MAKALAH
“PEMBELAJAR, GIZAG DAN USWAH”
Disusun guna memenuhi tugas
:
Mata Kuliah :
Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati, M.S.I
Disusun
Oleh :
1. Moh. Abdurrohim 2022111084
2. Muslimun 2022111067
3. Khadzik Alami 2022111077
4. Muhammmad Rasyidi 2022111091
Kelas
B
JURUSAN TARBIYAH PBA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya aktivitas pendidikan selalu berlangsung dengan melibatkan
pihak-pihak sebagai aktor penting yang ada di dalam aktivitas pendidikan
tersebut. Aktor penting itu disebut sebagai subjek yang menerima disatu pihak
dan subjek yang memberi di pihak yang lain dalam suatu interaksi pendidikan.
Subjek yang memberi disebut pendidik sedang subjek yang menerima disebut
peserta didik (pembelajar). Agar bisa menjadi tenaga pendidik yang baik dan
profesional di samping mempunyai ilmu dan seni dalam mendidik seorang pendidik
harus memiliki gizaq (wibawa) dan uswah (keteladanan).
Demikian juga
keberadaan peserta didik yang berpotensi berperan penting dalam sistem
pendidikan. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang arti pembelajar,
gizaq dan uswah. Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Strategi
Belajar Mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembelajar
1. Pengertian Pembelajar
Pembelajar
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pendidikan.[1] Sosok Pembelajar
umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa
tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang sedang mengalami
perkembangan jasmani dan rohani sejak lahir sampai meninggal dengan
perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar.[2]
Istilah pembelajar pada pendidikan formal di sekolah jenjang dasar dan
menengah, dikenal dengan nama anak didik atau siswa, dan pendidikan di dalam
keluarga disebut dengan istilah anak.
Menurut
Sutari Imam Bernadib, pembelajar sangat tergantung dan membutuhkan bantuan dari
orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan.
2. Pembelajar sebagai Persona
Dalam
proses belajar mengajar seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat
peserta didiknya yang merupakan subjek yang otonom, memiliki motivasi, hasrat,
ambisi, ekpresi, cita-cita, mampu merasakan kesedihan, bisa senang, susah dan
sebagainya. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik
sebagaimana dijelaskan oleh Umar Tirtarahardja dan la Sulo adalah peserta didik
merupakan:
1.
Individu yang memiliki perbedaan dengan individu lainnya yang
meliputi potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang
unik. Maksudnya ia sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang berbeda
dengan individu lain yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan.
2.
Individu yang mengikuti periode-periode perkembangan,
yakni selalu ada perubahan dalam dirinya secara wajar baik yang ditujukan
kepada diri sendiri maupun ke arah penyesuaian dengan lingkungan.
3.
Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan
perlakuan manusiawi. Maksudnya ialah walaupun ia adalah makhluk yang berkembang
punya potensi fisik dan psikis untuk mandiri, namun masih membutuhkan bantuan
dan bimbingan dari pihak lain.
4.
Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Hal ini
dikarenakan bahwa di dalam diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri,
sehingga mewajibkan bagi pendidik dan orang tua untuk setapak demi setapak
memberikan kebebasan kepada anak dan pada akhirnya pendidik mengundurkan diri.
Keempat
ciri di atas merupakan justifikasi indikasi keunikan peserta didik sebagai
persona yang multi-dimensional.
Sifat-sifat
dan Kode Etik Peserta Didik
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Al-Ghazali
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
1. Belajar dengan
niat ibadah dalam rangka taqarrub
kepada Allah SWT, sehingga dalam keseharian pesrta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak tecela dan mengisi dengan akhlak terpuji.
2. Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
3. Bersikap tawadlu.
4. Menjaga pikiran
dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5. Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji serta meninggalkan ilmu yang tercela.
6. Belajar dari
ilmu yang fardlu ’ain menuju ilmu
yang fardlu kifayah.
7. Belajar ilmu
sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
8. Mengenal
ilmu-ilmu ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
9. Memprioritaskan
ilmu diniyah yang terkait dengan
kewajiban sebagai hamba Allah SWT.
10. Mengenal nilai-nilai
pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang manfaatnya dapat
membahagiakan dan memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
11. Peserta didik
harus tunduk pada nasihat pendidiknya.[3]
B. Pengertian Gizag
1. Pengertian Gizag
Gizag atau
kewibawaan adalah sikap atau pembawaan yang dapat mempengaruhi dan menguasai
orang lain atau memimpin yang penuh kemampuan dan daya tarik.[4]
Kewibawaan atau “gizag”
adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang
lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan
patuh kepadanya. Jadi barang siapa yang memiliki kewibawaan, akan dipatuhi
secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak merasa / diharuskan dari
luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk, patuh, menuruti semua yang
dikehendaki oleh pemilik kewibawaan itu.[5]
Di dalam proses pendidikan, kewibawaan (gezag)
adalah syarat yang harus ada pada pendidik dan Karena kewibawaan itu digunakan
oleh pendidik didalam proses pendidikan untuk membawa anak didik kepada
kedewasaan, maka kewibawaan itu termasuk alat pendidikan.
Yang dimaksud dengan
kewibawaan dalam pendidikan (Opveodinggozag)
di sini ialah, pengakuan dan penerimaan secara
sukarela terhadap
pengaruh atau anjuran yang datang dari orang lain.
Jadi pengakuan dan penerimaan pengaruh atau anjuran itu atas dasar keikhlasan,
atas kepercayaan yang penuh, bukan didasarkan atas rasa terpaksa, rasa takut
akan sesuatu, dan sebagainya.
Macam-Macam Kewibawaan
Ditinjau dari daya yang mempengaruhi pada
seseorang yang ditimbulkan, maka kewibawaan dapat dibedakan menjadi :
a.
Kewibawaan lahir
Adalah kewibawaan yang timbul karena kesan-kesan dilihat dari
lahiriah seseorang.
b.
Kewibawaan batin
Adalah kewibawaan
yang didukung oleh keadaan batin atau yang muncul dari diri seseorang.[6]
Agar
kewibawaan yang dimiliki oleh pendidik tidak goyah, tidak melemah, maka
hendaknya pendidik itu selalu:
a) Bersedia memberi alasan
Pendidik
harus siap dengan alasan yang mudah diterima anak, mengapa pendidik menghendaki
anak didik supaya berlaku begini, mengapa pendidik melarang anak didik, mengapa
pendidik memberikan nasihat begitu, penjelasan hendaknya singkat dan dapat diterima anak dengan
jelas, menggunakan bahasa yang sesuai dengan perkembangan anak. Dengan adanya
kejelasan ini, akan membuat anak didik menerima semuanya penuh dengan kerelaan
dan kesadaran.
b) Bersikap demi kamu /
you attitude
Pendidik
selalu harus menunjukkan sikap demi kamu / you attitude, sikap ini tidak
perlu ditonjolkan, tetapi harus dengan jelas. Nampak kepada anak, atau mudah
diketahui oleh anak. Pendidik menuntut anak didik ini, melarang berbuat itu,
semuanya demi anak didik sendiri bukan untuk kepentingan pendidik.
c) Bersikap sabar
Pendidik
harus selalu bersikap sabar, memberi tenggang waktu kepada anak didik untuk mau
menerima perintah dan nasehat yang diberikan oleh pendidik. Mungkin pendidik
harus memberikan nasihatnya berkali-kali kepada seorang anak, pendidik dituntut
kesabarannya secara sungguh-sungguh, tidak boleh putus asa.
d) Bersikap memberi kebebasan
Semakin
bertambah umur anak didik atau semakin dewasa, pendidik hendaknya semakin
memberi kebebasan, memberi kesempatan kepada anak didik, agar belajar berdiri
sendiri, belajar bertanggung jawab, dan belajar mengambil keputusan, sehingga
pada akhirnya anak tidak lagi memerlukan nasihat dalam kewibawaan melainkan
anak diberi kebebasan untuk mengikuti nasihat itu, atau tidak.[7]
C. Uswah
1. Pengertian Uswah (keteladanan)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa
keteladanan dasar katanya ”teladan” yaitu: ”(perbuatan atau barang dsb,) yang
patut ditiru dan dicontoh. Dalam bahasa Arab keteladanan diungkapkan dengan
kata ”uswah” dan ”qudwah”.
Pengertian yang diberikan oleh Al-Asfahani,
bahwa ”al-uswah” berarti suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia
lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau kemurtadan.[8]
Menurut Ibn Zakaria bahwa ”uswah”
berarti ”qudwah” yang artinya ikutan,
mengikuti yang diikut. Dengan demikian keteladanan adalah hal-hal yang dapat
ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan yang
dimaksud di sini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat
pendidikan yaitu keteladanan yang baik, sesuai dengan pengertian ayat Al quran
di bawah ini.
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya:
”Dan sesungguhnya
pada diri Rasulullah itu ada tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan
(bertemu dengan) Allah dan hari kemudian dan yang mengingat Allah
sebanyak-banyaknya”. (Q.S. al-Ahzab:
21)
Ayat di atas memperlihatkan bahwa kata
”uswah” digandeng dengan sesuatu yang positif: ”Hasanah” (baik) dan suasana
yang sangat menyenangkan yaitu bertemu dengan Tuhan sekalian alam.
2. Pentingnya Figur Teladan
Pentingnya figur teladan dalam proses
pembelajaran bagaikan kebutuhan kita yang setiap saat harus dipenuhi. Agar
setiap langkah selalu dalam kebenaran dalam meniru figurnya. Hal ini sejalan
dengan metode yang diterapkan Allah dengan menurunkan Rasul sebagai figur
teladan dalam kehidupan umat.
Dengan sistem dan kurikulum pendidikan yang
sempurna seperti apapun namun tetap tidak dapat dipungkiri jika timbul masalah,
bahwa kurikulum seperti itu masih tetap membutuhkan pola pendidikan realistis
yang dicontohkan seorang pendidik melalui perilaku sambil berpegang pada
landasan metode dan tujuan kurikulum. Oleh karena itu Allah Swt. mengutus nabi
Muhammad Saw agar menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam
merealisasikan sistem pendidikan Islam yang sempurna. Aisyah pernah ditanya
tentang akhlak Rasulullah Saw. ia menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al-quran.[9]
3. Landasan Psikologis Keteladanan
Pada dasarnya fitrah manusia adalah
meneladani. Fitrah tersebut berupa hasrat yang mendorong anak untuk meniru
perilaku orang lain yang dilihatnya tatkala ia dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan dalam dirinya.
Beberapa
unsur yang menyebabkan anak meneladani oarang lain, yaitu:
Pertama,
pada setiap anak ada dorongan dalam dirinya berupa keinginan halus yang tidak
dirasakannya untuk meneladani orang yang dikagumi, baik dalam pembicaraan, cara
gerak dan sebagian besar adat tingkah laku, yang semuanya itu tanpa disengaja.
Peniruan ini tidak hanya terarah pada tingkah laku yang baik saja akan tetapi
kepada yang lainnya.
Kedua, pada
usia tertentu anak mempunyai kesiapan untuk meniru perilaku orang yang
dijadikan idola dalam hidupnya.
Ketiga,
dalam melakukan peniruan pada diri anak ada suatu tujuan yang bersifat
naluriah. Setiap peniruan mempunyai tujuan yang kadang diketahui anak dan
kadang tidak.
4. Bentuk-Bentuk Pendidikan dengan Keteladanan
a. Bentuk Pengaruh
Keteladanan yang Tidak Disengaja
Dalam hal
ini pendidik tampil sebagai figur yang dapat memberikan tauladan yang baik
dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk pendidikan ini keberhasilannya banyak
bergantung pada kualitas kesungguhan realisasi karakteristik pendidik yang
diteladani. Dalam kondisi pendidikan seperti ini pengaruh teladan berjalan
secara langsung tanpa sengaja
b. Bentuk Pengaruh
Keteladanan yang Disengaja
Adalah sang
pendidik sengaja memberikan contoh yang baik kepada anak didiknya supaya dapat
menirunya. Umpamanya guru memberikan contoh membaca yang baik agar para siswa
menirunya.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Pembelajar adalah makhluk yang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Di mana ia sangat
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah optimal
kemampuannya.
Gizag adalah sikap atau pembawaan yang dapat mempengaruhi
dan menguasai orang lain atau memimpin yang penuh kemampuan dan daya tarik.
Uswah dalam bahasa indonesia adalah keteladanan yang
berarti perilaku baik yang dapat ditiru oleh orang lain (anak didik). Keteladan
memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan karena secara psikologi
anak didik banyak meniru sosok figurnya termasuk di antaranya adalah para
pendidik.
DAFTAR
PUSTAKA
An-Nahlawi, Abdurrahman.
1996. Prinsip-prinsip dan Metoda
Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Herry Noer Ali. Bandung: cv.
Diponegoro.
Arief, Armai. 2002.
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana
Syahidin. 2009. Menelusuri Metode
Pendidikan dalam Al-Quran. Bandung: Alfabeta.
Rohman,
Arif. 2009. Memahami Pendidikan &
Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Mediatama.
Soehardi. 2010. Kamus Populer Kepolisian. Semarang:
Koperasi Wira Raharja.
[1]
Arif Rohman, Memahami Pendidikan
& Ilmu Pendidikan (Jakarta: Mediatama,
2009), hlm. 105.
[2] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ciputra Pers, 2002),
hlm. 74.
[3]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006), hlm. 114.
[6] Ibid, hlm. 58
117.
(Bandung, 1989), hlm. 363.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar