalu mempertahankan dan melaksanakan nilai-nilai moral.
Kekuatan dan sekaligus kesadaran moral merupakan suatu kekuatan yang mendorong manusia, agar di dalam tingkah lakunya selalu ingat akan nilai moral. Etika itu sendiri berarti pula sikap untuk memahami pilihan yang seharusnya diambil diantara sekian banyak pilihan bertingkah laku. Tentunya agar berperilaku baik sesuai norma-norma etika.
Pada akhirnya kita pun melihat persoalan etika tidaklah semata-mata bersifat teoritik murni mengenai gejala moral, karena pada akhirnya ia memang harus menjawab dan merumuskan “bagaimana seharusnya” hidup. Dan persoalan itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan “bagaimana seharusnya” menjadi baik dan “bagaimana seharusnya” meninggalkan yang buruk.













PENUTUP

Sebagai penutup, kami ingin menekankan bahwa etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanda dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi
Tanggung jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. Apabila kebebasan sudah kita miliki, mampukah kita mempunyai keberanian moral dalam artinya mau menanggung akibat apapun dari perbuatan kita, yang memilih prinsip kesusilaan atas dasar keyakinan kebenaran.




















Daftar Pustaka

1. K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
2. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995).
3. Encyclopedia of Philosophy, vol. III, The Mc. Millan Coy 1967 and The Free    Press, New York.
4. Franz Von Magnis, Etika umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1979.
5. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, PT. Pembangunan, Jakarta, 1966
6. Van Peursen, stategi kebudayaan, BPK Gunung Mulia, 1976 Jakarta.
7. Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)























[1] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149. 
[2] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.

[3] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.
[4] Lihat Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, Bab. XVI
[5] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149. 

[6] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[7] Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
[8] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[9] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)

[10] Lihat, Encyclopedia of Philosophy.
[11] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)

Minggu, 27 November 2011

ilmu akhlak (10) Kelas H


UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA
DALAM ETIKA


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah             :   Ilmu Akhlak  
Dosen Pengampu      :   Pak Ghufron Dimyati, M.S.I





 











Disusun oleh :
1.      Aldira Usi Mualif Alim          (2021 111 366)
2.      Dwi Hafilah                          (2021 111 367)
3.      Khasanah                             (2021 111 369)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011

A.     PENDAHULUAN
Keadaan alam yang tidak sama dapat mempengaruhi keadaan fisik, disposisi mental, budaya dan cara hidup yang berbeda. Dan adanya perbedaan manusia, masyarakat, bangsa dengan keadaan fisik, mental, cultural ini muncullah paham relativisme. Sikap manusia yang satu terhadap yang lain bermacam-macam. Ada yang acuh tak acuh, diskriminatif, membeda-bedakan orang atas dasar status dan jabatan social, kekayaan, warna kulit, ras, agama dan lain-lain. Tetapi ada juga universalitas, memandang semua manusia sama martabat dan kedudukannya. Dari sinilah lahir paham universalitas.

B.     PEMBAHASAN
  1. Pengertian Universalitas dan Relativitas
a)      Universalitas
Dalam bahasa latin, kata universuum berarti alam semesta dunia, dari kata tersebut, dibentuk kata sifatnya “universalis’ artinya umum, mencakup semua, menyeluruh. Dalam bahasa Inggris, kata latin universalis menjadi universal. Kata ini dapat berarti konsep umum yang dapat diterapkan pada kenyataan. Misalnya ; konsep kemanusiaan yang dapat diterapkan pada seseorang. Menurut paham universal, kemanusiaan itu umum, sama di seluruh dunia. Sebagai manusia, semua mempunyai tugas dan kewajiban yang sama di manapun berada. Karena itu, sebagai manusia, orang dimanapun dituntut hidup berperilaku dan bertindak sebagai manusia. Misalnya : memanfaatkan akal budinya dan hidup menurut akal sehatnya.
Atas dasar kemanusiaan, para penganut universalisme mengakui persamaan kedudukan dan hak-hak manusia. Meskipun manusia berbeda dari segi warna kulit, tingkat budaya, agama yang dianut. Keadaan ekonomi, status social, manusia itu berkedudukan sama. Karena itu harus ada perlakuan sama, tidak ada deskriminasi atas dasar apapun.
Universalime merupakan paham dan prinsip etis yang luhur. Untuk dapat sungguh bermanfaat, dalam prakteknya perlu didukung oleh semangat tekun dan tabah karena banyak lawan dan musuhnya. Dalam pelaksanaannya perlu dibantu prinsip dan sikap manajerial. Karena gagasan, wawasan dan cita-cita yang luhur hanya terwujud dengan teknis perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang memadai.

b)      Relativitas
Berasal dari bahasa latin “relativus” yang berarti nisbi, relative. Searah dari asal katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan hakiki melainkan perbedaan karena factor-faktor dari luar. Relativisme etis yang berpendirian bahwa penilaian baik buruk dan benar salah tergantung dari orang masing-masing, relativisme etis itu disebut relativisme etsi subyektif/ analistis. Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis structural.
Relativisme etis, baik yang subyektif maupun yang cultural, telah berjasa ikut membentuk sikap luwes dalam pelaksanaan norma etis. Akan tetapi, paham itu melangkah terlalu jauh ketika berpendapat bahwa norma etis itu tidak obyektif dan adanya tergantung pada orang/ masyarakat dan budaya yang ada di sana.

  1. Persoalan-persoalan yang menyangkut universalitas dan relativitas norma moral
Manusia dalam seluruh aspek hidupnya tergantung dari norma. Salah satunya adalah norma moral. Norma moral dapat berfungsi mewajibkan karena norma itu terbebas dari kemauan manusia. Manusia tidak menguasai norma moral, tetapi norma moral menguasai kita.
Norma moral tidak bersifat hipotesis atau bersyarat (hipotesis adalah norma yang berlaku apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu). Norma bersyarat didasarkan pada pengalaman. Kita bisa menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena itu pengalaman kita bisa mengambil kesimpulan. Pengalaman itulah yang bisa membawa secara cepat dan tepat kea rah tujuan. Tetapi, norma moral di sini bersifat kategoris atau tidak bersyarat. Jadi tidak berasal dari pengalaman.
Seseorang yang berbuat kebaikan demi upah secara moral tidak dapat diterima. Apabila ada upah yang berwujud materi, misalnya ini hanya sebagai akibat perbuatan yang baik, yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum perbuatan itu dilakukan.
Sebaiknya kita menyimak kritis dari kaum positivis bahwa pada umumnya “kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila dengan menunjukkan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan memberikan kesukaan. Sehingga dapat menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah berbuat social, ungkapan susila sebagai norma, perintah, dan ungkapan yang emosional saja.
Kritik ini dimulai dengan menunjukkan 2 kalimat kognitif (lihat kattsoff, unsur-unsur filsafat bab XVII) sebagai berikut :
a)      Kalimat kognitif analitik yang sebenarnya terkandung dalam istilahnya.
Contoh : “Segi empat mempunyai empat sisi”.
b)      Kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam realitas yang mendukungnya.
Contoh “ diluar ruangan ini hujan turun”
Kalimat yang tidak anlitik maupun yang tidak sintetik, tidak dapat dikatakan benar, walupun diucapkan dengan sungguh-sungguh dan bagi yang mengucapkan merupakan kebenaran.

  1. Relativisme moral tidak tahan uji
Pendapat bahwa suatu perbuatan adalah baik hanya karena menjadi kebiasaan di suatu lingkungan budaya, sulit untuk dipertahankan. Tidak bisa diterima bahwa setiap kebudayaan mempunyai kebenaran etis sendiri-sendiri, sehingga apa yang dianggap baik serta terpuji ditempat A bisa dianggap jahat serta tercela di tempat B. Relativisme moral tidak tahan uji, kalau diperiksa secara kritis kritik ini bisa dijlankan dengan memperhatikan konsekuensi-konsekuensi yang mustahil. Seandainya relativisme moral itu benar-benar.[1]
Pendapat antropolog budaya seperti Ruth Benedict bahwa yang lazim dilakukan dalam suatu kebudayaan sama dengan baik secara moral, harus ditolak. Perbuatan moral yang didasarkan atas nilai dan norma yang berbeda-beda tidak semua sama baiknya melawan relativisme moral yang ekstrim itu kita tegaskan: norma moral yang relative melainkan absolute.
Kalau kita memandang sejarah atau kita mempelajari data-data yang dikumpulkan oleh antropolog budaya, perlu kita akui bahwa norma moral sering sudah berubah. Perubahan norma yang terjadi selalu menuju ke penymparnaan norma. Itu berarti bahwa perubhan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Jadi kita harus membedakan antara beberapa macam norma moral.

  1. Norma moral bersifat obyektif dan universal
Jika kita setuju bahwa norma moral pada dasarnya absolute, maka mudah dapat diterima juga bahwa norma itu bersifat obyektif dan universal. Dalam keabsolutan norma moral secara implisif sudah tercantum obyektivitas dan universalnya. Norma moral kita akui karena mewajibkan kita, karena secara obyektif mengarahkan diri kita kepada kita. Kita harus taat kepada norma moral. Norma itu sendiri sama sekali bukan ciptaan subyek manusiawi. Walaupun norma moral bersifat obyektif, itu tidak berarti bahwa kebebasan dengan demikian ditiadakan. Sebaliknya, keharusan yang melekat pada norma moral justru mengandalkan kebebasan.
Kalau norma moral bersifat absolute, maka tidak boleh tidak norma itu hars juga universal, artinya harus berlaku selalu dan dimana-mana. Pada umumnya norma itu sendiri tidak dipertanyakan, tetapi menjadi masalah bagaimana norma itu harus diterapkan. Hal itu terutama bisa tampak dengan dua cara:
a)      Kadang-kadang norma memang jelas, tapi menjadi pertanyaan apakah suatu kasus konkret terkena oleh norma tersebut atau tidak. Misalnya norma moral “jangan berbohong”. Tapi soalnya ialah apakah yang dilakukan dengan suatu perbuatan tertentu terhitung berbohong atau tidak.
b)      Bisa masalahnya mengambil bentuk “dilemma moral”, artinya konflik antara dua norma. Kalau ada 2 norma yang mewajibkan kita, tetapi keduanya tidak bisa dipenuhi sekaligus, norma apa harus dipatuhi dan norma apa harus ditinggalkan? Contohnya sekali lagi: orang tidak boleh mencuri. Norma moral mengikat semua manusia.

  1. Menguji Norma moral
Bagaimana dapat kita pastikan bahwa satu norma moral dapat diuji? Tentu dengan cara lain daripada memastikan kebenaran suatu pernyataan tentang fakta. Kebenaran moral tidak tergantung pada kenyataan. Beberapa tes untuk menguji kebenaran norma moral.[2]. tes yang pertama adalah konsistensi. Suatu norma moral harus konsisten, sebab kalau tidak pasti tidak bisaberfungsi sebagai norma. Konsisten memang perlu, tapi konsisten saja tidak cukup untuk memastikan kebenaran sutu norma moral. Tes yang paling penting yang kita miliki untuk menguji benar tidaknya norma moral adalah generalisasi norma. Norma moral adalah benar jika bisa digeneralisasikan dan tidak benar jika tidak bisa digeneralisasikan. Menggeneralisasi norma berarti memperlihatkan bahwa norma itu tidak berlaku untuk semua orang. Bila bisa ditujukan bahwa suatu norma bersifat umum, maka norma itu sah secara norma moral.





C.     KESIMPULAN
Kalau kita memandang sejarah atau kita mempelajari data-data yang dikumpulkan oleh antropolog, perlu kita akui bahwa norma moral sering sudh berubah. Perubhan norma yang terjadi selalu menuju ke penyempurnaan norma. Itu berarti norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi.







DAFTAR PUSTAKA

A.     Mangunhardjana, Isme-isme Dalam Etika Dari A. sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Drs. Zubair, Achmad Charris, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persad. 1995

K. Bertens, Etika, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama


[1] James Rachels. Op.cithlm. 17-18
[2] Bandingkan. Richard B Branch. Ethical Theory. Englewood Chiffs. N.J. Prentice-hall 1959. hlm 16-36

sbm (9) Kelas A



MANAJEMEN KELAS

Disusun guna memenuhi tugas :

Mata Kuliah                 : Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampau        : Moh. Ghufron Dimyati,M.Si
Kelas                           : A

           
Disusun oleh :

1. A  Afik                     Nim 202109006
2. Sobari Jaya Saputra    Nim  202109009
3. Tri Nurul Aini           Nim      202109037

 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 (STAIN) PEKALONGAN
2011



BAB I
PENDAHULUAN
 Masalah pokok yang dihadapi oleh guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah masalah pengelolaan kelas atau manajemen kelas. Aspek yang paling sering didiskusikan oleh para profesional dan oleh para pengajar, sehingga hal ini menjadi syarat yang efektif bagi pengajaran kelas.
  Oleh karena itu, keterampilan guru untuk dapat membaca situasi kelas sangat penting agar yang dilakukan tepat guna. Dengan adanya manajemen kelas yang baik, anak didik dapat memanfaatkan  dan kemampuan, bakat, dan energinya pada tugas-tugas individual maupun kelompok. Karena kelas mempunyai peran dan fungsi tertentu dalam menunjang keberhasilan proses interaksi belajar.
 Berhasil tidaknya suatu aktivitas manusia adalah tergantung  pada manajemen yang diterapkannya. Manajemen kelas merupakan gambaran miniatur dalam manajemen sekolah. Manakala manajemen sekolah tidak, tidak ada guru yang dapat memenej atau mengorganisasikan kelas yang baik, demikian pula sebaliknya.[1]




BAB II
MANAJEMEN KELAS
2.1             PENGERTIAN MANAJEMEN KELAS
 Sebelum kita membahas sepenuhnya manajemen kelas, mari terlebih dahulu kita pahami dari pengertian manajemen kelas itu apa.....??? Manajemen kelas salah satu tugas guru yang tidak pernah ditinggalkan. Guru selalu mengelola kelas ketika dia melaksanakan tugasnya. Pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan suasana lingkungan belajar mengajar supaya kondisif bagi anak didik sehingga tercapai tujuan pengajaran yang efektif dan efesien. Ketika kelas terganggu, guru berusaha mengembalikan agar tidak menjadi penghalang bagi proses belajar mengajar.
Secara terminologi manajemen kelas berasal dari dua kata yaitu: manajemen dan kelas yang berarti pengaturan kelas.[2]
a. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya yang berjudul: “Guru dan anak didik dalam interaksi educatif”. Bahwa manajemen kelas adalah Suatu upaya mempertahankan potensi kelas yang ada seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi educatif  mencapai tujuan pembelajaran.[3]


b. Menurut Amatembun, Manajemen kelas adalah: Upaya untuk menciptakan dan mempertahankan serta mengembang tumbuhkan motivasi belajar untuk mencapai tujuan yang telah diciptakan.[4]
c.Menurut Suharsimi Arikunto, Manajemen kelas adalah: Suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar atau membantu dengan maksud agar tercapainya kondisi optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar seperti yang diharapkan.[5] Manajemen kelas menurutnya meliputi dua hal, yaitu:
-. Pengelolaan menyangkut kelas.
-. Pengelolaan fisik kelas ( perabot, ruangan, dan alat pengajaran).
Dari beberapa pendapat dari para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa arti manajemen kelas adalah: Suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar dapat dicapai suatu kondisi yang optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar mengajar seperti yang diharapkan.
2.2             TUJUAN MANAJEMEN KELAS
Manajemen kelas yang dilakukan oleh guru bukan tanpa tujuan. Karena dengan adanya tujuan itulah guru selalu berusaha mengelola kelas walaupun terkadang merasakan kelelahan fisik maupun pikiran. Guru sadar tanpa adanya suatu manajemen kelas dengan baik, maka akan menghambat kegiatan belajar mengajar.

Adapun tujuan dari manajemen kelas secara umum adalah penyedian fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar anak didik dalam lingkungan sosial, emosional, intelektual dalam kelas.
Dengan adanya fasilitas yang  tersedia itu memungkikan anak didik:
a.Belajar dan berkerja.
b.Terciptanya suasana yang disiplin.
c.Perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada anak didik.[6]
2.3             FUNGSI MANAJEMEN KELAS
Fungsi manajemen kelas dalam proses kegiatan belajar mengajar sangat mendasar sekali karena kegiatan guru dalam mengelola kelas meliputi:
a.Mengelola tingkah laku anak didik dalam kelas.
b.Menciptakan suasana yang kondisif dalam proses belajar mengajar.
c.Mengelola proses kelompok.





Secara umum fungsi manajemen kelas ditinjau dari dari analisis problem antra lain sebagai berikut:
a.Memberi dan melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas.
Artinya aspek manajemen kelas yang dihadirkan bisa membantu tugas guru sebagai pendidik  dalam suatu kinerja yang lebih baik lagi.
b.Memelihara tugas-tugas itu dapat berjalan dengan lancar.
Artinya aspek manajemen kelas bisa mendorong suksenya proses kegiatan belajar mengajar dalam kelas.
Fungsi-fungsi tersebut dijabarkan beberapa tugas yang harus dilakukan guru dalam kegiatan manajemen kelas yaitu:
a.Membantu kelompok dalam membagi tugas.
b.Membantu dalam pembentukan kelompok.
c.Membantu individu agar dapat bekerjasama dalam kelompok atau kelas.
d.Mengubah kondisi kelas, supaya tidak jenuh dan membosankan dalam belajar.
Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi manajemen kelas pada akhirnya menunjukkan pada pengaturan kelas agar suasana dalam belajar mengajar lebih nyaman, kondusif, efesien serta efektif.



2.4             ASPEK-ASPEK MANAJEMEN KELAS
Menurut Lois V. Johson dan May Bany ( 1970 ), mengemukakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas antara lain:
a.    Sifat-sifat kelas.
b.    Memahami situasi kondisi kelas.
c.    Mendiagnosis situasi kelas.
d.    Bertindak selektif
e.    Bertindak kreatif.
f.      Untuk memperbaiki kondisi kelas.[7]
Semua aspek-aspek  yang diutarakan diatas tersebut saling terkaitan satu sama lain dan mempengaruhi tercapainya suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik di dalam kelas dituntut untuk mampu mengelola pengajaran dari  keseluruhan aspek tersebut sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efesien dan efektif. Dan hal itu, dapat tercapai ditinjau dari kemampuan guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program pemidibelajaran.[8]


2.5             MASALAH-MASALAH DALAM MANAJEMEN KELAS
Gagalnya guru dalam mencapai tujuan pengajaran sejalan dengan ketidak mampuan guru dalam mengelola manajemen kelas. Indikator dari kegagalan itu adalah prestasi belajar anak didik rendah, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang telah ditentukan. Keaneka ragaman masalah perilaku anak didik itu bisa menimbulkan beberapa masalah dalam manajemen kelas diantaranya:
a.    Kurang kesatuan, dengan adanya perilaku kelompok-kelompok, dan pertentangan jenis kelamin.
b.    Tidak adanya standar perilaku dalam bekerja kelompok, misalnya: ribut sendiri-sendiri, bercakap-cakap, pergi kesana kemari dan sebagainya.
c.    Reaksi yang negatif dari kelompok lain seperti: ribut, bermusuhan, dan merendahkan.
d.    Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya: dalam lembaga dengan alat-alat belajar kurang kekurangan uang.[9]
Dayla memandang bahwa masalah manajemen kelas ini ada lima kategori, yaitu:
a. Berdimensi banyak (  Multidimensionality )
 -  Tugas akademik.
 - Tugas penunjangnya.


b. Serentak ( Simultaneity ): Pekerjaan harus dilakukan  dala waktu yang hhampir sama misalnya: dalam diskusi, guru tidak hanya duduk diam saja dan tidak hanya mendengarkan tetapi mengarahkan pikirannya serta memantau anak didik sehingga belajar mengajar berjalan efektif.
c. Segera ( Immediacy ): terjadinya interaksi antara guru dan anak didik terjadi suatu hubungan timbal balik begitu cepat.
d. Iklim kelas yang tidak bias diramalkan terlebih dahulu.
Faktor-faktornya yang mempengaruhi iklim dikelas antara lain:
-.Anak didik yang asik mendengarkan belajar tiba-tiba ada gangguan. Misalnya: suara gaduh diluar kelas, orang lewat, dan ribut.
-.Siswa yang mendengarkan pelajaran tiba-tiba ada musibah.
Misalnya: kebakaran, listrik mati saat guru mengajar dengan mengunakan media.
2.6             TUGAS  GURU DALAM MANAJEMEN KELAS
1.      Pengaturan atau Pengkondisian Fisik
a. Ruang tempat berlasungnya proses belajar mengajar.
Hendaknya anak didik dapat bergerak leluasa pada saat melakukan
aktivitas belajar.



b.Pengaturan  Tempat Duduk.
Pilihlah tempat duduk yang sesuai dengan postur tubuh anak didik sehingga anak didik dapat belajar denggan baik dan tenang.[10]
Selain itu pengaturan tempat duduk juga, dapat memungkinkan terjadinya tatap muka dengan begitu guru dapat mengontol tingkah laku anak didik secara langsung.
Ada beberapa formasi tempat duduk yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan, yaitu :
-.Posisi berhadapan.
-.Posisi setengah lingkaran.
-.Posisi berbaris kebelakangan.[11]
b.Ventilasi dan Pengaturan Cahaya .
Ventilasi ini harus menjamin kesehatan anak didik. Suhu ventilasi dan penerangan adalah aset penting untuk terciptanya suasana belajar yang nyaman.
c. Penataan Barang atau Pengaturan Penyimpanan Barang.
Barang-barang hendaknya disimpan pada tempat khusus yang mudah dicapai bila diperlukan dan akan digunakan lagi bagi kepentingan belajar. hal lainnya juga adalah –


pengamanan barang-barang tersebut baik dari  pencurian, maupun barang-barang yang mudah kebakar atau meledak.

c. Penataan  Keindahan dan Kebersihan Ruangan Kelas.
-  Hiasan dinding.
-  Penempatan Lemari : untuk buku  didepan dan alat-alat peraga dibelakang.
-  Pemeliharaan Kebersihan : anak didik bergiliran dalam membesihkan kelas, guru memeriksa kebersihan dan ketertiban kelas.[12]
2.      Pengaturan Anak Didik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan anak didik dalam manajemen kelas antara lain sebagai berikut:
-. Postur tubuh anak didik yang tinggi sebaiknya duduk dibelakang.
-. Anak didik yang mengalami ganguan penglihatan sebaiknya ditempatkan didepan.
-. Anak didik yang cerdas sebaiknya digabung dengan anak didik yang kurang cerdas.
-. Anak didik yang pandai berbicara sebaiknya digabungkan dengan anak pendiam.
-. Anak didik yang gemar  membuat keributan dan menganggu temannya sebaiknya lebih dipisahkan dan tidak terlepas dari pengawasan guru.

2.7             PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN KELAS
Masalah manajemen kelas bukanlah merupakan tugas yang ringan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerumitan itu.
1.Faktor Intern ( Emosi, Pikiran, dan Perilaku ).
Karena anak didik memiliki kepribadian, maka anak didik yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan itu dapat  dilihat dari aspek, yaitu perbedaan biologis, intelektual dan psikologi.
2.Faktor Ekstern.
Masalah suasana lingkungan belajar, penempatan anak didik dikelas, pengelompokan anak didik, jumlah anak didik dikelas, dan sebagainya.
Dalam mengatasi masalah tersebut manajemen kelas mempergunakan prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut:
1.        Hangat dan Antuasias
Guru yang hangat dan akrab dengan anak didik selalu menunjukkan antuasias pada tugasnya akan berusaha dalam mengimplementasikan manajemen kelas. Sikap guru yang hangat menjadikan guru selalu dirindukan oleh anak didik, karena figur guru yang baik adalah yang dapat menganyomi anak didiknya penuh dengan kasih sayng sepenuh hati.



2.        Tantangan.
Penggunaan kata-kata tindakan cara kerja atau bahan-bahan yang  menantang akan meningkatakan gairah anak didik untuk belajar sehingga mengurangi tingkah laku yang menyimpang.

3.        Bervariasi.
Penggunaan alat atau media, gaya mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi munculnya gangguan apalagi bila penggunaannya bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan hal itu merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan.
4.        Keluwesan.
Dengan adanya keluwesan tingkah laku guru dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan anak didik serta menciptkan iklim belajar mengajar yang efektif.
5.        Penanaman disiplin diri.
Tujuan akhir dari suatu manajemen kelas adalah anak didik dapat mengembangkan disiplin diri sendiri. Karena itu, sebaiknya guru harus menjadi figur teladan bagi anak didik.




2.8             PENDEKATAN-PENDEKATAN MANAJEMEN KELAS
Keharmonisan hubungan guru dengan anak didik, tingginya kerjasama diantara anak didik tersimpul dalam bentuk interaksi. Lahirnya interaksi yang optimal tentu saja bergantung dari pendekatan yang guru lakukan dalam rangka manajemen kelas. Berbagai pendekatan tersebut adalah:
a.Pendekatan Kekuasaan
Peranan guru adalah menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas, sehingga didalamnya terdapat kekuasaan dalam norma yang harus ditaati oleh anggota kelas.
b.  Pendekatan Ancaman
Dalam mengontrol tingkah laku anak didik  dilakukan dengan cara memberi ancaman, misalnya: melarang, sindiran, dan ejekkan.
c. Pendekatan Kebebasan
Pengelolaan diartikan proses untuk membantu anak didik agar merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja dan dimana saja. Peran guru adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak didik.
d.Pendekatan Pengajaran
Pendekatan ini mengajurkan tingkah laku guru dalam mengajar untuk bisa mencegah dan menghentikan tingkah laku anak didik yang kurang baik. Peran guru adalah merencanakan dan mengimplementasikan pelajran yang baik.

e. Pendekatan Perubahan Tingkah Laku
Sesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku anak didik. Peranan guru adalah mengembangkan tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik. Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification approach) ini bertolak dari sudut pandangan psikologi behavioral.
Program atau kegiatan yang yang mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang kurang baik, harus diusahakan menghindarinya sebagai penguatan negatif yang pada suatu saat akan hilang dari tingkah laku siswa atau guru yang menjadi anggota kelasnya. Untuk itu, menurut pendekatan tingkah laku yang baik atau positif harus dirangsang dengan memberikan pujian atau hadiah yang menimbulkan perasaan senang atau puas.
Sebaliknya, tingkah laku yang kurang baik dalam melaksanakan program kelas diberi sanksi atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan dihindari.
e. Pendekatan Sosio-Emosional
Pendekatan sosio-emosional akan tercapai secarta maksimal apabila hubungan antar pribadi yang baik berkembang di dalam kelas. Hubungan tersebut meliputi hubungan antara guru dan siswa serta hubungan antar siswa. Didalam hal ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu seharusnya guru mengembangkan iklim kelas yang baik melalui pemeliharaan hubungan antar pribadi di kelas. Untuk terrciptanya hubungan guru dengan siswa yang positif, sikap mengerti dan sikap ngayomi atau sikap melindungi.


f. Pendekatan Kerja Kelompok
Dalam pendekatan in, peran guru adalah mendorong perkembangan dan kerja sama kelompok. Pengelolaan kelas dengan proses kelompok memerlukan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok menjadi kelompok yang produktif, dan selain itu guru harus pula dapat menjaga kondisi itu agar tetap baik. Untuk menjaga kondisi kelas tersebut guru harus dapat mempertahankan semangat yang tinggi, mengatasi konflik, dan mengurangi masalah-masalah pengelolaan.

2.9             KOMPONEN KETRAMPILAN  MANAJEMEN KELAS
1.   Keterampilan yang berhubungan dengan  penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal.
Keterampilan ini berhubungan dengan kompetensi guru dalam mengambil inisiatif dan mengendalikan pelajaran serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan keterampilan ini sebagai berikut:
a.    Sikap tanggap
Komponen ini ditunjukkan oleh tingkah laku guru bahwa ia hadir bersama mereka. Guru tahu kegiatan mereka, tahu ada perhatian atau tidak perhatian, tahu apa yang mereka kerjakan. Seolah-olahnya mata guru ada dibelakang kepala, sehingga guru dapat menegur anak didik walaupun guru sedang menulis dipapan tulis. Sikap ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:


1.    Memadang secara seksama
2.    Gerak mendekati
3.    Memberi pernyataan
4.    Memberi reaksi terhadap gangguan atau kekacauhan
b.    Membagi perhatian
Pengelolaan kelas yang efektif terjadi apabila guru mampu perhatiannya kepada kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang sama. Membagi perhatian dapat dilakukan dengan cara: visual dan verbal.

c.    Pemusatan perhatian kelompoks
Dalam pemusatan perhatian kelompok, ada hal yang harus guru lakukan antara lain sebagai berikut:
1.    Memberi tanda
2.    Pertanggung jawaban
3.    Pengarahan dan petunjuk yang jelas
4.    Penghentian
5.    Penguatan
6.    Kelancaran

7.    Kecepatan
8.    Penghentian
2.   Keterampilan yang berhubungan dengan  pengembangan kondisi belajar yang optimal.
Keterampilan ini berkaitan dengan tanggapan guru terhadap gangguan anak didik yang berkelanjutan denga maksud agar guru dapat mengembalikan kondisi belajar yang optimal. Ada beberapa trick yang guru harus lakukan antara lain sebagai berikut:
a.    Modifikasi Tingkah Laku
b.    Pendekatan Pemecahan Masalah Kelompok
c.    Menemukan dan Memecahkan Tingkah Laku yang Menimbulkan Masalah
2.10       MANAJEMEN KELAS YANG EFEKTIF
Beberapa indikator  yang perlu diperhatikan, yang termasuk manajemen kelas yang efektif  diantaranya adalah:
a.    Manajemen kelas harus memberi fasilatas untuk mengembangkan kegiatan belajar mengajar.
b.    Setiap anak didik berlajar dengan aktif, tidak berisik dengan sendiri-sendiri.
c.    Anggota-anggota kelompok harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan agar dapat saling menghargai satu sama lain.


d.    Dalam situasi kelas, perlu guru pahami bahwa dia bukan tutor untuk orang satu melainkan untuk semua anak didik.
e.    Kondisi kelas tidak kacau balau, melainkan damai, aman, nyaman dan tenang ketika guru sedang menerangakan pelajaran.
  Keharmonisan hubungan guru dengan anak didik mempunyai efek terhadap manajemen kelas. Guru yang apatis terhadap anak didik membuat guru dijauhi oleh anak didik. Anak didik lebih banyak menolak kehadiran guru. Rasa benci yang tertanam di dalam diri anak didik menyebabkan bahan pelajaran sukar diterima dengan baik. Kecenderungan sikap anak didik yang negatif  lebih dominan. Sifat kemunafikan ini menciptakan jurang pemisah antara guru dengan anak didik.
Lain halnya dengan guru yang selalu memperhatikan anak didik, selalu terbuka, selalu tanggap  terhadap kelulahan anak didik, selalu mendengarkan saran dan kritik dari anak didik dan sebagainya, adalag sosok figur yang disenangi oleh anak didik. Anank didik selalu rindu akan kehadirannya, anak didik selalu merasa aman disisinya, anak didik senang belajar bersamanya, dan anank didik merasaka bahwa dirinya adalah bagian dari diri guru tersebut. Itulah figur seorang guru yang baik. Figur guru yang demikian biasanya akan kurang menemui kesulitan dlam mengelola kelas.
Bila sudah begitu pengelolaan kelas yang efektif akan tercipta dalam proses kegiatan belajar mengajar, maka itu tugas guru akan terasa ringan, tinggal berusaha memperkecil atau menghilamgkan hal-hal yang menjadi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pengelolaan kelas.


                                                                                                                                          
2.11       Pengaruh Manajemen Kelas dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Kelas
Pembelajaran yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pembaharuan kurikulum, fasilitas yang tersedia, kepribadian guru yang simpatik, pembelajaran yang penuh kesan, wawasan pengetahuan guru yang luas tentang semua bidang, melainkan juga guru harus menguasai kiat memanejemeni kelas.
Pemahaman akan prinsip-prinsip manajemen kelas ini penting dikuasai sebelum hal-hal khusus diketahui. Dengan dikuasainya prinsip-prinsip manajemen kelas, hal ini akan menjadi filter-filter penyaring yang menghilangkan kekeliruan umum dari manajemen kelas.
Manajemen kelas dapat mempengaruhi tingkat kualitas pembelajaran di kelas karena manajemen kelas benar-benar akan mengelola susasana kelas menjadi sebaik mungkin agar siswa menjadi nyaman dan senang selama mengikuti proses belajar mengajar. Oleh karena itu, kualitas belajar siswa seperti pencapaian hasil yang optimal dan kompetensi dasar yang diharapkan dapat tercapai dengan baik dan memuaskan. Selain itu, manajemen kelas juga akan menciptakan dan mempertahankan suasana kelas agar kegiatan mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Di samping itu juga, dengan manajemen kelas tingkat daya serap materi yang telah diajarkan guru akan lebih membekas dalam ingatan siswa karena adanya penguatan yang diberikan guru selama proses belajar mengajar berlangsung.


BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah diatas mengenai manajemen kelas, dapat diambil intisari bahwa manajemen kelas adalah suatu usaha yang dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar dapat dicapai suatu kondisi yang optimal sehingga dapat terlaksana kegiatan belajar mengajar yang seperi diharapkan.
Manajemen kelas dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas karena situasi dan kondisi kelas memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin.  Maka dari itu kesuksesan keberhasilan dari belajar mengajar tergantung dari manajemen kelas yng dibawahkan oleh guru, m manajemen kelas ibarat miniatur dari manajemen kelas, apabila manajemen kelasnya maka bisa dikatakan manajemen sekolah baik juga. Diharapkan untuk semua guru-guru agar bisa semaksimal mungkin mengelola manajemen kelas sebaik mungkin, karena salah satu faktor pendorong keberhasilan dalam belajar mengajar.





3.2  KRITIK  DAN  SARAN
Dalam memaparkan makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin sekuat tenaga dan memaparkan secara sedetail sesuai dengan materi yang ingin dibahas, apabila ada dalam pemaparan makalah ini ada kekeliruan dalam menulis dan menyampaikan, kami mohon maaf sebesar-besarnya dan kami menerima kritik serta saran dari anda sekalian guna perbaikan penyusunan kami dimasa mendatang, namun halnya dalam pemaparan ada kelebihan dan sekiranya bermanfaat untuk  semua itu hanya milik dzat yang maha agung yaitu Allah SWT semata. Amin.













DAFTAR PUSTAKA
Arikunto.Suharsimi. 1998.  Pengelolaan kelas dan sebuah pendekatan evaluatif. Jakarta: Rajawali Press.
Danim. Sudarwan. 2002.  Inovasi pendidikan dalam upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Djamarah . Syaiful Bahri. 2002. Guru dan anak didik dalam interaksi educatif. Jakarta: rieneka cipta.
                    . 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta
 Mutakim, Zainal. 2009. Strategi dan Metode Pembelajaran. STAIN Pekalongan Press
Selfert.  Kelvin. 2007.  Manajemen Pembelajaran dan Intruksi Pendidikan , ( Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik ). Jakarta : Ircisod
 Rohadi.  Ahmad. 2004.  Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
  www. Gurukreatif.wordpress.com./2008/3/26/ Indikator pengelolaan kelas berhasil/diakses tgl 11/11/2011
  www. Melaniekasim.wordpress.com/2010/04/12/makalah-manajemen kelas.diakses pada      9/11/2011



[1] . Zaenal Mustakim, 2009. Strategi dan Metode Pembelajaran, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, H. 27-28
[2] Sudarwan Danim,  Inovasi pendidikan dalam upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan,(Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 166
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan anak didik dalam interaksi educatif, (Jakarta: rieneka cipta, 2000). H. 173
[4]  www. Melaniekasim.wordpress.com/2010/04/12/makalah-manajemen kelas.diakses pada hari rabu tgl 9/11/2011 pukul 17.30 wib.
[5]  Suharsimi Arikunto, Pengelolaan kelas dan sebuah pendekatan evaluatif, ( Jakarta: Rajawali Press, 1998). H. 67-68
[6]  Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, strategi belajar mengajar, edisii Revisi , ( Jakarta: Reneka Cipta, 2006). H.178
[7]  www. Gurukreatif.wordpress.com./2008/3/26/ Indikator pengelolaan kelas berhasil/diakses tgl 11/11/2011, pukul 21.59 wib.
[8] Sudarwim Danim, Inovasi Pendidikkan dalam upaya peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikkan,   (Bandung: Pustaka setia, 2002). H. 180
[9]  Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., h. 180
[10]  Kelvin Selfert, Manajemen Pembelajaran dan Intruksi Pendidikan , ( Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik ), ( Jakarta : Ircisod, 2007 ), h. 24
[11]  Ahmad Rohadi,  Pengelolaan Pengajaran, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2004 ), h. 128
[12]  Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Op Cit. H. 204-206.