PA A10 : Hubungan SQ vs Psikologi Agama - word
PA A10 : Hubungan SQ vs Psikologi Agama - ppt
PA A10 : Hubungan SQ vs Psikologi Agama - ppt
Makalah
Hubungan
kecerdasan spiritual (SQ)
Dengan Psikologi
agama
Disusun
guna memenuhi tugas :
Mata
Kuliah : Psikologi Agama
Dosen
Pengampu : Ghufron Dimyati, M.S.I
Disusun Oleh :
Kelas
A
Rizqi Mardhotillah (2022.111.002)
Ahmad Luthfi
(2022.111.022)
Adilatul
Isma (2022.111.035)
Progam Studi :
Tarbiyah (PBA)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awal abad ke-20, IQ pernah menjadi
isu besar. Kecerdasan intelektual atau rasional adalah kecerdasan yang
digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun startegis. Pada pertengahan
1990-an, Daniel Goelman mempopulerkan penelitian dari banyak neurology dan psikolog
yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama pentingnya dengan
kecerdasan intelektual. Saai ini, pada akhir abad ke-20. Serangkaian data
ilmiah terbaru, yang sejauh ini belum banyak dibahas, menunjukan adanya “Q”
jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan
perbincangan mengenai kecerdasan spiritual (SQ). SQ adalah landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
A.
Rumusan Masalah
§
Pengertian Kecerdasan Spiritual (SQ)
§
Aspek-aspek dari Kecerdasan Spiritual (SQ)
§ Menguji SQ
§ Hubungan antara Agama
dan Kecerdasan Spiritual
§ Peran Kecerdasan
Spiritual Dalam Penerapan Psikologi Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A
Pengertian
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Spiritual
diambil kata spiritus yang artinya sesuatu yang bisa memperkuat
vitalitas hidup kita. Spiritual atau spiritus itu menurut teori dasarnya memang
berbeda dengan agama. Spiritus adalah bawaan manusia dari lahir, sedangkan
agama adalah sesuatu yang datangnya dari luar diri kita. Agama memiliki
seperangkat ajaran yang dimasukan ke dalam tubuh kita. Ajaran agama, sejauh itu
diserap dari kulit sampai isi maka akan meningkatkan spiritual kita.
Dr. Marsha Sinetar, yang terkenal luas sebagai pendidik,
penasihat, dan penulis buku-buku best seller, menafsirkan kecerdasan
spiritual sebagai pemikiran yang terilhami. Kata Sinetar, kecerdasan
spiritual adalah cahaya, sentuhan kehidupan yang membangunkan keindahan tidur
kita. Kecerdasan spiritual membangunkan orang-orang dari segala usia, dalam
segala situasi.[1]
Kecerdasan spiritual melibatkan
kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti mewujudkan hal
yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai,
visi, dorongan, dan arah panggilan hidup, menggali dari dalam, dari suatu
keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta SQ secara harfiah untuk menumbuhkan
otak manusiawi kita. SQ telah “menyalakan” kita untuk menjadi manusia seperti
adanya sekarang dan memberi kita potensi untuk “menyala lagi” untuk tumbuh dan
berubah, serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi kita.
Kita menggunakan SQ untuk menjadi
kreatif. Kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas atau
spontan secara kreatif.
SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai
masalah eksitensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidak-tidaknya
bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi kita suatu rasa yang “dalam”
menyangkut perjuangan hidup. [2]
B
Aspek-aspek
dari Kecerdasan Spiritual (SQ)
Aspek-aspek
dari kecerdasan spiritual (SQ) menurut David G Mayer adalah sebagai berikut:
1.
“Kemampuan
untuk mentransendesi”. orang-orang yang sangat spiritual menyerap sebuah
realitas yang melampaui materi dan fisik.
2.
“Kemampuan
untuk menyucikan pengalaman sehari-hari”. orang yang cerdas secara spiritual
memiliki kemampuan untuk memberi makna sakral atau Illahi pada berbagei
aktifitas, peristiwa, dan hubungan sehari-hari.
3.
“Kemampuan
untuk mengalami kondisi-kondisi kesadaran puncak”. orang-orang yang cerdas secara
spiritual mengalami ekstase spiritual. Mereka sangat perseptif terhadap
pengalaman mistis.
4.
“Kemampuan
untuk menggunakan potensi-potensi spiritual untuk memecahkan berbagai masalah”.
Transformasi spiritual seringkali mengarahkan orang-orang untuk memprioritaskan
ulang berbagai tujuan.
5.
“Kemampuan
untuk terlihat dalam berbagai kebajikan”. Orang-orang yang cerdas spiritual
memiliki kemampuan lebih untuk menunjukkan pengampunan, mengungkapkan rasa
terimakasih, merasakan kerendahan hati, dan menunjukkan rasa kasih.[3]
C
Menguji SQ
Tanda-tanda dari SQ yang telah
berkembang dengan baik mencangkup hal-hal berikut :
o
Kemampuan
bersikap fleksible (adaptif secara spontan dan aktif)
o
Tingkat
kesadaran diri yang tinggi
o
Kemampuan untuk
menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
o
Kemampuan untuk
menghadapi dan melampaui rasa sakit
o
Kualitas hidup
yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
o
Keengganan untuk
menyebabkan kerugian yang tidak perlu
o
Kecenderungan
untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan “holistic”)
o
Kecenderungan
nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana Jika?” untuk mencari
jawaban-jawaban mendasar
o
Menjadi apa yang
disebut oleh para psikolog sebagai “bidang mandiri” yaitu memiliki kemudahan
untuk bekerja melawan konvensi
D
Hubungan antara Agama
dan Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian
Marshall sebagai tokoh yang memopulerkan SQ, membedakan antara SQ dengan agama.
Menurutnya SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bahkan ia menegaskan bahwa
banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya banyak
orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. Baginya, agama merupakan
seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Agama
dipahaminya sebagai lembaga yang bersifat formal dan top-down, diwarisi dari
para pendeta, nabi, dan kitab suci yang ditanamkan melalui keluarga atau
tradisi. Sementara SQ sendiri, ia pahami sebagai kemampuan yang bersifat
internal, bukan eksternal.
Seperti yang telah
disinggung di atas, Zohar dan Marshall sebenarnya mengakui hasil penelitian
psikolog sebelumnya tentang adanya god spot dalam otak manusia yang terletak di
antara hubungan-hubungan saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Namun ia
tetap menyangkal kaitan god spot ini dengan adanya Tuhan. God spot, menurutnya,
hanya menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan
pokok", untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai
yang lebih luas.
Munculnya pendapat yang
membedakan agama dan spiritual ini tentu dilatarbelakangi oleh pemahaman kedua
tokoh ini terhadap agama formal. Jika dilihat setting sosial kehidupannya yang
dibesarkan dan menetap di Barat, tentu pemikiran ini dipengaruhi oleh budaya
Barat setempat. Barat yang notabenenya penganut agama Kristiani sesungguhnya
memiliki sejarah yang amat panjang. Dalam perkembangan sejarah, agama Kristen—melalui
para pendeta dan tokoh-tokoh agama ini—pernah mengalami lembaran yang kelam,
khususnya ketika berhadapan dengan para ilmuan.
Selama beberapa abad,
Barat dikuasai oleh doktrin gereja yang cenderung menolak kajian ilmu
pengetahuan dan budaya berpikir atau filsafat yang pernah berkembang pada masa
sebelumnya di Yunani sehingga mereka jauh dari peradaban. Bapak-bapak gereja
Kristen, setelah agama Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi pada
dasawarsa ketiga abad ke empat Masehi, bersemangat melakukan kampanye membasmi
ilmu dan filsafat. Mereka menganggap ilmu sebagai sihir. Para ilmuan dianggap
kafir, zindik dan keluar dari agama Masehi. Bahkan antara tahun 1481 hingga
1801, lembaga penyelidikan yang dibentuk oleh penguasa Paus untuk mencari dan
menemukan para ilmuan yang dianggap murtad, telah berhasil menghukum 340.000
orang, hampir 32.000 di antaranya dibakar hidup-hidup termasuk sajana besar
Bruno. Galileo Galilei (1564-1642 M), sarjana besar lainnya, dengan terpaksa
dihukum seumur hidup dalam penjara, karena keyakinannya bertentangan dengan
kitab Injil dimana ajaran gereja waktu itu berpegang pada konsep geosentris
(matahari mengelilingi bumi) sementara Galileo menganut konsep heliosentris,
yaitu bumi bergerak mengelilingi matahari.
Sikap dari bapak-bapak
gereja yang menginginkan umatnya bodoh semata-mata demi kepentingan pribadi dan
kepentingan penguasa. Dengan kebodohan umat tersebut, maka tidak akan ada
perlawanan atas kezaliman yang mereka lakukan. Dogmatik gereja tersebut
berkembang hingga abad pertengahan. Hingga saat itu pula, Barat mengalami masa
kegelapan yang pada gilirannya berakhir dengan perlawanan para ilmuan yang
mempertahankan pendirian ilmiahnya dan berkoalisi dengan raja untuk
menumbangkan kekuasaan gereja. Koalisi ini berhasil dan tumbanglah kekuasaan
gereja sehingga muncul renaissance yang pada gilirannya melahirkan sekularisasi
dan lahirlah dikotomi antara ilmu dan gereja (agama).
Dampak dari sejarah
kelam tentang agama versus ilmu pengetahuan yang terjadi di Barat tersebut
hingga saat ini masih terlihat. Meskipun agama kristen mayoritas, akan tetapi
epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat tidak dilandasi oleh ajaran
agama sehingga ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan bisa mengabaikan—bahkan
menolak peran dan kedudukan
suatu agama.
Berbeda dengan sejarah
umat Islam, meskipun terdapat lembaran sejarah yang kelam seperti sejarah
kekuasaan umat Islam yang sulit untuk berjamaah, termasuk ketertinggalan umat
Islam dewasa ini dalam perkembangan iptek, dll. namun dalam hal perkembangan
ilmu pengetahuan justru berkembang dari motivasi agama. Artinya, puncak ilmu
pengetahuan pada abad pertengahan di dunia Timur sesungguhnya dipicu oleh
semangat ajaran agama sangat respon terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
dilihat dari wahyu pertama yang diturunkan justru bermula dengan kata iqra',
bacalah! Bukankah membaca sebagai aktivitas pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan?
Demikian pula pandangan
tentang hubungan agama dan spiritual, Islam tentu memiliki pandangan yang berbeda
dari Danah Zohar dan Ian Marshall di atas. Islam merupakan agama yang memiliki
ajaran universal dan bersifat totalitas; mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia, baik sosial-budaya, politik, ekonomi, material/fisikal, dan termasuk
aspek spiritual. Karena totalitas dan universalitas Islam itu pulalah Allah
menyeru agar manusia yang berakal masuk ke dalam Islam secara kaffah (Qs.
al-Baqarah/2: 208) atau utuh, tidak setengah-setengah.
Hubungan antara
spiritual dengan agama juga tampak dalam pernyataan Allahbakhsh K. Brohi yang
berpendapat bahwa siapa saja yang memandang Tuhan atau Ruh Suci sebagai norma
yang penting dan menentukan atau prinsip hidupnya bisa disebut
"spiritual". Seyyed Hossein Nasr juga menegaskan bahwa tujuan
spiritualitas itu sendiri adalah memperoleh sifat-sifat Illahi dengan jalan
meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki dalam kadar sempurna oleh Nabi dan
dengan bantuan metode-metode serta anugerah yang datang darinya dan wahyu dari
al-Qur'an.
Dengan demikian, dalam
perspektif Islam, antara agama dan spiritual memiliki korelasi positif: semakin
tinggi kualitas agama seseorang maka semakin cerdas spiritualnya; sebaliknya,
semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual seseorang maka semakin baik pula
sikap keberagamaannya. Dalam istilah John Renard, aspek spiritualitas yang
sesungguhnya mengembangkan dan juga meninggikan sikap keberagamaan.
E. Peran
Kecerdasan Spiritual Dalam Penerapan Psikologi Agama
Peran kecerdasan spiritual
dalam penerapa psikologi agama adalah sebagai berikut:
- Membantu manusia menentukan jati dirinya dan memahami hakikat penciptaan alam semesta.
- Mendukung manusia menemukan Tuhan atau agamanya.
- Membantu manusia untuk menemukan ketenangan jiwa, karena ketengan jiwa akan ada jika tranformasi kesadaran terjadi.
- memahami makna cinta.[4]
BAB
III
PENUTUP
Dari pembahasan makalah di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Kecerdasan Spiritual
(SQ) lebih penting daripada Kecerdasan
Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional. Karena SQ adalah landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dalam Kecerdasan
spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu
berarti mewujudkan hal yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. SQ
telah “menyalakan” kita untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan
memberi kita potensi untuk “menyala lagi” untuk tumbuh dan berubah, serta
menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi kita. SQ menjadikan kita sadar
bahwa kita mempunyai masalah eksitensial dan membuat kita mampu mengatasinya
atau setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi kita
suatu rasa yang “dalam” menyangkut perjuangan hidup.
Demikianlah makalah telah kami susun,
kami merasa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu, kami mengharapkan sumbangsih kritik dan saran agar nantinya dalam
penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sukidi, Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ lebih
Penting daripada IQ dan EQ, (Jakarta: GRamedia, 2004).
Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ:Spiritual Intelligence-The ultimate Intelligence,(Great
Britain:Bloombusry,2000), Hal.12
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad
21, 2005, (Bandung : Pt. Alfa Beta), Hal 244
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, 2002, (Bandung : Pt. Nizam Pustaka), Hal : 273
[1]
Sukidi, Kecerdasan Spiritual: Mengapa SQ lebih PEnting daripada IQ dan EQ,
(Jakarta: GRamedia, 2004).
[2]
Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ:Spiritual
Intelligence-The ultimate Intelligence,(Great Britain:Bloombusry,2000),
Hal.12
[4]
Taufiq
Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, 2002,
(Bandung : Pt. Nizam Pustaka), Hal : 273
Tidak ada komentar:
Posting Komentar