Metode Pendidikan Special
“Metode Kisah”
(QS. Al-A’raf 176)
Muthoharoh
NIM. (2117357)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualikum
Wr. Wb.
Puji syukur
saya panjatkan kehadirat Allah atas curahan rahmat dan karunia-Nya, sholawat
dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
keluarga. Amin
Adapun
makalah Hadits Tarbawi ini sebagai bentuk pelaksanaan tugas makalah kelompok
tahun 2018/2019. Makalah ini berisi tentang “Metode Kisah” yang akan dibahas
pada tiap-tiap halamannya. Sehingga, dengan makalah ini pembaca diharapkan
dapat lebih memahami materi tersebut.
Kami
mengakui bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak dapat diselesaikan sendirian,
namun banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:
-Bapak
Dr, H. Ade Dedi Rohayana, M. Ag selaku Rektor I IAIN Pekalongan
-Bapak
Muhammad Hufron, M.S.I selaku dosen
pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi.
Semoga mereka
mendapatkan imbalan dari-Nya. Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran guna perbaikan dimasa mendatang.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Pekalongan, 19 Oktober 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semakin berkembangnya dunia dari tahun-ketahun mengakibatkan banyak
perubahan dalam diri dunia Islam. Baik dari segi agama, pendidikan, politik dan
seterusnya. Terutama dalam bidang pendidikan, akibat adanya sikap serba boleh
dan pemenjaan dari orang tua, banyak anak-anak terjerumus pada pergaulan yang
mengabaikan syari'at. Banyak kaum wanita melupakan fitrohnya sebagai seorang
ibu yang berkewajiban mendidik putra-putrinya. Sehingga mengakibatkan dunia
anak sia-sia. Pemberian andel yang cukup banyak dalam kesia-siaan trsebut
adalah metode pendidikan barat yang tampaknya telah menjadi kiblat pendidikan
kita. Sebenarnya islam mempunyai metode pendidikan yang sempurna kepada umat
manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu dalam makalah ini
kami akan sedikit membahas tentang metode-metode pendidikan dalam islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa hakikat dari metode kisah?
2.
Apa dalil dan tafsir metode
kisah dalam Al-Qur’an?
3.
Apa aspek tarbawi dari metode kisah?
C.
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui dan memahami hakikat metode kisah.
2.
Mengetahui dalil dan tafsir metode kisah dalam Al-Qur’an.
3.
Mengetahui dan memahami aspek tarbawi dari metode kisah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Metode Kisah
a.
Pengertian Kisah
Kisah
(al-qishshah) bermakna cerita (al-hadits), berita (khabar), bahan pembicaraan
(al-uhdutsah), tingkah (sya’n), dan keadaan (al-hal). Kisah Qur’ani atau kisah dalam
Al-Qur’an maksudnya adalah berita-berita Al-qur’an ihwal orang-orang terdahulu,
baik umat-umat maupun para Nabi yang telah lampau. Demikian juga, berita
mengenai peristiwa-peristiwa nyata dizaman dulu, yang memuat pelajaran dan
dapat diambil pelajaran bagi generasi yang datang setelahnya.[1]
b.
Metode Kisah
Metode Kisah
mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan
menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya suatu hal baik yang
sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja. Islam sebagai agama yang
berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits menepis image adanya kisah bohong,
kerena Islam selalu bersumber dari dua sumber yang dipercaya, sehingga cerita
yang disodorkan terjamin kesahihan dan keabsahannya.[2]
Muhammad Qutb berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada
dalam al-Qur’an dikategorikan ke dalam tiga bagian; pertama, kisah
faktual yang menonjolkan tempat, orang, dan peristiwa tertentu; kedua,
cerita faktual yang menampilkan suatu contoh kehidupan manusia, agar manusia
bisa mencontoh seperti pelaku yang disebutkan tersebut; ketiga, cerita
drama yang melukiskan fakta yang sebenarnya tetapi bisa diterapkan kapan dan
disaat apapun.
Jenis pertama misalnya cerita tentang nabi-nabi dan orang-orang yang
mengingkarinya serta segala hal yang mereka alami akibat pengingkaran itu.
Cerita tersebut menyebutkan nama-nama pelaku, tempat-tempat kejadian,
peristiwa-peristiwa secara jelas, seperti kisah Musa dan Fir’aun, Isa dan Bani
Israil, Salih dan Tsamud, Hud dan ‘Ad, Nuh dan kaumnya, dsb. Jenis kedua
misalnya kisah anak Adam dalam Surat Al Maidah 27-30. Sedangkan jenis ketiga
misalnya Surat Al Kahfi ayat 32-43. Secara garis
besar orang atau tokoh yang dikisahkan dalam al-Quran adalah orang yang sholeh
ataupun orang yang dzalim. Orang yang shaleh misalnya Lukman al- Hakim,
sedangkan yang dzalim misalnya Fir’aun. Kisah dengan menampilkan tokoh yang
shaleh bertujuan agar para pembaca meneladani tokoh tersebut dalam
keshalehannya. Dan kisah yang menampilkan tokoh yang dzalim bertujuan pula agar
para pembaca menjauhi sikap dan perbuatan tokoh tersebut.[3]
B.
Dalil Metode Kisah dalam Al-Qur’an
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ
عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan
kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”
a.
Tafsir Al-Maraghi
Setelah
Allah menceritakan tentang diambilnya janji dan sumpah terhadap Bani Adam seluruhnya, dan bahwa mereka diambil
kesaksiannya atas diri mereka sendiri, bahwa Allah adalah Tuhan mereka, mereka
tidak bisa beralasan lagi kelak pada hari kiamat atas kemusyikan mereka
terhadap Allah, baik dengan alasan tidak mengerti ataupun karena ikut-ikutan.
Maka dilanjutkan dengan memberi contoh tentang orang-orang yang mendustakan
ayatayat Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, setelah dikuatkan pula dengan
bukti-bukti logika maupun alam semesta, bahwa permisalan mereka adalah seperti
orang yang oleh Allah telah diberi pengetahuan tentang ayat-ayat-Nya (isi
Al-Kitab), dia alim tentang ayat-ayat tersebut, mampu menerangkannya pula,
bahakan pandai memperdebatkannya, tetapi dia tidak mau mengamalkannya meskipun
ia mengerti. Bahkan, amalnya ternyata berlawanan dengan ilmunya. Maka, oleh
Allah pun ayat-ayat itu dicabut-Nya. Karena, ilmu yang tidak diamalkan, pasti
akan hilang juga akhirnya. Persis seperti ular yang melukai kulitnya, lalu
pergi meninggalkannya tergeletak diatas tanah.
Dan
bacakanlah kepada orang-orang Yahudi, berita penting yang mengagumkan itu,
yaitu berita tentang orang yang telah kami beri pengetahuan mengenai
alasan-alasan tauhid, dan kami pahamkan tentang dalil-dalinya, sehingga dia
menjadi alim tentang alasan-alasan dan dalil-dalil tersebut, tetapi kemudian
dia melepaskan diri dari padanya dan meningalkannya dibelakang punggung mereka,
tak sudi meliriknya kembali agar memperoleh petunjuk darinya.
Pernyataan
dengan istilah “insilakh” memuat isyarat bahwa pengetahuan mereka mengenai tauhid
itu hanyalah bersifat lahiriyah saja, tidak sampai masuk dalam hati.
Dan
setelah dia membuat ayat-ayat Allah dengan kesengajaan dirinya, maka ia dikejar
oleh setan sampai tersusul dan dapat digoda olehnya. Karena sudah tidak tersisa
lagi padanya cahaya dala hati maupun rambu-rambu petunjuk, yang dapat
menghalangi dia dari menerima godaan setan dan mengikuti bisikannya, sehingga
jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat dan membuat kerusakan.
Kesimpulannya,
bahwa orang yang dimisalkan dalam ayat ini sebenarnya telah diberi petunjuk.
Namun, dia buang petunjuk itu dan lebih suka kepada kesesatan dan lebih
cenderung kepada dunia, sehingga ia menjadi bulan-bulanan setan, dan akhirnya
dia mengalami kebinasaan dan kehinaan, dan rugilah ia dunia dan ahirat.
Dan ayat ini
merupakan pelajaran dan nasihat bagi kaum Mu’minin, disamping peringatan bagi
mereka agar jangan sampai memperturutkan hawa napsu mereka, sehingga takkan
tergelincir ke dalam jurang yang telah menjerumuskannorang yang dimisalkan pada
ayat tersebut diatas, karena kecenderungannya kepada dunia dan kecondongannya
kepada keinginan-keinginan dan kelezatan-kelezatan duniawi.
Kalau
Kami mengehendaki agar orang itu kami angkat dengan ayat-ayat Kami tersebut dan
dengan mengamalkannya kepada derajat-derajat kesempurnaan dan pengetahuan, bisa
saja itu kami lakukan. Yaitu, kami buat petunjuk itu menjadi wataknya
benar-benar, dan Kami membuat dia mesti mengamalkannya, baik dengan suka hati
atau terpaksa. Karena bagi kami, itupun tidak sukar. Hanya saja bertentangan
dengan Sunnah kami.
Akan
tetapi orang itu cenderung dan lebih condong kepada dunia, dan seluruh
perhatian dalam hidupnya dia arahkan untuk menikmati kelezatan-kelezatan
jasmani, dan tiak ia arahkan kepada kehidupan ruhani sama sekali, namun tak puas-puas
juga. Akhirnya, hilanglah perhatiannya sama sekali untuk memikirkan ayat-ayat
kami yan telah Kami berikan kepadanya.
Sudah
menjadi Sunnatu ‘I-Lah pada manusia, bahwa dia memberi kebebasan kepadanya
untuk memilih sendiri amalnya yang dia punya kesiapa untuk melakukannya sesuai
dengan fitrahnya. Supaya balasan yang akan diberikan kepadanya sesuai dengan
apa yang dilakukan oleh tangannya, baik berupa amal baik atau amal buruk, dan
agar Allah menguji dia tentang perhiasan dan kenikmatan yang telah Dia ciptakan
di atas bumi.[4]
b.
Tafsir Al-Ibriz
Bal’am
Ibn Ba’ura itu pendeta besar, banyak
ilmunya, do’anya selalu diijabah, sebab punya pegangan “al ilmul adzim”. Oleh orang-orang
yang benci Nabi Musa. Bal’am diminta supaya mendoakan hal yang jelek kepada
Nabi Musa dan Sahabatnya, awalnya Bal’am tidak mau dan tidak berani, tetapi
karena banyaknya hadiah-hadiah Bal’am jadi mau melawan dan mendoakan sesuatu
yang jelek kepada Nabi Musa dan Sahabatnya. Namun, doanya malah kembali pada
dirinya sendiri, lidahnya keluar menjulur panjang sampai ke dada.
Apabaila
Allah mau, pasti berkuasa meninggikan derajatnya Bal’am tadi, sebab ayat-ayat
yang diberikan itu dilakukan (dipatuhi). Tetapi Bal’am mempunyai condong kepada
dunia dan menuruti hawa napsu, maka oleh Allah ta’ala Bal’am direndahkan
pangkatnya, sifatnya menjadi seperti sifatnya anjing, melet2 dan aibnya itu
diketahui banyak orang, dia tetap melet2. Dan seperti itu adalah sifatnya
orang-orang yang mengingkari ayat-ayatnya Allah ta’ala. Ceritakan Muhammad,
cerita-cerita tadi kepda orang-orang Yahudi supaya pada berpikir dan kemudian
beriman.[5]
c.
Tafsir Al-Azhar
Allah tetap bersedia mengangkat
manusia naik, asal dia sendiri tidak ingin hendak lekat saja di bumi karena
diilkat kakinya oleh hawanafsunya.
Alangkah hinanya perumpamaan yag diambil Allah
daripada rang yang menyilih baju ayat itu dan menukarnya dengan kufur. Laksana
anjing selalu kehausan, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas
oleh tamaknya. Anjing mengulukan lidah terus karena merasa belum kenyang, karena
hawanafsunya belum terpenuhi.
Menurut penafsiran Ibnu Jarir
at-Thabari, maka ceritakanlah olehmu hai rasul, cerita-cerita yang telah Aku
kisahkan kepada engkau ini, tentang berita yang telah datang kepada mereka ayat
Kami itu, dan berita tentang ummat-ummat yang telah Aku khabarkan kepada engkau
dalam surat ini, dan berita lain yang menyerupai itu, sampaikan juga betapa
akibat siksaan kami terhadap mereka, sebab mereka telah mendustakan rasul-rasul
yang kami utus. Dan hal yang seperti itu bisa saja sebelum engkau dari Yahudi Bani Israil.
Supaya mereka ikirkan hal ini baik-baik, supaya mereka mengambil i’tibar , lalu
mereka kembali kepada jalan yang benar, mereka taat kepada Kami.
Allah sendiri mengakui memang amat
buruk perumpamaan itu, mereka dimisalkan dengan anjing yang selalu kehausan,
selalu mengulurkan lidah, sebab selalu tidak puas. Perhatikanlah sejak ayat
sebelumnya. Tadinya ayat Allah ada dalam dirinya, lalu dia muntahkan kembali,
dia perturutkan pimpinan syaitan, lalu dia tersesat. Mau diangkat naik, dia
tidak mau, dia tetap lekat bumi, sebab yang berkuasa atas dirinya tidak lagi
iman, melainkan nafsu. Sedang batas
kehendak nafsu itu tidak ada, kalau tidak dibatasi dengan hidayat Allah padahal
hidayat Allah lah yang mereka dustakan[6]
C. Aspek Tarbawi
1. Kisah dalam Al Qur’an
menunjukkan betapa tingginya i’jaz Al Qur’an yang mampu menampilkan sesuatu
dengan berbagai pola untuk menarik respon pendengarnya.
2. Allah memerintahkan agar
menceritakan kisah dalam QS. Al-A’rof ayat 176.
3. Dalam dunia pendidikan,
kisah merupakan salah satu media untuk menembus relung jiwa manusia dalam
menyampaikan nilai tanpa menimbulkan rasa jenuh, kesal dan bosan sesuai dengan
fitrahnya.
4. Dalam proses pembelajaran
tersebut, peserta dididik disodori dengan berbagai sejarah dan cerita, dengan
harapan dari sejarah dan cerita tersebut, mereka mampu membuat analog yang
logis untuk kebaikan masa depannya.
5. Dalam perspektif teori
pendidikan, cerita atu kisah merupakan bentuk menyampaika pesan penting
terhadap anak didik tanpa harus menyertakan instruksi yang bermuatan
keseriusan. Bahkan kisah dapat membangkitkan imajinasi anak didik.[7]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Metode Kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi
pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya
suatu hal baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja. Islam sebagai
agama yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits menepis image adanya
kisah bohong, kerena Islam selalu bersumber dari dua sumber yang dipercaya,
sehingga cerita yang disodorkan terjamin kesahihan dan keabsahannya. Dalam
Al-Qur’n terdpat dalil metode kish dalam surat Al-A’raf ayat 176. Salah satu
dari aspek tarbawi adanya metode kisah adalah Dalam proses
pembelajaran tersebut, peserta dididik disodori dengan berbagai sejarah dan
cerita, dengan harapan dari sejarah dan cerita tersebut, mereka mampu membuat
analog yang logis untuk kebaikan masa depannya.
Dalam
perspektif teori pendidikan, cerita atu kisah merupakan bentuk menyampaika
pesan penting terhadap anak didik tanpa harus menyertakan instruksi yang
bermuatan keseriusan. Bahkan kisah dapat membangkitkan imajinasi anak didik.
2.
Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari dalam penulisaan
makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami perlukan untuk menyempurnakan makalah ini dan makalah yang akan
kami buat selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi pembacanya.
Daftar Pustaka
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1994. Tafsir Al-Maragi. Semarang:
CV Toha Putra.
Arif dan Armai.
2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers
Hamka.
1982. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT Pustaka Panjimas
Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta dan Metafora
(Jakarta: Citra, 2009
Mustofa,
Bisri. Al-Ibriz Juz 1-10
[1] Ma’rifat, Kisah-Kisah
Al-Qur’an Antara Fakta dan Metafora (Jakarta: Citra, 2009), hlm. 28
[2] Arif dan
Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), hlm. 160
[3] https://hasbyeducation.blogspot.com/2016/12/metode-kisah-dalam-al-quran-dan.html
diakses pada Jumat 19 Oktober 2018 pukul 19:21
[4] Al-Maragi,
Ahmad Mustafa. 1994. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra.
[5] Bisri Mustofa,
Al-Ibriz Juz 1-10, hlm. 476-477
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas,1982)
hlm 165
[7] http://ghufron-dimyati.blogspot.com/2016/11/tt1-c-12a-metode-kisah-qs-al-araf-ayat.html
(diakses pada hari Sabtu 10 november 2018 pukul 16:26)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar