MAKALAH
CIRI-CIRI PERILAKU PENGANUT AGAMA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Agama
Dosen Pengampu : M. Hufron M.S.I
Disusun Oleh :
1) Ajibah Quroti Aini ( 2022110013 )
2) Kholida Zia ( 2022110014 )
3) Triyono ( 2022110015 )
JURUSAN TARBIYAH (PBA)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011
PENDAHULUAN
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga. Oleh karena itu penulis akan membahas perkembangan jiwa beragama pada masa kanak-kanak.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Beragama Pada Masa Anak-anak
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.[1]
Dalam buku lain dinyatakan pada waktu lahir, anak belum beragama, ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya.[2]
Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:
a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak mulai dari hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdo’a ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan, atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera.
b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik
Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju kedunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan dihayati secara konkret sebagai pelindung. Pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kempuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya dan pelindung diri. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera.
c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.
Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka, dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran.[3]
B. Perkembangan Beragama Pada Masa Remaja
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi oleh perkembangan tersebut. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah :
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul.
Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan :
- 85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut agamanya
- 40% remaja Protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya.
Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b. Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama, akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual dan negative.
c. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan meteri, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan materialis. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6% dan sosial 5,8%.
d. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi :
- Self-directive
- Adaptive
- Submissive
- Unadjusted
- Deviant
e. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
f. Ibadah
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama yaitu masalah ibadah dan do’a sebagaimana telah diteliti oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[4]
C. Perkembangan Beragama Pada Orang Dewasa
1. Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya: Menentukan pribadinya yaitu, bahwa ia mulai menyadari kemampuanya, kelebihannya dan kekuranganya sendiri. mulai dapat menempatkan diri ditengah masyarakat dengan jalan menyesuaikan diri dengan masyarakat, tetapi tiada tenggelam didalam masyarakat.
2. Menentukan cita-citanya yang dimaksud adalah bahwa sebagai kelanjutan dari pada kemampuanya, menyadari kelebihanya itu sebagai himpunan kekuatan yang dipergunakan sebagai sarana untuk kehidupan selanjutnya, agar dengan sarana itu ia tidak akan kehilangan haknya untuk ikut serta bersama-sama dengan anggota masyarakat yang lain untuk mengelola isi ala mini untuk kehidupanya.
3. Menggariskan jalan hidupnya maksudnya ialah bahwa jalan yang akan dilalaui di dalm perjuanganya mencapai cita-cita.
4. Bertanggung jawab bahwa ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang benar dan yang salah.
5. Menghimpun norma-norma sendiri, Ia telah mulai dapat menentukan sendiri hal-hal yang berguna, dan menunjang usahanya untuk mencapai cita-citanya.
Sikap-sikap diatas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa dalam perkembangan selanjutnya seseorang telah menunjukkan kematangan jasmani dan rohaninya, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap serta perasaan sosial sudah berkembang.
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman tentang ajaran agama yang di anutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula di lihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan secara ikut-ikutan.
b. Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma Agama lebih banyak di aplikasikan dalam sikap dan tingkah laku
c. Bersikap positif thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pehaman agama
d. Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup
e. Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas
f. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas pertimbangan hati nurani
g. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya
h. Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentigan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[5]
KESIMPULAN
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:
a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris
b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik
c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah :
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
b. Perkembangan perasaan
c. Pertimbangan sosial
d. Perkembangan moral
e. Sikap dan minat
f. Ibadah
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman tentang ajaran agama yang di anutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahyadi, Abdul Aziz. 1995. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Jalaluddin. 2000. Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
[1] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 58
[2] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), hlm 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar