HIKMAH DAN ILMU KESEMPURNAAN AKAL
(Q.S. AL-QASHAS 28:14)
Navana Dewi :2021216004
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) PEKAL PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “hikmah ilmu dan kesempurnaan akal” guna menyelesaikan tugas mata kuliah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan adanya penyusunan makalah seperti ini, dapat menambah pengetahuan kita. Semoga segala yang telah kita kerjakan merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Tema
Kedudukan
ahli ilmu
b. Sub tema
Hikmah
dan ilmu kesempurnaan akal (Q.S. Al-Qashas 28:14)
c. Mengapa penting dibahas
Sub tema ini penting dibahas agar manusia bersyukur atas anugerah akal yang
diberikan oleh Allah yang menjadikan derajat manusia lebih tinggi.
Sehingga hendaknya dalam berperilaku
harus disertai dengan akal sehat karena manusia merupakam khalifah dibumi yang
wajib membangun dan menjaga bumi. Dengan akalnya manusia harus memanfaatkan
untuk berfikir bagaimana cara membangun dan memperbaiki bumi.
Akal juga berperan penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia karena pentingnya akal
tersebut, maka manusia harus menjaga akalnya dengan senantiasa berfikir
positif, mentauhidkan Allah SWT, mengagungkan Rasulullah SAW senantiasa memperhatikan
tanda-tanda kekuasaan Allah menjalankan syariat Islam dengan baik dan
mengamalkan hukum-hukum Islam.
Akal merupakan anugrah dari Allah SWT
untuk manusia yang memiliki fungsi dan manfaat luar biasa. Dengan akal membuat
manusia berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, dan menjadikan manusia dapat
berfikir dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Serta untuk
mengontrol tindakannya.
Fungsi akal ini adalah agar manusia dapat berfikir bagaimana upaya membangun
bumi, menjaga, dan melestarikan ciptaan-Nya. Akal manusia juga dapat digunakan
untuk berfikir tentang syariat Islam sehingga menjadi insan yang senantiasa mau
belajar dan menjalankan syariat Islam dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Qs. Al Qashas (28) : 14
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)
“Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan
ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
B.
Mufrodat
hikmah
|
$VJõ3ãm
|
dewasanya
|
xçxçn£ä©r&
|
Orang yang
berbuat baik
|
tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
|
ilmu
|
$VJù=Ïã
|
C.
Tafsir dan Penjelasan Qs. Al Qashas (28) : 14
1.
Tafsir Al-Mishbah
Ayat
tersebut menegaskan bahwa: dan setelah dia mencapai kemapanan umurnya dan sempurna jasmani dan ruhaninya, kami
anugrahkan kepadanya hikmah, yakni kenabian atau kearifan, atau amal ilmiah dan
pengetahuan yakni ilmu ilmiah.
Kata
xçn£ä©r&asyuddanu terambil
dari kata al-asyudd oleh sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak
dari katasyiddah/keras atau syudd. Kata tersebut dipahami dalam arti kesempurnaan
kekuatan. Berbeda pendapat ulama tentang usia kesempurnaan manusia. Ada yang
menyatakan 20 tahun, tetapi kebanyakan menilai dimulai dari usia 33 tahun atau
35 tahun. Thabathaba’i ketika menafsirkan QS. Yusuf [12]:22: memahaminya dalam
arti usia muda tnpa menentukan tahun sampai dengan usia 40 tahun. Tetapi ulama itu ketika menafsirkan ayat ini menyatakan
bahwa pada galibnya kesempurnaan itu terjadi sekitar usia 18 tahun.
Kata
ini ada yang memahaminya berfungsi sebagai menguatkan kata asyuddahu tetapi
pendapat yang lebih tepat adalah usia
puncak kesempurnaan akal. Dalam QS. Al-ahqaf [46]:15 dinyatakan bahwa sehingga
apabila dia telah mencapai asyuddahu dan mencapai empat puluh tahun. Ini
mengesankan bahwa ada awal kesempurrnaan dan ada akhirnya. Kita dapat berkata
bahwa awalnya sekitar dua puluhan dan puncaknya empat puluh tahun. Sesudah itu
kekuatan sedikit demi sedikit menurun dan menurun.
Thabathaba’i
memahaminya kata $VJõ3ãm hukuman dalam arti ketepatan pandangan menyangkut substansi satu
persoalan dan kebenaran penetapannya. Dan ini pada akhirnya berarti keputusan
yang benar menyangkut baik buruknya satu pekerjaan serta penerapan keputusan
itu.
Kata
ûüÏZÅ¡ósßJø9$#al-muhsininjamak
dari kata al-muhsin. Kata ihsan menurut al harrali sebagaimana
kutipan al-biqa’i, adalah puncak kebaikan amal perbuatan.
Ar-Raghib
al-Asfahani berpendapat bahwa kata ihsan digunakan untuk dua hal. Pertama,
memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Karena itu, kata
tersebut lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah”. maknanya bahkan
lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna kata Adil[1]
2.
Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menceritakan bahwa Dia telah
melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa
diwaktu kecil,
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)
Setelah tubuhnya
kuat dan akalnya sempurna, maka kami memberinya pemahaman agama dan pengetahuan
tentang syari’at. Hal ini ditegaskan oleh Allah didalam firman-Nya yang lain.
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu
dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha
Lembut lagi Maha Mengetahui.”
Sebagaimana kami telah
memberi balasan kepada Musa atas ketaatannya kepada Kami dan memberinya
kebaikan atas kesabarannya terhadap perintah Kami, maka demikian pula Kami
membalas setiap hamba yang berbuat kebajikan, mentaati perintah dan menjauhi
larangan Kami.[2]
3.
Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah cukupp umurnya dan dewasa, Kami berikanlah kepadanya
Hukum dan Ilmu.” (pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang
lebih 30 tahun dia menjadi “anak angkat” fir’aundari kecil dibesarkan dalam
istana fir’aun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah terbiasakan membawanya
pulang dari istana, bahkan dia diasuh dan dibimbing dirumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa keistana. Dengan demikian
maka keluarga Imran, yaituu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari
hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun pun telah mendapatkan pekerjaan
yang layak di istana dan leluasa masuk
istana. Keluarga Musa sebagai keluarga Bani Israel golongan yang tertindas dan
dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat” telah mendapat hak istimewa yang
tidak didapat oleh Bani Israel yang lain. Keadaan ini pernah diuraikan oleh
Musa dihadapan Fir’aun.
Lantara itu, meskipun dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak
terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya.
Dia telah selalu melihat ketidak adilan yang dilakukan oleh fir’aun dan segala
kaki-tangannya teradap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang
pahit, yang dilihat yang didengar
menambah pengetahuan mana yang adil dan mana yang zalim,keadaan yang
disaksikan tiap hari juga menambah
matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya
anugrah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak
bangsawan dan dalam masyarakat diajar ileh pengalaman pengalaman dan melihat
kepincangan-kepincangan yang berlaku
terhadap rakyat yang lemah. “Dan demikianlah kami mengajari orang-orang yang
berbuat baik”.[3]
4.
Tafsir ibnu katsier
Ayat ini mengisahkan peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa a.s
sebelum ia diutus sebagai seorang Rasul, dimana ia setelah cukup umur dan
sempurna akalnya, Allah memberikan hikmah dan pengetahuan, diceritakan
peristiwa yang dialaminya yang mengantar ketingkat yang ditakdirkan Allah
baginya, yaitu tingkat kenabian dan kesempatan bermunajat langsung kepadanya.[4]
D.
Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
Dalam
ayat al-Qur’an menganjurkan agar manusia menggunakan akal pikirannya untuk mencapai
hasil yang dicita-citakan. Inilah iklim
baru yang dibentuk oleh al-Qur’an dalam rangka mengembangkan akal pikiran
manusia serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.[5]
Qs. Al-Qashash ,
menunjukkan bahwa Allah SWT membuktikan kebenaran janji-janjinya. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan kisah Nabi musa yang di hanyutkan di sungai untuk
menghindari dibunuhnya oleh Fir’aun, namun pada akhirnya ditemukan oleh Fir’aun
dan diangkat menjadi anak. sebenarnya banyak indikator yang menunjukkan bahwa
itu adalah bayi dari Bani Isra’il , selain itu juga telah dapat dikira kirakan
bahwa kurang lebih 30 tahun dia ( Nabi Musa AS) menjadi anak angkat fir’aun,
dari kecil dibesarkan dalam istana fir’aun.
Tetapi sejak kecil itu
pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh
, dibimbing di rumah ibunya sendiri dan di saat-saat yang perlu dibawa ke
istana. Petunjuk-petunjuk itu tidak disadari oleh fir’aun dan semua stafnya.
Dan ini membuktikan bahwa Allah melakukan apa yang di kehendakinya tanpa disadari oleh Fir’aun[6]
Dari kisah diatas kita
dapat menerapkan atau mengaplikasikan Qs.Al-Qashash ayat 14 dengan cara sebagai
berikut :
1.
Senantiasa beriman kepada Allah , dan mempercayai segala firman-Nya
2.
Senantiasa percaya bahwa Allah mampu mewujudkan apa yang tidak mungkin
menurut manusia
3.
Senantiasa menjadi seseorang yang baik dan sesuai dengan syari’at kerena
semua itu akan ada balasannya.
4.
Senantiasa berusaha dan tawakkal terhadap apa saja yang terjadi di dalam
hidup kita.
5.
Kita sebagai manusia hendaknya selalu menggunakan akal kita untuk menjawab
semua masalah kehidupan yang ada.
E. Aspek Tarbawi
a.
Allah SWT
akan selalu menepati janjinya
Hal ini
dibuktikan melalui QS Al-Qashash ayat 14 bahwa Allah Swt turun tangan untuk
membuktikan kebanaran janjinya. kendati sekian banyak indikator yang
menunjukkan bahwa bayi yang dibuang di sungai adalah bayi dari bani Israil yang
sangat dibenci oleh raja Firaun tetapi masih saja bayi itu diselamatkan dan
diasuh dalam istana raja Fir’aun tanpa ada yang menyadari bahwa itu adalah bayi
keturunan bani Israil
b.
Allah Swt
akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat baik.
Hal ini dibuktikan dari ibu nabi Musa yang selalu taat
kepada Allah bertakwa kepada Allah dan selalu berbuat baik, maka Aallah
membalasnya dengan mengembalikan Musa kepada ibunya setelah Musa dewasa dan
diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul
c.
Selalu
bertawakkal kepada Allah
Ketidakberdayaan,
kehati-hatian menghadapi ketetapan Allah SWT dengan tetap berusaha dan
menyerahkan semuanya kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
penafsiran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa QS, Al-Qashash berisi mengenai
kisah Nabi Musa As dari beliau lahir sampai dengan diangkatnya menjadi rasul.
Qs.Alqashash ayat 14 ini menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada manusia
akal yang sempurna ketika seseorang tersebut telah menginjak usia sekitar
asyuddu sekitar 20 – 40 tahun, dalam usia tersebut manusia telah mampu berfikir
mana yang baik dan mana yang buruk.
Selain itu
Allah juga akan memberikan balasan kepada orang-orang yang telah berbuat baik
sesuai dengan syari’at agama islam. dan perintah untuk percaya kepada janji-janji
Allah serta selalu bertawakkal kepada-Nya
DAFTAR PUSTAKA
Shihab. M. Quraish. 2002.Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentara Hati.
Al-Mraghi. Ahmad Mustaf. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Semarang:
PT karya Toha
Putra.
Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar.Jakarta: Pustaka
Panjimas.
H.
Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Dr. Munir. Ahmad. 2007.Tafsir
Tarbawi. Yogyakarta: Teras,
[1] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, ( Jakarta: Lentara Hati, 2002), hlm 317-318.
[2] Ahmad Mustafa
Al-Mraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT karya Toha Putra, 1993),hlm
78
[3] Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm 61
[4]H. Salim
Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1990), hlm 147
[5] Dr. Ahmad
Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta:
Teras,2007 ) hlm 69
[6]Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhaar, ( Jakarta : PT pustaka Panjimas,1982) hlm. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar