ce sy3 - 7 : good & clean governance - word
ce sy3 - 7 : good & clean governance - ppt
ce sy3 - 7 : good & clean governance - ppt
MAKALAH
GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah: Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Moh. Ghufron Dimyati, M.S.i
Disusun Oleh :
Nama
: Nofitasari
Nim : 341112009
PRODI
EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ISLAM KI
AGENG PEKALONGAN (STIKAP)
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Citra pemerintahan buruk yang
ditandai dengan banyaknya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah
melahirkan sebuah fase sejarah politik bangsa Indonesia dengan semangat
reformasi. Salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah Good & Clean Governance. Istilah Good & Clean Governance secara
berangsur menjadi populer baik dikalangan pemerintah, swasta maupun masyarakat
secara umum. Di Indonesia, istilah ini secara umum diterjemahkan dengan
pengelolaan pemerintah yang baik dan bersih. Meskipun ada beberapa kalangan
yang konsisten menggunakan istilah aslinya karena memandang luasnya dimensi Governance yang tidak bisa diredukasi
hanya menjadi pemerintah semata.
Wacana Good & Clean Governance
seringakali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang
profesional, akuntabel dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Isu dan
perdebatan good & clean governance merupakan bagian penting dari wacana
umum demokrasi, HAM, dan masyarakat madani yang diusung oleh gerakan reformasi.
Konsep Good & Clean Governance
pertama kali diperkenalkan oleh UNDP, sebab munculnya konsep ini disebabkan
oleh tidak terjadinya akuntabilitas, transparasi. Artinya banyak negara
berkembang ketika diberi bantuan dana oleh negara maju banyak yang tidak tepat
sasaran, sehingga negara maju enggan memberikan bantuan kepada negara
berkembang adalah karena belum terciptanya sistem birokrasi yang efektif,
efisien dan tidak adanya transparasi, akuntabilitas bantuan dana dari negara
maju. Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang dilakaukan oleh dunia
berkembang ketika dana bantuan turun dari negara maju. Karena itu Good & Clean Governance harus
diterapkan dalam sistem demokrasi.
Pembahasan selengkapnya tentang Good and Clean Governance akan
dijelaskan dalam makalah ini, semoga bermanfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Good & Clean governance
Secara
umum istilah Good & Clean Governance
memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah
laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi urusan publik
untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.[1]
Pengertian Good & Clean Governance
tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua
lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat).
Menurut Andi Faisal Bakti, dalam pemaknaannya istilah Good Governance memiliki pengartian pengajawantahan nilai-nilai
luhur dalam mengarahkan warga negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang
berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Dalam konteks Indonesia
substansi wacana good &clean
government dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih
dan berwibawa. Senada dengan Bakti, Santosa menjelaskan bahwa good governance sebagaimana
didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi,danadministrasi dalam
mengelola masalah-masalah bangsa. Pemerintahan yang baik (good government) adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan
negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swata.
Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan diantara mereka.[2]
Sejalan
dengan prinsip diatas, pemerintah yang baik itu berarti baik dalam proses
maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara
sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan bebas
dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Good & Clean Governance dapat
terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu:
Negara, sektor swasta dan masyarakt madani (civil
society). Negara dengan birokrasi peemerintahannya dituntut untuk merubah
pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang
berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sektor swasta
harus pula terlibat dan dilibatkan oleh negara untuk berperan serta dalam
proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan politik.
B.Prinsip-prinsip Good & Clean Governance
Lembaga
Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan (9) aspek fundamental untuk
merealisasikan pemerintah yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good & clean
governance, yaitu:
∞ Partisipasi (Participation)
∞ Penegakan Hukum (Rule Of Law)
∞ Transparansi (Transparency)
∞ Responsif (Responsiveness)
∞ Orientasi Kesepakatan (Consensus Orienntation)
∞ Kesetaraan (Equity)
∞ Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
∞ Akuntabilitas (Accountability)
∞ Visi Strategis (Strategic Vision)
1).
Partisipasi (Participation)
Semua
warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk
mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk
dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka
regulasi birokrasi harus diminimalisasi.
Partisipasi
masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik
memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan
hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah
menjadi tindakan publik yang anarkis.
2).
Penegakan Hukum (Rule Of Law)
Pelaksanaan
kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata oleh sebuah sistem dan aturan
hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Tanpa kepastian dan aturan hukum,
proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik, seperti lalu lintas
tanpa rambu-rambu atau marka jalan[3].
Proses
mewujudkan cita good governance, harus
diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule
of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:
1.
Supremasi
hukum (the supremacy of law), yakni
setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini didasarkan pada hukum
dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaanya secara benar serta
independen.
2.
Kepastian
hukum (legal certainty), bahwa setiap
kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang jelas dan pasti,
tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
3.
Hukum
yang responsif, yakni aturan-aturan hukum itu disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat luas, dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik, sehingga
tidak hanya mewakili kepentingan segelintir elit kekuasaan atau kelompok
tertentu.
4.
Penegakan
hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk
semua orang tanpa pandang bulu.
5.
Independesi
peradilan, yakni peradilan itu harus independen tidak dipengaruhi oleh penguasa
atau oleh lainnya.
3). Tansparasi (Transparency)
Transparansi
(keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good & clean governance. Akibat
tidak adanya prinsip transparasi ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah
terjerembab kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan, baik dilakukan
indivindu maupun lembaga yang secara langsung merugikan negara. Salah satu yang
dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen
pemerintahan yang tidak transparan.
Gaffar
menyumpulkan, terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus
dilakukan secara transparan, yaitu:
1.
Penetapan
posisi, jabatan atau kedudukan
2.
Kekayaan
pejabat publik
3.
Pemberian
penghargaan
4.
Penetapan
kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5.
Kesehatan
6.
Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik
7.
Keamanan
dan Ketertiban
8.
Kebijaksanaan
Strategis untuk pencerahan kehidupan
masyarakat.
4.)
Responsif (Responsiveness)
Responsif
yakni, pemerintahan yang harus peka dan cepat tanggap terhadap
persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus
memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginanya,
tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagi kebijakan strategis guna memenuhi
kepentingan umum.
Sesuai
dengan asas responsif, setiap unsur pemerintahan harus memiliki dua etik,
yakni:
1.
Etik
individual
Kualifikasi
etik individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional.
2.
Etik
sosial
Menuntut
mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik[4].
Namun
demikian, mereumuskan keragaman partikultural dari kebutuhan dan permasalahan
secara umum bukanlah hak yang mudah. Menjembatani persoalan ini, menurut
Kumorotomo, pemerintah dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat
yang universal, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Kebahagiaan terbesar bagi jumlah besar
b.
Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka yang
paling tidak beruntung
c.
Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik, atau
setidaknya tidak seorang pun menjadi lebih buruk.
Sedangkan
hal yang terkait dengan asas responsif adalah pemerintah harus terus merumuskan
kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial sesuai
dengan karakteristik budayanya.
5).Orientasi
Kesepakatan (Consensus Orientation)
Asas fundamental yang lain juga harus
menjadi perhatian pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahaanya
menuju cita good governance adalah
pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui
proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama.
Dalam
pengambilan berbagai kebijakan, jajaran birokrasi pemerintah harus
mengembangkan beberapa sikap, antara lain:
a)
Optimistik,
yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan
dengan baik dan benar.
b)
Keberanian, yakni keberanian dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran
c)
Keadilan
yang berwatak kemurahan hati, yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen
atas orang atau kelompok dengan etik.
6).
Kesetaraan (Equity)
Terkait
dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan (equity), yakni kesamaan dalam perlakuan
dan pelayanan. Asas ini harus dperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintah di Indonesia baik pusat dan daerah, karena kenyataan
sosiologis Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama maupun
budaya.
7). Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness And Efficiency)
Untuk
menunjang asas-asas yang telah disebutkan diatas, pemerintah yang baik dan
bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien, yakni berdayaguna dan
berhasil guna. Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk
yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai
kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan
rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka
pemerintah tersebut termasuk dalam kategori pemerintah yang efisien.
Konsep
efektifitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni:
1. efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses
pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat.
2. efektivitas dalam konteks hasil, yakni
mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan
sosial.
8). Akuntabilitas (Accuontability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik
dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju cita good
governance.
Secara teoritik, akuntabilitas
menyangkut dua dimensi, yakni:
1) Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan
antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya.
Rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak
meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Akuntabilitas
vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan
berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih
tinggi. Seperti seorang bupati yang mempertanggungjawabkan pekerjaannya pada
gubernur, dan gubernur harus mempertanggungjawabkan pekerjaanya pada presiden.
Begitu juga presiden mempertanggungjawabkan pekerjaanya kepada lembaga
tertinggi negara, yakni MPR, anggota MPR harus mempertanggungjawabkann
pekerjaanya pada masyarakat yang memilihnya.
2) Sedangkan akuntabilitas
horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang
jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD
tingkat 1, bupati dengan DPRD tingkat II, dan presiden dengan DPR pusat, yang
pelaksanaanya bisa dilakukan oleh para menteri sebagai pembantu presiden.
9).
Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis
adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan
teknologinya yang begitu cepat.
C. Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial
Keterlibatan
masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintah pada akhirnya akan
melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga
pemerintahan. Kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang
baik dan efektif (good government)
dan bersih (good governance), bebas
dari KKN. Untuk mewujudkannya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas
program, yakni:
1)
Penguatan
Fungsi dan Peran
Penguatan
peran lembaga perwakilan rakat, MPR, DPR dan DPRD, mutlak dilakukan dalam
rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.
Selain melakukan check and balances,
lembaga legeslatif harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi
masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat kepada lembaga eksekutif serta keterlibatan anggota legeslatif untuk
mengontrol dan mengawasi akuntabilitas pelaksanaan program pembangunan.
2)
Kemandirian
Lembaga Peradilan
Intervensi
eksekutif terhadap yudikatif masih sangat kuat, sehingga peradilan tidak mampu
menjadi pilar terdepan dalam menegakkan asas rule of law. Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung belum ada
pemisah secara maksimal hingga posisi hakim masih terkesan ambigu dalam
kedudukannya sebagai badan yudikatif dan kepanjangan tangan eksekutif.
3)
Profesionalitas
dan Integritas Aparatur Pemerintah
Jajaran
birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki integritas, berjiwa demokratis
dan memilliki akuntabilitas yang kuat sehingga dapat menjadikan pelayanan
birokrasi secara cepat dan berkualitas serta efektif, karena itu pengembangan
birokrasi harus diubah menjadi birokrasi populis.
4)
Penguatan
Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Sociaty)
Bebagai
kebijakan hukum harus memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi.
Masyarakat mempunyai hak atas informasi, menyampaikan usulan dan melakukukan
kritik terhadap berbagai kebijakan pmerintah yang tidak menguntungkan, baik
melalui lembaga perwakilan, pers maupun penyampain secara langsung melalui
dalam bentuk dialog-dialog terbuka dengan LSM, politik, Organisasi Massa atau
institusi lainnya.
5)
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Pengelolaan
pemerintah yang bersih dan berwibawa dapat dilakukan dalam semua tingkatan,
baik pusat maupun daerah. Lahirnya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah telah memberikan kewenangan terhadap daerah unutuk melakukan pengelolaan
dan memejukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tata
pemerintahan yang baru perlu dikembangkan hubungan yang sinergis antara warga
negara dengan pemerintah, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan warga negara
ikut serta dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.
Karakteristik Governance Baru
Karakter
|
Governance Baru
|
Birokrasi
Klasik/Ortodok
|
Hubungan
dengan warga Negara
|
Memungkinkan
adanya hubungan dan mengikutsertakan masyarakat
|
Langsung
dengan pengumuman
|
Goals
|
Diarahkan
dengan misi
|
Diarahkan
dengan program
|
Pendekatan
kepada masalah-masalah
|
Proaktif
dengan memberikan kesempatan untuk kreatif
|
Reaktif
dengan indivindu sebagai solusi permasalahan
|
Pengeluaran
|
Keuntungan
jangka panjang
|
Keuntungan
jangka pendek
|
Nilai-nilai
sukses
|
Mengembangkan
hasil
|
Mengutamakan
in-put
|
D. Tata Kelola Kepemerintahan Yang Bersih (Clean Governance) dan Gerakan Anti KKN
Korupsi adalah suatu permasalahan
besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi menjadikan
ekonomi menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang
terus menerus merosot. Strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan
kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi, yaitu peluang
dan keinginan korupsi. Karena itu hal dua itulah yang perlu diontrol.
1.
Makna Korupsi
Menurut Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku indivindu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Badan Penagawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendifinisikan
korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas
demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
2. Asal-Muasal Korupsi di Negara Berkembang
Beberapa hal yang menjadi akar masalah terjadinya korupsi
antara lain :
a. Kemiskinan
Kemiskinan telah menjadi sebuah
mekanisme yang membuat korupsi menjad sesuatu yang lumrah, korupsi dengan latar
belakang kemiskinan dapat dikatakan berasal dari kebutuhan.
b. Kekuasaan
Hal ini menjadi alasan karena kekuasaan
sering membuat orang berperilak semena-mena, mengindahkan peraturan dan
mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang diraihnya.
c. Budaya
Alasan ini adalah alasan yang paling
menyakitkan. Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar
Uneversitas Waseda Jepang mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat dengan sistem Keluaga Besar, sebuah masyarakat yang mempunyai nilai
bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh
anggota kelurga besar itu. Katanya “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
berpikir jangka panjang.
d. Ketidaktahuan
Ini adalah alasan yang paling mudah dicap
sebagai mengada-ada. Hal ini menjadi alasan karena kadang dana yang diberikan
sering kali tidak diketahui peruntukannya, dan karena tidak tahu (tidak perlu
mencari tahu).
e. Rendahnya Kualitas Moral Suatu
Masyarakat
Kualitas moral ini ditentukan oleh banyak
hal, seperti kemiskinan, kualitas
pendidikan dari masyarakt tersebut.
f. Lemahnya Kelembagaan Politik Dari Suatu
Negara
Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum
dan penerapannya. Kasus korupsi yang tidak ditangani, atau tidak ditangani
secara sungguh-sungguh akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korupsi
“aman” dilakukan asal membayar “harga tertentu”. Kedua, lembaga-lembaga publik
yang memang tidak dibentuk untuk siap memberikan insentif yang wajar. Birokrasi
pemerintahan dibentuk untuk melayani publik seharusnya ditata dengan mengetahui
kapasitas pemerintah untuk dapat memberikan insentif yang memadai agar tidak
mendorong pegawai negeri menjadi korup. Ketiga, mekanisme interaksi diantara
lembaga-lembaga yang ada di dalam suatu negara memang menuntut adanya “suap”.
g.
Penyakit Bersama
Korupsi merupakan gejala baru dalam
globalisasi. Sebagai sebuah “penyakit”,
maka dalam dunia yang terinterkoneksi, maka dengan cepat menular dari satu
kawasan kekawasan lain.
3.
Impak Korupsi
Beberapa
hal yang diakibatkan dari perilaku korupsi, yaitu:
a. Mencerminkan kegagalan mencapai
tujuan-tujuan yang ditetapakan pemerintah
b.
Merusak mental aparat pemerintah
c. Akan manimbulkan perkara yang harus dibawa
kepengadilan dan tuduhan palsu yang diguanakan pada pejabat yang tidak jujur
untuk tujuan pemerasan
d. Jika elit politik dan penjabat
tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik akan menyimpulkan
tidak ada alasan bagi publik untuk boleh korup juga.
4. Gerakan Anti Korupsi
Jeremy
Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan kontrol
kepada dua unsur paling berperan didalam tindak korupsi. Pertama, peluang
korupsi. Kedua, keinginan korupsi. Peluang dapat dikurangi dengan cara
mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi
dengan membalikkan siasat “laba tinggi, risiko rendah” manjadi “laba rendah ,
risiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan
menegakkan mekanisme akuntabilitas. Jalan ketiga adalah mencegah dan mendidik
masyarakat agar tidak pro terhadap korup.
Pada prinsipnya, korupsi tidak dapat
ditangkal hanya dengan satu cara. Dengan demikian penanggulangan korupsi
dilakukan dengan pendekatan komprehensif dan sistemik, yaitu menjangkau seluruh
bagian ranah kehidupan manusia yang saling terkait, terpadu dan simultan.
Penanggulangan korupsi dapat dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Penjabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi
untuk melakukan langkah proaktif
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
b. Penegakan hukum secara adil
c. Memberikan penididikan anti korupsi,
baik melalui pendidikan formal maupun non-formal
d. Membangun
lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya KPK
e. Gerakan religiusitas yaitu gerakan
membangun kesadaran keagamaan dan
mengembangkan spiritualitas anti-korupsi.
F. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)dan Kinerja Birokrasi
Pelayanan Publik
Salah satu tugas
pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik kepada
masyarakat. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai
kehormatan, merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.
Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan
masyarakat terhadap kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi
adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Pengelompokan jenis pelayanan publik
pada dasarnya dilakukan melihat jenis jasa yang dihasilkan oleh suatu
institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler adalah “setiap tindakan ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh
suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik
dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Berdasarkan definisi jasa sebagaimana
dikemukakan diatas, Tjiptono menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai jasa
sebagai berkut:
1) Dilihat dari pangsa pasarnya,
dibedakan antara:
a. Jasa pada konsumen akhir
b. Jasa pada konsumen organisasional
2) Dilihat dari tingkat keberwujudannya,
dibedakan:
a. Jasa barang sewaan
b. Jasa barang milik konsumen
c. Jasa untuk bukan barang
3) Dilihat dari keterampilan penyediaan
jasa, dibedakan antara:
a. Pelayanan profesional
b. Pelayanan non profesional
Ada
beberapa alasan sebagaimana dikemukakan oleh Agus Dwiyanto mengapa pelayanan
publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good governance di Indonesia. Pertama,
pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili
pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah; kedua, pelayanan publik
sebagai ranah dimana berbagai aspek good
governance dapat diartikulasikan secara mudah; ketiga, pelayanan publik
melibatkan kepentingan semua unsur governance
yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
birokrasi antara lain:
a.
Manajemen
organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi.
b.
Budaya
kerja dan organisasi pada birokrasi.
c.
Kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi.
d.
Kepemimpinan
birokrasi yang efektif.
e.
Koordinasi
kerja pada birokrasi.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Di dalam perjalanan otonomi
daerah banyak terjadi penyimpangan otonomi daerah, korupsi, pemindahan korupsi
dari pusat ke daerah (terciptanya raja-raja kecil), birokasi yang
berbelit-belit tidak efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah pemerintahan kita selalu berupaya untuk mewujudkan kondisi yang
kondusif untuk tercapainya good and clean
governance. Goog and clean governance
awalnya sebagai obat penawar yang digunakan untuk menghilangkan korupsi yang
semakin mengakar ini, ditawarkan kepada negara berkembangkan yang rentan
terjadi korupsi. Maka dari itu good and
clean governance sangat perlu diterapkan dalam tata kepemerintahan agar
pelayanan publik menjadi lebih efisien, sistem pengadilan yang dapat
diandalkan, pemerintahan yang bertanggung jawab pada publiknya.
2. Saran
Mudah-mudahan kedepan
pelayanan yang diberikan melalui konsep good
and clean governance akan menjadikan kehidupan lebih mudah dalam memperoleh
playanan dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang ada. Di
pemerintahan nagari serta tidak membutuhkan biaya yang besar untuk memperoleh
sebuah pelayanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hidayat Komaruddin, AzraAzyumardi, Demokrasi
Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN SH, 2000)
Azra Azyumardi, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UNI SH, 2000)
Dwiyanto Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Gadjah Mada:
University Press, 2005)
[1]Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UIN SH, 2000), hlm 216
[2] Azyumardi Azra, Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE
UNI SH, 2000), hlm 180
[3]Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik, (Gadjah Mada: University
Press, 2005) hlm 206
[4] Ibid, hlm 210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar