Laman

new post

zzz

Kamis, 16 Februari 2012

makalah 1 hadits 1 rumah tangga penuh kasih sayang, kelas G


MAKALAH

RUMAH TANGGA PENUH KASIH SAYANG

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Maka Kuliah:Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu:Muhammad Ghufron,M.Si




 









oleh
Rif’atul  Zami Izzati
202109002
Kelas G



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN2011


BAB I
PENDAHULUAN


Tuturan di atas hendak memberikan gambaran kepada pembaca tentang indahnya rumah tangga seorang muslim yang memerhatikan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, sebagaimana rumah tangga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yang bisa bersopan santun, berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumahnya, namun hal yang sama sulit ia lakukan di dalam rumah tangganya. Ada orang yang bisa bersikap pemurah kepada orang lain, ringan tangan dalam membantu, suka memaafkan dan berlapang dada, namun giliran berhadapan dengan “orang rumah”, istri ataupun anaknya, sikap seperti itu tak tampak pada dirinya.
Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya maka hal ini tidak hanya berlaku kepada para suami, sehingga para istri merasa suami sajalah yang tertuntut untuk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tidak dapat dipahami seperti itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yang paling utama harus menunjukkan budi pekerti yang baik dalam rumah tangganya karena dia sebagai qawwam, sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut untuk mendidik anak istrinya di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka.Dalam makalah ini saya akan menguraikan tentang akhlak Rasulullah saw dalam berumah tangga.






BAB II
PEMBAHASAN

A.Teks hadis (Rumah tangga dari pemimpin Rumah tangga)

1ـ قال ابو عبدالله الجدلي قلت لعائشة كيف كان خلق رسول الله صالله عليه وسلم فى أ هله قالت :
{كان أ حسن الناس خلقا لم يكن فا حشا ولا متفحشا ولا سخابا بالاسواق ولا يجزئ بالسيئة مثلها ولكن يعفوو  و يصفح}


(رواه أحمد فى المسن د, باقى مسند الان

B.Terjemahan
Abu Abdullah Al-Jadali r.a. berkata, Suatu hari aku bertanya kepada Aisyah r.a tentang akhlak Nabi Muhammad saw.
Ia Menjawab

قال ابو عبدالله الجدلي قلت لعائشة كيف كان خلق رسول الله صالله عليه وسلم فى أ هله قالت :

Bagus-bagusnya manusia adalah nabi Muhammad saw

كان أ حسن الناس خلقا

Beliau Tidak pernah Bersikap Kasar
لم يكن فا حشا ولا متفحشا

Dan tidak pernah berteriak dipasar
ولا سخابا بالاسواق
Dan tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan
ولا يجزئ بالسيئة مثلها
Akan tetapi beliau selalu memaafkan dan tidak mengungkitnya.
ولكن يعفوو  و يصفح


C.Mufrodat

Beliau Tidak pernah Bersikap Kasar
لم يكن فا حشا ولا متفحشا

Dan tidak pernah berteriak dipasar
ولا سخابا بالاسواق

Dan tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan
ولا يجزئ بالسيئة مثلها
Akan tetapi beliau selalu memaafkan dan tidak mengungkitnya.
ولكن يعفوو  و يصفح

D.Biografi Rowi

Mahmud az Zabbi menuliskan dalam bukunya yang menyerang Ayatullah Safrudin al Musawwi’ Abu ‘Abdullah al-Jadali. Nama aslinya adalah ‘Abdun ibn ‘Abdun. Ada pula yang mengatakan nama aslinya adalah ‘Abdurahman ibn ‘Abdun. Dalam kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah ekstrim. Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat pilihan, dan Imam Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat. Ibn Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini: “Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu’in bahwa Abu ‘Abdullah adalah tsiqat. Ibn Hibban menyebutnya di dalam kitab ats-Tsiqat. ‘Ajli memandang dia sebagai seorang tabi’in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa’ad setelah menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha’if. Dikatakannya bahwa ia Syi’ah ekstrim. Ulama hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd. Ia pernah dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr dengan kekuatan pasukan sejumlah 800 orang dari penduduk Kufah. Mereka datang untuk mencegah keinginan dan kehendak Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa’i berkata: “Aku mendengar Abu ‘Abdullah al-Jadali adalah serdadu Mukhtar.” Ibn Hajar berkata: “Ibn Zubayr memanggil Muhammad al-Hanafiyyah untuk berbai’at kepadanya. Muhammad menolak ajakan bai’at itu, lalu ia ditahan atau dikurung di suatu tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya mengintimidasi Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di Kufah. Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju Makkah di bawah pimpinan Abu ‘Abdullah al-Jadali.” Mereka berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari kurungannya. Muhammad mencegah satuan perang itu bertempur di kota suci Makkah. Dari sinilah, demikian Ibn Hajar, ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufay, yang ikut serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya tidaklah dipandang cacat lantaran perbuatannya itu. Dari berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama tidak mengecam Abu ‘Abdullah, kecuali paham Syi’ah yang dianutnya. Sebagian ulama yang memberikan kritik kepadanya menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu ‘Abdullah menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa Syi’ah yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim, tidaklah merusak sifat adil seorang perawi manakala ia dikenal jujur, amanah, dan tidak pernah berdusta. Bila kita melihat latar-belakang kehidupan Abu ‘Abdullah, nyatalah bahwa tak seorang pun ulama hadits yang menuduhnya sebagai pendusta. Karena itulah, Imam Ahmad memandang dia tsiqat. Demikian pula Ibn Mu’in, Ibn Hibban dan al-’Ajli. Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya. Hal di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni dalam menentukan keadilan dan tsiqatnya seorang perawi. Mereka berpegang pada firman Allah:     “Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu melakukan ketidakadilan. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih mendekati ketakwaan.” (QS, al-Ma’idah, 5:8). Mereka tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan secara serampangan, mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta. Seandainya mereka demikian, tentu Abu ‘Abdullah sudah dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan haditsnya, lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi ‘Ubayd. Kejujuran ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan orang Rafidhah yang seringkali menggugurkan sifat adil seorang perawi. Bahkan mereka mengkafirkannya dengan alasan yang dibuat-buat; seperti termuat dalam beberapa referensi mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang lebih utama dibanding Abu ‘Abdullah, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, bahkan mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja dari mereka. Pengkafiran ini tidak lain hanya karena keyakinan para sahabat tersebut berbeda dengan keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini yang dinamakan fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah. Ibn Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh kaum Rafidhah sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim dan tidak jujur. Beliau menolak semua tuduhan itu, dan menyatakan bahwa setiap orang yang berakal akan mengetahui kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan terbebasnya mereka dari sifat fanatik. Hal ihi terlihat dari kata-kata Ibn Hajar: “… dari sini sebagian ulama hadits memvonis Abu ‘Abdullah dan Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam satuan tempur itu. Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah membuat keduanya tercela, insya Allah.” Pernyataan Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena ia membela Abu ‘Abdullah, dan menolak semua orang yang mendha’ifkan dia dari kalangan Ahlus Sunnah. Beliau juga menolak orang yang mengkultuskannya. Perhatikanlah.

E.Ketengan Hadits
Dari kitab Faiżul Qodir :
 كان أ حسن    dari lafadz diriwayatkan oleh tirmidzi.
Semua sifat kebaikan manusia dikumpulkan menjadi satu maka tidak akan mencapai kemulyaan dan kesempurnaan Nabi Muhammad saw.Sifat kesempurnaan Nabi saw tidak ada yang melebihi dengan kemulyaan akhlaqnya.
Rasulullah saw adalah sebaik-baiknya manusia yang memiliki budi pekerti yang baik.Budi pekerti Rasulullah sangat mulia dan sempurna.Tidak ada mahluk yang mampu menandingi kemulian akhlak Rasulullah yang mulia lagi sempurna.

F.Aspek Tarbawi

            Nabi Muhammad saw memiliki akhlak yang agung.Kemuliaan dan akhlak Nabi yang baik bernilai sehingga Islam memuliakan Nabi Muhammad saw.Yang di maksut dengan akhlak Rasulullah saw sebagai seorang pribadi adalah akhlak mulia yang diberikan Allah kepada beliau,yang sesuai dengan posisi sebagai seorang nabi penutup.Hadis diatas menggambarkan kemuliaan akhlak Rasulullah saw dalam berumah tangga.
            Seorang istri pun harus memerhatikan perilaku kepada sang suami sebagai pemimpin hidupnya. tidak pantas ia “menyuguhi” suami ucapan yg kasar sikap membangkang membantah dan mengumpat. tdk semesti ia tinggi hati terhadap suami dari mana pun keturunan seberapa pun kekayaan dan setinggi apa pun kedudukannya. tidak boleh pula ia melecehkan keluarga suami menyakiti orang tua suami menekan suami agar tdk memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataan banyak kita dapati istri yg berani kepada suaminya. tdk segan saling berbantah dgn suami bahkan adu fisik. Ia tdk merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami dan tdk menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suami agar tidak memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat ia mencela ia menyakiti Istri yg seperti ini gambaran jelas bukan istri yg berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah

G.Penutup

Demikian yang dapat saya sampaikan bahwa Rasulullah saw adalah sebaik-baiknya manusia yang memiliki budi pekerti yang baik.Budi pekerti Rasulullah sangat mulia dan sempurna. Tidak ada mahluk yang mampu menandingi kemulian akhlak Rasulullah yang mulia lagi sempurna.








DAFTAR PUSTAKA


Ansarian,Husayn,2002.The Islamic structure.Jakarta:Ansariyan Publication

http:///www.asysyariah.com/14/02/2012/19.37/ Akhlak Mulia dlm Rumah Tangga

http:///Para Syiah pewaris sabda Nabi saw dalam kumpulan hadis sunni dalam riwayat Ahlusunnah/14/02/2012/19.37/

Al Manawi,tahun 2003, Faidzul Qodir,juz 5.maktabah mesir