Laman

new post

zzz

Jumat, 02 November 2012

pengkur tb.1 - 6 : anak & kurikulum

pengkur tb.1 - 6 : anak & kurikulum

pengkur tb.1 - 6 : anak & kurikulum









ANAK DAN KURIKULUM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pengembangan Kurikulum
Dosen Pengampu: Muhammad Hufron. M.S.I









              

Disusun oleh :

1.     Maulana Latif         (34.2.1.0.10.128)
2.     Al-qomah                 (34.2.1.0.10.127)
3.     Zaenal Ab                 (34.2.1.0.10.129)
4.     Ita Mudzakaroh       (34.2.1.0.10.099)


STIKAP
(Sekolah Tinggi Islam Ki Ageng Pekalongan)
Jl. Raya sedayu wonopringgo
2012
 





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang kedudukan anak dalam kurikulum, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa itu kurikulum. Kata “kurikulum” berasal dar bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian  diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, istilah “kurikulum” diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupanya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-khauly (1981) menjelaskan al-manhaj sebagai seperangkat rencana  dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli rupanya sangat bervariasi, tetapi dari beberapa definisi itu dapat ditarik benang merah, bahwa di satu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dan di lain pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar.
Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU sisdiknas Nomor 2/1989 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara pembelajaran maupun evaluasinya. 
Dalam proses pendidikan, ada tiga unsur yang harus ada. Tiga unsur tersebut adalah guru atau pendidik, siswa atau anak didik dan kurikulum. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling memiliki hubungan. Dalam hal ini, perlu diketahui hubungan antara kurikulum dengan anak didik. Kurikulum yang digunakan dalam pengajaran harus sesuai dengan perkembangan anak didik. Seorang siswa harus mampu menerima dan menyelesaikan apa yang ditugaskan untuknya. Anak didik juga memiliki kedudukan dalam kurikulum itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan anak dan anak didik?
2.      Bagaimana kedudukan anak dalam kurikulum?
3.      Apa kebutuhan anak dalam kurikulum?
4.      Bagaimana perkembangan Intelektual anak?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan karakteristik anak didik.
2.      Mengetahui perkembangan anak didik.
3.      Mengetahui kedudukan anak dalam kurikulum.

D.    Manfaat
Manfaat disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui kedudukan anak didik dalam kurikulum. Selain itu, makalah ini disusun untuk mendapatkan jawaban apakah pengembangan kurikulum harus memperhatikan asas psikologi anak. Dari makalah ini juga dapat diketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak didik.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK ANAK DIDIK
1.      Pengertian Anak
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".
2.      Pengertian Anak Didik
Anak didik adalah anak yang karena ketergantungannya menimbulkan tanggungjawab pendidikan pada orang dewasa, sehingga secara sengaja orang dewasa itu memberikan bantuan ke arah kedewasaan.
Menurut Sutari Imam Barnadib (1995), peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan sejak lahir hingga meninggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar.
3.      Karakteristik Anak Didik
a.        Anak didik adalah subjek atau persona
Anak didik adalah manusia, yaitu pribadi yang memiliki kedirisendirian, dan kebebasan dalam mewujudkan dirinya sendiri untuk mencapai kedewasaannya. Setiap anak didik bebas menentukan dirinya sendiri, mempunyai keinginan sendiri untuk menjadi orang dewasa seperti yang dicita-citakan oleh dirinya sendiri.
b.      Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas
Anak didik merupakan insan yang unik. Ia sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang berbeda dengan individu lain yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan.
c.       Individu yang sedang berkembang
Menurut ilmu psikologi manusia mempunyai tahap-tahap perkembangan manusia, setiap perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan tertentu dan menuntut perlakukan tertentu pula. Selalu ada perubahan dalam diri anak didik, baik yang ditujukan pada diri sendiri maupun ke arah penyesuaian dengan lingkungannya.
d.      Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
Walaupun ia adalah makhluk yang berkembang punya potensi fisik dan psikis untuk bisa mandiri, namun karena belum dewasa maka ia membutuhkan bantuan dan bimbingan dari pihak lain sesuai kodrat kemanusiaannya.
e.       Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri
Hal ini dikarenakan bahwa di dalam diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri, sehingga mewajibkan bagi pendidik dan orang tua untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan kepada anak dan pada akhirnya pendidik mengundurkan diri.
f.       Anak didik hidup dalam “dunia” tertentu
Setiap manusia hidup dalam dunianya masing-masing sesuai tahap perkembanganya, jenis kelamin, cara pandang, cara berpikir dan lain-lain.
g.      Anak didik hidup dalam lingkungan tertentu
Anak didik adalah subjek yang berasal dari keluarga dengan latar belakang lingkungan alam dan sosial budaya tertentu sehingga anak didik memiliki karakteristik tertentu yang berakibat pengaruh lingkungan dimana ia dibesarkan dan dididik.
h.      Anak didik memiliki potensi dan dinamika
Bantuan orang dewasa berupa pendidikan agar anak didik menjadi dewasa akan mungkin dicapai oleh anak didik. Hal ini disebabkan anak didik memiliki potensi untuk menjadi manusia dewasa, dan ia memiliki dinamika yaitu aktif sedang berkembang dan mengembangkan diri, serta aktif dalm menghadapi lingkunganya dalam upaya mencapai kedewasaannya
B.     Kedudukan Anak dalam Kurikulum
Berbagai studi telah diadakan untuk mengenal anak secara lebih luas dan mendalam. Studi ini antara lain menjadi pokok penelitian psikologi anak yang mempelajari anak dalam segala aspeknya antara lain mengenai perkembangan anatomis dan fisiologis, kemampuan motoris, bahasa dan komonikasi, perkembangan mental dan inteligensi, penrkembangan pengertian dan pemahaman, kreativitas dan permainan anak, kelakuan social, watak dan disiplin, kepribadian dan kesehatan rohani dan sebagainya.
            Lester D. Crow dan Alice Crow menyarankan hubungan kurikulum dan anak sebagai berikut:
1.      Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan  dengan perkembangan anak
2.      Isi kurikulum hendaknya mencakup ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat digunakan anak dalam pengalamanya, sekarang dan juga berguna untuk menghadapi kebutuhanya di masa mendatang.
3.      Anak hendaknya didorong unuk belajar berkat kegiatanya sendiri dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan untuk guru.
4.      Sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembanganya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat mereka.


C.    Psikologi dan Kurikulum
Banyak anak-anak diselidiki, baik secara longitudional, yakni mengikuti perkembangan anak tertentu selama bertahun-tahun  secara kontinu atau secara cross-sectional, yakni menyelidiki cirri-ciri anak pada usia-usia tertentu yang dilakukan terhadap ratusan bahkan ribuan anak. Maksudnya ialah untuk memperoleh generalisasi tentang aspek-aspek perkembangan anak pada saat tertentu.
Para ahli psikologi pada hakektnya netral tentang pertanyaan apa yang paling berharga dalam kelakuan manusia. Psikologi tidak menentukan apa yang “baik” atau “buruk” dalam kelakuan anak. Generalisasi, prinsip-orinsip yang ditemukan oleh psikologi tdak ada kaitanya dengan ideology politik, social atau ekonomi maupun dengan aspirasi manusia dan apakah yang dimaksud dengan hidup yang baik. Apa yang akan diajarkan ditentukan oleh nilai-nilai si pendidik. Tentang bagaimana cara ayang sebaiknya mencapai tujuan itu sehigga hasil penelitian ahli psikologi dapat dimanfaatkan(alberty, 1995).
D.    Kebutuhan anak
Selain perkembangan anak banyak dipertimbangkan kebutuhan siswa sebagai sumber untuk menentukan apa yang akan diajarkan. Kebutuhan anak dapat ditafsirkan dengan dua cara.
1)      Kebutuhan psiko-biologis, yakni yang berkenaan dengan  apa yang timbul dari anak itu sendiri berdasarkan kebutuhan psikologis dan biologis, yan dinyatakan dalam keinginan, tujuan, harapan, masalah dan minatnya.
2)      Kebutuhan social yang bertalian dengan tuntutan masyarakat, apa yang dianggapperlu baginya, biasanya menurut pandangan orang dewasa, agar ia dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat.

Kurikulum yang didasarkan atas kebutuhan psiko-biologis anak cenderung menjadi child-centerd, sedangkan kurikulum yang didasarkan atas kebutuhan pelajar menurut pertimbangan orang dewasa akan cenderung menjadi adult-centered atau society-centered.
Dalam kenyataan kedua jenis kurikulum iu tidak perlu saling bertentangan. Kebutuhan anak, sekalipun yang bersifat psiko-bilogis senantiasa dipengaruhi oleh lingkungan social masing-masing. Kebutuhan personal senantiasa bertalian dengan kebutuhan sosialnya. Sebaliknya kebutuhan yang disebut adult-centered senantiasa harus memperhatikan perkembangan psikologis dan kebutuhan anak sebagai makhluk yang harus merealisasikan kurikulum pada dirinya, agar kurikulum bermakna baginya.
             Salah satu pembagian kebutuhan manusia yang terkenal dikemukakan oleh Abraham Maslow yang melihat adanya heirarkhi dalam kebutuhan itu yakni kebutuhan akan:
a)      Survival (fisiologis)
b)      Security (emosinal)
c)      Love and belonging (sosial)
d)     Self esteem (personal)
e)      Self-actualizaion (pesonality)
Menurut maslow suatu kebutuhan hanya dapat dipuaskan bila kebutuhan pada tingkatan yang lebih rendah telah terpenuhi. Tak akan berhasil memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri (perkembangan mental spiritual, pengembangan diri, perwujudan potensi seseorang sepenuhnya) bila misalnya taraf pertama yang paling fundamental, yang fisiologis (makanan, pakaian, perlindungan, istirahat) belum terpenuhi. Untuk orang yang senantiasa disksa kelparan tak ada makna estetika, falsafah,etika bahkan harga diri.
Kebudayaan dan kesenian yang tinggi hanya dapat tumbuh subur dalam masyarakat yang maju dan makmur. Masyarakat terbelakang mungkin harus lebih mengtamakan kebutuhan pada tingkatan rendah.
E.     Perkembngan Intelektual Anak
            Salah satu hasil penelitian yang akhir-khir ini berpengaruh dalam pengembangan kurikulum ialah perkembangan intelektual anak menurut jean piaget. Ia menemukan adanya empat tingkat dalam perkembangan intelektual anak yakni tingkat sensori-motoris, tingkat pra operasional, tingkat operasi konkret, dan tingkat operasi formal.
            Pada taraf sensori-motoris(bayi sampai 18 bulan) anak mengasimilasi perangsang-perangsang sensoris dan menyesuaikan dirinya dengan benda-benda disekitarnya dan dengan demikian mengembangkan suatu system atau struktur mental untuk memanipulasi benda-benda.
            Pada taraf pra-operasional(18 bulan sampai usia7 tahun) anak iu melatih pengamatanya, misalnya ia bertambah banyak melihat perbedaan tentang besar, bentuk, warna benda-benda, ia dapat membayangkanya dan menggunakan kata-kata untuk melambangkanya. Namun ia belum sanggup memanipulasinya secara logis, hanya menurut apa yang masuk akalnya.
            Berpkir logis mulai pada taraf operasi konkrit (usia 7 sampai kira-kira 11 tahun). Ia telah dapat sekaligus melihat beberapa factor dan kemungkinan untuk mengkombinasikanya dengan berbagi cara untuk mencapai hasil yang sama. Ia dapat memanipulasi benda-benda namun mengetahui bahwa misalnya panjang, luas, isi, beratnya sama.
Tingkat operasi formal  mencakup kemampuan  menggunakan pikiran logis dan menerapkan aturan-aturan atau prinsip-prinsip dalam stuasi yang lebih abstrak.mulai pada usia 11 tahun ia sanggup  mengajukan hipotesis  mengujinya lalu merumuskan kesimpulan. Ia dapat memperhatikan sejumlah variable sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan memecahkan suatu masalah. Ia telah sangup menjawab pertanyaan berupa, Apa yang akan terjadi bila….?” Strukur logis ini senantiasa dikembangkanya. Keempat tingkat perkembangan intelektual itu tidak terpisah dengan jelas kan tetapi saling bercampur dan berkembang secara berangsur-angsur.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Tiga unsur tersebut yaitu guru atau pendidik, siswa atau anak didik dan kurikulum.
Anak didik adalah anak yang karena ketergantungannya menimbulkan tanggungjawab pendidikan pada orang dewasa, sehingga secara sengaja orang dewasa itu memberikan bantuan ke arah kedewasaan.
Kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Adapun hubungan antara kurikulum dengan anak yaitu:
1.      Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak.
2.      Isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat digunakan anak dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna untuk menghadapi kebutuhannya masa mendatang.
3.      Anak hendaknya didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan oleh guru.
4.      Sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat mereka.




SARAN
Dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum hendaknya perlu memperhatikan aspek anak didik. Perkembangan anak didik harus diperhatikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum harus memperhatikan perkembangan, kemampuan dan minat anak didik. Sehingga, dalam prakteknya kurikulum tersebut dapat mendorong perkembangan anak didik bukan menekan perkembangannya dengan membebani anak didik.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Rohman, 2009. Memahami Pendidikan & Ilmu Pendidikan, LaksBang Mediatama: Yogyakarta..
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. 2007.
S. Nasution, 1993.Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti






pengkur ta.1 - 6 : anak & kurikulum

pengkur ta.1 - 6 : anak & kurikulum - word

pengkur ta.1 - 6 : anak & kurikulum - ppt





ce sy3 - 7 : good & clean governance

ce sy3 - 7 : good & clean governance - word

ce sy3 - 7 : good & clean governance - ppt






MAKALAH
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE

Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen  Pengampu: Moh. Ghufron Dimyati, M.S.i






     Disusun Oleh :
     Nama : Nofitasari
                                                              Nim    : 341112009




PRODI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ISLAM KI AGENG PEKALONGAN (STIKAP)
2012
                                                       BAB I
PENDAHULUAN

            Citra pemerintahan buruk yang ditandai dengan banyaknya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah melahirkan sebuah fase sejarah politik bangsa Indonesia dengan semangat reformasi. Salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah Good & Clean Governance. Istilah Good & Clean Governance secara berangsur menjadi populer baik dikalangan pemerintah, swasta maupun masyarakat secara umum. Di Indonesia, istilah ini secara umum diterjemahkan dengan pengelolaan pemerintah yang baik dan bersih. Meskipun ada beberapa kalangan yang konsisten menggunakan istilah aslinya karena memandang luasnya dimensi Governance yang tidak bisa diredukasi hanya menjadi pemerintah semata.
            Wacana Good & Clean Governance seringakali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Isu dan perdebatan good & clean governance merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM, dan masyarakat madani yang diusung oleh gerakan reformasi. Konsep Good & Clean Governance pertama kali diperkenalkan oleh UNDP, sebab munculnya konsep ini disebabkan oleh tidak terjadinya akuntabilitas, transparasi. Artinya banyak negara berkembang ketika diberi bantuan dana oleh negara maju banyak yang tidak tepat sasaran, sehingga negara maju enggan memberikan bantuan kepada negara berkembang adalah karena belum terciptanya sistem birokrasi yang efektif, efisien dan tidak adanya transparasi, akuntabilitas bantuan dana dari negara maju. Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang dilakaukan oleh dunia berkembang ketika dana bantuan turun dari negara maju. Karena itu Good & Clean Governance harus diterapkan dalam sistem demokrasi.
            Pembahasan selengkapnya tentang Good and Clean Governance akan dijelaskan dalam makalah ini, semoga bermanfaat.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Good & Clean governance
        Secara umum istilah Good & Clean Governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.[1] Pengertian Good & Clean Governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat). Menurut Andi Faisal Bakti, dalam pemaknaannya istilah Good Governance memiliki pengartian pengajawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Dalam konteks Indonesia substansi wacana good &clean government dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Senada dengan Bakti, Santosa menjelaskan bahwa good governance sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi,danadministrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pemerintahan yang baik (good government) adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swata. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan diantara mereka.[2]
        Sejalan dengan prinsip diatas, pemerintah yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan bebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Good & Clean Governance dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu: Negara, sektor swasta dan masyarakt madani (civil society). Negara dengan birokrasi peemerintahannya dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sektor swasta harus pula terlibat dan dilibatkan oleh negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan politik.
B.Prinsip-prinsip Good & Clean Governance        
             Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan (9) aspek fundamental untuk merealisasikan pemerintah yang profesional dan akuntabel yang bersandar  pada  prinsip-prinsip good & clean governance, yaitu:
                    ∞ Partisipasi (Participation)
                      Penegakan Hukum (Rule Of  Law)
                      Transparansi (Transparency)
                      Responsif (Responsiveness)
                      Orientasi Kesepakatan (Consensus Orienntation)
                      Kesetaraan (Equity)
                      Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
                      Akuntabilitas (Accountability)
                     ∞ Visi Strategis (Strategic Vision)

1). Partisipasi (Participation)
        Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
        Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis.

2). Penegakan Hukum (Rule Of Law)
        Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik, seperti lalu lintas tanpa rambu-rambu atau marka jalan[3].
        Proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
1.      Supremasi hukum (the supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaanya secara benar serta independen.
2.      Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
3.      Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum itu disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik, sehingga tidak hanya mewakili kepentingan segelintir elit kekuasaan atau kelompok tertentu.
4.      Penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
5.      Independesi peradilan, yakni peradilan itu harus independen tidak dipengaruhi oleh penguasa atau oleh lainnya.

3). Tansparasi (Transparency)
        Transparansi (keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good & clean governance. Akibat tidak adanya prinsip transparasi ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan, baik dilakukan indivindu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan.
        Gaffar menyumpulkan, terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
1.    Penetapan posisi,  jabatan atau kedudukan
2.    Kekayaan pejabat publik
3.    Pemberian penghargaan
4.    Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5.    Kesehatan
6.    Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
7.    Keamanan dan Ketertiban
8.    Kebijaksanaan Strategis  untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

4.) Responsif (Responsiveness)
        Responsif yakni, pemerintahan yang harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginanya, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagi kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
        Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintahan harus memiliki dua etik, yakni:
1.      Etik individual
Kualifikasi etik individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
2.      Etik sosial
Menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik[4].
Namun demikian, mereumuskan keragaman partikultural dari kebutuhan dan permasalahan secara umum bukanlah hak yang mudah. Menjembatani persoalan ini, menurut Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi  terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang universal, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.  Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar
b. Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka    yang     paling tidak beruntung
c. Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak seorang pun menjadi lebih buruk.
Sedangkan hal yang terkait dengan asas responsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya.

5).Orientasi Kesepakatan (Consensus Orientation)
        Asas fundamental yang lain juga harus menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahaanya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama.
        Dalam pengambilan berbagai kebijakan, jajaran birokrasi pemerintah harus mengembangkan beberapa sikap, antara lain:
a)      Optimistik, yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
b)       Keberanian, yakni keberanian dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran
c)      Keadilan yang berwatak kemurahan hati, yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.



6). Kesetaraan (Equity)
        Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan (equity), yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus dperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintah di Indonesia baik pusat dan daerah, karena kenyataan sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama maupun budaya.
7).  Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness And Efficiency)
        Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan diatas, pemerintah yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdayaguna dan berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang efisien.
        Konsep efektifitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni:
1.    efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat.
           2.     efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.
       8).  Akuntabilitas (Accuontability)
                 Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju cita good governance.
       Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni:
       1) Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Akuntabilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi. Seperti seorang bupati yang mempertanggungjawabkan pekerjaannya pada gubernur, dan gubernur harus mempertanggungjawabkan pekerjaanya pada presiden. Begitu juga presiden mempertanggungjawabkan pekerjaanya kepada lembaga tertinggi negara, yakni MPR, anggota MPR harus mempertanggungjawabkann pekerjaanya pada masyarakat yang memilihnya.
              2) Sedangkan akuntabilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang  jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD tingkat 1, bupati dengan DPRD tingkat II, dan presiden dengan DPR pusat, yang pelaksanaanya bisa dilakukan oleh para menteri sebagai pembantu presiden.
          9). Visi Strategis (Strategic Vision)
                               Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat.

C.   Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial
                   Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintah pada akhirnya akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik dan efektif (good government) dan bersih (good governance), bebas dari KKN. Untuk mewujudkannya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1)      Penguatan Fungsi dan Peran
Penguatan peran lembaga perwakilan rakat, MPR, DPR dan DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain melakukan check and balances, lembaga legeslatif harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif serta keterlibatan anggota legeslatif untuk mengontrol dan mengawasi akuntabilitas pelaksanaan program pembangunan.
2)      Kemandirian Lembaga Peradilan
Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law. Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung belum ada pemisah secara maksimal hingga posisi hakim masih terkesan ambigu dalam kedudukannya sebagai badan yudikatif dan kepanjangan tangan eksekutif.
3)      Profesionalitas dan Integritas Aparatur Pemerintah
Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki integritas, berjiwa demokratis dan memilliki akuntabilitas yang kuat sehingga dapat menjadikan pelayanan birokrasi secara cepat dan berkualitas serta efektif, karena itu pengembangan birokrasi harus diubah menjadi birokrasi populis.
4)      Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Sociaty)
Bebagai kebijakan hukum harus memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi. Masyarakat mempunyai hak atas informasi, menyampaikan usulan dan melakukukan kritik terhadap berbagai kebijakan pmerintah yang tidak menguntungkan, baik melalui lembaga perwakilan, pers maupun penyampain secara langsung melalui dalam bentuk dialog-dialog terbuka dengan LSM, politik, Organisasi Massa atau institusi lainnya.
         5)  Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Pengelolaan pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat dilakukan dalam semua tingkatan, baik pusat maupun daerah. Lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah telah memberikan kewenangan terhadap daerah unutuk melakukan pengelolaan dan memejukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tata pemerintahan yang baru perlu dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga negara dengan pemerintah, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara ikut serta dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.










                  Karakteristik Governance Baru
Karakter
Governance Baru
Birokrasi Klasik/Ortodok
Hubungan dengan warga Negara
Memungkinkan adanya hubungan dan mengikutsertakan masyarakat
Langsung dengan pengumuman
Goals
Diarahkan dengan misi
Diarahkan dengan program
Pendekatan kepada masalah-masalah
Proaktif dengan memberikan kesempatan untuk kreatif
Reaktif dengan indivindu sebagai solusi permasalahan
Pengeluaran
Keuntungan jangka panjang
Keuntungan jangka pendek
Nilai-nilai sukses
Mengembangkan hasil
Mengutamakan in-put

D. Tata Kelola Kepemerintahan Yang Bersih (Clean Governance) dan Gerakan Anti KKN
                                    Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi menjadikan ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus merosot. Strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi, yaitu peluang dan keinginan korupsi. Karena itu hal dua itulah yang perlu diontrol.


     1. Makna Korupsi
          Menurut Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku indivindu yang   menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Badan Penagawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendifinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
    2. Asal-Muasal Korupsi di Negara Berkembang
          Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi antara lain :
            a. Kemiskinan
                Kemiskinan telah menjadi sebuah mekanisme yang membuat korupsi menjad sesuatu yang lumrah, korupsi dengan latar belakang kemiskinan dapat dikatakan berasal dari kebutuhan.
b. Kekuasaan
     Hal ini menjadi alasan karena kekuasaan sering membuat orang berperilak semena-mena, mengindahkan peraturan dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang diraihnya.
c. Budaya
    Alasan ini adalah alasan yang paling menyakitkan. Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Uneversitas Waseda Jepang mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem Keluaga Besar, sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota kelurga besar itu. Katanya “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berpikir jangka panjang.
d. Ketidaktahuan
    Ini adalah alasan yang paling mudah dicap sebagai mengada-ada. Hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan sering kali tidak diketahui peruntukannya, dan karena tidak tahu (tidak perlu mencari tahu).
e. Rendahnya Kualitas Moral Suatu Masyarakat
    Kualitas moral ini ditentukan oleh banyak hal, seperti kemiskinan, kualitas  pendidikan dari masyarakt tersebut.

            f. Lemahnya Kelembagaan Politik Dari Suatu Negara
  Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Kasus korupsi yang tidak ditangani, atau tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korupsi “aman” dilakukan asal membayar “harga tertentu”. Kedua, lembaga-lembaga publik yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan insentif yang wajar. Birokrasi pemerintahan dibentuk untuk melayani publik seharusnya ditata dengan mengetahui kapasitas pemerintah untuk dapat memberikan insentif yang memadai agar tidak mendorong pegawai negeri menjadi korup. Ketiga, mekanisme interaksi diantara lembaga-lembaga yang ada di dalam suatu negara memang menuntut adanya “suap”.
g.  Penyakit Bersama
     Korupsi merupakan gejala baru dalam globalisasi. Sebagai sebuah  “penyakit”, maka dalam dunia yang terinterkoneksi, maka dengan cepat menular dari satu kawasan kekawasan lain.

    3.  Impak Korupsi
        Beberapa hal yang diakibatkan dari perilaku korupsi, yaitu:
         a. Mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapakan pemerintah
         b.  Merusak mental aparat pemerintah
             c.  Akan manimbulkan perkara yang harus dibawa kepengadilan dan tuduhan palsu yang diguanakan pada pejabat yang tidak jujur untuk tujuan pemerasan
           d. Jika elit politik dan penjabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk boleh korup juga.

     4. Gerakan Anti Korupsi
          Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan didalam tindak korupsi. Pertama, peluang korupsi. Kedua, keinginan korupsi. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan membalikkan siasat “laba tinggi, risiko rendah” manjadi “laba rendah , risiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas. Jalan ketiga adalah mencegah dan mendidik masyarakat agar tidak pro terhadap korup.
         Pada prinsipnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Dengan demikian penanggulangan korupsi dilakukan dengan pendekatan komprehensif dan sistemik, yaitu menjangkau seluruh bagian ranah kehidupan manusia yang saling terkait, terpadu dan simultan.
    Penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
      a. Penjabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif  pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
     b.  Penegakan hukum secara adil
     c. Memberikan penididikan anti korupsi, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
     d. Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi,   misalnya KPK
   e. Gerakan religiusitas yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan  mengembangkan spiritualitas anti-korupsi.

F.    Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik

                               Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kinerja birokrasi.
                               Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Pengelompokan jenis pelayanan publik pada dasarnya dilakukan melihat jenis jasa yang dihasilkan oleh suatu institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler adalah “setiap tindakan  ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
       Berdasarkan definisi jasa sebagaimana dikemukakan diatas, Tjiptono menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai jasa sebagai berkut:
       1) Dilihat dari pangsa pasarnya, dibedakan antara:
           a. Jasa pada konsumen akhir
           b. Jasa pada konsumen organisasional
       2) Dilihat dari tingkat keberwujudannya, dibedakan:
           a. Jasa barang sewaan
           b. Jasa barang milik konsumen
           c. Jasa untuk bukan barang
      3) Dilihat dari keterampilan penyediaan jasa, dibedakan antara:
           a. Pelayanan profesional
           b. Pelayanan non profesional
                                           Ada beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah; kedua, pelayanan publik sebagai ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara mudah; ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
       Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi antara lain:
a.       Manajemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi.
b.      Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi.
c.       Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi.
d.      Kepemimpinan birokrasi yang efektif.
e.       Koordinasi kerja pada birokrasi.
BAB III
                                                   PENUTUP

1. Kesimpulan
                 Di dalam perjalanan otonomi daerah banyak terjadi penyimpangan otonomi daerah, korupsi, pemindahan korupsi dari pusat ke daerah (terciptanya raja-raja kecil), birokasi yang berbelit-belit tidak efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintahan kita selalu berupaya untuk mewujudkan kondisi yang kondusif untuk tercapainya good and clean governance. Goog and clean governance awalnya sebagai obat penawar yang digunakan untuk menghilangkan korupsi yang semakin mengakar ini, ditawarkan kepada negara berkembangkan yang rentan terjadi korupsi. Maka dari itu good and clean governance sangat perlu diterapkan dalam tata kepemerintahan agar pelayanan publik menjadi lebih efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggung jawab pada publiknya.

2. Saran
                 Mudah-mudahan kedepan pelayanan yang diberikan melalui konsep good and clean governance akan menjadikan kehidupan lebih mudah dalam memperoleh playanan dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang ada. Di pemerintahan nagari serta tidak membutuhkan biaya yang besar untuk memperoleh sebuah pelayanan.




DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Komaruddin, AzraAzyumardi, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN SH,  2000)


Azra Azyumardi, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UNI SH, 2000)

Dwiyanto Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Gadjah Mada: University Press, 2005)


















[1]Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN SH,  2000), hlm 216
[2]  Azyumardi Azra, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UNI SH, 2000), hlm 180
[3]Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,  (Gadjah Mada: University Press, 2005) hlm 206
[4] Ibid, hlm 210