Laman

new post

zzz

Kamis, 03 November 2016

tt1 B 9d KERABAT SEBAGAI OBJEK PENDIDIDKAN QS. Asy-Syu’araa Ayat 214



OBJEK PENDIDIDKAN “LANGSUNG”
KERABAT SEBAGAI OBJEK PENDIDIDKAN
QS. Asy-Syu’araa Ayat 214

Khusnul khotimah   ( 2021115322)
Kelas : B




JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT  AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 
2016

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah bertemakan “KERABAT SEBAGAI OBJEK PENDIDIDKAN dalam QS. Asy-syuroo: 214” untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi I ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Dr. H. Ade Dedi Rohayana, M. Ag selaku rektor Institut Agama Islam Negeri Pekalongan;
2.      Drs. Moh. Muslih, M. Pd., Ph.D. selaku wakil rektor I Institut Agama Islam Negeri Pekalongan;
3.      H. Zaenal Mustakim, M.Ag selaku wakil rektor II Institut Agama Islam Negeri Pekalongan;
4.      Drs. H. M. Muslih Husein, M. Ag selaku wakil rektor III Institut Agama Islam Negeri Pekalongan;
5.      Staf perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Pekalongan yang telah menyediaan buku-buku bacaan terkait makalah ini;
6.      Muhammad Hufron, M.Si selaku dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi I IAIN Pekalongan yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan keislaman khususnya untuk mata kuliah Tafsir Tarbawi I. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis itu sendiri. Penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan didalam penulisan makalah ini. Karena penulis sadari masih dalam tahap belajar. Penulis berharap adanya kritik, saran, dan usul guna memperbaiki makalah yang penulis buat. Karena tiada gading yang tak retak.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb
  Pekalongan, 05 Oktober 2016


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Indonesia, hak tersebut telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Undang-undang di negeri ini memberikan penjelasan yang negara memiliki kewajiban dalam memenuhi pendidikan setiap warganya. Terlepas dari bunyi undang-undang dasar tersebut, pendidikan sangat diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia mampu memiliki kecerdasan (intelligence, spiritual, emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional. Dalam sebuah pendidikan tentunya terdapat sebuah subyek, obyek dan sarana-sarana lain yang sekiranya dapat membantu terselenggaranya sebuah pendidikan. Allah swt telah memerintahkan kepada Rasul-Nya yang mulia, di dalam ayat-ayat yang jelas ini, agar dia memberi peringatan kepada keluarga dan sanak kerabatnya kemudian kepada seluruh umat manusia agar tidak seorangpun yang berprasangka jelek kepada nabi, keluarga dan sanak kerabatnya.
                  Dalam makalah ini akan sedikit membahas terkait dengan objek pendidikan langsung berdasarkan Al-Qur’an, yang terkandung dalam QS. Asy-Syu’araa Ayat 214.
B.     Rumusan Masalah
A.    Apa yang dimaksud dengan objek pendidikan secara langsung ?
B.     Bagaimana penafsiran-penafsiran para penafsir terhadap Q.S Asy-Syu’araa Ayat 214?
C.     Bagaimana jika Q.S. Asy-Syu’araa Ayat 214 diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari ?
D.    Aspek tarbawiyah apa saja yang dapat dipetik dari Q.S. Asy-Syu’araa Ayat 214?





C.     Metode pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menemukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber.

























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori
Kata pendidikan berasal dari kata didik dan mendidik. Secara etimologi mendidik berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, dan pimpinan) mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran. Secara bahasa dapat diartikan bahwa pendidik adalah sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.[1]
Ahmad tafsir (1994: 74) menjelaskan bahwa pendidik dalam islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik (anak didik). Orang yang paling utama dalam bertanggung jawab terhadap peserta didik adalah orang tua terhadap anaknya.
Dalam kontek ini, lembaga pendidikan yang pertama sebagai wadah pengembangan peserta didik yang dilakukan oleh pendidik adalah lembaga keluarga. Dan oleh karena itu, orang tua berkewajiban memelihara, menjaga dan mengatur kehidupannya keluarganya untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang menyesatkan buat keluarganya (anak-anaknya).[2]
Didalam al-qur’an dijelaskan pula pada surat at-tahrim ayat 6 :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
            Ayat diatas memerintahkan kepada orang tua untuk menjaga anaknya melelui proses pendidikan. Dengan demikian setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan itu hendaknya bisa dijalankan dengan baik, karena setiap orang tua pasti memiliki kepentingan dengan anak-anaknya.[3]
B.     Surat asy-syu’araa : 214 “Kerabat Sebagai Objek Pendidikan”
Surat asy-syu’araa : 214
artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,
1.      Tafsir fi Zhilalil Qur’an
Diriwayatkan dari imam muslim dan imam tirmidzi dengan sanadnya dari abu hurairah bahwa ketika ayat 214 surat asy-syu’araa ini turun, “berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, maka rasulullahpun [1]berseru kepada seluruh quraisy, dengan seruan umum dan seruan khusus. Lalu, beliau bersabda, “wahai kumpulan orang-orang quraisy, selamatkanlah diri kalian dari neraka. Wahai kumpulan bani ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai fathimah binti muhammad selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sesungguhnya demi Allah, aku tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kalian dari adzab Allah terhadap kalian. Hanya saja kalian memiliki hubungan keluarga denganku, sehingga aku akan menyiramkan kalian dengan sedikit airnya.
Hadis ini menerangkan bagaimana rosulullah menyambut seruan itu, dan bagaimana beliau berusaha menyampaikan kepada kerabatnya yang terdekat. Beliau tidak dapat berbuat apa-apa dalam pembelaan dalam urusan mereka, dan hanya dapat menyadarkan mereka kepada Allah seluruh urusan dunia akhirat mereka. Rasulullah menjelaskan bahwa hubungan kerabat tidak bermanfat apabila tidak diikuti dengan ikut serta dalam perbuatan amal saleh. Dijelaskan bahwa beliau tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari adzab Allah, padahal beliau adalah rosulallah. Inilah islam dalam kejelasan dan kemurniannya. Dan ia tidak meniadakan perantara seorang rosulnya sekalipun.
Demikian Allah menerangkan kepada rasul-nya bagaimana seharusnya beliau bermuamalah dengan orang-orang beriman yang menyambut dakwah yang dibawanya.[4]

2.      Tafsir al-misbah
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin”
Setelah memerintahkan Nabi Muhammad SAW. Menghindari kemusyrikan yang tujuan utamanya adalah semua yang berpotensi disentuh oleh kemusyrikan, kini ayat diatas berpesan lagi kepada beliau bahwa: peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat tanpa pilih kasih dan terhadap orang-orang yang bersungguh-sungguh mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin, baik kerabatmu maupun bukan.
Bagi Ibn ‘Asyur, ayat ini tertuju kepada Nabi Muhammad SAW. Ia adalah uraian khusus setelah ayat sebelumnya merupakan uraian umum menyangkut siapa saja. Demikian tulisnya.
Kata (عَشِيْرَةْ)‘asyirah berarti anggota suku yang terdekat. Ia terambil dari kata (عاَشِرَ) ‘asyara yang berarti saling bergaul karena anggota suku yang terdekat atau keluarga adalah orang-orang yang sehari-hari saling bergaul.
Kata (اْلأَقْرَبِيْنَ) al-aqrobin, yang menyifati kata asyirah, merupakan penekanan sekaligus guna mengambil hati mereka sebagai orang-orang dekat dari mereka yang terdekat.
Kata (جَنَّاحْ) janah, pada mulanya berarti sayap. Penggalan ayat ini mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya atau melindungi anak-anaknya. Sayapnya terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalulnya bahaya. Dari sisi, ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan, serta ketabahan bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis.
Kata (اِتِّبَعِكَ) ittiba’akal mengikutimu, yakni dalam melaksanakan tuntutan agama. Ibn asyur hanya memahami kata ini dalam arti “beriman”, sedang penyebutan kata (الْمُؤْمِنِيْنَ) al-mu’minin menurutnya untuk menjelaskan mengapa nabi saw diperintahkan untuk berendah hati kepada mereka, seakan-akan ayat ini berkata: “hadapilah mereka dengan kerendahan hati karena keimanan mereka.”[5]
3.      Tafsir ibnu katsir
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin”
Allah SWT menyuruh manusia menyembah dia semata, tanpa sekutu baginya. Dia memberitahukan bahwa barang siapa yang menyekutukan-nya maka dia akan mengazabnya. Kemudian Dia menyuruh Rosulullah SAW agar memeberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya terdekat dan bahwasannya tidak ada yang dapat menyelamatkan para kerabat kecuali keimanan mereka kepada tuhannya.[6]
C.     Aplikasi dalam kehidupan
      Ayat 214 menunjukkan bahwa dalam pendidikan harus bersikap adil, dimana setiap peserta didik mempunyai hak yang sama dari pendidik. Adapun peringatan nabi kepada keluarganya pada ayat diatas hanyalah merupakan sikap etis (birr) terhadap sanak kerabatnya yang tidak berhenti dan menghalangi untuk berbuat baik kepada orang lain.
Dalam menyampaikan sebuah pesan kepada peserta didik, jika segala upaya dan cara telah ditempuh, ternyata belum menghasilkan apa yang diharapkan oleh pendidik, maka pendidik harus sadar bahwa hasil tersebut bukan hak veto manusia, melainkan adalah hak prerogatif Allah. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa.


D.    Aspek Tarbawi
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat diambil hikmah pendidikan yang terdapat di dalamnya, antara lain :
1)      Lingkungankeluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga(orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan.
2)      bahwa orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka.
3)      Alquran Surat Asy-syu’ara:214 berisi perintah menjadikan keluarga terlebih dahulu dalam arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan akhirnya seluruh manusia seperti yang dijelaskan dalam hadits.

     
                 
                 



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tujuan dan tugas hidup manusia adalah hanya untuk Allah SW. Indikasi tugasnya berupa, ibadah. Dan manusia hidup itu bukan karena kebetulan, karena tujuan yang diharapkanya tidak terlepas dari ibadah. Maka tidak terlepas pula manusia itu dari dasar arah pendiidkan , sebagaiman di gamnbarkan diatas Alquran Surat Asy-syu’ara:214 berisi perintah menjadikan keluarga terlebih dahulu dalam arti sebagai objek pendidikan yang utama. Baru kemudian kerabat jauh dan akhirnya seluruh manusia seperti yang dijelaskan dalam beberapa hadist. Selain itu Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga(orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan.
B.     Saran
Alhamdulillah, makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadis. Kami menyadari kami masih dalam tahap belajar, jadi makalah inipun jika ditemukan kesalahan kami harap dimaklumi. Dan kami sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini, demi kesempurnaan makalah ini. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA
Quthb sayyid. 2004. Tafsir fi zhilalil qur’an. Jakarta: Gema Insani.
Shihab M.Quraisy. 2002. Tafsir al-misbah pesan kesan dan keserasian al-qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Ar-Rifa’i muhammad nasib. 2006. Tafsir ibnu katsir. Jakarta: Gema Insani.
Barnawi & Novan Ardy Wiyani. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Fatah yasin. A. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. UIN- Malang Press.












PROFIL PENULIS
Nama                           : Khusnul Khotimah
NIM                            : 2021115322
Tempat tanggal lahir   : Pekalongan, 07 Oktober 1996
Alamat                                    : Jalan Teratai No: 58 A Pekalongan
Pendidikan                  : 
·         TK Raudhotul Athfal Muslimat NU Kepatihan Wiradesa lulus tahun 2002/2003
·         Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Kepatihan Wiradesa lulus tahun 2008/2009
·         Madrasah Tsanawiyah Nurul Islam (MTS)Kota Pekalongan lulus tahun 2011/2012
·         Sekolah Menengah Atas (SMA) Hasyim Asy’ari Pekalongan lulus tahun 2014/2015
·         Institut Agama Islam Negri (IAIN) Pekalongan lulus insya’allah tahun 2019 aminnn J
                                               



[1]Novan ardy wiyani & barnawi, ilmu pendidikan islam ( jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2012). Hlm. 23
[2]A. Fatah yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (malang: UIN- Malang Press, 2008). Hlm. 23
[3] Novan ardy wiyani & barnawi, Op.Cit., hlm. 56
[4]Sayyid Quthb, tafsir  fi zhilalil qur’an VIII ( Jakarta: Gema Insani, 2004). Hlm. 372-373
[5]M.Quraisy Shihab, tafsir al-misbah pesan kesan dan keserasian al-qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),hlm. 356-357
[6] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, tafsir ibnu katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm.610-612

Tidak ada komentar:

Posting Komentar