Laman

new post

zzz

Rabu, 07 November 2012

Pengkur T1.B : Guru & Kurikulum

Pengkur T1.B : Guru & Kurikulum - word

Pengkur T1.B : Guru & Kurikulum - ppt






GURU DAN KURIKULUM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah                : Pengembangan Kurikulum
Dosen Pengampu          : M. Ghufron Dimyati, M.S.I










Disusun oleh:
Maslah Lusiana           (3421010095)
Pujiono                        (3421010096)
Sukmawati                  (3421010097)
Siti Qomariyah            (3421010098)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM KI AGENG PEKALONGAN
STIKAP YMI WONOPRINGGO
PEKALONGAN
2012
KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah “Guru dan Kurikulum” ini dapat selesai. Shalawat salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW, yang senantiasa kita nantikan syafaatnya kelak.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang guru sebagai Pendidik, Pembimbing dan Pengembang Kurikulum. Yang mana Guru dan kurikulum tak akan pernah lepas dalam dunia pendidikan khususnya pada lingkup sekolah dan lebih khususnya lagi pada proses belajar mengajar. Seorang guru memiliki peranan penting dalam tugas pembelajaran.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1.      Kedua orang tua yang telah memberikan do’anya dalam kami belajar.
2.      Bapak M. Ghufron Dimyati, M.S.I selaku Dosen Pengampu mata kuliah Pengembangan Kurikulum.
3.      Teman-teman yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
            Selanjutnya kami juga mohon ma’af apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.
                                                                                               
                                                                                      Pekalongan, November 2012                       
                                                            Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan arah, isi dan proses pendidikan yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Dalam suatu lembaga pendidikan, salah satu tokoh yang memiliki peranan yang begitu penting dalam pengembangan kurikulum adalah guru. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan yang terlibat langsung dalam mengembangkan, memantau, dan melaksanakan kurikulum sehingga pembelajaran dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
            Meskipun ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang cukup pesat, tidak berarti menyurutkan peranan guru. Bahkan, hasil – hasil teknologi tersebut akan menambah beban tugas dan tanggung jawab guru. Oleh karenanya, guru sebagai pelaku utama pendidikan diwajibkan memenuhi kewajibannya sebagai pendidik professional, dan – tentu saja – sebagai pengembang kurikulum.

B.    Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.   Bagaimanakah guru sebagai pendidik?
2.   Bagaimanakah guru sebagai pembimbing?
3.   Bagaimanakah guru sebagai pengembang kurikulum?

C.    Tujuan
            Tujuan yang hendak diperoleh dari makalah ini adalah:
1.        Untuk menjelaskan guru sebagai pendidik.
2.        Untuk menjelaskan guru sebagai pembimbing.
3.        Untuk menjelaskan guru sebagai pengembang kurikulum.
BAB II
     PEMBAHASAN
A.    Guru sebagai Pendidik
            Kata guru dalam bahasa Arab disebut Mu’allim dan dalam bahasa Inggris guru disebut dengan teacher yang memiliki arti A person whose occupation is teaching others, yaitu seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain (Muhibbin Syah, 2003; 222). Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, surau, mushala, rumah, dan sebagainya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000: 31).
            Guru dalam pengertian sederhana adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.[1] Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik.[2]
            Guru sebagai pendidik merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Itulah sebabnya setiap perbincangan mengenai pembaruan kurikulum, pengadaan alat-alat belajar sampai pada kriteria sumber daya manusia yang dihasilkan oleh usaha pendidikan, selalu bermuara pada guru. Hal ini menunjukkan betapa signifikan (berarti penting) posisi guru dalam dunia pendidikan.
            Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab XI Pasal 39 Ayat 2).
            Guru sebagai seorang tenaga kependidikan yang professional berbeda pekerjaannya dengan yang lain, karena ia merupakan suatu profesi, maka dibutuhkan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Tabrani Rusyan, 1990: 5). Dengan demikian guru adalah seseorang yang professional dan memiliki ilmu pengetahuan, serta mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sehingga orang tersebut mempunyai peningkatan dalam kualitas sumber daya manusianya.
            Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan.
B.     Guru sebagai Pembimbing
            Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Semua itu, dilakukan berdasarkan kerjasama yang baik dengan peserta didik. Tetapi guru memberikan pengaruh utama dalam perjalanan.  Sebagai pembimbing, guru memiliki berbagai hak dan tanggung jawab dalam setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakannya.
            Istilah perjalanan merupakan proses belajar mengajar, baik didalam kelas maupun diluar kelas yang mencakup seluruh kehidupan. Selain itu, guru juga perlu memiliki kemampuan untuk membimbing siswa, memberikan dorongan psikologi agar siswa dapat mengesampingkan faktor-faktor internal yang akan mengganggu proses pembelajaran, serta guru juga harus dapat memberikan arah dan pembinaan karier siswa sesuai dengan bakat dan kemampuan siswa
C.    Guru sebagai Pengembang Kurikulum
Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan  sentral desentral.
1.         Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi.
Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi tugas guru adalah menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan ,minat dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media  mengajar yang bervariasi serta menyusun program dan alat evaluasi yang memudahkan guru dalam implementasinya. Walaupun kurikulum sudah tersusun dengan berstruktur tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian.
2.         Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi. Kurikulum desentralisasi di susun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini di dasarkan pada karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut;
1.      Guru dalam pengertian sederhana adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.
2.      Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab XI Pasal 39 Ayat 2).
3.      Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
4.      pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan  sentral desentral.







DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


Sukmadinata, Nana S. 1997. Pengembangan Kurikulum:Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.










[1] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: PT. Rineka Cipta, h. 31
[2] Ibid h. 37

Pengkur T1.A : Guru & Kurikulum

Pengkur T1.A : Guru & Kurikulum - word

Pengkur T1.A : Guru & Kurikulum - ppt





PA B9 : Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama

PA B9 :  Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - word

PA B9 :  Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - ppt

PA A9 : Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama

PA A9 :  Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - word

PA A9 :  Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - ppt






MAKALAH
KECERDASAN EMOSI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA
Tugas ini disusun guna memenuhi tugas kelompok :
Mata Kuliah : Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Ghufron Dimyati, M.S.I


Disusun Oleh :
Nama  : Failasuffah                          2022 111 008
                        : Laili Widayati                      2022 111 011
                        : Heri                                      2022 111 036
Kelas   : PBA “A”









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN 2012 / 2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia memiliki beberapa kecerdasan diantaranya yaitu kecerdasan intelektual atau yang sering dikenal dengan istilah IQ (intelligent quotion), kecerdasan Emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
Kecerdasan emosi merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh seseorang dan sangat berguna untuk menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Dalam makalah ini akan dibahas peranan kecerdasan emosi dalam pandangan psikologi agama,

B.  Rumusan Masalah
1.      Definisi kecerdasan emosi
2.      Ciri-ciri pikiran emosional
3.      Kecerdasan emosi
4.      Peran kecerdasan emosi


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi kecerdasan emosi
Secara harfiah kecerdasan berasal dari kata cerdas yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran. Selain itu dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat, kuat). Sedangkan kata emosional  berasal dari bahasa inggris, yaitu emotion. Dalam makna paling harfiah, oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. [1]
Emosi (emotion) sukar didefinisikan secara persis, ataupun di gunakan sebagai suatu istilah teknis. Ia mengacu pada semacam “perasaan kuat” seperti bahagia, cinta, suka-cita, cemburu, marah, duka, dan takut. Sifat dari semua hal tadi sukar dirangkum dalam suatu statemen tunggal yang umum.[2]
Adapun para pakar psikologi memberikan definisi beragam pada Kecerdasan Emosional (EQ), Di antaranya :
Ø Daniel Goleman, mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.
Ø Cooper dan Sawaf, mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
Ø Howes dan Herald, mengatakan pada intinya , kecerdasan emosional merupakan komponen  yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.
Ø Salovey dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Dari definisi – definisi kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.
Dua macam kecerdasan yang berbeda ini (intelektual dan emosi) mengungkapkan aktifitas bagian – bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks, lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak. Sedangkan pusat – pusat emosi berada di bagian otak lebih dalam, dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh kerja pusat – pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan dengan kerja pusat – pusat intelektual.[3]

B.  Ciri-ciri pikiran emosional
a.    Respon yang cepat tetapi ceroboh
Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan bahkan sekejap pun apa yang akan dilakukan. Kecepatannya itu mengesampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir. Tindakan yang muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang sangat kuat. Keuntungan utamanya adalah bahwa pikiran emosional dapat membaca realitas emosi (ia marah padaku, ia berdusta, ini akan membuatnya sedih) dalam sekejap, membuat penilaian singkat secara naluriah yang bisa menunjukkan apa yang perlu dicurigai, siapa yang harus dipercaya, siapa yang menderita. Namun, kekurangannya adalah bahwa kesan-kesan dan penilaian-penilaian naluriah ini, karena dibuat dalam sekejap, dapat keliru atau salah.

b.    Pertama adalah perasaan, kedua adalah pemikiran
Ketika pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mendata dan menanggapi daripada waktu yang dibutuhkan oleh pikiran emosional, maka dorongan pertama dalam suatu situasi emosional adalah dorongan hati, bukan dorongan kepala.
c.    Realitas simbolik yang seperti kanak-kanak
logika pikiran emosional itu bersifat asosiatif, menganggap bahwa unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas itu, merupakan hal yang sama dengan realitas tersebut. Itulah sebabnya mengapa perumpamaan, kiasan dan gambaran secara langsung ditunjukkan pada pikiran emosional, demikian juga karya seni separti novel, film, puisi, nyanyian, teater dan opera.
Ada banyak segi dimana akal emosional itu mirip perilaku kanak-kanak, semakin mirip kanak-kanak, semakin kuatlah tumbuhnya emosi tersebut. Salah satu seginya adalah pemikiran kategoris, dimana segala sesuatu menjadi hitam dan putih, tidak ada warna-warna kelabu. Seseorang yang amat menghawatirkan langkahnya keliru barangkali mempunyai pikiran seketika “ aku selalu keliru ngomong”. Tanda lain modus mirip kanak-kanak lain ini adalah pemikiran bersifat pribadi, dimana peristiwa-peristiwa diserap dengan bias yang berpusat pada diri sendiri, seperti pengemudi yang setelah kecelakaan, menerangkan bahwa “tiang telepon itu langsung menuju ke arahku”.
d.   Masa lampau diposisikan sebagai masa lampau
Apabila sejumlah ciri suatu peristia tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, akal emosional menanggapinya dengan memiu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat itu. Akal emosional beraksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau.

e.    Realitas yang ditentukan oleh keadaan
Bekerjanya akal emosional itu untuk sebagian besar ditentukan oleh keadaan, didiktekan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut. Bagaimana kita berpikir dan bertindak sewaktu kita merasa senang akan betul-betul berbeda dengan bagaimana kit berperilaku jika kita sedang marah. Dalam mekanika emosi, setiap perasaan mempunyai repeator pikiran, reaksi, bahkan ingatannya sendiri-sendiri. Repeator yang ditentukan oleh keadaan menjadi paling menonjol dalam momen-momen dengan intensitas emosi yang tinggi.[4]


C.  kecerdasan emosi meliputi
a.    Mengenali emosi diri
Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional.  Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
b.    Mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam ketrampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bengkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c.    Memotivasi diri sendiri
Orang-orang yang pandai dalam memotivasi diri cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d.   Mengenali emosi orang lain (Empati)
Kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan ketrampilan bergaul. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang laian.
e.    Membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan ketrampilan mengelola emosi orang laian. Orang-orang yang hebat dalam ketrampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.[5]

D.  Peran kecerdasan emosi
Kecerdasan emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan kesuksesan manusia dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan saat ini banyak yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan mendasar dalam setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional seseorang memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling menguntungkan dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai kemungkinan yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau meraih prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat menjamin kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan kecerdasan emosional.
Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang paling dalam. Sehingga mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Di antara dimensi EQ, yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan dalam berdagang dan bekerja adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan perasaan emosinya, serta kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan masalah yang dihadapinya. EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di mana ia bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya.[6]
Dalam konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan yang negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan akan melahirkan tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau bereaksi secara berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya kecerdasan emosional.[7]
E.       Hubungan Kecerdasan Emosional (EQ) Dengan Religiusitas
Aspek-aspek kecerdasan emosi tersebut dikaitkan dengan agama dan ajarannya, serta dikaitkan dengan wajah agama (Kepribadian) yang harus ditampilkan oleh para penganut agama, maka akan Nampak bahwa orang yang beragama dengan benar dan penuh kesungguhan seharusnya akan memiliki kepribadian yang tergambarkan dan termuat dalam aspek-aspek atau kemampuan kecerdasan emosional. Ada lima kemampuan yang memiliki kecerdasan emosional tersebut bila didekati dari ajaran berbagai agama maka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.         Kemampuan untuk mengenali emosi sendiri dan sadar diri (Self Awarenes)
Bila kita baca teks-teks kitab suci dari semua agama maka akan ditemukan berbagai ayat yang mengajarkan pentingnya manusia untuk mengenali dirinya sendiri, termasuk mengenali emosinya, kelemahan dan kelebihannya, serta mengenali seluruh “Karya Tuhan” yang ada pada tubuhnya. Oleh karena itu tidak salah pernyataan para filosof bahwa “Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. Dengan “kenal diri/sadar diri/tahu diri”, maka orang akan menjadi bersyukur dengan segala anugerah Tuhannya, sehingga akan bermanfaat seluruh potensinya dengan sungguh-sungguh.
2.         Kemampuan untuk mengelola suasana hati (mood managemen)
Factor kunci dari kemampuan mengelola suasana hati adalah “keseimbangan”, orang yang kehilangan keseimbangan akan mudah kehilangan control bila sedang dilanda emosi dan persoalan hidup. Seluruh do’a peribadatan yang dilakukan oleh semua pemeluk agama menuntut pelakunya untuk melaksanakannya dengan penuh khusuk, tenang, dan disertai oleh suasana hati yang ikhlas. Kalau setiap doa dan peribadatan dilakukan dengan sungguh-sungguh maka orang yang melakukannya akan menjadi terbiasa mengelola suasana hatinya dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita memperhatikan kisah para Rasul/Utusan Tuhan, kita akan selalu menemukan gambaran kepribadian mereka yang menakjubkan yaitu pribadi yang penuh percaya diri, matang, mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu menghadapi berbgai tantangan dengan hati dan pikiran yang jernih serta mampu memberikan rasa aman bagi pengikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh psikolog Arif Wibisono Adi mengenai “Hubungan sholat dan kecemasan” (Sripsi Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta 1995) menunjukkan bahwa shalat (doa dan ibadah) yang dilakukan secara teratur dan sungguh-sungguh akan mampu mencegah berbagai bentuk kecemasan.
3.         Kemampuan untuk memotivasi diri (self Motivation)
Motivasi merupakan factor yang sangat penting untuk menjadikan seseorang mampu mengalahkan godaan-godaan hidup serta menjadi factor penting untuk meraih prestasi. Hal-hal yang dapat menjadi sumber motivasi seseorang antara lain factor uang pangkat dan jabatan, popularitas, harga diri, sex dan juga factor ideology dan agama. Berdasarkan catatan sejarah berbagai agama, kita dapat menemukan fakta bahwa karena motivasi agama (yang dipahami secara salah) orang dapat melakukan apa saja termasuk membunuh dan mengorbankan nyawa sekalipun. Kalau motivasi seseorang yang bersumber dari agama dapat diarahkan pada hal-hal yang positif maka orang tersebut akan memiliki energy yang luar biasa untuk berprestasi dan melakukan pengabdian pada Tuhan melalui amal social dan kemanusiaan.
4.         Kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu (Impulse Control)
Intisari dari kemampuan mengatur diri sendiri terletak pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu. Semua bentuk doa dan peribadatan serta semua ajaran agama yang tertera dalam kitab suci masing-masing, memiliki sasaran pokok yaitu pembentukan kepribadian yang mampu mengalahkan dan mengendalikan hawa nafsu. Kemampuan mengalahkan dan mengembalikan hawa nafsunya ini dapat dikembangkan melalui latihan. Didalam setiap ajaran agama, pasti ditemukan suatu proses latihan pengendalian hawa nafsu, misalnya dengan berpuasa.
5.         Kemampuan untuk menangani hubungan dengan orang lain (People skill)
Berhubungan dengan orang lain bisa berarti berkomunikasi, tolong menolong, menghayati apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, peduli dan memberikan bantuan, bekerja sama dan sebagainya. Kemampuan menangani hubungan dengan orang lain ini sesungguhnya menjadi inti semua ajaran agama yaitu mengasihi sesama umat manusia dengan tulus tanpa dipengaruhi oleh suku, agama, ras maupun golongan. Bila kita dapat mengasihi sesama berarti berarti kita telah beragama dengan benar, namun bila kita tidak dapat mengasihi atau menciptakan hubungan baik dengan orang lain maka kualitas beragama kita perlu dipertanyakan.

BAB III
KESIMPULAN

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi meliputi ketrampilan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (Empati) dan membina hubungan. Ciri-ciri seseorang berpikiran emosional adalah cenderung memiliki respon yang cepat tetapi ceroboh, mengedepankan perasaan daripada logika, realitas simbolik yang seperti kanak-kanak, memosisikan masa lau sebagai masa sekarang dan realitas yang ditentukan oleh keadaan.
lima kemampuan yang memiliki kecerdasan emosional tersebut bila didekati dari ajaran berbagai agama maka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.        Kemampuan untuk mengenali emosi sendiri dan sadar diri (Self Awarenes)
2.        Kemampuan untuk mengelola suasana hati (mood managemen)
3.        Kemampuan untuk memotivasi diri (self Motivation)
4.        Kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu (Impulse Control)
5.        Kemampuan untuk menangani hubungan dengan orang lain (People skill)




DAFTAR PUSTAKA

Goleman, Daniel. 1999. Working with Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia
Mubayidh, DR. Makmun. 2006. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak. Jakarta : Pustaka  Al – Kautsar
Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia
Mappiare, Andi. Psikologi. 1968. Surabaya : Usaha Nasional
Makalah Psikologi Agama tahun 2011


[1] Daniel Goleman. Kecerdasan Emosional. Cet. Ke-9 (Jakarta : Gramedia, 1999), hlm. 411
[2] Andi Mappiare. Psikologi. (Surabaya : Usaha Nasional, 1968), hlm. 190
[3] Daniel Goleman. Working With Emotional Intelligence. Cet. Ke-2 (Jakarta: Gramedia, 1999), halm. 512- 513
[4] Daniel Goleman. Emotional Intelligence. Cet. Ke-9 (Jakarta: Gramedia, 1999), halm. 414-420
[5] Ibid, hlm. 58-59
[6] Makmun Mubayidh. Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak. (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006) halm. 18

[7] Makalah Psikologi Agama tahun 2011