Laman

new post

zzz

Minggu, 15 Februari 2015

H-I-04; Hepi Rahmawati


"TELADAN DARI PEMIMPIN RUMAH TANGGA"
Mata Kuliah                : Hadis Tarbawi II
                                  


              Disusun oleh :
              Hepi Rahmawati       2021113265
Kelas H

PROGRAM STUDI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
 PEKALONGAN
2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada umat manusia. Rasa syukur selalu kita panjatkan kepada Allah Swt atas segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Salah satunya yaitu nikmat yang diberikan kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini.
Salawat dan salam juga tidak terlupakan pada junjungan kita Nabi Agung Nabi Muhammad Saw beserta sahabat dan keluarganya. Kemudian ucapan terima kasih kita kepada kedua orang tua, dosen pengampu mata kuliah Hadis Tarbawi II, dan teman-teman semua yang telah banyak memberikan banyak kontribusi sehingga tersusunlah makalah hadis tarbawi II ini dengan judul “Teladan dari Pemimpin Rumah Tangga“.
Semua kekurangan selalu ada pada diri setiap manusia. Tak terkecuali pada diri kami, khususnya dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu, kami dengan penuh harap dan lapang dada menerima kritik dan saran yang konstuktif agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini selalu bermanfaat baik di dunia maupun akhirat. Aamiin........


                                                                        Pekalongan, Februari 2015
                                                                        Penyusun

           
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kenyataan menunjukkan bahwa struktur sosial yang ada menumbuhkan perlakuan diskriminatif yang menempatkan perempuan (istri) di dalam sektor domestik (kerumahtanggaan), sementara laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga menangani urusan publik. Apa yang diputuskan suami untuk kepentingan urusan publik itu harus menjaga pertimbangan utama bagi sang istri dalam mengatur urusan keluarga. Kenyataan itu tentu merupakan problem sosial dan kultural yang diwarisi terus menerus dari generasi ke generasi.
Secara ideal, Islam memiliki pandangan kesetaraan yang cukup tegas mengenai hubungan dan tugas antara suami dan istri. Khususnya dalam hal memimpin rumah tangga. Rasulullah Saw merupakan suri teladan bagi semua manusia. Selain itu, beliau juga sebagai pemimpin rumah tangga. Sehingga, untuk kehidupan sehari-hari dalam berumah tangga kita harus selalu berpijak pada Al Qur’an dan Al Hadis.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertiannya?
2.      Apa saja teori pendukungnya?
3.      Apa materi hadisnya?
4.      Bagaimana refleksi hadisnya dalam kehidupan?
5.      Apa saja aspek tarbawi yang dapat di ambil dari hadisnya?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Arti teladan ialah mengikuti, yaitu suatu keadaan seseorang yang mengikuti jalan hidup orang lain, dalam hal yang baik maupun hal yang buruk. Dengan demikian, teladan ada dua macam, yaitu teladan yang baik dan teladan yang buruk. Teladan yang baik adalah mengikuti jalan hidup orang baik dalam segala hal yang berhubungan dengan perbuatan terpuji dan sikap yang luhur.[1] Teladan yang baik terdapat pada diri Rasulullah Saw seperti dalam firman Allah berikut ini:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُو لِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوااللهَ وَلْيَوْمِ الْاخِرَ وَذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا
Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS. Al-Ahzab: 21)[2] 
Sebuah rumah tangga di mata umat Islam mempuyai nilai yang agung. Di dalam rumah tanggalah individu-individu Islam dibina sejak awal, untuk menjadi generasi rabbani yang diharapkan akan siap menjadi pejuang kebenaran atau khalifah di muka bumi ini. Pengertian rumah tangga di sini adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Kata “keluarga” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kula yang berarti famili dan warga yang berarti anggota. Jadi, keluarga adalah anggota famili yang dalam hal ini adalah terdiri dari ibu (istri), bapak (suami) dan anak.
Dalam rumah tangga, biasanya ada peran-peran yang dilekatkan pada para anggotanya. Seperti seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga, sedangkan seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut mucul biasanya karena ada pembagian tugas di antara mereka di dalam rumah tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga, oleh karena ia mendapat bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga. Di samping itu, ia sebagai kepala rumah tangga juga diberi tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi rumah tangganya, sehingga rumah tangga tersebut dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islami. Karena dua hal tersebut, yakni sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga, maka ia memiliki kekuasaan lebih dibandingkan anggota lainnya, terutama dalam pengambilan keputusan untuk urusan keluarganya. Sementara pada sisi yang lain, istri biasanya bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga sehari-hari.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing tersebut, suami harus melindungi istrinya, sementara istri harus patuh kepada suaminya sebagai akibat adanya posisi suami yang dilebihkan karena perannya sebagai kepala rumah tangga.
Pembagian peran dan fungsi suami tersebut tidak lain bersumber pada penafsiran atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat, yakni sebuah nilai yang menempatkan laki-laki sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan rekannya dari jenis kelamin lain, yakni perempuan.[3]
B.        Teori Pendukung
Rumah tangga muslim merupakan perserikatan antara laki-laki dan perempuan yang telah diperkuat oleh suatu ikatan.
...وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا
“...Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisaa’: 21).
Pihak ketiga yang terlibat dalam perserikatan mereka adalah Allah SWT, dalam hadis qudsinya yaitu:
عَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ : أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
(3383). Dari Abu Hurairah, dia memarfu'kannya (menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam), ia berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang dari mereka (dari keduanya) tidak berkhianat kepada yang lain. Apabila dia berkhianat, maka Aku keluar dari ketiganya.” (HR. Abu Daud).
Perserikatan yang dilakukan suami-istri hendaknya didasarkan pada nilai-nilai akidah, akhlak, dan etika yang baik, bukan berdasarkan harta, kecantikan, dan kepangkatan. Tujuan perserikatan ini adalah mendapatkan keuntungan bersama Allah SWT, yaitu berkumpulnya para anggota rumah tangga di surga setelah melewati kehidupan dunia. Yang menjadi direktur bagi perserikatan pernikahan mereka adalah seorang laki-laki yang diserahi kepemimpinan, karena terpenuhinya syarat-syarat utama, seperti bersikap objektif, kuat menanggung beban, bersabar, mampu mencari nafkah, memiliki kelebihan berpikir, beragama, dan menjadi nama keturunan bagi anak-anaknya. Dasar utama bagi kepemimpinan perserikatan ini adalah firman allah SWT  berikut ini:
اَالرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَّبِمَا اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ.....
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan dari harta mereka...” (an-Nisaa’: 34)
Sungguh, Allah telah menerangkan bahwa di antara sebab-sebab kaum laki-laki terpilih menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah karena kelebihan akal, kelebihan beragama, kelebihan kekuatan fisik, memiliki kewajiban sebagai pencari nafkah, keluar rumah untuk berjihad, serta mampu menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Ismail Ibnu Katsir berkata bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita. Dialah yang menjadi kepala, pengayom, pemberi keputusan, dan pendidik bagi wanita ketika mereka menyimpang. Akan tetapi, dijadikannya laki-laki sebagai pemimpin itu bukan berarti dia boleh berbuat sewenang-wenang, menguasai, dan merusak kepribadian wanita. Diwajibkan kepada laki-laki untuk berpegang teguh pada prinsip musyawarah, agar ketenteraman, kasih sayang, dan cinta dapat terpelihara.
Seorang wanita muslimah yang berakal akan dapat menghargai kepemimpinan laki-laki. Dia tidak akan menuntut kepemimpinan itu dalam keadaan bagaimanapun, sebab kepemimpinan itu merupakan perintah, tanggung jawab, kemauan, dan kesanggupan, bukan kepemimpinan yang diperoleh dari penghormatan.[4]
As-Syaikh Muhammad al-Syarbini al-Khotib dalam penafsiran kitab al-Minhaj karya Abu Zakariyah Yahya bin Syarof An-Nawawi telah mengatakan bahwa kewajiban minimal suami memberi nafkah kepada istri sesuai dengan standar lokal yang mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal termasuk kebutuhan rutin sehari-hari, namun bisa lebih dari itu sesuai dengan keadaan ekonomi suami.[5]
Di dalam UU RI No. 23 Th. 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pada bab ke-4 bagian ke-4 tentang kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.[6]
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak. Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Dua komponen yang utama, ibu dan ayah, dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat menentukan kehidupan anak, khususnya pada usia dini. Baik ayah maupun ibu, keduanya adalah pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis.[7]
C.     Materi Hadis
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا صَالِحٌ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ قَال { كَانَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ إِذَا أَشْفَى عَلَى خَتْمِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ بَقَّى مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى يُصْبِحَ فَيَجْمَعَ أَهْلَهُ فَيَخْتِمَهُ مَعَهُمْ } (رواه الدارمي فى السنن,كتاب فضا ئل القران, باب فى ختم القران)
(3338). Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Shalih dari Tsabit Al Bunani ia berkata; Apabila Anas bin Malik hampir mengkhatamkan Al Qur'an di malam hari, ia menyisakan sedikit dari Al Qur'an hingga waktu pagi. Lalu ia mengumpulkan keluarganya, kemudian ia mengkhatamkan Al Qur'an bersama mereka. (HR. Ad-Darimi) [8]
D.    Refleksi Hadis dalam Kehidupan
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pendidikan anak. Dan refleksi dari hadis tersebut ada banyak. Salah satunya yaitu pada sebuah keluarga yang seorang pemimpinnya adalah seorang ayah. Seorang ayah tersebut selalu membiasakan keluarganya, terutama anak-anaknya untuk membaca Al-Qur’an setiap hari. Karena Al-Qur’an mengandung sejuta manfaat bagi yang membacanya. Selain itu, keluarga tersebut juga membiasakan untuk salat Maghrib berjama’ah. Ayahnya yang menjadi imam dan yang menjadi muadzinnya adalah anak laki-lakinya. Sedangkan ibu dan anak perempuannya menjadi makmum. Setelah mereka selesai salat, berzikir, dan berdo’a, kemudian mereka semua membaca Al-Qur’an. Hal ini tidak dilakukan dengan pemaksaan, tetapi dengan pembiasaan. Sehingga, tanpa disuruhpun mereka melaksanakannya.
Sejak pertama suami istri itu menjalani hidup berumah tangga, sejak itu pula mereka mulai membiasakan hal itu. Hingga mereka di karuniai anak, mereka selalu mengajak anaknya untuk selalu melakukan kegiatan rutin tersebut. Kebiasaan seperti itu mereka lakukan sejak anak mereka masih kecil, sehingga kebiasaan itu tidak mudah hilang. Ayah tersebut juga menanamkan pondasi agama yang kuat bagi anak-anaknya. Walaupun dalam hal pendidikan umum atau formal, di serahkan kepada anak mereka sepenuhnya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Sehingga anak mereka tumbuh dewasa dan meraih kesuksesan di bidangnya masing-masing. Dan yang terpenting, anak-anak tersebut tidak meninggalkan nilai-nilai Islami yang telah ditanamkan oleh orang tua mereka, karena pondasi yang ditanamkan oleh orang tua mereka tersebut cukup kuat. 
 Jadi, itulah sedikit cerita tentang gambaran bagaimana seorang pemimpin rumah tangga yang selalu berpijak pada ajaran agamanya. Sehingga keluarga tersebut meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
E.     Aspek Tarbawi
Aspek tarbawi yang dapat kita ambil dari hadis di atas adalah:
1.      Membiasakan untuk membaca Al-Qur’an atau menerapkan nilai Islami pada keluarganya.
2.      Sebagai pemimpin yang baik, pandai, dan taat beribadah.
3.      Menyempatkan waktu untuk keluarganya sekaligus menanamkan pendidikan bagi keluarganya.
4.      Menunggu waktu yang tepat yaitu waktu yang mustajab.
5.      Selalu megajak keluarganya kepada kebaikan dan dalam kebersamaan sehingga dapat menciptakan keharmonisan.
6.      Dengan mengajak keluarganya akan dapat memberikan berkah bagi semuanya, berdo’a pada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari Allah.
7.      Menggunakan metode pembiasaan dalam mendidik keluarganya.
BAB III
PENUTUP

Sebuah rumah tangga dimata umat Islam mempuyai nilai yang agung. Di dalam rumah tanggalah individu-individu Islam dibina sejak awal, untuk menjadi generasi rabbani yang diharapkan akan siap menjadi pejuang kebenaran atau khalifah di muka bumi ini.
Sungguh, Allah telah menerangkan bahwa di antara sebab-sebab kaum laki-laki terpilih menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah karena kelebihan akal, kelebihan beragama, kelebihan kekuatan fisik, memiliki kewajiban sebagai pencari nafkah, keluar rumah untuk berjihad, serta mampu menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pendidikan anak. Dan refleksi dari hadis tersebut ada banyak. Salah satunya yaitu pada sebuah keluarga yang seorang pemimpinnya adalah seorang ayah. Seorang ayah tersebut selalu membiasakan keluarganya, terutama anak-anaknya untuk membaca Al-Qur’an setiap hari. Dan memberi pondasi agama yang kuat bagi anak-anaknya. sehingga keluarga tersebut meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Aspek tarbawi yang dapat kita ambil dari hadis di atas adalah: (1) membiasakan untuk membaca Al-Qur’an atau menerapkan nilai Islami pada keluarganya,  (2) sebagai pemimpin yang baik, pandai, dan taat beribadah, (3) menyempatkan waktu untuk keluarganya sekaligus menanamkan pendidikan bagi keluarganya, (4) menunggu waktu yang tepat yaitu waktu yang mustajab, (5) selalu megajak keluarganya kepada kebaikan dan dalam kebersamaan sehingga dapat menciptakan keharmonisan, (6) dengan mengajak keluarganya akan dapat memberikan berkah bagi semuanya, berdo’a pada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari Allah, dan (7) menggunakan metode pembiasaan dalam mendidik keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA

Iman ad-Darimi. Sunan Ad-Darimi. http//id.lidwa.com/app
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sygma Publishing
Martha, Aroma Elmina. 2012. Perempuan dan Kekerasan Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia. Yogyakarta: FH UI Press.
Munti, Batara Ratna. 1999. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender.
Syahatah, Husein. 1998. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakrta: Gema Insani Press.
TM, Fuaduddin. 1999. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender.
UU RI No. 23 Th. 2004. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Sinar Grafika.
Ya’qub, Syeikh Abdurrahman. Pesona Akhlak Rasulullah SAW. Jakarta: Mizan











TENTANG PENULIS

Hepi Rahmawati lahir di Tegal, 13 November 1993. Tempat tinggal di desa Sesepan RT 01/04 kecamata Balapulang, kabupaten Tegal. Pendidikan mulai dari SD Negeri 02 Sesepan lulus tahun 2006. Bersamaan dengan SD, sore harinya mengikuti pendidikan non-formal di Madrasah Diniyah Awaliyah Al-Wathoniyah Sesepan. Kemudian melanjutkan ke MTs. Negeri Lebaksiu lulus tahun 2009. Kemudian, melanjutkan ke SMA An-Nuriyyah Bumiayu dan mulai masuk ke dunia pesantren yaitu Pesantren Tahfidzul Qur’an An-Nuriyyah Bumiayu selama 3 tahun. Setelah lulus tahun 2012, melanjutkan ke pesantren Syihabut Tholab Pekalongan. Setelah berjalan satu tahun, kemudian masuk ke STAIN Pekalongan yaitu pada tahun 2013 sampai sekarang semester 4.


[1] Syeikh Abdurrahman Ya’qub, Pesona Akhlak Rasulullah SAW, (Jakarta: Mizan Pustaka), hlm. 254.
[2] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Publishing, 2011), hlm. 420.
[3] Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm 2-3.
[4] Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 45-47.
[5] Aroma Elmina Martha, Perempuan dan Kekerasan Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia, (Yogyakarta: FH UI Press, 2012), hlm. 191.
[6] UU RI No. 23 Th. 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 64.
[7] Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm. 5-6.
[8] Imam Ad-Darimi, “Sunan Ad-Darimi” online: id.lidwa.com/app/. Diakses pada 14 Februari 2015 pukul 17.47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar