PRINSIP ETOS KERJA
“ADA USAHA NYATA UNTUK MERUBAH NASIB”
Qs. Ar-Ra’d ayat 11
Najihatul
Istiqomah (2021115130)
Kelas
B
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga makalah ini
dapat terseleslaikan dengan lancar. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada nabi kita,
baginda nabi agung Muhammad saw. semoga kita semua termasuk umat beliau yang
akan mendapat syafa’atnya di yaumul akhir.
Tidak lupa, pemakalah juga menyampaikan rasa
terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang telah sepenuhnya
memfasilitasi pembuatan makalah ini, kemudian bapak dosen yang telah memberikan
bimbingan, serta tema-teman semua yang telah berpartisipasi memberi arahan dan
masukan.
Disusunnya makalah ini guna memenuhi tugas Tafsir Tarbawi II. Yang mana dalam
penyusunan makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan ataupun kata yang kurang sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik
senantiasa kita harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pekalongan, Maret 2017
Penulis
BAB 1
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan
hamba Allah yang diciptakan sebagai khalifah di bumi. Dimana seorang tugas
khalifiah yang utama adalah bertaqwa kepada Allah, menjalankan perintahnya, dan
menjauhi larangannya. Di dunia ini, seorang hamba dalam menjalani hidupnya
sudah pasti sesuai dengan skenario yang telah dibuat oleh Allah swt. Kemudian, mengenai
skenario tersebut ada hal-hal yang sudah bersifat mutlak absolut (tidak dapat
diganggu gugat), serta ada yang dapat direvisi. Untuk itu, sebagai seorang
hamba yang bertaqwa harus senantiasa mengerahkan segala kemampuannya selagi
bisa, agar dapat mendapatkan revisis alur dari Allah swt.
Namun, dewasa
ini tidak sedikit seseorang yang terjerambab pada penafsiran (ramalan-ramalan)
nasib yang membuat manusia susah untuk bergerak dan berujung pada keputus
asaan. Padahal sebagai seorang hamba yang lemah sudah sepatutnya yakin bahwasanya
Allah kuasa untuk merubaha apapun, kun faya kun. Kemudian segala apapun yang
telah Allah gariskan kepada kita adalah hal yang baik untuk kita. Karena
Allah-lah maha dari segala maha yang mengeatui. Kita sebagai manusia hanya
dapat meniai hal-hal yang nampak oleh indera.
B.
Judul Makalah
Untuk memenuhi
tugas makalah mata kuliah Tafsir Tarbawi II, dalam hal ini pemakalah
membahas tentang “Prinsip Etos Kerja” (Ada Usaha Nyata Untuk Merubah Nasib)
Qs. Ar-Ra’d ayat 11”, sesuai dengan tugas yang telah diamanahkan.
C.
Nash dan Arti QS. Ar-Ra’d ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ
مِنْ وَا لٍ
Artinya: “Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d ayat 11)
D.
Urgensi
Adanya
pembahasan mengenai Prinsip Etos Kerja yang lebih khususnya “Ada Usaha Nyata untuk
Merubah Nasib”, dalam Qs. Ar-Ra’d ayat 11 ini karena didalamnya mengandung
banyak nilai penting yang patut kita teladani, diantaranya:
1.
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tafsir dari Qs. Ar-Ra’d
ayat 11
2.
Bagi seorang pendidik, hendaknya memotivasi peserta didiknya supaya
senantiasa berikhtiar agar dapat mencapai jalan hidup yang diinginkannya
3.
Untuk merubah nasib menjadi baik harus diawali dengan persepsi yang
baik pula
4.
Dapat menguatkan fikiran siapapun untuk tidak percaya atau terpaku
pada tebakan nasib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Secara bahasa, kata nasib bermakna
sesuatu yang sudah ditentukan oleh
Tuhan atas diri seseorang. Ada juga yang mengartikan sebagai ketentuan Allah
swt yang dapat dirubah. Dari pengertian ini memunculkan dua kutub ekstrim,
kelompok yang pertama berpegangan bahwa Allah tidak mengubah, artinya terdapat unsur kepasrahan
(Fatalisme) agar manusia selalu mengikuti ketetapanNya, yaitu Tuhan sebagai
obyek dan manusia sebagai Subyek. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa yang berperan adalah usaha manusia.[1] Hal ini mengacu dengan diberikannya manusia
akal dan pikiran sehingga diberi daya atau kemampuan untuk merubah nasibnya. Ini menunjukkan bahwa suatu nasib
atau takdir tidak menghalangi para mukmin untuk membangkitkan himmah kerja dan
usaha.[2]
Sebagaiman hadits Nabi yang artinya:
Tak ada seseorang pun melainkan sungguh telah ditulis tempat duduknya di dalam
neraka atau di dalam surga. Maka seorang lelaki diantara orang ramai yang ada
disitu berkata: “Apakah kita tidak bertawakkal saja ya Rasulullah ?” Nabi
menjawab: “Tidak, beramallah kamu, maka semua orang dimudahkan bagi apa yang
dia diciptakan untuknya.”
Dalam islam sendiri, istilah yang
digunakan bukanlah nasib melainkan takdir. Kemudian dalam pembagian takdir,
pengertian nasib ini termasuk kategori takdir Mua’llaq, yaitu
takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Misalnya, seorang siswa
bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu
ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan,
Ia menjadi insinyur pertanian.[3]
Dalam proses
ikhtiar seseorang untuk mengubah takdirnya, Allah selalu mengikuti manusia
dengan memerintahkan malaikat-malaikat penjaga untuk mengawasi apa saja yang
dilakukan manusia untuk mengubah diri dari keadaan mereka, yang nantinya Allah
akan mengubah kondisi mereka itu. Sebab, Allah tidak akan mengubah nikmat atau
bencana, kemuliaan atau kerendahan,
kedudukan atau kehinaan, kecuali jika
orang-orang itu mau mengubah perasaan, perbuatan, dan kenyataan hidup mereka.
Maka, Allah akan mengubah keadaan diri
mereka sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam diri dan perbuatan mereka
sendiri. Meskipun Allah mengetahui apa yang bakal terjadi dari mereka sebelum
hal itu terwujud, tetapi apa yang terjadi atas diri mereka itu adalah sebagai akibat
dari apa yang timbul dari mereka. Jadi, akibat itu datangnya belakangan
waktunya sejalan dengan perubahan yang terjadi pada diri manusia.
Ini merupakan
hakikat yang mengandung konsekuensi berat yang dihadapi manusia. Maka,
berlakulah kehendak dan sunnah Allah bahwa sunnah-Nya pada manusia itu berlaku
sesuai dengan sikap dan perbuatan manusia itu sendiri, dan berlakunya sunnah
tersebut pada manusia didasarkan pada bagaimana perilaku mereka dalam menyikapi
sunnah tersebut.[4]
Akan tetapi, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka
ketika itulah berlaku ketentuan Allah sesuai hukum-hukum kemasyarakatan yang
ditatapkan-Nya. Dan apabila itu terjadi, maka tidak ada yang dapat menolaknya
dan tidak ada satu pun pelindung baginya kecuali Allah swt.[5]
B.
Tafsir
1.
Tafsir Al-Azhar
“Baginya ada penjaga-penjaga bergiliran, di hadapannya dan di
belakangnya, mereka memeliharanya dengan perintah Allah.” Artinya,
bahwasanya melaikat-malaikat sengaja disediakan oleh Allah untuk menjaga kita
seluruh makhluk ini dengan bergiliran. Maka tersebutlah di dalam beberrapa
Hadits bahwasanya makhluk itu dijaga terus oleh malaikat, ada yang bernama
malaikat Raqib dan ‘Atid, menjaga caranya manusia beramal. Raqib menuliskan
amalan yang baik, sedangkan ‘Atid mencatat amalan yang jahat. Dan tersebut juga
di dalam Hadits bahwasanya ada malaikat yang menjaga semata-mata malam hari,
datangnya bergiliran pada waktu subuh dan sehabis waktu asar.
Kemudian datanglah sambungan ayat “Sesungguhnya Allah tidaklah
akanmengubah apa yang ada pada suatu kaum,sehingga mereka ubah apa yang ada
pada diri mereka (sendiri).” Inilah ayat terkenal tentang kekuatan dari
akal budi yang dianugerahkan Allah kepada manusisa sehingga manusia itu dapat
bertindak sendiri dan mengendalikan dirinya sendiri dibawah naungan Allah. Dia
berkuasa atas dirinya dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah swt. Oleh
sebab itu, maka manusia itu pun wajiblah berusaha sendiri pula menentukan garis
hidupnya. Jangan hanya menyerah saja dengantidak berikhtiar. Manusia diberi
akal oleh Allah dan dia pandai sendiri mempertimbangkam dengan akalnya itu
diantara yang buruk dan yang baik.manusia bukanlah semacam kapas ynag
diterbangkan angin kemana-mana, atau laksana batu yang terlempar di tepi jalan.
Dia mempunyai akal dan dia pun mempunyai
tenaga untuk mencapai yang lebih baik, dalam batas-batas yang ditentukan
Allah.jika tidak demikian, niscaya tidaklah akan sampai manusia itumendapat
kehormatan menjadi Khalifah Allah di muka bumi ini.[6]
2.
Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah ta’ala , “siapa yang bersembunyi di malam hari”, yaitu
orang yang bersembunyi di akamr rumahnya dalam kegelapan malam. “Dan yang
berjalan di siang hari.” Yakni, yang tampak berjalan-jalan dalam benderang
siang. Masing-masing orang itu adalah sama dalam pengetahuan Allah. Penggalan
ini seperti firman Allah Ta’al, “Tidak luput dari pengetahuanmu biarpun sebesar
biji zarah di bumi dan di langit.” Dan firman Allah Ta’ala, “bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya.” Yakni, seorang hamba memiliki sejumlah malaikat yang datang
bergantian. Malaikat itu menjaganya malam dan siang serta memeliharanya dari
aneka keburukan dan kejadian. Malaikat lain pun datang bergantian untuk menjaga
aneka amal hamba baik yang baik atau yang buruk.
Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah yang ada pada diri mereka sendiri.” Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata: Allah mewahyukan kepada salah
seorang Nabi Bani Isra’il: Katakanlah kepada kaummu, “Tidaklah penduduk suatu
negri dan tidaklah penghuni suatu rumah yang berada dalam ketaatan kepada
Allah, kemudian mereka beralih kepada kemaksiatan terhadap Allah melainkan
Allah mengalihkan dari mereka apa yang meraka cintai kepada apa yang mereka
benci.” Kemudian Ibrahim berkata: Pembenaran atas pernyataan itu terdapat dalam
kitab Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubahkeadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.[7]
3.
Tafsir Al-Misbah
Siapapun, baik yang bersembunyi di malam hari atau berjalan
terang-terangan di siang hari, masing-masing ada baginya pengikut-pengikut,
yakni malaikat-malaikat atau makhluk yang selalu mengikutinya secara bergiliran,
dihadapannya dan juga dibelakangnya, mereka, yakni para malaikat itu menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
dari positif ke negatif atau sebaliknya, sehingga mereka mengubah apa yang
ada pada diri mereka, yakni sikap mental dan fikiran mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tetapi ingat bahwa Dia tidak menghendakinya
kecuali jika manusia mengubah sikapnya terlebih dahulu. Jika Allah menghendaki
keburukan suatu kaum, maka ketika itu berlakulah ketentuan-Nya yang berdasar
sunnatuallah atau hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan-Nya. Bila itu
terjadi, maka tak ada yang dapat menolaknya dan pstilah sunnatuallah
menimpanya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka yang jatuh
atasnya ketentuan tersebut selain Dia.[8]
Para malaikat pemelihara melaksanakan tugasnya atas amr Allah
sekaligus mereka memelihara manusia dari kepuanahan dan kebinasaan yang juga
merupakan bagian dari amr Allah. Dari sini Thabathaba’i melihat kaitan yang
erat antara penggalan berikutnya yang menyatakan “sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri
mereka.” Dalam arti Allah menjadikan para mu’aqqibat itu melakukan apa yang
ditugaskan kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana dijelaskan bahwa
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/ sisi dalam mereka seperti mengubah
kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjdai
penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah ni’mat (nikmat) menjadi
niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan
dan seterusnya. Ini adalah ketetapan pasti Allah yang kait mengait.[9]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
1.
Dalam menghadapi dunia nyata ini, hendaknya seseorang berpedoman
bahwa takdir itu selain ditentukan oleh Allah juga ditentukan oleh usaha
(penggunaan akal fikiran) manusia.
2.
Agar dapat merubah nasib sesuai dengan yang diharapkan maka kita
harus bersungguh-sungguh dalam berikhtiar, tidak boleh berputus asa.
3.
Setelah berikhtiar, maka bersabar dan bertawakkal atas ketetapan
Allah.
4.
Manusia harus bisa membedakan usaha (perbuatan) yang baik dan yang
buruk, karena semua perbuatannya akan dimonitor dan didokumentasi oleh para
malaikat.
5.
Ketika kita sudah berikhtiar dengan keras, namun kita merasa
hasilnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan, maka kita hrus berkhusnudhon
terhadap ketetapan Allah swt tersebut.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Allah telah menugasakan malaikat-malaikat untuk memelihara manusia
agar rencana Allah swt terhadap makhluk dapat terlaksana sesuai kehandak-Nya.
2.
Allah juga menugaskan malaikat-malaikat yang bertugas mencatat
segala macam aktifitas manusia agar kelak di hari kiamat menjadi bukti atas apa
yang diperbuat selama di dunia.
3.
Suatu perubahan dari negatif ke positif atau sebaliknya dapat
terealisasi dengan didahului adanya perubahan sisi dalam manusia, yakni nilai
yang dianutnya, pengetahuan, tekad,dan langkahnya.
4.
Adanya suatu ketatapan dari Allah bisa dirasa baik atau tidaknya
juga tergantung pada bagaimana seseorang menerima ketetapan tersebut.
5.
Fasilitas akal dan tanaga yang diberikan oleh Allah kepada manusia
sudah seharusnya difungsikan untuk berikhtiar terus menerus tanpa berputus asa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara bahasa, kata nasib bermakna sesuatu yang sudah ditentukan oleh
Tuhan atas diri seseorang. Ada juga yang mengartikan sebagai ketentuan Allah
swt yang dapat dirubah. Dari pengertian ini memunculkan dua kutub ekstrim,
kelompok yang pertama berpegangan bahwa Allah tidak mengubah, Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa yang berperan adalah usaha
manusia. Dalam proses ikhtiar seseorang untuk
mengubah takdirnya, Allah selalu mengikuti manusia dengan memerintahkan
malaikat-malaikat penjaga untuk mengawasi apa saja yang dilakukan manusia untuk
mengubah diri dari keadaan mereka, yang nantinya Allah akan mengubah kondisi
mereka itu.
Kemudian, Allah akan mengubah keadaan diri manusia sesuai
dengan perubahan yang terjadi dalam diri dan perbuatan mereka sendiri. Meskipun
Allah mengetahui apa yang bakal terjadi dari mereka sebelum hal itu terwujud,
tetapi apa yang terjadi atas diri mereka itu adalah sebagai akibat dari apa
yang timbul dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i,
Muhammad Nasib. 2005. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Gema Insani.
Ash Shidieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Hamka. 1983Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Mustofa, Agus. 2008. Mengubah Takdir. Surabaya: Padma Press.
Qutb, Sayyid. 2003. Tafsir FI Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema
Insani Press
Shihab, M.
Quraish. 2012. Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah dari
Al-Qur’an). Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M.
Quraish. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an). Jakarta:
Lentera Hati.
http://pengayaan.com/macam-macam-takdir-dan-contohnya/. Diakses hari Selasa, tanggal 14 Maret 2017. pukul 13.18.
PROFIL PEMAKALAH
Nama : Najihatul Istiqomah
Nim : 2021115130
TTL : Batang, 24
Agustus 1997
Alamat : Dk. Gamblok Ds.
Wonosegoro RT 03/RW 03, Kec. Bandar, Kab. Batang
Riwayat
Pendidikan : 1. SDN Wonosegoro 02
2. Mts. Daarul Ishlah
3. MA. Ribatul Muta’allimin
4. IAIN Pekalongan Tahun 2015 sampai sekarang
[2] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 94
[3] http://pengayaan.com/macam-macam-takdir-dan-contohnya/, diakses hari
Selasa, tanggal 14 Maret 2017, pukul 13.18.
[4] Sayyid Qutb, Tafsir
FI Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 38
[5] M. Quraish Shihab,
Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah dari Al-Qur’an),
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 63
[6] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 72-73
[7] Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 904-906
[8] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an), (
Jakarta: Lentera Hati, hlm. 565
Tidak ada komentar:
Posting Komentar