PA A9 : Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - word
PA A9 : Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - ppt
PA A9 : Peran EQ dalam perspektif Psikologi Agama - ppt
MAKALAH
KECERDASAN EMOSI DALAM PERSPEKTIF
PSIKOLOGI AGAMA
Tugas ini disusun guna memenuhi
tugas kelompok :
Mata Kuliah : Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Ghufron Dimyati, M.S.I
Disusun Oleh :
Nama :
Failasuffah 2022
111 008
:
Laili Widayati 2022 111
011
:
Heri 2022
111 036
Kelas : PBA “A”
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (
STAIN )
PEKALONGAN 2012 / 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pada dasarnya manusia memiliki beberapa kecerdasan diantaranya
yaitu kecerdasan intelektual
atau yang sering dikenal dengan istilah IQ (intelligent quotion), kecerdasan Emosional
(EQ), dan kecerdasan
spiritual (SQ). Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah
penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual
dalam memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan seseorang.
Kecerdasan emosi merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki oleh
seseorang dan sangat berguna untuk menghadapi, memperkuat diri, atau mengubah
kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk
diatasi.
Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan
emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena
sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan
emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras
kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain,
tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami
stress. Kondisi
sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Dalam
makalah ini akan dibahas peranan kecerdasan emosi dalam pandangan psikologi
agama,
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi
kecerdasan emosi
2.
Ciri-ciri
pikiran emosional
3.
Kecerdasan
emosi
4.
Peran
kecerdasan emosi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
kecerdasan emosi
Secara harfiah kecerdasan berasal dari kata cerdas yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam
pikiran. Selain itu dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat,
kuat). Sedangkan
kata emosional berasal dari bahasa inggris, yaitu emotion. Dalam makna paling harfiah, oxford English Dictionary mendefinisikan
emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu;
setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. [1]
Emosi (emotion) sukar didefinisikan secara persis, ataupun di gunakan
sebagai suatu istilah teknis. Ia mengacu pada semacam “perasaan kuat” seperti
bahagia, cinta, suka-cita, cemburu, marah, duka, dan takut. Sifat dari semua
hal tadi sukar dirangkum dalam suatu statemen tunggal yang umum.[2]
Adapun para pakar psikologi
memberikan definisi beragam pada Kecerdasan Emosional (EQ), Di antaranya :
Ø Daniel Goleman, mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur
keadaan jiwa.
Ø Cooper dan Sawaf, mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan
emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
Ø Howes dan Herald, mengatakan pada intinya , kecerdasan emosional
merupakan komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.
Ø Salovey dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Dari definisi – definisi
kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain. Kecerdasan
emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling
melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu
kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang
cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi,
ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul
dalam keterampilan kecerdasan emosi.
Dua macam kecerdasan yang berbeda ini (intelektual dan emosi) mengungkapkan
aktifitas bagian – bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan intelektual
terutama didasarkan pada kerja neokorteks, lapisan yang dalam evolusi
berkembang paling akhir di bagian atas otak. Sedangkan pusat – pusat emosi
berada di bagian otak lebih dalam, dalam subkorteks yang secara evolusi lebih
kuno. Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh kerja pusat – pusat emosi ini, tetapi
dalam keselarasan dengan kerja pusat – pusat intelektual.[3]
B.
Ciri-ciri
pikiran emosional
a. Respon yang cepat tetapi ceroboh
Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional, langsung
melompat bertindak tanpa mempertimbangkan bahkan sekejap pun apa yang akan
dilakukan. Kecepatannya itu mengesampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang
merupakan ciri khas akal yang berpikir. Tindakan yang muncul dari pikiran
emosional membawa rasa kepastian yang sangat kuat. Keuntungan utamanya adalah
bahwa pikiran emosional dapat membaca realitas emosi (ia marah padaku, ia
berdusta, ini akan membuatnya sedih) dalam sekejap, membuat penilaian singkat
secara naluriah yang bisa menunjukkan apa yang perlu dicurigai, siapa yang
harus dipercaya, siapa yang menderita. Namun, kekurangannya adalah bahwa
kesan-kesan dan penilaian-penilaian naluriah ini, karena dibuat dalam sekejap,
dapat keliru atau salah.
b. Pertama adalah perasaan, kedua adalah
pemikiran
Ketika pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk
mendata dan menanggapi daripada waktu yang dibutuhkan oleh pikiran emosional,
maka dorongan pertama dalam suatu situasi emosional adalah dorongan hati, bukan
dorongan kepala.
c. Realitas simbolik yang seperti
kanak-kanak
logika pikiran emosional itu bersifat asosiatif, menganggap bahwa unsur-unsur
yang melambangkan suatu realitas itu, merupakan hal yang sama dengan realitas
tersebut. Itulah sebabnya mengapa perumpamaan, kiasan dan gambaran secara
langsung ditunjukkan pada pikiran emosional, demikian juga karya seni separti
novel, film, puisi, nyanyian, teater dan opera.
Ada banyak segi dimana akal emosional itu mirip perilaku
kanak-kanak, semakin mirip kanak-kanak, semakin kuatlah tumbuhnya emosi
tersebut. Salah satu seginya adalah pemikiran kategoris, dimana segala sesuatu
menjadi hitam dan putih, tidak ada warna-warna kelabu. Seseorang yang amat
menghawatirkan langkahnya keliru barangkali mempunyai pikiran seketika “ aku
selalu keliru ngomong”. Tanda lain modus mirip kanak-kanak lain ini adalah
pemikiran bersifat pribadi, dimana peristiwa-peristiwa diserap dengan bias yang
berpusat pada diri sendiri, seperti pengemudi yang setelah kecelakaan,
menerangkan bahwa “tiang telepon itu langsung menuju ke arahku”.
d. Masa lampau diposisikan sebagai masa
lampau
Apabila sejumlah ciri suatu peristia tampak serupa dengan kenangan
masa lampau yang mengandung muatan emosi, akal emosional menanggapinya dengan
memiu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat itu. Akal
emosional beraksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah masa
lampau.
e. Realitas yang ditentukan oleh keadaan
Bekerjanya
akal emosional itu untuk sebagian besar ditentukan oleh keadaan, didiktekan
oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut. Bagaimana kita
berpikir dan bertindak sewaktu kita merasa senang akan betul-betul berbeda
dengan bagaimana kit berperilaku jika kita sedang marah. Dalam mekanika emosi,
setiap perasaan mempunyai repeator pikiran, reaksi, bahkan ingatannya
sendiri-sendiri. Repeator yang ditentukan oleh keadaan menjadi paling menonjol
dalam momen-momen dengan intensitas emosi yang tinggi.[4]
C.
kecerdasan
emosi meliputi
a.
Mengenali emosi
diri
Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Orang yang
memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang handal bagi
kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka
yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
b.
Mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah
kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam
ketrampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara
mereka yang pintar dapat bengkit kembali dengan jauh lebih cepat dari
kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c.
Memotivasi diri
sendiri
Orang-orang yang pandai dalam memotivasi diri cenderung jauh lebih
produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d.
Mengenali emosi
orang lain (Empati)
Kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional,
merupakan ketrampilan bergaul. Orang yang empatik lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki orang laian.
e.
Membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan ketrampilan
mengelola emosi orang laian. Orang-orang yang hebat dalam ketrampilan ini akan
sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang
lain.[5]
D.
Peran
kecerdasan emosi
Kecerdasan emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan
kesuksesan manusia dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja
hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan
peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan
saat ini banyak yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan
mendasar dalam setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional
seseorang memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling
menguntungkan dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai
kemungkinan yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan
bahwa seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau
meraih prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat
menjamin kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan
kecerdasan emosional.
Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena
kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi
dari perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita
untuk mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang
paling dalam. Sehingga
mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Di antara dimensi EQ,
yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan dalam berdagang dan bekerja
adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan perasaan emosinya, serta
kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan masalah yang dihadapinya.
EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di mana ia bisa mengungkapkan
perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya.[6]
Dalam konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus
dilakukan dengan menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan
tindakan yang negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan
akan melahirkan tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
Mendalamnya makna kecerdasan
emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan
dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran
secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti
kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri,
yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul.
Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau
bereaksi secara berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang
mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan
pentingnya kecerdasan emosional.[7]
E. Hubungan Kecerdasan Emosional (EQ) Dengan Religiusitas
Aspek-aspek kecerdasan
emosi tersebut dikaitkan dengan agama dan ajarannya, serta dikaitkan dengan
wajah agama (Kepribadian) yang harus ditampilkan oleh para penganut agama, maka
akan Nampak bahwa orang yang beragama dengan benar dan penuh kesungguhan
seharusnya akan memiliki kepribadian yang tergambarkan dan termuat dalam
aspek-aspek atau kemampuan kecerdasan emosional. Ada lima kemampuan yang
memiliki kecerdasan emosional tersebut bila didekati dari ajaran berbagai agama
maka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.
Kemampuan untuk
mengenali emosi sendiri dan sadar diri (Self Awarenes)
Bila kita baca
teks-teks kitab suci dari semua agama maka akan ditemukan berbagai ayat yang
mengajarkan pentingnya manusia untuk mengenali dirinya sendiri, termasuk
mengenali emosinya, kelemahan dan kelebihannya, serta mengenali seluruh “Karya
Tuhan” yang ada pada tubuhnya. Oleh karena itu tidak salah pernyataan para
filosof bahwa “Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal
Tuhannya”. Dengan “kenal diri/sadar diri/tahu diri”, maka orang akan menjadi
bersyukur dengan segala anugerah Tuhannya, sehingga akan bermanfaat seluruh
potensinya dengan sungguh-sungguh.
2.
Kemampuan untuk
mengelola suasana hati (mood managemen)
Factor kunci dari
kemampuan mengelola suasana hati adalah “keseimbangan”, orang yang kehilangan
keseimbangan akan mudah kehilangan control bila sedang dilanda emosi dan
persoalan hidup. Seluruh do’a peribadatan yang dilakukan oleh semua pemeluk
agama menuntut pelakunya untuk melaksanakannya dengan penuh khusuk, tenang, dan
disertai oleh suasana hati yang ikhlas. Kalau setiap doa dan peribadatan
dilakukan dengan sungguh-sungguh maka orang yang melakukannya akan menjadi
terbiasa mengelola suasana hatinya dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan
sehari-hari. Bila kita memperhatikan kisah para Rasul/Utusan Tuhan, kita akan
selalu menemukan gambaran kepribadian mereka yang menakjubkan yaitu pribadi
yang penuh percaya diri, matang, mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu
menghadapi berbgai tantangan dengan hati dan pikiran yang jernih serta mampu
memberikan rasa aman bagi pengikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh psikolog
Arif Wibisono Adi mengenai “Hubungan sholat dan kecemasan” (Sripsi Fakultas
Psikologi UGM, Yogyakarta 1995) menunjukkan bahwa shalat (doa dan ibadah) yang
dilakukan secara teratur dan sungguh-sungguh akan mampu mencegah berbagai
bentuk kecemasan.
3.
Kemampuan untuk
memotivasi diri (self Motivation)
Motivasi merupakan
factor yang sangat penting untuk menjadikan seseorang mampu mengalahkan
godaan-godaan hidup serta menjadi factor penting untuk meraih prestasi. Hal-hal
yang dapat menjadi sumber motivasi seseorang antara lain factor uang pangkat
dan jabatan, popularitas, harga diri, sex dan juga factor ideology dan agama.
Berdasarkan catatan sejarah berbagai agama, kita dapat menemukan fakta bahwa
karena motivasi agama (yang dipahami secara salah) orang dapat melakukan apa
saja termasuk membunuh dan mengorbankan nyawa sekalipun. Kalau motivasi
seseorang yang bersumber dari agama dapat diarahkan pada hal-hal yang positif
maka orang tersebut akan memiliki energy yang luar biasa untuk berprestasi dan
melakukan pengabdian pada Tuhan melalui amal social dan kemanusiaan.
4.
Kemampuan untuk
mengendalikan hawa nafsu (Impulse Control)
Intisari dari kemampuan
mengatur diri sendiri terletak pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan
hawa nafsu. Semua bentuk doa dan peribadatan serta semua ajaran agama yang
tertera dalam kitab suci masing-masing, memiliki sasaran pokok yaitu
pembentukan kepribadian yang mampu mengalahkan dan mengendalikan hawa nafsu.
Kemampuan mengalahkan dan mengembalikan hawa nafsunya ini dapat dikembangkan
melalui latihan. Didalam setiap ajaran agama, pasti ditemukan suatu proses
latihan pengendalian hawa nafsu, misalnya dengan berpuasa.
5.
Kemampuan untuk
menangani hubungan dengan orang lain (People skill)
Berhubungan dengan orang lain bisa
berarti berkomunikasi, tolong menolong, menghayati apa yang sedang dirasakan
oleh orang lain, peduli dan memberikan bantuan, bekerja sama dan sebagainya.
Kemampuan menangani hubungan dengan orang lain ini sesungguhnya menjadi inti
semua ajaran agama yaitu mengasihi sesama umat manusia dengan tulus tanpa
dipengaruhi oleh suku, agama, ras maupun golongan. Bila kita dapat mengasihi
sesama berarti berarti kita telah beragama dengan benar, namun bila kita tidak
dapat mengasihi atau menciptakan hubungan baik dengan orang lain maka kualitas
beragama kita perlu dipertanyakan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi meliputi ketrampilan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain (Empati) dan membina
hubungan. Ciri-ciri seseorang berpikiran emosional adalah cenderung memiliki respon
yang cepat tetapi ceroboh, mengedepankan perasaan daripada logika, realitas
simbolik yang seperti kanak-kanak, memosisikan masa lau sebagai masa sekarang
dan realitas yang ditentukan oleh keadaan.
lima kemampuan yang
memiliki kecerdasan emosional tersebut bila didekati dari ajaran berbagai agama
maka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1.
Kemampuan untuk
mengenali emosi sendiri dan sadar diri (Self Awarenes)
2.
Kemampuan untuk
mengelola suasana hati (mood managemen)
3.
Kemampuan untuk
memotivasi diri (self Motivation)
4.
Kemampuan untuk
mengendalikan hawa nafsu (Impulse Control)
5.
Kemampuan untuk
menangani hubungan dengan orang lain (People skill)
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel. 1999. Working with Emotional
Intelligence. Jakarta : Gramedia
Mubayidh, DR. Makmun. 2006. Kecerdasan dan
Kesehatan Emosional Anak. Jakarta : Pustaka Al – Kautsar
Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional. Jakarta : Gramedia
Mappiare, Andi. Psikologi. 1968. Surabaya : Usaha Nasional
Makalah Psikologi Agama tahun 2011
[1] Daniel Goleman. Kecerdasan Emosional. Cet. Ke-9 (Jakarta :
Gramedia, 1999), hlm. 411
[2] Andi Mappiare. Psikologi. (Surabaya : Usaha Nasional, 1968),
hlm. 190
[3] Daniel
Goleman. Working With Emotional Intelligence. Cet. Ke-2 (Jakarta:
Gramedia, 1999), halm. 512- 513
[5] Ibid, hlm. 58-59
[6]
Makmun Mubayidh. Kecerdasan & Kesehatan Emosional
Anak. (Jakarta:
Pustaka Al-kautsar, 2006) halm. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar