Tafsir Tarbawi
Adab Membaca Al-Qur’an
(QS. Al-Waqi’ah: 77-80)
Ana nazudah
(2021114026)
Kelas: H
JURUSAN TARBIYAH / PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Allah SWT telah
menu7runkan Al-Quran sebagai pedoman yang paling sempurna bagi umat manusia.
Kesempurnaan ini memang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Namun, perlu
adanya penelitrian dan telaah khusus terhadap kalam ilahi tersebut. Inio tidak
bermaksud menggugat keaslian dan kesempuranaan itu, namun lebih kepada
pengungkapan dibalik keagungan Al-Qur’an yang dikatakan sebagai petunjuk dan
kabar gembira bagi orang yantg beriman.
Namun ternya tidak
semua dalil hukum yang terdaoat didalam Al-Qur’an dapat dipahami oleh semua
orang. Sangat banya kriteria dan perasyarat yang harus dicapai oleh seseorang
untuk meneliti apa yang tersirat dari sebuah dalil mutasyabih. Namun ini tidak
sedikitpun menyurutkan pengakuan bahwa al qur’an adalah kitab suci yang paling
sepurna dan relevan untu7k segala masa. Sebagai mana yag tel;ah disepakati
bahwa hukum menyentuh dan atau membaca al qur’an dalam keadaan tidak suci
adalah haram. Sebagai mana yang terkandung dalam Al Qur’an dan beberapa hadis.
Agar lebih jelas disini pem,akalah akan berusaha sedikit menerangkan tentang
hukum menytentuh dan atau membaca Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci pada surat
Al-Waqi’ah ayat 77-80.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi judul
Berikut merupakan Hadis tentang keutamaan membaca
surat Al-Waqi’ah
مَنْ
قَرَأَسُوْرَةَاْلوَاقِعَةِفِى كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ اَبَدًا
“siapa
yang membaca surat “ Al-Waqi’ah “ setiap malam, orang itu tiada akan ditimpa
kemiskinan buat selamanya”. (Diriwayatkan
oleh Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)[1]
Didalam surat
Al-Waqi’ah ayat 77-80 menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu mulia dan dijadikan pedoman
umat islam.Kitabbullah ini diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
berangsur-angsur. Allah swt memberikannya sesuai dengan kejadian yang dialami
oleh Rasullullah.Beliau sangat memperhatikanumatnya agar senantiasa dalam
kebaikan.Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Allah swt menurunkan kepada
Rosul Al-Kitab tidak lain kecuali supaya dia menjelaskan kepada manusia apa
yang mereka perselisihkan itu.
Jadi, Al-Qur’an lah
yang akan memutuskan diantara manusia apa yang mereka sengketakan.Dan menjadi petunjuk
bagi kalbu ,rahmat bagi orang yang memegangnya dengan teguh dan kaum yang
beriman.
Bahwa pada ayat
selanjutnya banyak Tafsir yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an harus yang memegang
oaring-orang yang suci.Dalam penjelasan berbagai tafsir mengenai oring-orang
yang suci,”Maka dapat diambil kesimpulan dalam konteks kehidupan kita,bahwa
Al-Qur’an dapat dipegang oleh orang-orang yang suci yakni yang suci dari hadas
dan najis dan pastinya orang muslim.Juga didalam fiqih diterengkan orang yang
masih mempunyai hadast seperti junub itu tidak boleh membaca dan membawa
Al-Qur’an.Sengguh beruntung kita dijadikan sebagai umat rosul yang senatiasa
dido’akan olehnya.
B.
Ayat atau
Hadist pendukung
Ayat / hadist pendukung dari surat Al-Waqi’ah ayat 77-80 yaitu
diantaranya sebagai berikut:
1.
Dalam surat
Asy-Syu’ara’:210-211
وَمَاتَنَزَّلَتْ
بِهِ الشَّياطيْنُ وَمَايَنْبَغِيْ لَهُمْ وَمَايَسْتَطِيْعُوْنَ انَّهُمْ عَنِ
السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ
“dan tidak dianya menurunkan akan dia syaitan dan tidaklah hal
itu panas buat mereka, sesungguhnya mereka itu adalah disisihkan dari padanya.”
(as-Syu’ara’)
2.
Hadis pendukung
عَنْ
عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاقَلَ : نَهَى رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَ يْهِ وَسَلَّمَ لَ اَن يُسَافَرَبِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْض
الْعَدُوّ
“Daripada
Abdullah bin Umar (radhiallahu ‘anhu): “Telah melarang Rasullah s.a.w. bahwa musafir
seseorang dengan alqur’an ke negeri musuh.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3.
Hadis pendukung
yang dirawikan oleh Imam Malik didalam kitab al-Mumatha’, bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. bersabda:
لاَ
يَمَسُّ الْقُرْآنَ اِلاَّطاهِرٌ
“Tidaklah menyentuh akan Al-Qur’an itu kecuali orang yang suci”
Tetapi sanad (sandaran) dari Hadis yang
menyatakan tidakalah patut untuk menyentuh akan Al-Qur’an kecuali orang yang
suci, yang dengan Hadis ini diambil dalil untuk menyuruh untuk berwudh’ baru
menyentuh al-Qur’an, pengarang tafsir al-Qur’an yang terkenal, yaitu Ibnu
Kastsir menegaskan bahwa sanad Hadis ini masih meminta peninjauan yang seksama
(fiihi nazhar). Dengan kata demikian daoatlah kita fahamkan bahwa tidaklah
dengan teguh dapat dipegang untuk dijakian hujjah untuk mewajibkan jika hendak
menyentuh al-Qur’an hendaklah berwudhu’ lebih dahulu. Meskipun kita merasakan
juga lebih baik jika berwudhu’, tetapi bukan wajib. Bahkan hadis melarang
membawa mushhaf al-Qur’an ke negeri musuh yang shahih, riwayat Bukhari dan
Muslim, di zaman kita sekarang ini susah juga mempertanggung jawabkannya. Dalam
hubungan dunia sebagai sekarang, sukarlah membawa al-Qur’an ke negri musuh.
Apatah lagi di negeri-negeri yang disebut negeri musuh itu dizaman sekarang
telah banyak pula orang muslim. Disana berdiri mesjid-mesjid yang besar,
sebagai di London, Australia dan kota-kota besar Amerika. Dengan beribu-ribu
maaf kita mengatakan jika Rasulullah s.a.w. misalnya hidup diwaktu sekarang,
beasar kemungkinan akan beliau izinkan bahkan beliau anjurkan membawa al-Qur’an
ke negara-negara itu, yang meskipun negeri itu masih tetpa negeri musuh, namun
disana sudah ada pemeluk agam islam yang tulus ikhlas. Ketika penulis tafsir
ini datang ke London pada bulan Mei 1966, pada hari ahad, penulis dapati lebih
100 orang islam kulit putih sembayang berjamaah zuhur di tanah lapang Hyide
Park yang tekenal.[2]
C.
Teori
Pengembangan
1.
Ayat dan
terjemahan
إِنَهُ,لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ
77.
sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.
فِى كِتَبِ مَّكْنُوْنِ
78. pada kitab yang terpilihara (Lauh Mahfuzh)
لاَّيَمَسُّهُ إِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ
79. tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.
تَنْزِيلٌ مِنْ رَّبِّ الْعَلَمِيْنَ
80. Diturunkan dari Tuhan alam semesta.
2. Penafsiran
Ayat
a. tafsir
Al-Maraghi
(إِنَهُ,لَقُرْءَانٌ
كَرِيْمٌ)
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memuat bermacam-macam manfaat dan banyak
kegunaan. Karena Al-Qur’an itu memuat hal-hal yang membawa kepada umat islam
sidunia maupun diakhirat mereka.
Al-Azhari berkata Al-Karim adalah isim yang memuat apa saja yang
terpuji. Dan Al-Qur’an adalah Karim (terpuji). Karena itu memuat petunjuk dan
keterangan-keterangan, ilmu dan khikmah. Seoramg faqih menjadikan Al-Qur’an
sebagai dan mengambil pelajaran darinya. Seorang ahli khikmat akan mengambil
pelajaran darinya. Seorang ahli khikmat akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an
dan menjadikannya sebagai hujjah. Dan seorang sastrawan akan mengambil faedah dari
Al-Qur;an dan memperkuat hujjahnya. Jadi setiap ilmuan akan mencari dasar ilmu
dari Al-Qur’an.
(فِىكِتَبِمَّكْنُوْنِ)
Dalam Luh Mahfuz yang terpelihara yang tidak mungkin
mendekatinya kecuali yang didekatkan, yaitu para malaikat yang mulia.
(لاَّيَمَسُّهُإِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ)
Tidak menyentuh Lauh ini kecuali orang-orang yang
dibersihkan dari kotoran dosa dan dorongan-dorongan nafsu.
Bisa juga artinya, Al-Qur’an ini tidak ditrurunkan kecuali oleh
orang-orang disucikan, yaitu para malaikat yang mulia. Atas tidak menyentuh
Qur’an ini kecuali orang-orang yang disucikan dari hadis kecil dan hadas besar.
Maksudnya adalah melarang menyentuh Al-Qur’an. Yakni tidak boleh menyentuh
Al-Qur’an kecuali orang yang telah bersuci.
Ibnu Abi Syaibah dalam Mussamat, Ibnu Munzir dan Al-Hakim telah
meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Zaid ia berkata, kami ada bersama Salman
Al-Farisi, dia pergi untuk menemui hajatnya. Lalu ia bersembunyi dari kami.
Sesudah itu ia pun keluar kepada kami. Maka kami berkata, sekiranya anada telah
berwudhu, maka kami akan bertanya kepada anda beberapa hal mengenai Al-Qur’an.
Salman berkata, “tanyailah aku, karena sesungguhnya aku tidak
menyentuh Al-Qur;an. Yang menyentuhnya hanyalah orang-orang yang disucikan”.
Kemudian ia pun membaca:
(لاَّيَمَسُّهُإِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ)
Dalam pada itu Jumhur Ulama berpendapat, dilarang menyentuh mushaf
orang yang berhadas. Demikian pendapat ali, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqas
dan segolongan fuqaha’, yang diantaranya ialah Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dan Ass-Sya’bi didalam jamaah
diantaranya adalah Abu Hanifah, bahwasanya boleh bagi seseorang yang berhadas
menyentuh mushaf (lihat syarah Al-Muntaqa karangan Asy-Syaukani).
Al-Husain ibnu Fadal berkata yang dimaksud adalah, bahwasanya tidak
ada yang tau tentang tafsir dan takwil Al-Qur’an kecuali orang yang telah
disucikan oleh Allah dari syirik dan nifak.
(تَنْزِيلٌمِنْرَّبِّالْعَلَمِيْنَ)
Al-Qur’an itu dirurunkan secara berangsur-angsur dari hadirat
Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam). Jadi Al-Qur’an itu bukanlah sihir, bukan
pula tenung dan bukan pula syair.
Dia adalah kebenaran yang tidak memuat keraguan. Dan dibelakangnya
tidak adala l;agi sesuatu yang bermanfaat.[3]
b. tafsir
Al-Azhar
Ayat
yang lalu mengandung penekanan melalui sumpah atau tanpa sumpah. Hanya disini
belum dijelaskan apa yang ditekankannya itu, atau dalam istilah lain muqsam'alaih. Nah, ayat diatas
menjelaskan hal tersebut. Allah berfirman: Aku bersumpah bahwa sesungguhnya ia yakni al-Qur'an ini benar-benar adalah bacaan sempurna yang
sangat mulia, ia termaktub hilang atau mengalami pergantian dan perubahan. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali
hamba-hamba Allah yang disucikan. Kitab suci ini diturunkan dari Tuhan Pemelihara
semesta alam.
Kata (قر ء ا ن)qur'an adalah
kata jadian dari kata (قر أ) qara'a. Huruf (أ) alif dan (ن) nun pada
akhir kata tersebut menunjuk makna kesempurnaan.
Al-Qur'an adalah bacaan sempurna. Tidak
ada satu bacaan sesempurna kitab suci ini. Bukan saja dari segi kandungan atau
susunan kalimat-kalimatnya, tetapi juga antara lain karena bacaan itulah satu
satunya bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang secara tulus walau mereka
tidak mengerti artinya; yang seringkali meraih kemenangan justru mereka yang
bahasa ibunya bukan bahasa al-Qur'an (Arab).
Kata (كر يم) karim digunakan untuk menggambarkan terpenuhinya segala yang terpuji sesuai objek yang disifatinya.
Sebagai kitab suci, al-Qur'an memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
kitab-kitab suci yang lain. Dalam kandungannya terdapat tuntunan yang jelas
serta menyeluruh sekaligus dapat ditemukan bukti-bukti kebenarannya yang
langgeng sepanjang masa. Dengan mengikuti tutunannya, umat manusia sepanjang
masa dapat meraih aneka manfaat duniawi dan ukhrawi. Ia menjadi sumber
inspirasi dan ilmu.
Kata karim juga mengisyaratkan bahwa
kitab suci al qur'an itu memiliki kedudukan istimewa disisi Allah swt.
Firman-Nya لا يَمَسُّهُ إِلا
الْمُطَهَّرُونَ la yamassuhu illa al-muthaharun menjadi bahasan panjang lebar para
ulama, antara lain apa yang dimaksud dengan yamassuhu
dan ke mana pengganti nama pada kalimat tersebut tertuju, dan siapa pula
yang dimaksud dengan al-muthahharun.
Mayoritas ulama memahami pengganti
nama tersebut tertuju kepada al qur'an yang dinyatakan terdapat dikitab yang
terpelihara itu dan atas dasar tersebut mereka memahami kata al-muthabarun
dalam arti para malaikat. Manusia
tidak dapat dibayangkan mampu mencapai Laub Mahfuzb itu. Ayat ini dapat
dipahami sebagai bantahan terhadap kaum musyrikin yang menduga bahwa ayat al
Qur'an adalah karya jin, atau dukun yang dibisikan oleh setan. Tidak! Ia berada
di satu tempat yang sangat terpelihara, tidak dapat dijangkau oleh
makhluk-makhluk kotor itu. Ia diturunkan oleh Rabbul 'Alamin.
Imam Malik menyatakan bahwa ayat ini
serupa dengan firman-Nya dalam Q.S 'Abasa [80]: 14-16 yang melukiskan bahwa
ayat-ayat al-Quran ditinggikan lagi disucikan, ditangan utusan-utusan yakni
para malaikat yang mulia lagi berbakti.
Ada lagi yang memahami pengganti
kata tersebut tertuju kepada al-Qur'an yakni yang terbentuk mushaf/kitab suci
yang tertulis dalam satu kitab. Atas dasar itu, sementara ulama berpendapat
bahwa al-Qur'an tidak boleh disentuh dengan tangan siapapun yang tidak suci
dari hadas-besar dan atau kecil. Thabathaba'i memahami kata yamassuhu / menyentuh dalam arti
memahami maknanya dan al-muthahharun adalah
hamba-hamba Allah yang disucikan hatinya sehingga tidak lagi memiliki
ketergantungan kecuali kepada Allah semata. Sepwrti malaikat dan juga dari
jenis manusia yakni Ahl al-Bait. Ulama beraliran syariah ini kemudian menyitir
firman Allah dalam QS. al-Ahzab [33]: 33. Al- Biqa'i berpendapat serupa tetapi
tidak menyinggung Ahl al-Bait. Ulama Sunni yang berasal dari Lembah Biqa' di
Libanon itu menulis bahwa al-munthahharun
adalah yang thahir / suci dan
yang sangat disucikan yaitu para tokoh malaikat mulia- dan tidak ada yang
menjadi safir (utusan) membawanya
kecuali mereka. Allah tidak ada juga yang mengetahui maknanya kecuali yang
termulia dari para pemelihara dan yang paling suci hatinya.
Perlu dicatat bahwa kendati
ulama-ulama yang tidak memahami ayat diatas sebagai berbicara tentang
manusia-terapi malaikat- atau tidak memahami kata yamassuhu dalam arti memegang
dengan tangan tapi paham, kendati demikian mereka tetap berpendapat bahwa
seseorang yang hendak memegang al-Qur'an hendaknya suci dari hadas besar dan
atau kecil. Imam Malik-misalnya-yang pendapatnya telah penulis kemukakan diatas
menegaskan hal ini, bukan berdasar ayat diatas tetapi berdasat hadits-hadits
Nabi saw. Antara lain surat yang dikirim oleh nabi Muhammad saw. kepada para
penguasa Dzy Rain, Qa afir dan Hamazan melalui amr Ibn Hazm bahwa:
"janganlah al-Qur'an dipegang kecuali oleh yang suci." Memang
penghormatan kepada al-Quran menuntut agar kitab suci ini dijunjung tinggi
mungkin antara lain dengan kesucian lahir dan batin. Bahkan dahulu para ulama
melarang al-Qur'an. Mereka khawatir jangan sampai kitab suci ini jatuh ke
tangan ke non muslim lalu diperlakukan secara tidak wajar.
Dalam konteks larangan Nabi diatas,
ulama berpendapat. Mayoritas berpendapat bahwa memegang al-Qur'an haruslah
dalam keadaan suci yakni berwudhu. Ini merupakan pendapat Imam Malik. Syafi'i
dan salah satu riwayat yang dinasbatkan kepada Ahmad bin Hanbal. Adapun Abu
Hanifah, maka ia menilai perintah bersuci itu adalah anjuran adapun juga ulama yang memahami makna thahir yang dimaksud adalah suci dari
hadas besar dan atas dasar itu mereka memberi toleransi bagi yang tidak dalam
keadaan berwudhu.
Membacanya-tanpa memegangpun dalam
keadaan tidak suci diperselisihkan. Ulama ada yang melarangnya, tatapi
mayoritas ulama membenarkan bagi yang tidak berwudhu untuk membaca al-Qur'an,
tetapi bukan bagi yang sedang dalam hadas besar, seperti wanita yang haid atau
nifas atau siapapun yang belum mandi besar. Sedangkam membaca satu dua ayat,
atau membacanya sebagai wirid keseharian dapat dibenarkan.
Penegasan bahwa al-Qur'an bersumber
dari Rabb al-'Alamin mengisyaratkan
bahwa kehadiran al-Qur'an merupakan salah satu bentuk pemeliharaan dan
pendidikan Allah swt. karena itu seharusnya mereka menyambut kitab suci itu.[4]
D.
Aplikasi dalam
Kehidupan
Ada beberapa cara adab atau perilaku ketika
seorang muslim membaca Al-Quran agar mendapatkan kesempurnaan dan mampu
memahami serta meresap apa saja makna yang terkandung dalam tiap ayat Al-Quran
:
a)
Membersihkan mulut dan
menggosok gigi terlebih dahulu dengan siwak. Dengan tujuan agar ketika membaca
Al-Quran, mulut terasa segar dan wangi dan membaca pun dapat dilakukan enak dan
tenang.
b)
Mensucikan diri dengan wudhu
terlebih dahulu. Berwudhu sebelum menyentuh dan membaca Al-Quran merupakan
perilaku penting agar diri ini dalam keadaan suci terhindar dari hadas kecil
maupun hadas besar. Karena Al-Quran merupakan Kitab suci yang harus dijaga
kebersihan dan kesuciannya, seperti yang dikatakan oleh shahih Imam Haromain
berkata ” Orang yang membaca Al-Quran dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan
mengerjakan hal yang makruh, namun dia telah meninggalkan sesuatu yang
utama”.(At-Tibyan, hal. 58-59)
c)
Membaca dengan suara yang
lembut, pelan (tartil), tidak terlalu cepat agar dapat memahami tiap ayat yang
dibaca.
Rasulullah SAW dalam sabda mengatakan “Siapa saja yang membaca
Al-Quran sampai selesai (Khatam) kurang dari 3 hari, berarti dia tidak
memahami”. (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Bahkan sebagian dari para Sahabat Rasulullah membenci pengkhataman
Al-Quran sehari semalam, dengan berdasarkan hadits diatas. Rasulullah SAW
sendiri menyuruh sahabatnya untuk mengkhatamkan Al-Quran setiap 1 minggu (7
hari) (HR. Bukhori dan Muslim) begitu pula yang dilakukan oleh Abdiullah
Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit mereka mengkhatamkan Al-Quran
seminggu sekali.
d)
Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’,
penuh penghayatan, dengan hati yang ikhlas, mampu menyentuh jiwa dan perasaan
bila perlu dengan menangis
Allah SWT menerangkan pada sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang
shalih adalah “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan
mereka bertamba khusyu”. ( QS.Al Isra :109) Teteapi tidak demikian bagi seorang hambaKu
dengan pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
e)
Membaguskan suara ketika
membaca Al-Quran.
Dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Hiasilah Al-Quran dengan
suaramu.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan,
“Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Dalam pengertian dari hadits tersebut adalah membaca Al-Quran dengan
baik dan benar mengerti makhroj (tanda baca), harakat ( panjang pendeknya
bacaan), mengerti tajwid dsb. Sehingga tidak melewatkan hukum dan ketentuan
dari membaca Al-Quran, bila sudah cukup mengerti lantunan dari tiap-tiap ayat
yang dibacakan agar terdengar indah dan menyentuh Qolbu.
f)
Membaca Al-Qur’an dimulai
dengan isti’adzah.
Dalam firman Allah SWT yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca
Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan)
syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Dengan maksud membaca membaca Al-Quran dengan suara yang lirih dan
khusyu’ sehingga tak perlu mengganggu orang yang sedang melakukan shalat dan
tidak menimbulkan sifat Riya’. Bahkan dalam sebuah Hadist Rosululloh
shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasannya setiap dari kalian
bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang
lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang
lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan
Hakim).
E.
Nilai Tarbawi
Adapun yang
dapat diambil sebagi nilai pendidikan yaitu:
1.
Menjadikan
Al-Qur’an sebagi penanag hati
2.
Mengajarkan
sikap dan beradab yang baik dalam membaca Al-Qur’an
3.
Menjadikan kenyaman dan ketentraman dalam
kehidupan
4.
Mengajarkan
manusia selalu dalam keadaan suci
5.
Memberikan
kemudahan dalam berpikir
6.
Sebagi kegiatan
sehari-hari yakni membacanya
7.
Sebagi
penghormatan terhadap Al-qur’an karena menjadi pedoman bagi umat islam
BAB III
Kesimpulan
Bahwa Al-Qur’an adalah bacaan
sempurna,bukan saja dari segi kandungan atau susunan kalimat-kalimatnya,tetapi
juga antara lain karena bacaan itulah satu-satunya bacaan yang dibaca oleh
ratusan juta orang secara tulus walau mereka tidak mengerti artinya,yang lebih
unuk lagi walau dalam perlomba membacanya banyak orang-orang yang buakan arab.
Sungguh banyak
keajaiban yang terkandung dalam Al-Qur’an.Maka kita patut menjaganya dan
memeliharanya,bahkan selalu membacanya setiap hari.Dan ketika Akan membacanya
harus suci dari hadast dan najis.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Fachruddin HS. Dan Irfan fachruddin, S.H.,Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis
Pilihan) (jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 451
[2]Prof. Dr.
Hamka, Tafsir A-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982),
hlm. 256-258
[3]Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maragi (Semarang : PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1989), hlm. 264-265
[4] M. Quraish Shihab , tafsir Al-Misbah vo. 13 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Hal. 575-577
Tidak ada komentar:
Posting Komentar