Hayatun Thoyyibah
2021216012
Kelas L (Reguler Sore)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN 2017
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “PAKET ULUL
ALBAB” ini dengan baik dan tepat
waktu. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW. Semoga kita termasuk umat Beliau yang mendapat syafaat baik di
dunia maupun di akhirat. Aamiin.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Bapak
Muhammad Hufron, M.SI selaku Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada
umumnya dan bagi penyusun pada khususnya.
Pekalongan,
17 September 2017
Hayatun
Thoyyibah
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Tema....................................................................................................
1
B. Sub Tema ............................................................................................ 1
C. Arti Penting QS.
Ali-Imran 190-191 ………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
QS. Ali-Imran, 3 : 190-191 .................................................................. 2
B.
Tafsir Ayat ........................................................................................... 3
C.
Sebab Turunnya Ayat .......................................................................... 5
D.
Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Turunnya
Ayat 190-191 ……….. 6
BAB III PENUTUP
A.
Simpulan
.............................................................................................. 7
B.
Saran
.................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 8
PROFIL
PENULIS ………………………………………………………….
9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
TEMA
Tema makalah
ini berjudul “Paket Ulul Albab”, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Bapak
Muhammad Hufron, M.SI selaku Dosen pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi 1,
kepada penulis.
B.
SUB TEMA
Berbicara tentang
penciptaan benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan, dan gugusan
bintang-bintang, atau berbicara tentang pengaturan sistem kerja benda-benda
langit itu, demikian juga kejadian dan perputaran bumi, yang melahirkan silih
bergantinya malam dan siang atau perbedaannya dalam panjang dan pendeknya masa
masing-masing. Semua fenomena itu, menurut ayat 190 merupakan tanda-tanda
tentang wujud dan kemahakuasaan Allah SWT. bagi Ulul Albab, yakni orang-orang
yang mempunyai akal dan jiwa yang tidak diselubungi oleh kerancuan.
C.
ARTI PENTING QS. ALI-IMRAN 190-191
Manusia adalah
sebaik-baiknya makhluk, yaitu yang menempati derajat tertinggi dihadapan Allah
SWT. oleh karena itu, kita sebagai manusia yang beriman harus selalu terus
menerus mengingat Allah SWT dengan ucapan atau hati, dimana saja dan dalam
situasi kondisi kapan saja, seperti saat bekerja atau istirahat, sambil berdiri
atau duduk dan bahkan berbaring sekaligus kita diperintahkan untuk selalu ingat
kepada Allah SWT dan merenungkan apa yang telah diciptakan-Nya seperti langit
dan bumi beserta seluruh seisinya, guna mengantar kepada kesadaran tentang
keesaan Allah SWT. dan tujuan hidup, yakni mengabdi kepada-Nya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. QS. ALI IMRAN, 3 : 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي
الألْبَابِ ﴿١٩٠﴾
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾
Terjemahan :
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.[1]
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.[2]
Penafsiran Kata-kata Sulit :
Al-Khalq : Penciptaan
As-Samawat : Langit
Al-Ardhu : Bumi
Ikhtilafu ‘I-Lail wa ‘n-Nahar :
Silih bergantinya siang dan malam
La Ayatin : Terdapat tanda-tanda
Al-Albab : Akal
Qiyaman wa Qu’udan : Berdiri dan duduk
Bathilan : Sia-sia yang tidak ada
faedahnya
Subhanaka : Maha Suci Allah
Qina ‘Adzaba ‘n-Nari : Jadikanlah amal saleh itu sebagai tameng bagi kami dari
adzab neraka.[3]
B. TAFSIR AYAT
190. Kelompok ayat ini merupakan penutup surah Ali
Imran, ini antara lainterlihat pada uraian-uraiannya yang bersifat umum,
setelah dalam ayat-ayat yang lalu menguraikan hal-hal yang rinci. Kendati
demikian, sebagaimana terbaca pada ayat 189, di sana ditegaskan kepemilikan
Allah SWT atas alam raya, maka di sini Allah menguraikan sekelumit dari
penciptaan-Nya itu serta memerintahkan agar memikirkannya, apalagi seperti
dikemukakan pada awal uraian surah ini bahwa tujuan utama surah Ali Imran
adalah membuktikan tentang Tauhid, keesaan dan kekuasaan Allah SWT. Hukum-hukum
alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya ditetapkan dan di
atur oleh Allah Yang Maha Hidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha
Mengelola segala sesuatu). Hakikat ini kembali ditegaskan pada ayat ini dan
ayat mendatang, dan salah satu bukti kebenaran hal tersebut adalah mengundang
manusia untuk berpikir, karena Sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian
benda-benda angkasa seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang
yang terdapat di langit atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang
sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi dan porosnya,
yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang perbedaannya
baik dalam masa, maupun dalam panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan
Allah bagi ulul albab, yakni orang-orang yang memiliki akal yang murni.[4]
Kata al-albab adalah bentuk jamak dari lubb yaitu
saripati sesuatu. Kacang, misalnya memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi
kacang dinamai lubb. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal
yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kekuasaan Allah SWT.
Ayat ini mirip dengan ayat 164 surah al-Baqarah, hanya
saja disana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya
tiga. Buat kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena memang pada
tahap-tahap awal seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak
argumen akliah, tetapi setelah melalui beberapa tahap, ketika kalbu telah
memperoleh kecerahan, maka kebutuhan akan argumen akliah semakin berkurang,
bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudera ma’rifat.
Selanjutnya kalau di sana bukti-bukti yang disebutkan adalah hal-hal yang
terdapat di langit dan di bumi, maka di sini penekanannya pada bukti-bukti yang
terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti tersebut lebih menggugah hati dan
pikiran, dan lebih cepat mengantar seseorang untuk meraih rasa keagungan Ilahi.
Di sisi lain, ayat al-Baqarah 164, ditutup dengan menyatakan bahwa yang
demikian itu merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal (لايات لقوم يعقلون) sedang pada ayat ini
setelah mereka berada pada tahap yang lebih tinggi, maka mereka juga telah
mencapai kemurnian akal sehingga sangat wajar ayat ini ditutup dengan (لايات لاؤلي الالباب).
Sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul SAW. Seringkali
membaca ayat ini dan ayat-ayat berikut kalau beliau bangun sholat tahajut di
malam hari. Imam Bukhori meriwayatkan melalui Ibn Abbas yang berkata bahwa
suatu malam aku tidur dirumah bibiku Maimunah. Rasul SAW. berbincang dengan
keluarga beliau beberapa saat, kemudian pada sepertiga malam terakhir, beliau
bangkit dari pembaringan dan duduk memandang ke langit sambil membaca ayat ini.
Lalu beliau berwudhu dan shalat sebelas rakaat. Kemudian Bilal azan Subuh, maka
beliau shalat dua rakaat, lalu menuju ke masjid untuk mengimami shalat jamaah
shalat Subuh.[5]
191. Ayat ini menjelaskan sifat-sifat Ulul Albab, yang
disebut pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang baik lelaki maupun
perempuan yang terus menerus mengingat Allah SWT. dalam seluruh situasi dan
kondisinya: berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring. Mereka memikirkan
tentang penciptaan dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu
berkesimpulan bahwa: Tuhan tidak menciptakan alam raya dan segala isinya dengan
sia-sia atau tanpa tujuan yang hak. Mereka juga menyucikan Allah SWT. dari
segala kekurangan dan keburukan yang mereka dengar atau terlintas sesekali
dalam benak mereka. Di samping itu, mereka selalu memohon kiranya dilindungi
dari azab neraka.[6]
Arti dari ayat 191 ini
melukiskan suatu gambaran yang hidup, berupa penerimaan yang baik terhadap
kesan-kesan alam semesta kepada pikiran yang sehat. Sebuah lukisan yang hidup
berupa tanggapan yang baik terhadap kesan-kesan yang dibentangkan kepada
pandangan dan pikiran terhadap desain alam semesta serta terhadap siang dan
malam.
Al-Qur’an mengarahkan hati dan
pandangan manusia secara berulang-ulang dan sangat intens untuk memperhatikan
kitab yang terbuka ini, yang tidak pernah berhenti halaman-halamannya
berbolak-balik. Maka, pada setaip halamannya tampaklah ayat yang mengesankan
dan mengkonsentrasikan di dalam fitrah yang sehat perasaan terhadap kebenaran
yang ada dalam halaman-halaman kitab alam semesta yang terbuka, dan terhadap
desain bangunan ini. Juga terhadap keinginan untuk mematuhi pencipta makhluk
dan menitipkan kebenaran ini, disertai dengan rasa cinta dan takut kepada-Nya
dalam waktu yang sama.[7]
Di atas terlihat bahwa objek
zikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa
fenomena alam. Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan
kepada kalbu, sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir.
Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi
ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat dipahami
sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,
“Berpikirlah tentang makhluk Allah, dan jangan berpikir tentang Allah.”
C. SEBAB TURUNNYA AYAT
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim
dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Orang-orang Quraisy datang menemui orang-orang
Yahudi dan bertanya, “Ayat apa yang Musa bawa kepada kalian?” orang-orang
Yahudi itu menjawab: “tongkatnya, dan tangannya berwarna putih jika orang-orang
melihatnya.” Kemudian mereka mendatangi orang-orang Nashrani dan bertanya,
“Ayat apa yang Isa bawa kepada kalian?” orang-orang Nashrani menjawab: “Ia
dapat menyembuhkan orang buta dari lahirnya, menyembuhkan penyakit sopak dan
menghidupkan orang yang mati.” Kemudian mereka datang kepada Nabi SAW dan
bertanya: “Memohonlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Ia menjadikan Shafa penuh
dengan emas”, kemudian Nabi berdoa, maka turunlah firman Allah, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang hari
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” maka agar mereka
berpikir di dalam hal tersebut.”[8]
D. PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT 190-191
1. Perlunya mempelajari dan merenungkan ciptaan Allah SWT. dan fenomena
alam, bukan hanya untuk mengetahui rahasia-rahasianya, tetapi juga dapat
mengantar kepada kesadaran tentang keesaan Allah SWT. dan tujuan hidup, yakni
mengabdi kepada-Nya.
2. Berpikir saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan zikir, yakni
mengingat Allah SWT. dengan mengaitkan segala sesuatu kepada-Nya. Itu dapat
dilakukan dengan segala cara dan dalam semua situasi.
3. Objek pikir yang merupakan kerja akal adalah alam raya dengan segala
fenomenanya, sedang objek zikir yang merupakan kerja hati adalah Allah SWT.
4. Berdoa menghindar dari neraka saja tidak akan cukup, kecuali jika
diikuti oleh usaha berbuat baik disertai kesadaran bahwa betapa pun kebaikan
telah dilakukan, namun kekurangan dan kesalahan masih tetap saja tidak dapat
dihindari.
5. Malu dihina dan dipermalukan adalah sifat Ulul Albab. Ini berarti budaya
malu adalah sifat yang sangat terpuji.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Kata al-albab adalah bentuk jamak dari lubb yaitu
saripati sesuatu. Kacang, misalnya memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi
kacang dinamai lubb. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal
yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat
melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kekuasaan Allah SWT.
Sebagai umat Islam, kita harus
selalu berfikir positif dengan Allah SWT terhadap apa saja yang telah Dia beri
untuk kita, karena semua yang diberikan untuk kita adalah yang terbaik baginya.
Luangkanlah sedikit waktu untuk selalu mengingat Allah dan merenungi ciptaannya
yang begitu indah sehingga kita selalu bersyukur dengan nikmat yang telah
diberikan kepada kita.
B.
SARAN
Demikian makalah yang dapat
penulis sajikan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena penulis juga masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu,
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki
penulis menulis makalah di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Imam. 2014.
Asbabun Nuzul. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Bisyri, Kyai
Musthafa. 1959. Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz. Kudus. Menara Kudus.
Musthafa, Ahmad Al-Maraghy. 1986. Terjemah Tafsir Al Maraghi Jilid
IV. Semarang. Penerbit Toha Putra Semarang.
Quraish, M. Shihab. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan
Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an jilid I. Tangerang. Lentera Hati.
Quraish, M. Shihab. 2002. TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an Jilid II. Jakarta. Lentera Hati.
Quthb, Sayyid.
2001. Fi Zhilalil Qur’an. Jakarta. Gema Insani Press.
PROFIL PENULIS
NAMA : HAYATUN THOYYIBAH
TTL : PEKALONGAN, 22 JUNI 1995
ALAMAT :
JL.JENDRAL SUDIRMAN GANG.6 NO.43 KEBULEN, PEKALONGAN BARAT
STATUS ANAK KE : 3,
DARI 3 BERSAUDARA
RIWAYAT PENDIDIKAN : 1. TK
MASYITHOH 11 KEPUTRAN, PEKALONGAN
2. SDN 6 KEPUTRAN, PEKALONGAN
3. MTs RIBATUL MUTA’ALLIMIN LANDUNGSARI, PEKALONGAN
4. MA RIBATUL MUTA’ALLIMIN LANDUNGSARI, PEKALONGAN
5. SEDANG MENEMPUH PENDIDIKAN S1
FAKULTAS TARBIYYAH ILMU DAN KEGURUAN JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI IAIN PEKALONGAN
SEJAK TAHUN 2016
[1]Kyai Bisyri Musthofa, Tafsir al-Qur’an Al-Aziz Juz 1-10, (Kudus:
Menara Kudus, 1959), hlm. 188.
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghy, Terjemah Tafsir Al Maraghi Jilid IV, (Semarang:
Penerbit Toha Putra, 1986), hlm. 286.
[4]M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an Jilid II., (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 306-307.
[6]M. Quraish Shihab, AL-LUBAB Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah al-Qur’an jilid I, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 157.
[8]Imam As-Suyuthi, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2014),
hlm. 124.
[9]Op.Cit., M. Quraish Shihab, AL-LUBAB Makna, Tujuan, dan
Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an jilid I, (Tangerang: Lentera Hati,
2012), hlm. 158-159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar