Laman

new post

zzz

Kamis, 27 November 2014

SPI - F - 13: PERANG SALIB


PERANG SALIB
Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, MSI

Disusun Oleh :
   Fawaida Awalia       2021113280
   Diah Ayu Lestari     2021113287

Kelas F

 TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
 PEKALONGAN
2014



BAB I
                                                  PENDAHULUAN                      

  1. Latar Belakang
Perjumpaan Islam dan Kristen bukan dimulai sejak perang salib. Jauh sebelumnya bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW telah dicatat perjumpaan tersebut. Perluasan kekuasaan Islam dengan cara militer (perang) sampai ke daerah-daerah Kristen seperti pendudukan Spanyol bagian selatan dan daerah-daerah di Italia, Sicilia atau Perancis.
Menciptakan perdamaian diantara pluralisme agama dan budaya, memang merupakan cita-cita bersama. Karena itu, konsep toleransi sebagai elemen penting dalam masyarakat ideal, selalu menjadi prinsip kebersamaan. Meskipun demikian, fanatisme berlebihan dan loyalitas mendalam terhadap agamanya, sering membuat mati hati umat manusia hingga melupakan pentingnya kebersamaan di antara perbedaan.
Hal inilah yang melanda pemeluk agama Kristen dengan loyalitas tinggi pada Paus dan kaum muslim yang menjadikan semangat jihad sebagai pandangan hidup, lalu berada pada posisi saing yang sama dalam merebut hegemoni. Konsekwensinya, konflik berdasarkan kepentingan dan warisan sejarah pun tidak dapat dihindari yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Salib.

  1. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
  1. Bagaimana timbulnya perang salib?
  2. Apa sebab-sebab terjadinya perang salib dan bagaimanaa periodisasinya?
  3. Bagaimana jalannya perang salib dan apa pengaruhnya terhadap dunia Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    TIMBULNYA PERANG SALIB
Perang Salib awalnya disebabkan adanya persaingan pengaruh antara Islam dan Kristen. Perang ini terjadi karena sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki oleh Islam sejak 632, seperti di Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia.
Dilihat dari sudut lain faktor-faktor yang turut menimbulkan perang Salib ialah keinginan mengembara dan bakat kemiliteran bangsa Teutonia yang mengubah peta Eropa sejak mereka memasuki lembaran sejarah: penghancuran Gereja Suci dilakukan oleh seorang khalifah Fathimiyah tahun 1009. Akan tetapi, yang merupakan penyebab langsung terjadinya perang Salib ialah permintaan Kaisar Alexius Comnenus tahun 1095 kepada Paus Urbanus II. Kaisar dari Bizantium itu meminta bantuan dari Romawi, karena daerah-daerahnya yang terserak sampai ke pesisir Laut Marmora ditindasbinasakan oleh bani Saljuk. Bahkan kota Konstantinopel pusat kekuasaan diancam direbut oleh kaum muslimin.
Menurut Karen Armstrong, sebab utama Perang Salib adalah pendudukan Saljuk di Syiria yang sebelumnya dikuasai daulah Fathimiyah pada tahun 1070. Selama pertempuran itu, Saljuk juga terlibat konflik dengan Kekaisaran Bizantium yang sedang lemah dan perbatasannya tidak memiliki pertahanan yang cukup kuat. Ketika pasukan salib memasuki perbatasan Anatolia, mereka mengalahkan Bizantium di perang Manzikart pada tahn 1071. Tidak berdaya menghentikan laju orang Turki, Kaisar Bizantium Alexius Comnenus meminta bantuan Paus pada tahun 1091. Dan jawabannya, Paus Urbanus II menyatakan Perng Salib Pertama.
Perang Salib berlangsung 200 tahun lamanya, dari mulai 1095-1293 M dengan 8 kali penyerbuan. Perang tersebut bertujuan untuk  merebut kota suci Palestina dari tangan kaum muslimin.[1]

B.     SEBAB-SEBAB PERANG SALIB
Adapun 3 faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang salib, yaitu:
1.      Faktor Agama
Sejak dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang Saljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para pengauasa dinasti Saljuk sangat berbeda dari para pengusa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.[2]

2.      Faktor Politik
Selain faktor agama, faktor politik juga cukup kental sebagai penyebab terjadinya perang Salib ini. Yaitu terutama sejak Dinasti Saljuk dapat meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Byzantium setelah pertempuran Manzikart tahun 1071 M telah mengancam kota Konstantinopel sendiri, sehingga Kaisar Alexius I terpaksa meminta bantuan Paus Urbanus II dan raja-raja Eropa Barat untuk melakukan peperangan yang kemudian mereka sebut perang suci itu.
Paus Urbanus II dalam pidatonya di Clermont tahun 1095 ia meyerukan kepada umat Kristen melakukan perang suci menentang aggresor muslim. Himbauannya ini kemungkinan dilatarbelakangi oleh berbagai keberhasilan Kristen di Spanyol yang mencapai puncaknya dengan direbutnya Toledo dan juga mengenai penaklukan Kristen di Sicilia. Karena itu supaya Paus tersebut mendapat sambutan yang besar dari masyarakat Kristen Eropa.
Pada sisi lain, di tubuh Dinasti Saljuk juga terjadi perpecahan di samping juga adanya bahaya kelaparan dan wabah penyakit pada masa khalifah al-Mustanshir, turut menguntungkan kaum Salib mendapatkan kesuksesannya merebut Bait al-Maqdis, tanah suci mereka.

3.    Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dimaksud adalah bahwa para pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Veneria, Genoa dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka.
Selain itu juga ada kelas-kelas sosial di tengah masyarakat Eropa. Stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serta kesatria, dan rakyat jelata. Meskipun kelompok terakhir ini merupakan mayoritas dalam masyarakat, tetapi mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina. Mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena, di samping harus memikul berbagai beban pajak dan kewajiban lainnya.
Dalam peperangan Salib ini, mayoritas masyarakat Eropa ikut ambil bagian di dalamnya. Segenap elemen masyarakat di banyak negara, baik raja, bangsawan, petani dan rakyat jelata mempunyai pandangan yang tidak berbeda terhadap perang Salib. Dengan kata lain, perang Salib bagi bangsa-bangsa Eropa merupakan perekat kesatuan moral.

C.    PERIODISASI PERANG SALIB
1.      Periode Pertama (1096-1144 M).
Pada periode pertama ini disebut periode penaklukan yang dilakukan oleh pasukan Salib terhadap kekuasaan Islam, Kaisar Alexius I (Byzantium)  bekerja sama dengan Paus Urbanus untuk membangkitkan semangat umat Kristen. Paus kemudian berpidato  di Clermont, Perancis tahun 1095 M. Pidato ini merupakan pidato yang paling berkesan sepanjang sejarah yang telah dibuat paus. Pidato ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat.
Menurut Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa gerakan ini justru terdiri atas umumnya rakyat jelata, tak lebih dari sekedar gerombolan yang tak mempunyai pengalaman berperang, tidak disiplin, dan tanpa memiliki persiapan.[3]
Pasca kegagalan total pasukan salib pimpinan Boutros dan tewasnya seluruh tentaranya, keluarlah pasukan salib baru ayang jauh lebih besar yang berasal dari Eropa. Ikut di dalamnya, para gubernur pasukan kavaleri dan panglima perang. Motif mereka jelas, yaitu menyelamatkan Baitul Maqdis, tempat haji orang-orang kristen dan tempat suci mereka.
Itu terjadi pada tahun 491 H/ 1097 M. Pada perang salib kali ini, pasukan salib menuai sukses besar disebabkan kelemahan negara Saljuk dan ketidakmampuannya dalam menangkal serangan pasukan salib, lalu pasukan salib mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen diantaranya Raha(Edessa),Antakiayah, Armenia, Tarablus dan Baitul Maqdis setelah tahun 492 H/1098 M.[4]
Selanjutnya gelombang pasukan Salib berikutnya sudah merupakan pasukan yang disiplin. Pasukan ini dipimpin oleh Godfrey of Bouilon. Mereka berhasil menduduki Yerussalempada tanggal 7 Juni 1099. Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama lebih kurang satu minggu tehadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa. Selain itu mereka membumihanguskan berbagai bangunan umat Islam. Sebelum pasukan ini menduduki Bait al-Maqdis mereka terlebih dahulu merebut Anatolia Selatan, daerah Tarsus, Antiokia, Aleppo dan Edessa. Di samping itu, mereka juga berhasil merebut Tripoli, Syiria dan ‘Uka. Bisa dikatakan bahwa pasukan Godfrey ini sangat sukses dalam ekspedisinya.
Dengan kemenangan pasukan Salib ini maka kemudian orang-orang Kristen dapat membuat kerajaan-kerajaan di wilayah Timur. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain kerajaan Bait al-Maqdis (1109) di bawah kekuasaan Raymond.

2.      Periode Kedua (1144-1192 M)
Dalam periode pertama beberapa wilayah kekuasaan Islam jatuh ke tangan kaum Salib yang mengakibatkan bangkitnya kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Di bawah komando Imadudin Zanki, (gubernur Mosul), pasukan Islam bergerak maju membendung serangan pasukan Salib. Bahkan mereka berhasil kembali merebut Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M. Setelah Imaduddin wafat tahun 1146 M posisinya digantikan oleh putranya Nuruddin Zanki. Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan nergara-negara Islam di Timur dari cengkeraman kaum Salib. Dalam berbagai serangan balik yang dilakukannya, ia berhasil membebaskan Damaskus pada tahun 1147 M, Antiokia tahun 1149 M, dan Mesir tahun 1169 M. Baik Immadudin Zanki maupun Nuruddin Zanki memiliki peran penting dalam mengusir pasukan Salib
Selain kedua nama tersebut, pahlawan Islam terkenal yang sukses dalam melawan pasukan Salib adalah Shalahudin al-Ayyubi. Shalahuddin sukses mengalahkan pasukannya Syawar dan pasukan Salib. Bahkan berhasil membebaskan Bait al-Maqdis kembali pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Shalahuddin mengobarkan perang suci diberbagai tempat yang akhirnya dapat mengalahkan kaum Salib di sebelah utara Palestina (al-Ladhiqiyah, Jabalah dan Sihyaun) serta selatan  (al-Syaqif Arnun, Kaukab, Safad).
Keberhasilan Shalahuddin dalam mengalahkan pasukan Salib itu menjadikan kaum Kristen menggalang kekuatan kembali untuk menyerang pasukan Islam. Kemudian mereka mengirimkan ekspedisi yang lebih kuat yang dipimpin oleh raja Eropa yang besar, yaitu Frederick I (Barbarossa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Heart, Raja Inggris), dan Philip II (Augustus, Raja Perancis). Ekspedisi perang Salib ini dibagi beberapa divisi, sebagian menempuh jalur jalan darat dan sebagian lagi menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin divisi jalur darat ini tewas ketika menyerangi sungai Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang masih hidup melanjutkan perjalanannya. Dua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di Sicilia. Mereka berada di Sicilia hingga musim dingin berlalu. Richard menuju Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan Philip langsung ke Akka, dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Shalahuddin, sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun, dengan pasukan Shalahuddin memilih mundur dan mengambil langkah untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan demikian, pihak Richard dan pihak Shalahuddin sepakat untuk melakukan genjatan senjata dan membuat perjanjian. Perjanjian ini disebut dengan Shulh al-Ramlah. Inti dari perjanjian damai itu adalah bahwa umat Kristen yang akan berziarah ke Bait al-Maqdis akan terjamin keamanannya. Begitu juga dengan daerah pesisir utara, Akka dan Jaita berada di bawah kekuasaan tentara Salib.

3.      Periode Ketiga (1193-1291)
Periode ini disebut sebagai periode perang kecil-kecilan, karena yang muncul ke permukaan disebabkan oleh suasana perang lebih banyak dilatarbelakangi oleh ambisi kekuasaan dan sesuatu yang bersifat materi, bukan motivasi agama. Tujuan utama mereka yang semula untuk menaklukan bait al-Maqdis seolah-olah terlupakan. Di antaranya adalah ketika pasukan salib yang dipersiapkan menyerang Mesir (1202-1204 M) tetapi ternyata mereka membelokkan haluan menuju Konstantinopel. Kota ini direbut sambil melakukan berbagai penjarahan terhadap penduduknya.
Kemudian upaya untuk merebut kembali Bait al-Maqdis dengan menguasai dua pusat penting Mesir dan Asia Kecil, yang dilakukan melalui pendaratan Raja Louis dan Perancis di Mesir tahun 1249 dan ekspedisinya ke Tunisia tahun 1270, yang ternyata dapat diptahkan oleh pihak muslim dengan mudah. Dengan demikian, meskipun perang salib telah berakhir namun usaha mereka untuk menguasai Bait al-Maqdis tidak membuahkan hasil. Dan peperangan Salib ini dianggap selesai secara total pada tahun 1291, yang berarti bahwa peperangan salib ini berlangsung selama dua abad kurang empat tahun, dari taun 1095-1291 M.[5]



D.    JALANNYA PERANG SALIB
Perang salib yang berlangsung dalam kurun waktu hampir dua abad terjadi dengan serangkaian peperangan.
Pada tahun 490H/1096M, pasukan salib yang dipimpin oleh komandan Walter dapat ditundukkan oleh kekuatan Kristen Bulgaria. Kemudian Peter yang mengomando kelompok kedua pasukan salib bergerak melalui Hongaria dan Bulgaria. Pasukan ini berhasil menghancurkan setiap kekuatan yang menghalanginya.
Setahun kemudian yakni pada tahun 491H/1097M, pasukan Kristen di bawah komando Goldfrey bergerak dari Konstantinopel menyeberangi selat Bosporus dan berhasil menaklukan Antioch setelah mengepungnya selama 9 bulan.
Setelah menundukkan Antioch, pasukan salib bergerak ke Ma’arrat An-Nu’man, sebuah kota termegah di Syria. Pasukan salib selanjutnya menuju ke Yerussalem dan dapat menaklukannya dengan mudah. Ribuan jiwa kaum muslimin menjadi korban pembantaian dalam penaklukan kota Yerussalem ini. Goldfrey selanjutnya menjabat sebagai penguasa atas negeri Yerussalem. Pada tahun 503H, 1109M, pasukan salib menaklukan kota Tripoli. Selain membantai masyarkat Tripoli, mereka juga membakar perpustakaan, perguruan dan sarana industri hingga menjadi abu.
Selama terjadi peperangan tersebut, kesultanan Saljuk sedang mengalami kemunduran. Perselisihan antara sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan salib merebut wilayah kekuasaan Islam.
Sepeninggal Sultan Mahmud, tampilah seorang perwira muslim yang cakap dan gagah pemberani. Ia adalah Imaduddin Zanki seorang anak dari pejabat tinggi Sultan Malik Syah. Atas kecakapannya, ia menerima kepercayaan berkuasa atas kota Wasit dari Sultan Mahmud.
Masyarakat Aleppo dan Hammah yang menderita di bawah kekuasaan perang salib berhasil diselamatkan oleh Imaduddin Zanki setelah berhasil mengalahkan pasukan salib. Tahun berikutnya ia juga berhasil mengusir pasukan salib dari Al-Asyarib. Satu persatu Zanki meraih kemenangan atas pasukan salib, hingga ia merebut wilayah Eddesa pada tahun 539H/1144M.
Penaklukan Eddesa merupakan keberhasilan Zanki yang terhebat. Dalam penaklukan Eddesa, Zanki tidak berlaku kejam terhadap penduduk sebagaimana tindakan pasukan salib. Dalam perjalanan penaklukan Kalat Jabir, Zanki terbunuh oleh tentaranya sendiri.
Kepemimpinan Imaduddin Zanki digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin Mahmud, ia bukan hanya seorang prajurit yang cakap, sekaligus sebagai ahli hukum, dan seorang ilmuwan. Pada saat itu umat Kristen Eddesa dengan bantuan pasukan Perancis berhasil mengalahkan pasukan muslim yang bertugas di kota inidan sekaligus membantainya. Nuruddin segera mengerahkan pasukannya ke Eddesa dan berhasil merebutnya kembali.
Dengan jatuhnya kembali kota Eddesa oleh pasukan musim, tokoh-tokoh Kristen Eropa dilanda rasa cemas. St. Bernard segera menyerukan kembali Perang Salib melawan kekuatan kaum muslimin. Seruan tersebut membuka gerakan Perang Salib kedua dalam sejarah Eropa.
Nuruddin segera mulai memainkan peran baru sebagai sang penakluk. Tidak lama setelah mengalahkan pasukan salib, ia berhasi menduduki benteng Areima, merebut wilayah perbatasan Apamea pada tahun 544H/1149M, dan kota Joscelin.
Pada tahun 563H/1167M Syirkuh berusaha datang kembali ke Mesir, Shawar pun segera meminta bantuan raja Yerussalem yang bernama Amauri. Gabungan pasukan Shawar dan Amauri ditaklukan secara mutlak oleh pasukan Syirkuh dalam peprangan di Balbain. Atas permintaan Khalifah Mesir Syirkuh diperintahkan oleh Nuruddin agar segera menuju ke Mesir. Masyarakat Mesir dan khaifah menyambut hangat kedatangan Syirkuh dan pasukannya dan akhirya Syirkuh ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Dua bulan sesudah penunjukkan ini, Syirkuh meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh kemenakannya yang bernama Shalahuddin.
Shlahuddin putra Najamuddin Ayyub, lahir di Takrit pada tahun 432H/1137M. Ayahnya adalah pejabat kepercayaan pada masa Imaduddin Zanki dan Nuruddin. Shalahuddin seorang letnan pada masa Nuruddin, dan telah berhasil dan mengonsolidasikan masyarakat Mesir, Nubia, Hijaz, dan Yaman. Setelah beberapa lama tampilan Shalahuddin berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan salib.
Selanjutnya Shalahuddin memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerussalem, di mana ribuan rakyat muslim dibantai oleh pasukan salib Kristen. Shalahuddin bersumpah untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah beberapa lama terjadi pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan memohon kemurahan hati sang Sultan. Jiwa sang Sultan terlalu lembut dan penyayang untuk melaksanakan sumpah dendamnya, sehingga Sultan pun memaafkan mereka. Bangsa Romawi dan Syiria Kristen diberi hidup dan diizinkan tinggal di Yerussalem dengan hak-hak warga negara secara penuh. Bangsa Perancis dan bangsa-bangsa latin diberi hak meninggalkan Palestina dengan membayar uang tebusan 10 dinar untuk setiap orang dewasa, dan 1 dinar untuk setiap anak-anak. Jika tidak bersedia mereka dijadikan budak.
Pada sisi lainnya Shalahuddin juga membina ikatan persaudaraan antara warga Kristen dengan warga muslim, dengan memberikan hak-hak orang Kristen sama persis dengan hak-hak warga muslim di Yerussalem. Sikap Shalahuddin demikian ini membuat umat Kristen di negeri-negeri lain ingin sekali tinggal di wilayah kekuasan sang Sultan ini.
Jatuhnya Yerussalem dalam kekuasaan Shalahuddin menimbulkan keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha kembali menggerakkan pasukan salib. Perancis mengerahkan seluruh pasukannya baik pasukan darat maupun pasukan laut. Bahkan wanita-wanita Kristen turut ambil bagian dalam peperangan ini. Setelah seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre.
Pada tanggal 14 September 1189M. Shalahuddin terdesak oleh pasukan salib, namun kemenakannya yang bernama Taqiyuddin berhasil mengusir pasukan salib dari posisinya dan mengembalikan hubungan dengan Acre. Namun, setelah mendesak separuh kekuatan Perancis, pasukan muslim kembali dilemahkan pada hari berikutnya. Kota Acre kembali terkepung selama hampir dua tahun. Sultan Shalahuddin merasa kepayahan menghadapi peperangan ini, sementara itu pasukan muslim dilanda wabah penyakit dan kelaparan. Ia membantai pasukan muslim secara kejam.
Setelah berhasil menundukkan Acre, pasukan salib bergerak menuju Ascalon dipimpin Jenderal Richard. Bersamaan dengan itu Shalahuddin sedang mengarahkan pasukannya dan tiba di Ascolon lebih awal. Ketika tiba di Ascolon, Richard mendapatkan kota ini telah dikuasai oleh pasukan Shalahuddin. Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Shalahuddin. Setelah berlangsung perdebatan yang kritis, akhirnya sang sultan bersedia menerima tawaran perdamaian tersebut. Jadi perjanjian damai yang menghasilakan kesepakatan di atas mengakhiri Perang Salib ketiga.
Pada tahun 1193 M yakni enam bulan setelah tercapainya perdamaian Shalahuddin meninggal dunia karena kesehatannya terganggu akibat perjalanan panjang yang meletihkan dari Yerussalem ke Damaskus.
Dua tahun setelah meninggalnya Shalahuddin juga berkobar Perang Salib atas inisiatif Paus Celesti III. Anak Shalahuddin yang bernama Al-Adil segera menghalau pasukan salib. Ia selanjutnya menyerang kota perlindungan pasukan salib. Lantaran makin kuatnya tekanan dari pasukan muslim, pihak salib akhirnya menempuh inisiatif damai yang menghasilkan kesepakatan pada tahun 1198M, bahwa peperangan ini harus dihentikan selama tiga tahun.
Belum genap tiga tahun, Kaisar Innocent III menyatakan secara tegas berkobarnya Perang Salib kembali setelah berhasil menyusun kekuatan militer.  Pada kesempatan ini pasukan salib yang bergerak menuju Syiria tiba-tiba mereka membelokkan gerakannya menuju Konstantinopel. Pembantaian ini berlangsung beberapa hari, jadi pasukan muslim sama sekali tidak mengalami kerugian karena tidak terlibat dalam peristiwa itu. Pada tahun 613H/1216M, Innocent III juga mengobarkan propaganda perang salib kembali. 250.000 pasukan salib, mayoritas Jerman, mendarat di Syiria. Mereka terserang wabah penyakit di wilayah pantai Syiria hingga kekuatan pasukan tinggal tersisa sebagian. Mereka kemudian bergerak menuju ke Mesir dan mengepung kota Dimyat. Namun akibat serangan pasukan muslim yang terus menerus, mereka menjadi terdesak dan terpaksa menempuh jalan damai dengan syarat bahwa pasukan salib harus segera meninggalkan kota Dimyat.
Yerussalem berada di bawah kekuasaan tentara salib sampai dengan tahun 1244M, setelah itu kekuasaan salib direbut oleh Malik Ash Shalih Najamuddin Al-Ayyubi atas bantuan pasukan Turki Khawarizmi yang berhasil melarikan diri dari kekuasaan Jenghiz Khan. Dengan direbutnya kota Yerussalem oleh Malik Ash-Shalih, pasukan salib kembali menyusun penyerangan terhadap wilayah Islam. Ketika pasukan Louis IX bergerak menuju ke Kairo melalui jalur sungai Nil, mereka mengalami kesulitan lantaran arus sungai mencapai ketinggiannya, dan mereka juga terserang oleh wabah penyakit sehingga kekuatan salib dengan mudah dapat dihancurkan oleh pasukan Turan Syah putra Ayyub.
Setelah berakhir perang salib pada masa Turan Syah, pasukan salib Kristen berkali-kali berusaha membalas kekalahannya, namun selalu mengalami kegagalan.[6]

E.     PENGARUH PERANG SALIB TERHADAP PERADABAN ISLAM
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat Islam menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Namun, peperangan salib selama kurang lebih 200 tahun telah memberikan warna kepada dunia Islam dan Kristen. Utamanya dalam bidang pemikiran, peradaban, ilmu dan teknologi. Bahkan, sejarah mencatat bahwa perang salib merupakan jembatan awal antara kebudayaan Islam dan bangsa Eropa. Meskipun terdapat luka sejarah dan sensitifitas yang mengiringi pertautan dua peradaban tersebut. Dan tetap membekas hingga saat ini.[7]


KESIMPULAN

Perang Salib merupakan peperangan antara tentara Islam dengan Kristen. Hal ini terjadi bermula kebencian umat Kristiani terhadap masa pemerintahan Dinasti Saljuk yang dapat menguasai kota suci mereka. Terlebih dinasti menguasai Bait al-Maqdis. Dalam peperangan ini tentara Salib memakai tanda salib di pakaiannya sebagai tanda pemersatu umat Kristiani dan menunjukkan peperangan suci.
Ada tiga faktor utama penyebab terjadinya perang salib, yaitu faktor agama, faktor politik, dan faktor ekonomi
Perang Salib dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode pertama yang disebut sebagai periode penaklukkan. Kemudian periode kedua yang disebut dengan periode reaksi umat Islam dan yang terakhir adalah periode ketiga atau yang disebut dengan periode kehancuran
            Pengaruh perang salib dalam umat Islam mengalami banyak kerugian karena peperangan tersebut terjadi di wilayah umat Islam. Sedangkan umat Kristen mendapatkan keuntungan dan pengalaman yang cukup berarti dari kebudayaan dan peradaban Islam, misalnya mengetahui kemajuan intelektual di wilayah Islam, industri, pertanian, dan militer.












DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Wajah Dunia Islam, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Fuadi, Imam, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Yogyakarta: Teras, 2012.




[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 231-234.
[2] Ibid, hlm. 234-235.
[3]  Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 115-118
[4] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 173
[5] Imam Fuadi, Op.Cit., hlm. 118-123
[6] Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 242-243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar