PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL
Empati Sebagai Satu Warga Dunia (QS. Al-Baqarah, 2: 156)
Nur Aliyah
(2021115178)
Kelas A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
\
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul QS. Al-Baqarah;2 ayat 156 tentang “PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL”
(Empati Sebagai Satu Warga Dunia) ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih pada Bapak Muhammad
Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi II yang telah memberikan tigas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Empati sebagai Satu Warga Dunia. saya
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna.
Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan
yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Pekalongan, 28 April 2017
Penyusun
NurAliyah (2021115178)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia pada
hakikatnya tidak akan terhindar dari ditimpanya cobaan atau ujian, maka kita
harus siapkan diri untuk bisa bersikap sabar jika mendapati ujian keburukan.
Dan apabila ujian itu berupa kebaikan maka harus senantiasa siap untuk
bersyukur.Sesungguhnya kebenaran iman seseorang tidak akan tampak dengan jelas,
kecuali ketika ia tertimpa suatu musibah, maka saat itulah akan terlihat secara
jelas perbedaan orang yang sabar dan orang yang murka (terhadap musibah
tersebut). Antara orang yang beriman dan orang yang ragu-ragu.Karena ujian dan
cobaan ini tidak bisa kita hindari maka yang harus diatur/diperhatikan adalah
bagaimana kondisi kita dalam menerima ujian.
Kondisi
menerima ujian ada 2 macam, menerima dalam kondisi beriman dan menerima dalam
kondisi tidak beriman. inilah yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya.
hamba yang menerima dalam kondisi beriman tentu saja melewati ujian dengan
baik, memohon bantuan kepada Allah SWT, dan mencari solusi sesuai dengan yang
tertulis di Al-Qur’an dan Hadis. sedangkan hamba yang menerima ujian dalam
kondisi tidak beriman menggunakan cara yang salah, tidak berserah diri pada
Allah, atau bahkan mencari jalan ke jalan yang salah.
B. Judul
PENDIDIKAN
SOSISL UNIVERSAL “Empati Sebagai Satu Warga Dunia”.
C. Nash dan
Artinya
ٱلَّذِينَ
إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ
رَٰجِعُونَ ﴿١٥٦﴾
Artinya:
(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Innā lillāhi wa
innā ilaihi rāji'ūn" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali).
D. Arti Penting Untuk
Dikaji
Dalam konteks ini, mengapa sangat perlu dikaji
mengenai Empati Sebagai Satu Warga Dunia dan penjelasannya telah ada dalam QS.
Al-Baqarah ayat 156, Manusia dalam hidupnya
seringkali diberi ujian dan cobaan oleh Allah SWT. Berhasil atau tidaknya dalam
menghadapi cobaan tersebut tergantung kepada diri manusia itu sendiri. Tetapi
Allah SWT telah memberikan petujuk kepada hamba-Nya dalam menghadapi cobaan
yang ada yaitu dengan cara bersabar diri. Sehingga akan memperoleh kesuksesan
dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan,
keuntungan, keselamatan dan semua macam cobaan yang lain hanya dapat dicapai
dengan usaha secara tekun dan terus menerus dengan penuh kesabaran dan keteguhan
hati. Sebab sabar ini merupakan asas untuk melakukan segala usaha dan tingkatan
untuk merealisasikan segala cita-cita dan tujuan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
1. Konsep
Empati
Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental yang
membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan
atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika
seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu,
kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga
menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan
dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan yang bersangkutan
( observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa
yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.[1]
2.
Pengertian
Satu Warga Dunia / Kelompok Sosial
Kelompok
sosial adalah himpunan atau kesatuan
manusia yang hidup bersama. Hubungan ini menyangkut kaitan timbal balik yang
saling pengaruh-mempengaruhi, kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran
saling membutuhkan satu sama lain. tidak setiap himpunan manusia dikatakan
kelompok sosial (social group). Syarat-syarat untuk menjadi kelompok sosial
adalah:
a.
Setiap
anggota kelompok harus sadar bahwa ia merupakan bagian dari kelompoknya.
b.
Ada hubungan
timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain.
c.
Ada faktor
yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat.
d.
Berstruktur,
berkaidah dan mempunyai pola perilaku,
e.
Bersistem
dan berproses.[2]
B. Tarfsir
1. Tafsir Al-Misbah
Kami milik Allah.
jika demikian, Dia melakukan Apa Saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah
Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah
dibalik ujuian atau musibah itu. Dia Maha Pengasih, maha Penyayang, kami
akan kembali kepada-Nya, sehingga ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan
itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya.
Kami adalah
milik Allah. Bukan hanya saya sendiri. Yang menjadi miliknya, adalah kami semua
yang juga merupakan makhluk-Nya. Jika kali ini petaka menimpa saya, maka bukan
saya yang pertama ditimpa musibah, bukan juga yang terakhir. Makna ini akan
meringankan beban pada saat menghadapi petaka, karena semakin banyak yang
ditimpa petaka, semakin ringan ia dipikul.
Kalimat ini
tidak dianjurkan Allah kecuali kepada Nabi Muhammmad saw. Seandainya Nabi
Ya’qub mengetahuinya maka dia tidak akan berucap seperti ucapannya yang yang
diabadikan Al-Qur’an: “ Aduhai duka
citaku, terhadap yusuf ” (QS. Yusuf ;12 ayat 18). Demikian Said Ibn Jubair.
Yang
mengucapkan kalimat ( وانّااليه رجعوناناللّه
( Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un dengan
menghayati makna-maknanya, antara lain seperti dikemukakan diatas. Mereka
itulah yang mendapat banyak kebeekatan.
Keberkatan itu sempurna, banyak dan beraneka ragam, sebagaimana dipahami dari
bentuk jamak yang digunakan ayat diatas; antara lain berupa limpahan
pengampunan, pujian, mmenggantikan yang lebih baik dari pada nikmat sebelumnya
yang telah hilang, dan lain-lain. Semua keberkatan itu bersumber dari Tuhan
Yang Memelihara dan mendidik mereka, dan dengan demikian keberkatan itu
dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya.[3]
2. Al-Azhar
Setelah di ayat
153 tadi dinyatakan kepentingan sabar dan shalat, diayat ini diulang lagi
bahaya-bahaya, percobaan dan derita yang akan mereka tempuh. Disebut pahitnya
sebelum manisnya. Orang yang akan menempuh derita hendaklah sabar. Hanya dengan
sabar semuanya itu akan dapat diatasi. Karena kehidupan itu tidaklah membeku
demikian saja. Penderitaan dirasai dengan merata. Nabi Muhammad saw. sendiri
dalam peperangan Uhud kehilangan pamannya yang dicintainya Hamzah bin Abdul
Muthalib. Maka apabila mereka sabar menahan derita, selamatlah mereka sampai
kelak ke seberang cita-cita. Tidak ada cita-cita yang tercapai dengan tidak
memberikan pengorbanan. Berilah kabar kesukaan kepada mereka yang sabar itu.
“(yaitu)
orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata;:
sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita semua
akan kembali.”
Ucapan yang
begini mendalam, tidaklah akan keluar dari dalam lubuk hati kalau tidak
menempuh latihan.
Kabar kesukaan apakah yang dijanjikan buat mereka?
“mereka itu,
akan dikaruniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka, dan tahmat.”[4]
3. Tafsir Al-
Maraghi
Ayat
156 menjelaskan, sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan rasa iman
dengan kodrat dan kepastian Allah. Berita gembira tersebut adalah keberhasilan
yang akan dicapai oleh orang-orang, sesuai dengan sunnatullah terhadap
makhluk-Nya. Sabar, bukannya bertentangan dengan perasaan sedih ketika datang
suatu musibah. Sebab, perasaan sedih ini merupakan perasaan halus yang ada
secra fitri pada diri manusia normal.
Disebutkan didalam hadis shahih bahwa Nabi
Muhammad saw. Pernah menangis ketika anak beliau yang bernama ibrahim menjelang
ajal (sakratulmaut). Kemudian ada seseorang yang mengatakan,, “bukankah anda
telah melarang kami berbuat demikian?” Nabi saw. Menjawab, “ini adalah rahmat
(kasih sayang)”. Kemudian Nabi melanjutkan sabdanya,” sesungguhnya mata ini
menangis dan hati ini ikut bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu
kecuali yang mendapatkan ridha Tuhan kami. Dan sesungguhnya kami ini merasa
sedih karena berpisah denganmu, wahai Ibrahim!”
Kesedihan yang tercela
Kesedihan yang
tercela adalah kesedihan yang mendorong seseorang berbuat hal-hal yang tercela
oleh akal sehat, dan dilarang oleh syari’at agama. Misalnya, banyak terjadi
dikalangan masyarakat ketika ketika mereka ditimpa musibah, (seperti kematian
anggota keluarga, lalu diratapi).
Imam muslim meriwayatkan sebuah hadis yang
diterima dari Umu Salamah yang mengatakan, saya pernah mendengar Rasulullah
bersabda:
مَامِنْ
عَبْدِ تُسِبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ : اِنَّ لِلّهِ وَاِنَّ اِلَيْهِ رَا
جِعُوْنَ الّلهُمَّ اضجِرْفِى مُصِيْبَتِى وَاُخْلُفْ لِى خَيْرًامِنْهَا
اِلاَّاَجْرَهُ اللّهُ فِى مُصِيْبَتَهِ, وَخَلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا.
Musibah apapun yang menimpa seseorang hamba, hendakknya ia mengucapkan,
“sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan kita hanya akan kembali kepadaNya.
Ya Allah, berilah hamba pahala atas musibah itu, dan gantilah dengan yang lebih
baik. Maka Allah akan memberi pahala tasa musibah tersebut, dan Allah akan
menggantikannya yang lebih baik...”
Imam baihaqi, didalam syu’abul imam (cabang-cabang iman)
meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu abbas dari Nabi saw. Hadis
tersebut menceritakan bahwa rasulullah saw. Bersabda
مَنْ
اُسْتَرْ جَعَ عِنْدَالْمُصِيْبَةِ ,جَبَّرَااللّهُ مُصِيْبَتَهُوَاَحْسَنَ عَاقِبَتَهُ, وَجَعَلَ
لَهُ خَلَفًا صَا لِحًا يَرْضَاهُ
Barang siapa yang mengucapkan istirja’(mengucapkan inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un) ketika tertimpa musibah, Allah akan menggantinya dengan
yang lebih baik, dan Allah akan membalasnya dengan kebaikan, serta akan
dianugerahi penerusnya (anaknya) yang shalehdan berbakti kepadanya.
Didalam firman Allah yang berbunyi innalillahi, menunjukkan
pengakuan hamba terhadap Allah sebagai Tuhan yang disembah dan diagungkan. Dan
didalam firman yang berbunyi, wa inna ilaihi raji’un, merupakan pengakuan hamba
terhadap Allah, bahwa ia akan mati dan dibangkitkan kembali dari kubur. Juga
merupakan ungkapan keyakinan seorang hamba, bahwa semua perkara itu kembalinya
hanya kepada Allah.[5]
4. tafsir Al-Qurthubi
Ayat
156 ini menjelaskan tentang berbagai masalah:
Pertama: firman Allah مُصِيْبَةٌ,
maknanya adalah segala apa yang diderita atau dirasakan oleh seorang mukmin.
Dan kata مُصِيْبَةٌ ,
ini adalah bentuk tunggal,
sedangkan bentuk jama’nya adalahالمصاعب .
Musibah ini biasanya diucapkan jika seseorang mengalami malapetaka, walaupun
malapetaka yang dirasakannya itu ringan atau tidak berat baginya. Kaata musibah
ini juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk atau tidak dikehendaki.
Sebuah riwayat dari akramah menyebutkan, bahwa pada suatu malam
lentera Rasulullah SAW mendadak padam, lalu Rasulullah SAW menyebut:
إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ (sesungguhnya
kami milik Allah dan kepadanya kami kembali), kemudian Rasulullah SAW
dirtanya oleh seorang sahabat: “apakah ini termasuk salah satu musibah wahai
Rasulullah?” kemudian beliau menjawab:”benar, setiap penderitaan yang
dirasakan oleh seorang mukmin adalah sebuah musibah.”
Kedua: Ibnu Majah meriwayatkan sebuah
hadis dalam kitab sunnahnya, yang sanadnya dari abu bakar bin abi syaibah, dari
waki’ bin Al jirah....Ia berkata Rasulullah SAW bersabda jika salah seorang
dari kamu pernah mengalami musibah , lali (pada suatu hari) ia teringat akan
musibahnya itu dan berucap (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) walaupun
misibah itu sudah lama berlalu, namun Allah tetap akan memberikannyapahala,
seperti pahala yanh diberikan ketika ia mendapatkan musibah tersebut.
Ketiga: yang termasuk musibah yang terberat adalah musibah dalam
beragama. Abu Umar menyebutkan sebuah riwayat dari Al- firyabi ia
mengatakan: fithr bin khalifah
memberitahukan dari Atha’ bin Abi Rabah ia mengatakan: Rasulullah Saw bersabda:
“ jika salah satu diantara kalian mengalami suatu musibah, maka bandingkanlah
musibahnya dengan musibahku. Karena (musibah yang aku alami) adalah musibah
yang terberat.
Keempat: firman Allah SWT: قَالُوٓا۟
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ“mereka mengucapkan:
inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Allah SWT telah menjadikan kalimat ini
sebagai tempat bernung bagi orang mukmin yang tengah mengalami musibah, dan
juga penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji. Karena dalam kalimat ini
terdapat sekumpulan makna yang diberkati.
Kelima: Abu sinnan bercerita: ketika anakku sinnan
meninggal dunia, Abu Thalhah Al Khaulani ikut serta mengantarkan jenazah
anakku. Lalu tatkala aku hendak pulang, tanganku digamit olehnya, kemudian ia
menghiburku dengan mengatakan. “wahai Abu sinnan, maukah engkau jika aku
beritahukan sebuah kabar gembira? Aku penah diberitahukan oleh Adh-Dahak, dari
Abu Musa bahwa Rasulullah SAW bersabda
yang artinya:
Jika salah seorang hamba ditinggal wafat oleh anaknya,
maka Allah bertanya kepada malaikatnya: apakah kalian telah menyabut myawa anak
dari hamba-ku? Para malaikat pun menjawabnya, kemudian Allah pertanya kembali:
apakah kalian telah menyabut nyawa buah hati dari hamba-ku? Para malaikat pun
menjawabnya, kebudian Allah bertanya: lalu apa yang dikatakan oleh hambaku,
para malaikat pun menjawab: ia memuji-Mu bertahmid mengucapkan Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un. Kemudian Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk
hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah rumah tersebut “rumah pujian.” [6]
C. Aplikasi Dalam Kehidupan
Kita sebagai makhluk sosial dalam kehidupan sehari-hari apabila ada
tentangga atau teman yang sedang terkena musibah hindaknya kita memiliki
sikap kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran saling membantu satu sama
lain. Dan menyampaikan bahwa Orang
yang akan menempuh derita hendaklah sabar. Hanya dengan sabar semuanya itu akan
dapat diatasi Dan memberikan kabar gembira kepada orang yang sedang terkena
musibah, apabila mereka menghadapi musibah dengan sabar maka Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah
rumah tersebut “rumah pujian.
D. Aspek tarbawi
Aspek tarbawi pada
surat Al-Baqarah ayat 156 adalah:
1. kesabaran adalah sumber kekuatan yang diberikan Allah
untuk melewati berbagai macam ujian hidup. Dengan sabar, manusia tak
gampang menyerah, putus asa dan berhenti bergerak untuk menuju tujuan hidup
atau cita-citanya.
2. Sabar
menghadapi segala macam musibah dan selalu bersyukur bila terhindar dari
musibah. Hendaknya harus selalu memberi penilaian yang baik dengan landasan
bahwa semua yang terjadi itu selalu ada hikmahnya. Di balik apa yang terjadi
boleh jadi yang paling baik menurut Allah.
3. Orang yang
diberi cobaan dan ujian harus senantiasa bersabar karena sabar merupakan kunci
dari segala persoalan. Sifat sabar harus senantiasa melekat pada diri kita
selama hidup di dunia. Orang sabar akan mendapatkan balasan pahala di sisi
Allah SWT.
4. menghadapi
musibah dengan sabar maka Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah
rumah tersebut “rumah pujian.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Manusia pada
hakikatnya tidak akan terhindar dari ditimpanya cobaan atau ujian, maka kita
harus siapkan diri untuk bisa bersikap sabar jika mendapati ujian keburukan.
Dan apabila ujian itu berupa kebaikan maka harus senantiasa siap untuk
bersyukur.Sesungguhnya kebenaran iman seseorang tidak akan tampak dengan jelas,
kecuali ketika ia tertimpa suatu musibah, maka saat itulah akan terlihat secara
jelas perbedaan orang yang sabar dan orang yang murka (terhadap musibah
tersebut). Antara orang yang beriman dan orang yang ragu-ragu.Karena ujian dan
cobaan ini tidak bisa kita hindari maka yang harus diatur/diperhatikan adalah
bagaimana kondisi kita dalam menerima ujian.
sumber kekuatan yang diberikan Allah untuk melewati
berbagai macam ujian hidup. Dengan sabar, manusia tak gampang menyerah,
putus asa dan berhenti bergerak untuk menuju tujuan hidup atau cita-citanya. Dan apabila
disekitar kita terdapat orang sedang terkena musibah hindaknya kita memiliki sikap
kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran saling membantu satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik,
2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pres
Ismawati
Esti, 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Yogyakaarta: Penerbit Ombak
Shihab
M. Quraish, 2002. TAFSIR AL-MISBAH
pesan kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Hamka,
2002. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Al- Amraghi Ahmad mustafa, 1993. tafsir Al-Maraghi. semarang: PT. Karya
Toha Putra
Al-Qurthubi Syaikh Imam, 2007. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka
Azzam
PROFIL
PRIBADI
Nama
: Nur Aliyah
Alamat
: Pabean Pekalongan, RT 05/ RW 04
Riwayat
Pendidikan : TK MASYITHOH 10 Pabean Pekalongan MSI 12 Pabean Pekalongan
SMP
SALAFIYAH Kauman Pekalongan
KEJAR PAKET C (KPC) Pabean Pekalongan
Dan Sekarang
saya sedang belajar di IAIN Pekalongan, Mahasiswi semester empat.
[1] Taufik, Empati
Pendekatan Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012) hlm. 40-43
[2] Esti Ismawati,
Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakaarta: Penerbit Ombak, 2012) hlm. 38
[3]M. Quraish
shihab, TAFSIR AL-MISBAH pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 366-367
[4] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002) hlm. 32-33
[5] Ahmad mustafa
Al- Amraghi, tafsir Al-Maraghi, (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993) hlm.
39-40
[6] Syaikh Imam
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 411-415
artikel yang bagus.. (y)
BalasHapussemoga dpt bermanfaat buat semua.