Laman

new post

zzz

Senin, 03 September 2018

TT E KESEMPURNAAN AKAL (Q.S.Al-Qashash:14)

KESEMPURNAAN AKAL
(Q.S.Al-Qashash:14)
 Bilqist Ummu Habibah
(2117050)
 KELAS E

JURUSAN PAI
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018

                                                                                                      




KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah kami haturkan atas segala kenikmatan yang telah diberikan sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan segala kekuranganya. Sholawat serta salam selalu kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga kita bisa mendapat syafa’at nya di yamul akhir kelak.
Sehubungan dengan ditugasinya penulis untuk mengulas materi mengenai kesempurnaan akal , yang sumbernya berasal dari tafsir QS. Al-Qashash ayat 14 , maka penulis mencoba menghimpun dan mengulas buku-buku yang berhubungan dengan tafsir QS. Alqashash ayat 14 tersebut.
Uraian topik dalam makalah ini disusun secara sederhana,praktis dan sistematis sesuai dengan format yang telah ditentukan. adapun untuk penelusuran yang lebih jauh dan mendalam pembaca dapat mengadakan kajian pada buku buku rujukan yang telah disebutkan, dan buku lain yang dianggap berhubungan dengan pembahasan dalam makalah ini.
Kemudian kritik pembaca terhadap kekurangan makalah ini sangat diharapkan. semuanya penulis terima sebagai bahan perbaikan pembuatan makalah setelahnya. Akhirnya saran dari semua pihak akan penulis terima dengan baik, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya , dan penulis pada khususnya.



                                                                                    Pekalongan, September 2018
                                                                                               


Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna karena di anugerahi oleh akal pikiran. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang Allah ciptakan. Akal sendiri berfungsi untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, selain itu akal juga dapat menuntun kita ke jalan Allah. Dalam al qur’an pun telah banyak disebutkan mengenai penggunaan akal seperti afalaa ta’qiluun, afalaa ya’lamuun, afalaa tafakkarun, dan lain sebagainya. Kisah Nabi Musa di dalam surat Al-Qashash ayat 14 menjadi bukti kesempurnaan akal pada manusia, dimana ada beberapa penafsiran tentang ayat tersebut serta sampai tahap-tahapan kesempurnaan akal.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep ilmu dan akal pada manusia menurut pandangan al-Qur’an dan hadits?
2.      Bagaimana dalil serta tafsir dari Q.S. Al-Qashash ayat 14?
3.      Bagaimana penerapan Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam kehidupan sehari-hari?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui konsep ilmu dan akal pada manusia menurut pandangan al-Qur’an dan hadits.
2.      Untuk mengetahui dalil serta tafsir dari Q.S. Al-Qashash ayat 14.
3.      Untuk mengetahui penerapan Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam kehidupan sehari-hari.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Ilmu dan Akal Manusia
1)      Konsep ilmu
Dalam al-Quran disebut banyak sekali ayat yang membahas tentang ilmu. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya ilmu itu kepada manusia, khasnya untuk membina akal dan individu kearah yang baik, sempurna dan mendapat keredhaan Allah di dunia dan akhirat. Islam amat menuntut umatnya mencari dan mempelajari ilmu, baik ilmu yang merupakan ilmu fardhu ain, maupun ilmu berbentuk fardu kifayah. Di mana ilmu merupakan asas yang penting kepada seseorang dalam menjalani kehidupan atau untuk melaksanakan apa yang diperintah. Tidak mungkin seseorang yang tidak berilmu dapat melaksanakan apa yang diperintahkan dengan sempurna. Dengan kata lain, orang yang berilmu sajalah dapat mendekatkan diri kepada Allah dan bertaqwa dengan hakikat sebenarnya. Dalam konteks lain juga, Islam menyanjung tinggi orang yang alim dan berilmu. Orang yang berilmu diangkat ke darjat yang tinggi dan mulia.[1]
2)      Konsep Akal
Akal merupakan asas penting kepada manusia dan dengannya dapat membedakan derajat manusia dengan makhluk lain. Akal merupakan asas asal dan konsep utama menyebabkan manusia itu dipertanggungjawabkan dengan taklif serta syarat seseorang itu sempurna. Oleh itu anugerah akal merupakan suatu nikmat dan rahmat yang besar. Lantaran akal adalah amanah seperti nikmat lain. Peran akal menurut al-Quran dan al-Sunnah ialah sebagaimana berikut:
a.       Akal berperan untuk mengkaji dan mendalami serta mempelajari ilmu. Akal yang dikurniakan kepada manusia itu hendaklah digunakan semaksimal mungkin untuk mengambil kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan  Untuk itu, al-Quran membuka ruang yang selebar mungkin kepada
manusia supaya menggunakan akal mereka untuk mencari ilmu, baik Ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan ilmu yang berkaitan dengan akhirat atau keagamaan.
b.      Akal berperan untuk mempelajari dan memahami wahyu Allah. Dengan anugerah akal yang Allah berikan, menyebaban seseorang itu berilmu sehingga dirinya mendapat kedudukan yang mulia.
c.       Akal merupakan salah satu syarat manusia di taklifkan dan akal yang tidak diarahkan kejalan yang benar menurut syara’ atau akal yang lalai akan menunaikan perintah Allah menyebabkan seseorang itu berdosa dan masuk neraka.
d.      Akal merupakan sumber utama untuk mengenal Allah, melalui sifat-sifat dan bukti kekuasaan-Nya.
e.       Akal membawa peran positif untuk manusia. Karena dengan akal manusia bisa menilai mana tu kebaikan dan mana itu keburukan. Apabila manusia itu belum mengetahuimya, hendaklah ia mengarahkan akalnya untuk berusaha dan bertanya pada orang-orang yang berpengetahuan.
https://medium.com/.../bab-5-konsep-ilmu-akal-992f622fd71
B.     Dalil dan Tafsir Hikmah dan Ilmu : Kesempurnaan Akal
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهٗ وَاسْتَوٰى اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْن ١٤
Artinya : “ Dan setelah dia (Musa) cukup umur dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. “
1)      Tafsir Jalalayn
 (Dan stelah Musa cukup umur) telah mencapai umur tiga puluh tahun atau tiga puluh tiga tahun (dan sempurna akalnya) yaitu telah mencapai umur empat puluh tahun (Kami berikan kepadanya hikmah) yakni kebijaksanaan (dan ilmu) yatu pengetahuan tentang agama sebelum ia diutus menjadi Nabi. (Dan demikianlah) Kami memberikan balasan kepada Musa (Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik) untuk diri mereka sndiri.

2)      Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah Musa cukup umurnya dan dewasa, Kami berikan kepadanya Hukum dan Ilmu.” Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi “Anak angkat” Fir’aun. Dari kecil dibesarkan dalam istana Fir’aun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing dirumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa ke istana. Dengan demikian maka keluarga Imran yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun un telah mendapat pekerjaan yang layak diistana dan leluasa masuk istana. Keluarga Musa, sebagai keluarga Bani Israil golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat” telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh keluarga Bani Israil yang lain. Keadaan ini pernah diuraikan oleh Musa dihadapan Fir’aun sendiri kemudiannya, sebagai yang tersebut pada ayat 22 dari Surat 26 asy Syu’ara.
Lantaran itu, meskipun dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia  selalu melihat perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir’aun “wa malai-hi” dan segala kaki tangannya terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar menambah pengetahuannya tentangg mana yang adil dan mana yang zalim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memegang hukum, tentu begitu mestinya. Dia pun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan kepada rakyat. Kalau yang bersalah itu kaum Quthbi, kaum Fir’aun sendiri, kesalahannya itu akan ditutup-tutup. Tetapi kalau Bani Israil yang bersalah, maka hukumnya sangat kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak orang bangsawan dan dalam masyarakat diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah “Dan demikianlah Kami mengganjari orang-orang yang berbuat baik.”
Pada ujung ayat ini dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi dan Rasul, dengan kehendak Tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti hukum dan berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini adalah orang-orang yang mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya,kedua istri Fir’aun yang budiman itu. Dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[2]
3)     Tafsir Al Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menceritakan bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa diwaktu kecil, seperti menyelamatkannya dari kebiasaan setelah diletakkan didalam peti dan dilemparkan kesungai, serta menyelamatkan dari penyembelihan yang melanda anak-anak Bani Israil. Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia melimpahkan nikmat kepadanya ketika dewasa, seperti memberinya ilmu dan hikmah, kemudian mengutusnya sebagai rasul dan Nabi kepada Bani Israil dan bangsa Mesir. Selanjutnya Allah menceritakan bahwa Musa membunuh seorang bangsa Mesir yang berkelahi dengan orang Yahudi dengan tinju yang mengakibatkan kematiannya. Lalu Musa memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya tersebut, dan bertekad tidak menolong seorang yang sesat dan berdosa. Tetapi manakala melihat perkelahian lain antara orang Yahudi tersebut dengan orang Qibti yang lain, Musa terdorong untuk menolong kembali orang Yahudi tersebut, sehingga orang Mesir itu berkata, “Apakah kamu hendak mengadakan perdamaian dimuka bumi, ataukah hendak menjadi orang yang berbuat sesuatu tanpa memikirkan akibatnya dan menjadi orang yang mengadakan kerusakan?”
     
                            Penjelasan :
Setelah tubuhnya kuat dan akalnya sempurna, maka kami memberinya pemahaman agama dan pengetahuan tentang syari’at. Sebagaimana Kami telah memberi balasan kepada Musa atas ketaatannya kepada Kami dan Kami memberinya kebaikan atas kesabarannya terhadap perintah kami, maka demikian pula kami membalas setiap hamba yang berbuat kebajikan, mentaati perintah dan laarangan kami.[3]

4)      Tafsir Al-Misbah
Kata ( اشده ) terambil dari kata ( الاشد) yang oleh sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak dari kata ( شد) kata tersebut dipahami dalam arti kesempurnaan kekuatan. Ulama dalam hal ini berbeda pendapat dalam usia kesempurnaan manusia. ada yang menyatakan 20 tahun , tetapi kebanyakan menilai dimulai dari usia 33 tahun. Thabatthaba’i menafsirkan ayat ini bahwa pada gholibnya kesempurnaan itu terjadi sekitar usia 18 tahun.
Kata ( استوى ) kata ini ada yang memahaminya berfungsi menguatkan kata “Asyuddahu”, tetapi pendapat yang lebih tepat adalah usia puncak kesempurnaan kekuatan. Thabathaba’i memahaminya dalam arti ketenangan hidup, dan ini berbeda antara seseoranag dengan seseorang lain , walaupun menurutnya pada umumnya terjadi setelah seseorang mencapai umur asyudd.
Tabathtabai memahami kata (حكما) dalam arti” ketepatan pandangan menyangkut substansi satu persoalan dan kebenaran penerapannya yang pada akhirnya berarti keputusan yang benar menyangkut baik buruknya satu pekerjaan serta penerapan keputusan itu.
Kata (المحسنين) adalah jamak dari kata محسن . Kata ihsan menurut al-Harrali sebagaimana dikutip dari al-Biqa’i adalah puncak kebaikan amalperbuatan.
Ar-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa kata ihsan digunakan untuk dua hal. Pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Karena itu, kata tersebut lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah”. maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna kata Adil. [4]


C.    Penerapan Q.S.Al-Qashash ayat 14 dalam kehidupan sehari-hari
1.      Senantiasa beriman kepada Allah dan mempercayai segala sifat-sifat dan kebesaran-Nya.
2.      Selalu percaya bahwa Allah pasti akan menepati janji-janjiNya dan mewujudkan apa yang tidak mungkin untuk manusia.
3.      Selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang baik sesuai syariat dan percaya bahwa itu tidak sia-sia.
4.      Selalu beikhtiar, bertawakkal, dan berdoa atas apa yang terjadi dihidup kita.
5.      Senantiasa memanfaatkan akal yang telah dianugerahkan Allah untuk kita yaitu berpikir dan mampu membedakan yang baik dan buruk.




.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian penafsiran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa QS, Al-Qashash berisi mengenai kisah Nabi Musa As dari beliau lahir sampai dengan diangkatnya menjadi rasul. Qs.Alqashash ayat 14 ini menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada manusia akal yang sempurna ketika seseorang tersebut telah menginjak usia sekitar asyuddu sekitar 20 – 40 tahun, dalam usia tersebut manusia telah mampu berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.
Selain itu Allah juga akan memberikan balasan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai dengan syari’at agama islam. dan perintah untuk percaya kepada janji-janji Allah serta selalu bertawakkal kepada-Nya






















DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Maragi, ahmad mustafa.1993.Tafsir Al-Maragi.Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang
2.       Shihab, M.Quraish.TAFSIR ALMISHBAH:Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.Jakarta: Lentera Hati
3.      Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juz XX. Jakarta: Pustaka Panjimas.

4.      https://medium.com/.../bab-5-konsep-ilmu-akal-992f622fd71





[1] https://medium.com/.../bab-5-konsep-ilmu-akal-992f622fd71

[2] Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Yayasan Latimojong, Surabaya,1978,hlm.81-82
[3] Ahmad musthofa al-maraghi,Tafsir al Maraghi, CV Tohaputra, Semarag, hlm.69-70
[4] M.Quraisy shihab,  , Lentera Hati, hlm.561-563

Tidak ada komentar:

Posting Komentar