OBYEK PENDIDIKAN INDIRECT
"ORANG AWAM SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN"
Thoyibah
NIM. (2117325)
Kelas E
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sifat jahil manusia telah diungkapkan dalam Alqur’an sebagai sifat
dasar manusia. Manusia telah diberikan amanat untuk menjadi khalifah dimuka
bumi, amanat ini sudah ditawarkan Allah kepada semua ciptaan-Nya. Semua tiada
yang sanggup kecuali manusia.
Melihat
kenyataan yang demikian, memang banyak dijumpai akhirnya manusia tidak dapat
memegang amanat Allah yang diberikan kepadanya, lantaran dirinya jahil. Oleh
karena itu, ilmu akan sangat beperan
penting bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai salah satunya, Alqur’an merupakan wahyu Allah yang
didalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari manusia sebagai
petunjuk yang akan memberikan keselamatan kepadanya. Seperti yang terkandung
dalam Alqur’an yang menerangkan orang yang berbuat jahil dan kejahatan lalu ia
mendapat petunjuk yaitu dengan bertaubat. Maka dari itu dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengertian orang jahil dan ciri-cirinya khususnya yang
terkandung dalam surat an-nisa’ ayat 17 . Dengan demikian kita akan mendapat
pelajaran-pelajaran agar terhindar dari kejahilan.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa yang dimaksud dengan jahil?
b.
Apa dalil orang awam sebagai obyek pendidikan?
c.
Bagaimana penafsiran QS. An Nisa’ ayat 17?
d.
Bagaimana aspek kehidupan dalam QS. An Nisa’ ayat 17 ?
e.
Bagaimana aspek tarbainya dalam QS. An Nisa’ ayat 17 ?
C.
TUJUAN
A.
Untuk mengetahui pengertian jahil
B.
Untuk mengetahui dalil orang awam sebagai obyek pendidikan
C.
Untuk mengetahui penafsiran QS. An Nisa’ayat 17
D.
Untuk mengetabui aspek
kehidupan dalam QS. An Nisa’ ayat 17
E.
Untuk mengetahui aspek tarbawi dalam QS. An Nisa’ ayat 17
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI
Secara mudahnya jahil artinya bodoh. Al-Raghib memberikan catatan bahwa
jahil bukan semata-mata karena
ketidak-tahuan tentang sesuatu. Akan tetapi kebodohan dapat diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu :
1.
Kebodohan yang disebabkan karena ketiadaan ilmu pengetahuan pada
diri seseorang sehingga ia melakukan kesalahan dalam kontek ilm. Dan ini adalah
kebodohan yang paling dasar atau alami.
2.
Kebodohan yang dapat di kategorikan sebagai kesalahan Karena adanya
suatu keyakinan tertentu, dimana ketentuan tersebut ternyata bertolak belakang
dengan kebenaran yang sesungguhnya.
3.
Kebodohan yang disebabkan karena kesengajaannya untuk berpihak
kepada yang salah.
Ciri-ciri orang
jahil:
1.
Melakukan pertikaian dan perselisihan dalam memperebutkan kebutuhan
dunia.
2.
Melupakan dirinya akan mati.
3.
Hilangnya keimanan kepada Allah.
4.
Berbuat yang tidak ada manfaatnya.
5.
Malas menuntut ilmu
Dari pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa tiada yang
mampu membedakan manusia dan binatang kecuali pada ilmunya sebagai tolak ukur
seberapa mulia derajat nilai kemanusiannya. Jahl diantitesakan dengan kata ‘aql
yang sebagai lawannya adalah suatu kemampuan untuk menerima kebenaran dari cara
dan proses yang benar.[1]
B.
Nash dan arti Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 17
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ
بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ
وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا
"Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera,
maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana" (QS An-Nisa : 17).[2]
C.
Tafsir QS. An Nisa’ ayat 17
1.
Tafsir Al-Mishbah
Sesungguhnya taubat di sisi Allah,
yakni penerimaan taubat yang diwajibkan Allah atas diri-Nya sebagai salah satu
bukti rahmat dan anugerah-Nya kepada manusia, hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan, baik dosa kecil maupun dosa besar lantaran
kejahilan, yakni didorong oleh ketidaksadaran akan dampak buruk dari kejahatan
itu, yang bkemudian mereka bertaubat dengan segera, yakni paling lambat sesaat
sebelum berpisahnya ruh dari jasad, maka mereka itulah – yang kedudukannya
cukup tinggi – yang diterima Allah taubatnya; dan Allah sejak dahulu hingga
kini Maha Mengetahui siapa yang tulus dan taubatnya lagi Maha Bijaksana, yakni
menempatkan segala suatu pada tempatnya secara wajar, sehingga Dia menerima
taubat siapa yang wajar diterimanya dan menolak siapa yang pantas ditolak
taubatnya.
Kata
( جهالة) jahalah bukan berarti
bodoh atau tidak mengetahui. Karena siapa yang melakukan dosa, tanpa mengetahui
bahwa yang dilakukannya adalah dosa, maka pada hakikatnya tidak dinilai Allah
berdosa, dengan demikian, dia tidak wajib bertaubat.
Kata (من قريب ) min qarib berarti
sesaat sebelum kematian karena betapapun lamanya seseorang hidup didunia ini
waktu itu pada hakikatnya singkat dan jarak antara hidupnya di dunia dengan
kematian sangatlah dekat.[3]
2.
Tafsir Al-Maraghi
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ
بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
“Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera”
As-Su’ adalah
perbuatan jelek yang mengakibatkan pelakunya dinilai jelek, apabila ia berjiwa
sehat dan normal. Taubat disini mencakup dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar.
Al-Jahalahah,
kebodohan dan sifat dungu yang menguasai diri ketika syahwat telah memuncak
sampai kepala, atau ketika nafsu gadab memberontak, sehingga yang bersangkutan
kehilangan kesabaran dan lupa perkara yang hak. Setiap orang yang melakukan
maksiat (berbuat durhaka) kepada Allah dinamakan orang jahil. Kemudian
perbuatannya dinamakan jahalah (kebodohan).
فَأُولَٰئِكَ
يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“maka mereka itulah
yang diterima Allah taubatnya”
Mereka adalah yang telah melakukan perbuatan dosa secara tidak
mengerti (jahil). Tidak lama kemudian, ia bertaubat. Maka Allah memberi taubat
dan ampunan padanya, karena pengaruh dosa masih belum mendalam dalam jiwanya,
dan ia tidak menetapi perbuatannya itu karena ia mengetahui.
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dengan pengetahuan-Nya tentang perkara hamba dan kemaslahatan
hamba, membuat taubat mereka pasti diterima. Sebab Allah maha mengetahui
kelemahan hamba-hamba-Nya dan mereka sendiri tidak ada yang selamat (bersih)
dari perbuatan-perbuatan jelek. Andaikata Allah tidak mensyari’atkan kepada
mereka taubat, niscaya mereka akan hancur dan rusak karena pasti mereka tenggelam
dalam perbuatan-perbuatan maksiat, di samping menurut nafsu syahwatnya dan
bujukan setan. Sebab, mereka mengetahui bahwa diri mereka pasti hancur karena
itu. Sudah tidak ada gunanya lagi berjuang sekuat tenaga melawan hawa nafsu dan
membersihkan jiwanya.
Setelah Allah mensyari’atkan untuk mereka berdasarkan
kebijaksanaan-Nya, yaitu Dia mau menerima taubat, berarti telah terbuka pintu
keutamaan untuk mereka. Allah memberikan hidayah kepada mereka, bagaimana cara
menghapus kejelekan dengan kebaikan. Tetapi Allah hanya mau menerima taubat
yang tulus, bukan sekadar lisannya yang mengucapkan taubat, mengucapkan kalimat
istighfar dan menunaikan beberapa kiffarah melalui sedekah atau zikir-zikir,
akan tetapi dosa-dosanya masih tetap dilakukan.[4]
3.
Tafsir Al-Azhar
Terlanjur berbuat jahat karena kebodohan. Adanya ada juga orang
yang tahu, bahwa itu adalah perbuatan yang jahat, tetapi karena sangat keras
dorongan hawa nafsu, tidaklah tertahan lagi. Misalnya karena sangat marah, lalu
memukuli orang, atau karena sangat memuncak syahwat. Setelah diberi orang
nasehat, tetapi nasehat itu tidak mempan terhadapnya. Karena hidup belum banyak
pengalaman, masih seumpama bodoh. Demi setelah terlanjur berbuat salah,
timbullah sesal yang mendalam. Sehingga kesalahan itu sendiri sudah menambah
pengetahuannya, menghilangkan kebodohannya. Timbul tekanan batin yangan amat
sangat, lalu dia menyesal dan lekas-lekas diperbaikinya, lekas-lekas taubat.[5]
4.
Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta’ala berfirman, sesungguhnya Allah hanya akan menerima taubat
orang-orang yang melakukan kejahatan karena kebodohan. Kemudian dia bertaubat,
walaupun setelah melihat dengan jelas malaikat yang akan mencabut rohnya, asal
dia belum sekarat. Mujtahid dan ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan kebodohan ialah setiap orang yang durhaka lantaran salah atau sengaja
sebelum dia menghentikan dosanya itu. Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
dia berkata, “Diantara kebodohannya ialah dia melakukan kejahatan itu.”
“Kemudian mereka bertaubat sebentar kemudian.” Ibnu Abbas mengatakan, “Yang
dimaksud sebentar ialah jarak antara keadaan dirinya sampai dia melihat
malaikat maut. Adh-Dhahak berkata, “Dekat ialah sebelum seseorang sekarat.”
Sedangkan Ikrimah berkata, “Masa dunia seluruhnya disebut dekat”.[6]
D.
Aplikasi dalam Kehidupan
Dalam surat An-Nisa ayat 17 dapat diaplikasikan dalam kehidupan
yaitu dalam memerangi suatu kejahilan manusia dapat menggali ilmu agar tidak
tertinggal dalam hal pengetahuan khususnya mengenai agama yang sudah sepatutya
kita mengetahui ajaran-ajaran dalam agama yang dianut.
Menjadi pribadi yang yang baik tidaklah sulit hanya saja hawa nafsu
yang tinggi yang tidak dapat dikendalikan itu yang menjadi faktor utama. Dalam
suatu tindakan, sudah sepatutnya kita memikirkan dengan matang, tidak terburu
oleh hawa nafsu dan syahwat, apa yang akan kita lakukan tesebut merupakan
perbuatan yang baik atau sebaliknya. Dalam hal ini kita juga harus berdoa
kepada Allah agar dijauhkan dari perkara kejahatan, keburukan dan kebodohan
yang ada dalam kehidupan ini. Andaikata kita telah melakukan dosa yang dianggap
Allah itu buruk, dengan rasa sadar sudah seharusnya kita segera meminta ampun
kepada-Nya, mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya. Karena ia pasti akan
merima taubat hambanya yang bersungguh-sungguh. Bertaubatlah sebelum ajal
menemui karna orang yang bertaubat setelah meninggal itu tidaklah ada gunanya
dan tidak akan diterima taubatnya oleh Allah.
E.
Aspek Tarbawi
Nilai
pendidikan yang dapat kita ambil dalam surat an-Nisa ayat 17 ini, yaitu:
1.
Sudah sepatutnya sebagai khalifah di bumi, kita belajar dengan
sungguh-sungguh untuk memerangi kebodohan yang saat ini sudah merajalela. Dan
banyak orang bodoh yang bangga dengan kebodohannya.
2.
Kita harus senantiasa berpikir dengan matang, tidak terburu dengan
hawa nafsu sebelum melakukan sesuatu agar tidak melakukan kesalahan yang
membuat kita menyesal setelah melakukannya.
3.
Apabila merasa berbuat salah terhadap sesuatu yang tidak seharusnya
dilakukan maka kita harus segera memohon ampun kepada Allah dan bertaubat karena pintu taubat selalu
terbuka bagi orang yang menyegerakan taubatnya, menyesali perbuatan dosa dan
tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Karena taubat tidak akan
diterima ketika orang yang meninggal dalam keadaan kafir, dan orang-orang yang
mengakhirkan taubatnya.
4.
Kita harus senantiasa dapat menegendalikan hawa nafsu yang
bergejolak dalam diri kita yang dapat menjerumus pada hal yang tidak baik.[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan mengenai surat An Nisa aya 17 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
orang yang berbuat durhaka atau maksiat kepada Allah, jika ia mau menggunakan
pengetahuannya tentang pahala dan siksaan pastilah ia tidak akan melakukan
perbuatan maksiat itu, melainkan karena kebodahanya ia melakukan hal yang
dilarang oleh Allah. Jika hal ini terjadi maka ia harus segera bertaubat kepada
Allah karena Dia telah menjanjikan akan menerima taubat hambanya sebelum
manusia berpisah dengan ruhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hamka. 2004. Tafsir Al Ahzar Juz
IV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. 2006. Taisiru
Al-Aliyyatul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani.
Al Maraghy, Ahmad Mushthafa. 1986. Terjemah
Tafsir Al Maraghi. Semarang: PT Toha Putra.
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir
Al Misbah. Tanggerang: Lentera Hati.
Munir, Ahmad. 2008. Tafsir
Tarbawi. Yogyakarta: TERAS.
[1] Ahmad Munir, Tafsir
Tarbawi, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 105-106.
[2] Ahmad Mushthafa Al Maraghy, Terjemah Tafsir Al Maraghi,
(Semarang: PT Toha Putra, 1986), hlm. 376.
[3] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al Misbah, (Tanggerang: Lentera Hati, 2005), hlm.375-377.
[5] Hamka, Tafsir
Al Ahzar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 430.
[6] Muhammad Nasib Ar Rifa’i, Taisiru Al-Aliyyatul Qadir li
Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 670.
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 107-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar