PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
FATKHUL KARIMAH
SETIADI
NADHIFUZ ZA'MI
FAKULTAS SYARIAH\
JURUSAN HUKUM EKONOMI
SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Peradaban
Islam di Indonesia ”. Shalawat dan
salam semoga senatiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para shahabatnya,
keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. dan diharapkan dapat memberi wawasan lebih kepada
mahasiswa tentang materi pokok yang akan disampaikan. Hal ini dimaksudkan
supaya mahasiswa mampu memahami dan menganalisis materi pokok pada pembahasan
makalah ini secara mendalam.
Dengan kemampuan yang sangat terbatas, penulis sudah berusaha dan
mencoba mengeksplorasi, mensintesiskan dan mengorganisasikan dari beberapa buku
mengenai teori sejarah Islam di Indonesia. Namun demikian, apabila dalam
makalah ini di jumpai kekurangan dan kesalahan, baik dalam pengetikan maupun
isinya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik konstruktif dari
pembaca.
Akhirnya, semoga
makalah yang sederhana ini bermanfaat. Amin ya rabbal alamin!
Pekalongan,
5 April 2017
Kelompok 10
BAB 1
PEMBUKAAN
1.
Latar Belakang Masalah
Sejarah
perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini akan terus
berlangsung. Demikian pula dengan peradaban Islam, senantiasa akan berlangsung
diberbagai walayah dunia Islam.
Islam
pernah mencapai kejayaannya dalam bidang peradaban, bahkan sebelum bangsa Eropa maju, dengan demikian
tidak dapat disangkal bahwa karena peradaban Islam-lah peradaban Eropa menjadi
maju, karena bangsa Eropa telah belajar dari peradaban Islam. Oleh karena itu,
mempelajari sejarah Islam dan peradabannya adalah suatu keniscayaan, agar
kemajuan peradaban Islam dapat kembali diraih oleh umat Islam.
Berbagai peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh
bersejarah dengan hasil karya-karyanya yang menginspirasi, serta
peninggalan-peninggalan bersejarah terlahir dari berbagai kerajaan-kerajaan
yang ada di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, sebagai umat
Islam yang cinta akan sejarah, hendaknya kita belajar dari perstiwa dimasa
lalu, demi kemajuan dan kesejahteraan umat Islam di masa depan.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
peradaban Islam di Indonesia sejak kedatangan imperialisme Barat?
b.
Bagaimana
keadaan kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang?
c.
Apa
strategi yang di lakukan Belanda untuk menjajah Indonesia?
d.
Apa
saja organisasi yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia?
3.
Tujuan penulisan
a)
Mengetahui
peradaban Islam di Indonesia sejak kedatangan imperialisme barat, mengetahui keadaan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia serta mengetahui strategi yang dilakukan Belanda
dalam menjajah Indonesia. Dan organisasi beserta tokoh-tokoh yang berperan
penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
1.
Kedatangan Imperialisme Barat ke Indonesia
Selama berabad-abad perairan Nusantara hanya dilayari oleh
kapal-kapal dari Indonesia dan Asia. Tetapi sejak abad ke-16 di perairan
Nusantara muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kemajuan ilmu dan teknik pelayaran,
menyebabkan pelaut-pelaut Eropa itu mampu berlayar dengan menggunakan kapal
sampai di perairan Indonesia.
Orang Portugislah yang mula-mula muncul di Indonesia. Kedatangan
mereka ke Indonesia, disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan ekonomi, mereka
ingin mendapat keuntungan besar dengan berniaga. Faktor lainnya yaitu hasrat
untuk menyebarkan agama Kristen dengan melawan orang Islam, dan hasrat
berpetualang yang timbul karena sikap hidup yang dinamis. Pelaut-pelaut
Portugis itu ingin melihat dunia di luar tanah airnya.
Pimpinan orang Portugis, yaitu Alfonso de Albuquerque. Ia mendengar
bahwa pusat perdagangan di Asia Tenggara adalah Malaka. Di bandar itu, bertemu
para pedagang dari Cina, India dan Arab, maupun para pedagang dari
daerah-daerah Indonesia.
Perairan Indonesia juga kedatangan orang Eropa lainnya, yaitu orang
Belanda, Inggris, Denmark dan Prancis. Pelaut-pelaut Belanda dan Inggris secara
bergantian tiba di Indonesia dan biasanya pelaut Inggris mengikuti jejak
Belanda. Jika orang Belanda berhasil mendirikan loji di suatu tempat,
orang-orang Inggris segera mengikuti dengan mendirikan pula loji di dekatnya.
Maksud kedatangan orang Belanda dan Inggris ke tanah air Indonesia tidak
berbeda dengan orang Portugis dan Spanyol, yakni ingin memperoleh rempah-rempah
dengan murah.
Setelah Kompeni dikepalai oleh Gubernur Jendral J.P Coen, maka
tujuan mereka makin jelas, yakni menguasai perdagangan rempah-rempah di
Indonesia, secara sendirian atau monopoli. Dalam upaya melaksanakan monopoli,
mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Kompeni mulai menguasai
berbagai wilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Praktik
sedemikian itu sudah tentu merugikan kerajaan-kerajaan di Indonesia, sehingga
dimana-mana mulai timbul perlawanan terhaadap Kompeni.
Sekitar tahun 1618-1619, pihak Belanda menyerang pangeran
Wijayakrama dan dapat merebut Jayakarta; diatas runtuhan kota tersebut dibangun
sebuah kota baru yang diberi nama Batavia. Banten yang menganggap dirinya
berkuasa atas Jayakarta tentu tidak tinggal diam, sehingga sejak saat itu
timbullah permusuhan terus-menerus antara Banten dengan Belanda di Batavia,
baik berupa perang dingin maupun perang sebenarnya.[1]
B.
PERLAWANAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA TERHADAP
IMPERIALISME.
1)
Keberadaan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda
datang.
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan
awal ke-17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama.
Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik,
tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut.
Misalnya di Sumatra, penduduk sudah memeluk islam sekitar tiga abad, sementara
di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.[2]
Di Sumatra, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan
politik dikawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, portugis
dan Johor yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malaka Islam.[3]
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para
pedagang muslim menghindar dari Malaka, dan memilih Aceh sebagai pelabuhan
transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan
Nusantara. Bahkan ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada,
yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat
kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 menjadi daerah Vassal dari Aceh.[4]
Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatra bagian utara,
Aceh berusaha menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan
di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai
Indragiri, Kampar dan Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah Islam, juga
merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa,
Cina, India dan lain-lain, diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi Aceh ketika
itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatra dan mencakup Tiku,
Pariaman dan Bengkulu.Aceh mulai mengalami kemunduran karena secara
berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Daerah-daerah
Sumatra yang dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke
pedalaman, yaitu dari Demak ke Panjang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat
pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan
sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah: (1) kekuasaan dan sistem politik
didasarkan atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan
pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan (3)
terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala
akibatnya.[5]
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada dibawah
kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Agung. Pada
saat itu kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie) mulai terjadi.
Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara
lain karena, perdagangan ladannya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merosotnya
peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar
sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran
dagang di Indonesia bergeser. Kalau di awal abad ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku, Jawa, Selat
Malaka, maka di akhir abad itu menjadi Maluku, Makasar, Selat Sunda. Sehubungan
dengan perubahan tersebut, Banten dan saingannya, Sunda Kelapa, bertambah
strategis.[6]
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang
dengan pesat. Ada faktor-faktor historis yang mempercepat perkembangan itu.
Pertama, Pendudukan Maluku oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi
pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, Arus migrasi Melayu
bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor dan
pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, Blokade Belanda
terhadap malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India,
Asia Barat dan Asia Timur. Keempat, merosotnya pelabuhan Jawa Timur
mengakibatkan fungsinya diambil oleh
pelabuhan Makassar. Kelima, Usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat
Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku.
Itu semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau
ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin
menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan
berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol, namun ia
mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.[7]
2)
Maksud dan Tujuan Kedatangan Belanda.
Maksud semula kedatangan
Belanda hendak berniaga di samping mengembangkan Kristen, sebagai alat
menanamkan pengaruh dan kekuasaan, di samping itu juga untuk mengembangkan
usaha perdagangan, yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di
Eropa. Namun akhirnya mereka melakukan tekanan dan paksaan, sehingga Indonesia
menjadi jajahan bangsa Barat (Belanda) tiga setengah abad lamanya.
Untuk mencegah
persaingan dan untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia, Belanda membentuk
dan mendirikan perkumpulan dagang monopoli yang bernama VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) pada bulan Maret 1962 M.[8] VOC
dibentuk dan disahkan oleh Staten General Republic dengan satu piagam yang
memberi hak khusus kepada VOC untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di
kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon.
Pada tahun 1798 M. VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar
134,7 Juta Golden. Ini terjadi karena ada beberapa faktor, di antaranya,
pembukuan yang curang, pegawai yang korup, dan sistem monopoli serta sistem
paksa dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman yang menimbulkan kemerosotan
moral baik penguasa maupun penduduk.
Setelah bubar, secara resmi Indonesia pindah ke tangan Belanda pada
pergantian abad ke-18. Pemerintah Belanda berlangsung sampai tahun 1942 dan
hanya diinterupsi oleh Inggris selama beberapa tahun pada tahun 1811-1816.
Sampai tahun 1811 M. Pemerintah Hindia Belanda tidak merubah sama sekali,
bahkan 1816 M, Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk menanggulangi
kemerosotan ekonomi akibat kebangkrutan perang. Dan tahun 1830 M. Pemerintah
Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa dan politik liberal di Indonesia
setelah Terusan Suez dibuka dan industri Belanda Berkembang.[9]
3)
Strategi Politik Belanda
Dengan
perlengkapan yang lebih maju, VOC melakukan politik ekspansi. Boleh dibilang
ekspansi menjelang akhir abad ke-18 berhasil di Jawa. Belanda telah meluaskan
kekuasaannya dalam pemerintahan Mataram karena Amangkurat II (1697-1703 M.)
meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Tunojoyo, Adipati Madura dan
pemberontakan Kajoran dan dipercepat oleh konflik intern dalam istana.
Di Banten, pada
waktu itu kapal Belanda mulai secara teratur sehingga disitu, tahun 1619
Jakarta direbut Belanda dan kelak Batavia akan menjadi penguasa di Jawa Barat. Namun
Banten menganggap bahwa kekuasaan Belanda di Jakarta / Betawi membawa keamanan
dan ketertiban bagi banten dan Cirebon. Hubungan Banten dengan Belanda tidak
bertahan lama, yaitu setelah Sultan Agung Tritayasa naik tahta (1651 M ).
Ia memusuhi
Belanda karena dipandang menghalangi Banten dalam perdagangan. Tetapi Sultan
Haji, anak dari Sultan Agung Tritayasa, yang diangkat sebagai Sultan Muda tahun
1676 tidak menyenangi politik ayahnya terhadap Belanda. Lalu tahun 27 Februari
1682 M. Istana Sultan Haji diserang ayahnya sendiri Sultan Agung Tritayasa.
Namun anaknya yang bekerja sama dengan Belanda mampu mematahkan serangan dari
ayahnya. Dan akhirnya Banten dikuasai oleh Belanda.
Sulawesi
terdapat konflik dalam negri antara Gowa-Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu
memonopoli di Makassar maupun di Indonesia bagian Timur. Selanjutnya pentrasi
politik Belanda terjadi di Banjarmasin yang mendapat ijin dari Sultan
Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh pangeran Amir dan pangeran Nata, yang
mana dimenangkan oleh pangeran Nata dengan bantuan Belanda, membuat kekuasaan
Belanda semakin besar dan kokoh. Dan akhirnya secara defakto, Belanda sudah
menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di Sumatra,
kerajaan-kerajaan Islam dengan cepat dikuasai Belanda kecuali Aceh. Setelah
Malaka jatuh ketangan Belanda 1641 M. terbentuk aliansi-aliansi baru antara
lain Jambi, Palembang dan Makasar. Namun aliansi tersebut bubar ketika VOC ikut
campur dan meminta untuk tanda tangan kontrak dengan VOC.
Di Aceh,
sebelum datangnya Belanda dan Inggris yang struktur sosial dan sistem
kehidupannya sudah ratusan tahun berpegang erat pada adat dan kebudayaan dengan
latar belakang Islam. Namun datangnya Belanda di Aceh sudah jelas ingin
menaklukan Aceh dan menundukannya di bawah kedaulatan Belanda.
Pada saat itu
di Indonesia terjadi konflik intern, dan itu terjadi karena politik pecah belah
penjajah itu. sehingga ajaran agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan
Islam dari hari ke hari menjadi kecil dan lemah. Memang Aceh diakui
kemerdekaannya oleh Inggris dan Belanda, tetapi agama islam dan
kerajaan-kerajaannya pun mengalami kemunduran, sinarnya disana-sini semakin
redup.[10]
Seperti
kerajaan di Sumatera, pada masa penjajahan umat islam dibagi menjadi beberapa
kelompok dengan pengelompokan silang karena perbedaan motivasi. Pertama,
timbul kelompok karena pendidikan, ada yang disebut kaum muslim pesantren dan
kaum muslim sekolahan. Kedua,berdasarkan paham keagamaan, timbul masalah
madzhab dan Arujh ila Qur’an Wassunnah, bukan hanya masalah fiqh tetapi
juga masalah Aqidah.
Karena dirasa
terjadi kekacauan di ibukota Demak pada tahun 1546 M. Karena Sultan Demak
meninggal dunia. Demak dipindahkan ke Panjang. Dan dari budaya Nelayan
(pesisir) ke budaya agraris, karena diduga kehidupan di pesisir kurang
mendukung dan tidak bisa menghasilkan lebih banyak penghasilan, sehingga
dipindah atau dialihkan negara agraris, karena banyak rempah-rempah dan bisa
bercocok tanam sehingga mendapat penghasilan yang lebih.
Di Jawa,
berpindahnya pusat pemerintahan dari Demak ke Panjang lalu ke Mataram membawa
pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, lalu
pada abad ke-16 Jawa Timur dikuasai Sultan Agung, dan terjadi kontak senjata antara
kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Di Makassar terjadi perlawanan terhadap VOC yang berlanjut sampai tahun
1656, Dan pada abad ke-16 pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat, disamping
letaknya strategis, ada faktor yang menyebabkan berkembangnya pelabuhan
Makasar, salah satunya, blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh
pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur.
Sementara Maluku, Banda, Surau dan
Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran
pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya.[11]
a.
Perlawanan Rakyat Terhadap Imperialisme
Di sini akan
dipaparkan empat perlawanan terbesar dan terlama, tentu tidak mengecilkan
perlawanan-perlawanan lain, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Perang Paderi di Minangkabau
Gerakan paderi yang terbentuk dengan kedatangan tiga haji terkenal
dari Makkah pada awal abad ke-19, dipengaruhi secara mendalam oleh gerakan
Wahabi di Arab pada masa itu. Keberhasilan gerakan Paderi tidak terbayangkan
jika gerakan ini hanya merupakan “revolusi” para pemimpin agama yang kecewa
karena hidup dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki
sosialnya.
Setelah takluknya Minangkabau akibat perang Paderi kebijakan
Belanda mencoba menahan pengaruh para guru agama dengan mengasingkan mereka
sejauh mungkin dari urusan rakyat sehari-hari dan dengan menegakkan wewenang
para kepala adat yang sah.[12]
Namun di lain pihak ada golongan terakhir yang kemudian meminta bantuan kepada
Hindia Belanda yang disambut dengan senang hati, sehingga ada perjanjian kaum
adat dan Belanda pada tanggal 21 Februari 1921 M. yang sejak itulah permulaan
peperangan antara kaum adat dan Belanda. Peperangan pertama Belanda gagal,
sehingga Belanda mengajak perdamaian melalui perjanjian pada 22 Januari 1824.
Namun Belanda menghianati, begitu pula peperangan selanjutnya yang gagal, lalu
mengadakan perjanjian damai 15 September 1825 M. Ini untuk menghadapi
peperangan Diponegoro, setelah selesai Belanda menghianati lagi, begitu
seterusnya. Sampai pada perjanjian damai dikenal dengan plakat panjang, 23
Oktober 1833 M. kaum Paderi menolak dan tidak percaya lagi. Dan pada tanggal 16
Agustus 1837 M. mereka menyerang Bonjol dengan berbagai tipu muslihat dan
kelicikan, akhirnya Bonjol dapat diduduki dan tokohnya Imam Bonjol diasingkan
ke Cianjur, lalu Ambon dan sampai matinya di Manado.
Meskipun kalah, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama yang diidentifikasi
sebagai satu-satunya standar perilaku dan di samping itu adat Islamiyah
dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara adat yang bertentangan
dengan Islam dipandang sebagai adat Jahiliyah.
2.
Perang Diponegoro
Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah Hindia
Belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran Diponegoro dan
harus membongkar makam keramat. Belanda ingin berunding dengan pangeran
Diponegoro yang mencabut patok–patok yang ditanam dan mengalihkan jalan Patih
Daniarejo harus diganti.[13]
Di lain pihak menjelang akhir abad ke-18 Islam di Indonesia
memperhatikan tanda-tanda keresahan, yang pada abad ke-19 meledak dalam
serangkaian pergolakan besar. Demikianlah pada tahun 1825 M. pangeran
Diponegoro bangkit berontak melawan pemerintahan kolonial yang kafir. Perang
Diponegoro menggunakan taktik gerilya, dimana pasukan Belanda dikepung oleh
perajurut Pangeran Diponegoro di Yogya.
Pada tahun 1826 M. banyak korban berguguran dipihak Belanda, untuk
mempersempit gerakan tentara pangeran Diponegoro di tahun 1827 M. Pangeran
Diponegoro ditawan karena beliau membangkang untuk berunding dengan Belanda dan
akhirnya tahun 1830 M. dibuang ke Manado, lalu tahun 1834 M. dipindah ke Ujung
Pandang, Makassar yang meninggal dalam usia 70 tahun pada 8 Januari 1855 M.
3.
Perang Banjarmasin
Pengangkatan pangeran Tamjid menjadi sultan menimbulkan kekecewaan
dikalangan rakyat dan pembesar lainnya. Dari kericuhan itu Belanda kembali
memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Ketika
itulah perang Banjarmasin dimulai, Andresen yang didatangkan dari Batavia
menyimpulkan, bahwa sultan Tamjid merupakan sumber kericuhan. Dan akhirnya
diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.
Perlawanan rakyat berkobar-kobar didaerah-daerah, yang semula
ditunjukan untuk Sultan Tamjidillah kepada Belanda. Perlawanan ini dipimpin
oleh Pangeran Antasari dengan 3.000 pasukan untuk menyerbu pos-pos Belanda.
Awalnya belanda banyak korban, tetapi dengan taktik dan kelicikan Belanda
berhasil mengalahkan beberapa pembesar kerajaan satu persatu dan pangeran
Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan pangeran Hidayat, pangeran Antasari
memproklamirkan kemerdekaan Banjarmasin, yang beribu Kota Sumatra Tengah,
markas besar perjuangan melawan Belanda. Namun 9 bulan setelah proklamasi,
pangeran Antasari wafat di Temeh tanggal 11 Oktober 1862 M. karena sakit. Dan
digantikan anaknya pangeran Muhammad. Dan perlawanan terus berlangsung sampai
tahun 1905 M. ketika raja ini syahid dalam pertempuran.
4.
Perang Aceh
pada tanggal 26 Maret 1873 M. ketika Terusan
Suez dibuka negara Belanda berlomba-lomba mencari jajahan baru dan mendesak
untuk mengadakan perundingan. Pada akhirnya Traktat ini jelas memberikan
peluang kepada Belanda untuk meneruskan agresinya, perang ini disebut juga
perang rakyat karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan
kolonial.[14]
Pada tanggal 5 April 1873 M. tentara Belanda mendarat dengan
kekuatan sekitar 3000 personil. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirim
ekspedisi dengan kekuatan sekitar 13.000 perajurit. Kali ini dengan mudah
Belanda menduduki masjid dan Kraton. Karena sultan dan seluruh penghuninya
sudah mengungsi. Jatuhnya kraton tidak menlunturkan semangat juang rakyat Aceh.[15]
Tidak lama setelah itu, Belanda berusaha mengadakan perundingan
tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian menggunakan strategi
menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini Belanda berusaha menguasai
dan mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh Besar. Mereka mendirikan
benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah-daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara
Aceh yang mulai terorganisir. Di samping itu, disekitar pos-pos tersebut
berjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antar pos tersebut dapat ditembus
dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu, Belanda melakukan
ofensif dengan mengirim ekspedisi ketempat panglima Polim memimpin perlawanan.
Panglima Polim terpaksa mengungsi dan
daerah-daerah Aceh besar jatuh ke tangan Belanda.
Dua tahun kemudian, serangan Belanda ditunjukan untuk mengejar
rombongan Sultan Aceh. Pada tanggal 26 November 1902, persembunyian pemimpin Aceh itu disergap, sehingga sultan
bersama beberapa pengikutnya dapat ditawan. Setahun berikutnya, Panglima Polim
menyerah, disusul tertangkapnya Cut Nyak Dhien, dan juga Cut Meutia, dua
pejuang wanita yang sangat berpengaruh. Perang Aceh yang dahsyat itu pun berakhir.
[16]
Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Dari tahun
1903-1930-an sering terjadi perlawanan sengit yang dipimpin ulama di Pidie Aceh
Tengah dan Tenggara, Aceh Barat dan Timur. Belanda sangat kewalahan untuk
menundukan perlawanan rakyat Aceh.[17]
4)
PERADABAN ISLAM DAN PERAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
1.
PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
a.
Sistem Birokrasi Keagamaan
Penyebaran
Islam di Indonesia pertama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas
Islam bermula di berbagai pelabuhan
penting di Sumatera, Jawa dan
pulau lainnya. Kerajaan–kerajaan Islam yang pertama berdiri juga didaerah
pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten,
Cirebon, Ternate dan Tidore.
Ibu kota
kerajaan selain merupakan pusat politik dan perdagangan, juga merupakan tempat
berkumpul para ulama dan mubaligh Islam. Raja–raja di Aceh mengangkat para
ulama menjadi penasihat dan pejabat di bidang keagamaan.
Adapun di samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk
dalam jabatan – jabatan keagamaan yang memiliki tingkat dan istilah berbeda –
beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi.
Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi penerapan hukum Islam di satu
kerajaan lebih jelas dibandingkan dengan kerajaan lain. Kedudukan jabatan ulama
yang terkuat diantaranya adalah di Aceh dan di Banten.
Birokrasi keagamaan juga berlangsung di beberapa kerajaan Islam
seperti di Kesultanan Demak di Jawa dan Kerajaan Mataram Islam. Hal ini
menunjukkan perpaduan akulturasi budaya setempat (Jawa) dengan tradisi hukum
Islam yang dituangkan dalam sistem birokrasi keagamaan. Demikian pula yang
berlaku di beberapa kerajaan lain di Indonesia pada umumnya.
b.
Peran Para Ulama dan Karya – Karyanya
Para tokoh–tokoh
ulama pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka
yang berasal dari Fansur (Pansur), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal
berjudul Asural-Arifin Fi Bayan ila Suluk wa At-Tauhid, suatu uraian singkat
tentang sifat – sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya yang
bersifat mistik (tasawuf) adalah Syair Perahu. Karya–karya yang lain, di
antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab
Al-Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi oleh faham wahdat Al-Wujud Ibnu
‘Arabi dan juga pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah
Fansuri ini di Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah atau martabat tujuh.
Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri. Syamsuddin
mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun
1601 M. Buku itu berisi tanya jawab tentang ilmu kalam, dan juga beberapa buku
lainnya.
Syamsuddin As-Sumatrani juga dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia
adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad
ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17. Syamsuddin adalah murid Hamzah Fansuri.
Di antara karyanya adalah Mir’atul Mu’minin (Cermin Orang Beriman) yang ditulis
pada 1601 M. Karya lainnya adalah Jauhar Al-Haqaid, Risalah At-Tubayyin
Mulahazat Al-Muwahiddin ‘ala Al-Mulhidin fi Dzikrillah, Kitab Al-Haraqah dan
Nur Ad-Daqaiq, Zikir Dairah Qawsany Al-Adna, Mi’ratul Qulub, Syarh Mi’ratul
Qulub, Kitab Tazym, Syir’al Arifin, Kitab Ushul At-Tahqiq, dan lain – lain.
Nurudin
Ar-Raniri, Ia berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di
Aceh pada tahun 1637 M. Ar-Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat
membela ajaran ahlussunah waljamaah. Karyanya yang sudah diketahui dengan pasti
berjumlah 29 buah, yang meliputi bebagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu
fiqh, hadis, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte–sekte agama.
Penulis lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah
Abdurrauf Singkel yang mendalami ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah.
Ia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri melalui tarekat Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan
dan wujud yang berbeda. Sebagaimana karya – karya Hamzah Fansuri di Aceh,
bersifat mistik yang terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam.
Selain melalui
karya –karya ulama Aceh tersebut, Faham wujudiyah tersebar di Jawa melalui
penyebaran tarekat Syattariah murid – murid Abdurrauf Singkel. Di antaranya
adalah Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, pengarang kitab Martabat Kang Pitu
(Martabat Yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Tasikmalaya dan
dari daerah ini tarekat Syattariah menyebarkan ke Cirebon yang menjadi pusat
kesultanan. Walaupun sebenarnya di Jawa sudah muncul karya mistik yang memiliki
faham hampir sama, terbukti dengan ditemukannya karya Sunan Bonang, Suluk
Wijil, tetapi diduga tersebarnya karya –karya sastra dalam bentuk serat suluk
yang isinya mengandung ajaran tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh adalah
setelah karya Syaikh Abdul Muhyi tersebut. Dari pengaruh Cirebon inilah
kemudian para pujangga Surakarta mengubah karya – karya serta suluk yang kaya
akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito dengan karyanya Wirid
Hidayat Jati.
Syaikh Yusuf
Al-Makassari (1626-1699 M) yang lama belajar di Timur Tengah. Karya – karya
Syaikh Yusuf Al-Makassari yang sebagian dalam bidang tasawuf itu diperkirakan
berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum
diterbitkan. Syaikh Yusuf akhirnya diasingkan ke Sailan (Srilanka) dan akhirnya
ke Afrika Selatan.
Pada abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran
fiqh seperti tergambar dalam karya – karya ulama pada masa itu. Di antara para
ulama yang produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-
1812 M) yang menulis kitab Sabilul Muhtadin, sebuah kitab fiqh, dan kitab
Perukunan Melayu.
Kiai Haji Ahmad
Rifai (1786-1875 M) dari Kalisalak Batang yang menulis banyak buku, di
antaranya Husnul Mathalib, Asnal Maqhasid, Jam’ul Masa’il, Abyanul Hawa’ij, dan
Ri’ayatul Himmah, yang umumnya membahas ushuludin, fiqh, dan tasawuf. Gerakan
keagamaan KH. Ahmad Rifai memperoleh dukungan masyarakat yang kemudian dikenal
dengan gerakan Rifaiyah dan banyak pengikutnya di Jawa Tengah.
Syaikh Nawawi
Al-Bantani (wafat 1894 M) ulama dari Banten yang tinggal di Arab hingga
wafatnya dan memperoleh gelar sebagai Sayyid Ulama Al-Hijaz (Penghulu Ulama
Hijaz) menulis tidak kurang dari 41 buah kitab yang menyebar di berbagai
wilayah dunia Islam, termasuk di Indonesia, beberapa karyanya antara lain,
Nihayatuz Zain, Safinatun Naja, Nuruzh Zhalam, Kasyifatus Saja, Sulamul
Fudhala, dan karyanya yang terkenal adalah At-Tafsir Al-Munir.
Syaikh Ahmad
Khatib Minangkabau (1860-1916 M) yang juga sangat produktif menulis, salah satu
tulisannya yang terkenal adalah Izharul Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis
Shadiqin yang berisi tantangan terhadap ajaran tarekat.
Di Palembang
terdapat ulama terkenal yaitu Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani berasal dari
keturunan Arab Yaman. Karya – karya Abdush Shamad cukup banyak khususnya dalam
masalah sufistik. Hidayah As-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin (1787 M),
As-Sayr As-Salikin ila Rabb Al-Alamin (1789 M), adalah karyanya yang terakhir yang
sangat terkenal dalam bidang tasawuf.
Di Semarang, terdapat ulama terkenal, Syaikh Shaleh Darat
(1820-1903 M) yang menulis beberapa
karya dalam bahasa Arab dan Jawa. Shaleh Darat adalah guru dari Syaikh Mahfudz
Termas, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan RA. Kartini. Salah satu karya
Shaleh Darat yaitu Kitab Tafsir Faidhur Rahman (1891 M), dan lain – lain.
Ulama lainnya
adalah Syaikh Mahfudz At-Tirmasi, seorang ulama yang berasal dari Termas
Pacitan. Mahfudz adalah seorang ulama yang sebagaimana Nawawi Al-Bantani
menjadi ulama kenamaan di Mekah. karyanya yaitu : Minhaj Zhawi An-Nazhar dan
lain –lain yang keseluruhan karyanya
berbahasa Arab.
Syaikh Ihsan
Al-Jampasi Al-Kadiri, berasal dari Jampes Kediri. Syaikh Ihsan adalah penulis
kitab Sirajut Thalibin (Pelita Para Pencari) terdiri dari 2 jilid , syarah atas
kitab Minhajul Abidin Imam Al-Ghazali. Kitab ini diterbitkan di Kairo dan
menjadi rujukan dalam bidang tasawuf di sana. Dan masih banyak kitab lainnya.
Di Jawa Timur terdapat K.H. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai
seorang ulama pendiri pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri NU. K.H. Hasyim
Asy’ari juga dikenal sebagai seorang ulama penulis buku – buku berbahasa Arab.
Di antara karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab yang salah satunya berjudul
Ad-Durarul Muntasyirah fi Mas’alati Tis’a Asyarah.
Di samping mereka yang disebutkan di atas, masih banyak para ulama
lain yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di Indonesia melalui
karya-karyanya. Di antaranya, KH. Ahmad Dahlan tokoh dan pendiri Muhammadiyah,
Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli pendiri Tarbiyah Al-Islamiyah, Haji Abdul Karim
Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Haji Muhammad Jamil Jambek dan lain – lain.
c.
Corak Bangunan Arsitek
Hasil–hasil
seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara
lain Masjid Kuno Demak, Masjid Agung Cipta rasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid
Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, dan daerah–daerah
lain. Masjid–masjid itu menunjukkan keistimewaan seni–seni bangunan yang
tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Beberapa
masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan
meru pada zaman Indonesia Hindu.
Selain itu,
pada pintu gerbang, baik di keraton–keraton maupun di makam orang–orang yang
dianggap keramat yang berbentuk candi bentar, kori agung, jelas menujukkan
corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan-nisan kubur
di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunjukkan
unsur–unsur ukir dan perlambang pra Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan
Sumatera terdapat beberapa nisan yang lebih menunjukkan unsur seni Indonesia
pra Hindu dan pra Islam.
Beberapa bangunan arsitektur Islam di Indonesia, memiliki ciri khas
tersendiri dengan mengadaptasi budaya sebelumnya. Hal ini tersebut dapat di
lihat dalam arsitek Masjid Kudus di mana menaranya masih menceritakan bangunan
model budaya Jawa Hindu. Arsitektur semacam ini secara jelas memperlihatkan
perpaduan antara budaya Hindu dan budaya Islam.
d.
Lembaga Pendidikan Islam
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para Walisongo penyebar
agama Islam di Jawa mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga
dakwah yang akan meneruskan perjuangan agama Islam. Para Walisongo juga menjadi
tenaga inti dalam penyebaran agama Islam di berbagai daerah melalui lembaga
pendidikan pesantren.
Setelah
Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan
pendiddikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Departemen Agama
menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah,
disusun secara klasikal, menggunakan kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata
pelajaran umum di samping agama sehingga murid di madrasah tersebut mendapatkan
pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. Oleh karena itu,
Departemen Agama akan memberikan bantuan kepada madrasah yang juga
memperhatikan pendidikan umum. Persoalan kualitas lulusan sekolah agama terus
ditingkatkan, terutama kemampuan berbahasa Arab, bahkan bahasa Inggris.
Universitas
Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki
fakultas – fakultas non agama. Dengan demikian, UII dapat memberi contoh
tentang perkembangan Universitas Islam di Indonesia. Dengan bantuan dari
pemerintah penduduk Jepang, lembaga ini di buka pada 8 Juli 1945 di Jakarta.
Tidak lama setelah itu, lembaga ini ditutup karena gedung – gedung di kuasai
oleh pasukan Sekutu, dan dibuka kembali tanggal 10 April 1946 di Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Januari 1950, sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah
universitas Islam di Solo, dan 20 Februari 1951 kedua universitas Islam di
Yogyakarta dan Solo disatukan dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII)
yang sejak itu memiliki cabang di dua kota tersebut. Setelah itu mulai banyak
muncul perguruan tinggi dan universitas Islam.
Perguruan tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas – fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada
tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh
pemerintah dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan
tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah
pengawasan Kementrian Agama.
Pada tahun 1960, didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang
juga berada di bawah pengawasan Kementrian Agama. IAIN ini terus berkembang
pesat. Pada tahun 1992, terdapat 14 IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas
lebih dari seratus. Sekarang beberapa IAIN telah berkembang menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN) seperti di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Bahkan beberapa perguruan tinggi Islam swasta juga memiliki
fakultas – fakultas umum, di samping fakultas – fakultas agama. Beberapa
Universitas Islam swasta di antaranya adalah Universitas Muhammadiyah di
beberapa kota, Universitas Islam Jakarta (UIJ), Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta, Universitas Islam Asy-Syafiiyah Jakarta, Universitas Darul
Ulum (UNDAR) Jombang, Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Paramadina
Jakarta, Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar, Unisba Bandung, UNINUS
Bandung, Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta, Universitas Sains Alquran
(UNSIQ) Wonosobo, Universitas Sultan Agung Semarang , dan lain – lain.
2.
ORGANISASI – ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
v Organisasi –
organisasi Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Jam’iyatul Khair
Jam’iyatul Khair berdiri 17 Juli 1905 di Jakarta. Dengan tokoh –
tokohnya seperti Sayyid Shihab bin Shihab dan kawan – kawan. Jam’iyatul Khair
pada awal berdirinya merupakan satu – satunya organisasi pendidikan yang
menerapkan sistem pendidikan modern di Indonesia. Dalam hal pembaruan
pendidikan, para guru didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir, dan Arab.
2.
Syarikat Islam (SI)
Syarikat Islam (SI), awalnya adalah Serikat Dagang Islam (SDI) yang
didirikan oleh KH. Samanhudi pada tahun 1905 M di Solo. Ada yang mengatakan
bahwa SDI mula – mula didirikan pada tahun 1911 M. Kemudian pada tahun 1912 M,
SDI berubah menjadi Syarikat Islam (SI) yang diprakarsai oleh HOS.
Cokroaminoto, Abdul Muis, H. Agus Salim dan lain – lain. Awalnya SI merupakan
organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, tetapi kemudian menjadi gerakan
politik. Dan pada saat ini, SI juga banyak bergerak di bidang dakwah Islam dan
sosial.
3.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan dan kawan – kawan di Yogyakarta pada 18 November 1912 M,
bertepatan pada 8 Dzulhijjah 1330 H.
Tujuan organisasi Muhammadiyah yaitu menegakkan dakwah Islamiyah
dalam arti seluas–luasnya,dengan usaha yang mencangkup bidang ekonomi, sosial,
kesehatan, pendidikan dan dakwah.
Muhammadiyah
sebagai organisasi sosial keagamaan telah banyak berjasa dalam perjuangan
negara Indonesia. Di antara tokoh Muhammadiyah yang di akui pemerintah sebagai
pahlawan nasional adalah KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, Ny. H. Walidah Ahmad
Dahlan, KH. Fakhruddin.
4.
Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) artinya Kebangkitan Ulama, adalah organisasi
massa Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren di bawah pimpinan KH.
Hasyim Asy’ari, di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Di antara para tokoh
yang ikut mendirikan NU adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Asbullah, KII.
Bisri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem, dan beberapa kiai lainnya. Di antara para
tokoh NU ada yang di akui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI antara lain
: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH.Zainul Arifin.
5.
Jam’iyatul Washliyah
Jam’iyatul Washliyah adalah suatu organisasi Islam yang diresmikan
pendiriannya pada 30 November 1930 M didirikan di Medan yang dipelopori oleh
para ulama terkemuka di Medan. Para ulama yang ikut mendirikan Jam’iyatul
Washliyah antara lain : Ismail Banda, Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thahir
Lubis, Adnan Nur, H. Syamsuddin, H. Yusuf Ahmad Lubis, H.A. Malik, dan A. Aziz
Efendi. Al-Wasliyah banyak berjasa dalam proses dakwah Islam di daerah Tanah
Karo, Tanapuli, dan Simalungun Sumatera Utara.
6.
Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Al-Irsyad
adalah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1913 oleh orang – orang
keturunan Arab, di bawah pimpinan Syaikh Ahmad Syurkati, seorang ulama asal
Sudan. Al-Irsyad bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Tujuan utama dari
sekolah atau madrasah Al-Irsyad untuk mempermahir bahasa Arab sebagai bahasa
Alquran. Banyak alumni sekolah – sekolah dan madrasah – madrasah Al-Irsyad yang
pandai berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu
– ilmu Islam.
7.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) didirikan pada 20 Mei 1930 di
Bukittinggi Sumatera Barat oleh sejumlah ulama terkemuka di Minangkabau, di
bawah pimpinan Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli. Di antara ulama lain yang ikut dalam
pendirian PERTI adalah Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Abbas Ladanglawas,
Syaikh Abdul Wahid Salihi, dan Syaikh Arifin Arsyadi. PERTI memiliki usaha dalam
bidang pendidikan dan dakwah. PERTI juga memiliki banyak sekolah dan pondok
pesantren di Sumatera yang cukup berjasa dalam bidang pendidikan Islam.
8.
Majlis Dakwah Islamiyah (MDI)
Majlis
Dakwah Islamiyah (MDI) didirikan oleh para tokoh Islam yang tergabung dalam golongan
karya pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto. MDI
merupakan organisasi dakwah yang cukup berjasa dalam bidang dakwah pembangunan
melalui pengiriman tenaga dakwah di lokasi transmigrasi, khususnya di luar
Jawa. Tokoh MDI antara lain H. Chalid Mawardi.
9.
Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majlis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 26 Juli 1975. Yang bertugas
memberikan fatwa dan nasihat seputar masalah keagamaan dan kemasyarakatan
sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menjalankan pembangunan.
Pengurusnya terdiri dari beberapa tokoh Islam dari berbagai organisasi yang
ada. Tokoh – tokoh Islam yang pernah menjadi pengurus MUI antara lain : Prof.
KH Ali Yafie, DR. KH. MA. Sahal Mahfudz.
10.
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) adalah organisasi para cendekiawan
muslim di Indonesia yang didirikan oleh para cendekiawan atas dukungan
birokrasi, pada tahun 1990. Penggagasnya antara lain : Prof. DR. Ing. BJ.
Habibi yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada
pemerintahan era Orde Baru. ICMI banyak berjasa dalam penegakkan dakwah Islam
melalui jalur struktular dan birokrasi negara. Tokoh – tokoh ICMI merupakan
gabungan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia yang ada.
Di samping
organisasi Islam yang disebutkan di atas, sebenarnya masih terdapat berbagai
organisasi Islam lainnya. Organisasi – organisasi tersebut antara lain :
Gabungan Usaha – Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI), Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA), Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), Badan Kontak Majlis Ta’lim
(BKMT), Forum Umat Islam (FUI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Persatuan
Muslimin Indonesia (PERMI), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam
(PERSIS), Mathlaul Anwar (MA), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah)
dan lain – lain.[18]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
islam masuk di Indonesia pada awal abad 13 dan langsung
menggantikan hindu, namun adat dan
kebiasaan Hindu masih tetap bertahan ini berarti bahwa pada saat itu sudah
mulai ada persenyawaan antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam. Islam
mengalami perkembangan dan penyebaran sebagai agama resmi masyarakat pada
sekitar abad ke 15-16, namun bersamaan dengan situasi ini budaya Eropa Belanda
mulai berpengaruh di Indonesia, karena pada akhir abad ke 16 Belanda mulai datang
ke Indonesia. Budaya kaum colonial Belanda mulai mencengkeram, kedatangan
mereka ke Indonesia disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan ekonomi, mereka
ingin mendapat keuntungan besar dengan berniaga. Faktor lainnya yaitu hasrat
untuk menyebarkan agama Kristen dan melawan orang islam. Perlawanan dari
raja-raja Islam terhadap pemerintahan kolonial seakan tidak pernah henti. Sehingga
sejak saat itu timbul permusuhan terus-menerus antara Indonesia-Belanda, baik
berupa perang dingin maupun perang sebenarnya.
2.
Saran-saran
Dengan memahami dan menguasai berbagai teori tentang peradaban Islam dari berbagai referensi
diharapkan dapat membantu kita dalam memahami segala sesuatu mengenai sejarah
Islam sampai Islam di masa sekarang. Para mahasiswa hendaknya sering membaca, karena dengan sering membaca akan terbiasa untuk memahami
dan bisa mengambil hikmah dari sejarah islam di masa lalu untuk perkembangan
Islam di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Amin, Samsul Munir. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Kartodirdjo
,Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1987.
Jakub ,Ismail, Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta, wijaya,
1984.
Syukur
,Fatih NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra,
2009.
Ibrahim
,Ahmad,dkk, Islam di Asia Tenggara Prespektif Sejarah, LP3ES,
Jakarta,1989.
s
[1] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010, hal:372.
[2] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010, hal:374.
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid 1,
Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 61.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000, hal 231.
[5] Ibid.,hal.65.
[6] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010, hal.376.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000, hal. 234.
[8] Ismail Jakub, Sejarah Islam di
Indonesia, Jakarta, wijaya, 1984, hlm. 48.
[9] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang,
PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 214-215.
[10] Ismail Jakub, op. Cit, hlm. 49.
[11] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang,
PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 217-218.
[12] Ahmad Ibrahim,dkk, Islam di Asia Tenggara Prespektif Sejarah,
LP3ES, Jakarta,1989,hal.201.
[13] Badri Yatim,op.cit,hal.246.
[14] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang,
PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 217-218.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000, hal. 250.
[16] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010, hal.397-398.
[17] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang,
PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 400.
[18] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Amzah, 2010, hal.429.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar