Laman

new post

zzz

Selasa, 14 Maret 2017

tt2 b5d “Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi” QS. Al-Qashash ayat 77.

PRINSIP ETOS KERJA
“JANGAN LUPAKAN BAGIAN HIDUP DUNIAWI”
 QS. Al-Qashash ayat 77

Syarifatul Shafira   (2021115124)
Kelas B

FAKULTAS TARBIYAH / PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 
2017




KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi”. Sholawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmatan lil alamin.
Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan semata-mata karena limpahan karunia-Nya dan bantuan serta dukungan dari semua pihak. Penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung terutama kepada orang tua, para dosen IAIN Pekalongan khususnya kepada bapak Muhammad Hufron sebagai dosen pengampu mata kuliah tafsir tarbawi II, serta teman-teman yang saya banggakan.
Sehubungan dengan materi yang dikaji dalam makalah ini yaitu “Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi” yang terdapat dalam QS. Al-Qashash ayat 77. Pembuatan makalah ini tidak hanya bersumber pada Al-Qur’an saja, namun juga buku-buku pendukung sebagai referensi yang mana buku-buku tersebut memiliki keterkaitan dengan topik makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran positif yang bersifat membangun dan memotivasi dari pembaca demi perbaikan pada makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.

Pekalongan, Maret 2017

Syarifatul Shafira
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Etos kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance). Dalam hidupnya, manusia hanya tertuju pada dua hal, yaitu dunia dan akhirat. Maka perlu adanya keseimbangan antara keduanya.
Keseimbangan (At Tawazun) merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Keseimbangan membuka jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Keseimbangan akan melahirkan kebahagiaan yang ditandai dengan adanya ketenteraman dan kesejahteraan yang merata.
Kita hidup di dunia hanya sementara, dan tujuan utama hidup kita adalah akhirat. Kita diperintahkan untuk mencari amalan-amalan sebagai bekal kita di akhirat kelak. Namun, bukan berarti kita hanya fokus untuk akhirat saja. Kehidupan kita di dunia juga sangatlah penting.
Dengan mengetahui bagaimana pentingnya kehidupan dunia itu, maka makalah ini akan akan membahas mengenai QS Al-Qashash ayat 77. Dengan tujuan agar pembaca dapat lebih mengetahui lagi bagaimana pentingnya kehidupan duniawi dan jangan sampai kita melupakan kehidupan duniawi ini demi mengejar kehidupan akhirat.
B.    Judul Makalah
Makalah ini berjudul “Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi” karena sesuai dengan tugas yang penulis terima dan sebagai mahasiswa dituntut untuk dapat memahami bahwa antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat sama pentingnya. Dan manusia dituntut untuk menyeimbangkan diantara keduanya.
C.    Nash dan arti QS. Al Qashash ayat : 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
D.    Urgensi
Penulis membuat makalah penafsiran QS. Al-Qashash ayat 77, karena dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk mencari apa yang telah dianugerahkan kepada manusia, namun jangan sampai melupakan bagiannya di dunia. Pentingnya mengkaji ayat ini juga karena :
1.     Agar mahasiswa dapat mengerti isi kandungan QS. Al Qashash ayat 77.
2.     Agar mahasiswa tahu bahwa kehidupan dunia merupakan jalan untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di akhirat kelak.
3.     Agar mahasiwa tahu bahwa kita tidak boleh melupakan bagian hidup di dunia.





BAB II
PEMBAHASAN


A.    Teori
Dunia adalah tempat dimana manusia masih hidup. Al-Qur’an menggambarkan kehidupan di dunia sebagai permainan dan sendau gurau. Dunia tidak abadi. Oleh karena itu, umat Islam harus berjalan menuju Allah, tak terpengaruh oleh kehidupan dunia, dan tak menjadikannya sebagai ganti dari akhirat.[1]
Nabi Isa AS. berkata: Janganlah kamu jadikan dunia itu sebagai Tuhan, kemudian dunia menjadikan kamu sebagai budak sahaya. Simpanlah barang simpananmu pada orang yang tidak menyia-nyiakannya. Karena orang yang memiliki simpanan dunia padanya akan bahaya. Dan orang yang memiliki simpanan Allah itu tidak dikhawatirkan padanya akan bahaya”.[2] Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia tiga bagian; satu bagian untuk orang mu’min, satu bagian untuk orang munafik, dan satu bagian lagi untuk orang kafir. Maka orang mu’min menjadikan dunia itu untuk bekal menuju akhirat. Orang munafik menjadikannya untuk berhias dengan kesenangannya. Dan orang kafir menjadikannya untuk bersenang-senang.”[3]
Dengan melihat nasehat-nasehat di atas, orang akan cenderung berpikir bahwa dunia harus ditinggalkan, dan semua orientasinya akan tertuju pada akhirat atau dapat dikatakan zuhud. Dalam Islam, zuhud tidak berarti meninggalkan dunia secara keseluruhan. Artinya tak lain adalah berhubungan dengannya namun tak melakukan pemujaan terhadapnya. Nabi bersabda: “ Orang yang paling baik di antara kalian bukanlah yang meninggalkan dunia karena akhirat, dan juga meninggalkan akhirat karena dunia. Namun orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mengambil dari akhirat dan juga dunia”.[4]

B.    Tafsir Ayat dari Buku

Ada beberapa tafsiran mengenai QS Al Qashash ayat: 77, diantaranya:
1.     Tafsir Al Maraghi.
Kaum Qarun mengemukakan beberapa nasehat:
  الآخِرَةَ الدَّارَ اللَّهُ آتَاكَ فِيمَا وَابْتَغِ
Pergunakanlah harta dan nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mentaati Tuhanmu dan mendekatkan diri kepadanya dengan berbagai macam cara pendekatan yang mengantarkanmu kepada perolehan pahala-Nya di dunia dan akhirat. Ditegaskan dalam hadits: “Pergunakanlah lima perkara sebelum lima perkara lain datang, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, kesehatanmu sebelum sakitmu, kekayaanmu sebelum kemiskinanmu, kesengganganmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu.”
الدُّنْيَا مِنَ نَصِيبَكَ تَنْسَ وَلا
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum dan pakaian, karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunyai hak terhadapmu, demikian pula keluargamu, mempunyai hak terhadapmu.
إِلَيْكَ اللَّهُ أَحْسَنَ كَمَا وَأَحْسِنْ
Berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagimana Dia telah berbuat baik kepadamu dengan nikmat-Nya yang Dia limpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah makhluk-Nya dengan harta kemuliaanmu, muka manismu, menemui mereka secara baik, dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka.
الأرْضِ فِي الْفَسَادَ تَبْغِ وَلا
Dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.
Nasehat-nasehat ini dikemukakan dengan alasan:
 الْمُفْسِدِينَ يُحِبُّ لا اللَّهَ إِنَّ
Karena sesungguhnya Allah tidak akan memuliakan orang-orang yang suka mengadakan kerusakan, malah menghinakan dan menjauhkan mereka dari dekat kepada-Nya dan tidak memperoleh kecintaan serta kasih sayang-Nya.[5]
2.     Tafsir Al Azhar.
Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah engkau sampai lupa bahwa sesudah hidup ini engkau akan mati. Harta benda dunia ini, sedikit ataupun banyak semata-mata hanya akan tinggal di dunia. Kalau kita mati kelak, tidak sebuah jua pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat itu kelak. Berbuat baiklah, nafkahkanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada jalan kebajikan. Niscaya jika engkau mati kelak, bekas amalanmu untuk akhirat itu akan engkau dapati berlipat ganda di sisi Allah. Dan yang untuk dunia janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah kendaraan yang baik dan moga-moga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan dengan isteri yang setia.
Berbagai tafsir dibuat oleh para ahli. Ada yang mengatakan bahwa nasib di dunia itu ialah semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang akan engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabiy memberikan tafsir yang lebih sesuai dengan roh Islam: “Jangan lupa bahagianmu di dunia, yaitu harta yang halal.”
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau.” Kebaikan Allah kepada engkau tidaklah terhitung banyaknya. Sejak engkau dikandung ibu, sampai engkau datang ke dunia. Dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda. Maka sudah sepatutnyalah berbuat baik pula, yaitu al-ihsan.“Dan janganlah engkau mencari-cari kerusakan di muka bumi.” Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan tali shilahturahmi, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, berbuat onar, menipu dan mengecoh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak.
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.” Kalau Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Dan jika hukuman Tuhan datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan dan daya upaya buat menangkisnya.[6]
3.     Tafsir Al Lubab.
Pada ayat 76, Qarun mendapat nasehat dari kaumnya. Kemudian, dilanjutkan dengan ayat 77 yang bagaikan menyatakan: “Ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu dalam batas yang dibenarkan Allah swt. Untuk meraih harta dan hiasan duniawi dan carilah secara bersungguh-sungguh melalui apa yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat dengan menginfakkan dan menggunakannya sesuai petunjuk Allah swt., dan dalam saat yang sama janganlah mengabaikan bagianmu yang halal dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak disebabkan karena Allah swt. telah berbuat baik kepadamu dengan aneka nikmat-Nya, dan janganlah berbuat kerusakan dalam bentuk apapun dibagian manapun di bumi ini. Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai para pembuat kerusakan.”[7]
4.     Tafsir Al Misbah.
Kata (فِيمَا) dipahami oleh Ibn ‘Asyur mengandung makna terbanyak atau pada umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya ke dalam lubuk hati upaya mencari kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang di anugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini. Dalam konteks Qarun adalah gudang-gudang tumpukan harta benda yang dimilikinya.
Firman-Nya (الدُّنْيَا مِنَ نَصِيبَكَ تَنْسَ وَلا) merupakan larangan melupakan atau mengabaikan seseorang dari kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya, tetapi dalam arti mubah (boleh untuk mengambilnya) dan dengan demikian –tulis Ibn ‘Asyur – ayat ini merupakan salah satu contoh penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh. Ulama ini memahami kalimat di atas dalam arti “Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dan kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi. Merupakan nasihat yang perlu dikemukakan agar siapa yang dinasihati tidak menghindar dari tuntutan itu. Tanpa kalimat ini, boleh jadi yang dinasihati itu memahami bahwa ia dilarang menggunakan hartanya kecuali untuk pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah murni semata-mata. Dengan kalimat ini, menjadi jelas bagi siapa pun bahwa seseorang boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah SWT.
Kata (نَصِيبَ) adalah bagian tertentu yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata dan jelas bahwa bagian itu adalah hak dan miliknya dan atau itu tidak dapat dielakkan.
Sementara ulama berpendapat bahwa “nashib” manusia dari harta kekayaan di dunia ini hanyalah “Apa yang dimakan dan habis termakan, apa yang dipakai dan punah tak dapat dipakai lagi serta apa yang disedekahkan kepada orang lain dan yang akan diterima ganjarannya di akhirat nanti.” Pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya dalam arti segala yang dihalalkan Allah. Harta yang diperoleh manusia secara halal dapat digunakannya secara baik dan benar sebagimana digariskan Allah. Dia hanya berkewajiban mengeluarkan bagian yang ditentukan dalam bentuk zakat yang wajib. Selebihnya adalah halal umtuk dinikmatinya, kecuali kalau dia ingin bersedekah.
Larangan melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Sebab keburukan dan perusak merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan –walau sebenarnya perintah berbuat baik telah berarti pula larangan berbuat keburukan –
Perusakan dimaksud menyangkut banyak hal. Di dalam al Qur’an sudah ada contohnya. Puncaknya adalah merusak fitrah kesucian manusia, yakni tidak memelihara tauhid yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan. Dibawah peringakat itu ditemukan keengganan menerima kebenaran dan pengorbanan nilai-nilai agama, seperti pembunuhan, perampokan, pengurangan takaran dan timbangan, berfoya-foya, pemborosan, gangguan terhadap kelestarian lingkungan, dan lain-lain.[8]

C.    Aplikasi dalam Kehidupan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat diambil beberapa hal, untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya:
1.     Kita dilarang untuk mengabaikan atau melupakan kenikmatan duniawi.
2.     Siapapun boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah SWT.
3.     Apa yang kita dilakukan di dunia ini, adalah apa yang akan kita tuai di akhirat kelak.

D.    Aspek Tarbawi
Dari beberapa penjelasan mengenai tafsir QS. AL-Qashash ayat 77, hikmah yang dapat diambil ialah:
1.     Hendaklah manusia senantiasa menyeimbangkan kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.
2.     Hendaklah mengarahkan pandangan kita kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana mencapai tujuan.
3.     Tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan.
4.     Senantiasa berbuat baik.
5.     Tidak melakukan perusakan terhadap dunia ini.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Qur’an menggambarkan kehidupan di dunia sebagai permainan dan sendau gurau. Dunia tidak abadi. Oleh karena itu, umat Islam harus berjalan menuju Allah, tak terpengaruh oleh kehidupan dunia, dan tak menjadikannya sebagai ganti dari akhirat.
Banyak yang memberikan nasehat perihal tidak menjadikan dunia sebgai orientasi dalam hidup, di antaranya nasehat dari nabi Isa AS. dan nasehat dari Ibnu Abbas.
Zuhud tidak berarti meninggalkan dunia secara keseluruhan. Artinya tak lain adalah berhubungan dengannya namun tak melakukan pemujaan terhadapnya.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Hamka. 1978. Tafsir Al-Azhar cet. ke-1. Surabaya: Yayasan Latimojong.
Shihab, M. Quraish. 2012. M. Al Lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Al-Taftazani, Abu Wafa’ Al-Ghanimi. 2008. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama
Al Ghazali, Imam. 2003. Ihya’ ‘Ulumiddin. Semarang: CV. Asy Syifa’



PROFIL PENULIS

Nama  : SYARIFATU SHAFIRA
Tempat, tanggal Lahir : Batang, 30 Maret 1997
Alamat : Dk. Badulan Ds. Pesaren Rt. 02 Rw. 01 Kec. Warungasem Kab. Batang
Riwayat Pendidikan :
Ø  SDN 01 Pesaren
Ø  SMP Negeri 1 Warungasem
Ø  SMA Negeri 2 Batang
Ø  IAIN Pekalongan
SStatus : Mahasiswa IAIN Pekalongan







[1] Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hlm. 74
[2] Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin (Semarang: CV. Asy Syifa’, 2003), hlm. 9
[3] Ibid, hlm. 33
[4] Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, hlm. 76
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), hlm. 169-170

[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar cet. ke-1 (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1978), hlm. 161-162
[7] M. Quraish Shihab, Al Lubab: makna, tujuan dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an cet. ke-1 (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 80
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 406-410

Tidak ada komentar:

Posting Komentar