SUMBER
ILMU PENGETAHUAN (Intuisi Hati)
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Hadits Tarbawi II
Dosen
Pengampu :
Muhammad Hufron, M.S.I
Disusun
Oleh :
Dewi
Nurlita Kurniawati
2021111036
Kelas
A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2013
PENDAHULUAN
Suatu ilmu pengetahuan memiliki
sumber-sumber yang bisa diteliti, ditelaah, ataupun dicari oleh setiap orang.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan guna menjadi manusia
yang seutuhnya. Sumber-sumber ilmu pengetahuan tersebut banyak macamnya. Dari
mulai persepsi indera (sense), melalui proses akal sehat, dari informasi
yang benar (Al-qur’an dan As-sunnah), sampai pada intuisi hati.
Dalam makalah ini akan dibahas salah
satu sumber ilmu pengetahuan yaitu intuisi hati serta hadits yang berkaitan
dengannya, yang meliputi materi hadits beserta terjemahannya, mufrodat,
biografi perawi, keterangan hadits serta aspek tarbawinya.
Intuisi adalah kekuatan yang dengan
cepat menyadari bahwa “sesuatu” itu adalah kasusnya. Intuisi adalah kemampuan
psikis yang dikenal sebagai firasat, atau kemampuan untuk merasakan apa yang
akan terjadi selanjutnya. Hal tersebut dilakukan tanpa intervensi dari berbagai
proses yang masuk akal. Tidak ada langkah-langkah induktif atau deduktif yang
masuk akal. Tidak ada analisa yang wajar dari situasi tersebut, tidak ada
bantuan dari imajinasi. Hanya sekilas dan tiba-tiba muncul. Anda hanya tahu ada
yang tidak sesuai.
Intuisi hati adalah fungsi dasar
hati untuk selalu berkata jujur dan membimbing seluruh anggota tubuh untuk
bertindak dalam kebenaran. Sebagian besar manusia sering mengingkari kata
hati atau intuisi hati tersebut karena berbagai alasan keduniawian yang pada
akhirnya justru menjerumuskan manusia tersebut ke dalam kemungkaran dan
dosa. Sesuai fitrahnya tersebut, seluruh manusia memiliki hati dengan
fungsi yang sama, hanya saja diperlukan iman dan ketaqwaan untuk mematuhinya.
PEMBAHASAN
A.
Materi
Hadits
1.
Hadits
Intuisi Hati 22
عَنْ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيْرِ يَقُوْلُ سَمِعْتُ
رَسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الحَلَالُ بَيْنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنٌ
وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيْرٌ منَ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى
الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأُ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِيْ
الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلاَ
وَاِنَّ لِكُلِّ مَلِكِ حِمَى أًلاَ اِنْ حِمَى اللهِ فِى أَرْضِهِ
مَحَارِمُهُ أَلاَ وَاِنْ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً اِذَا صَلَحَتْ كُلُهُ
وَاِذَا فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ[1]
2. Hadits Intuisi Hati 23
عَنْ أَنَسِ
بْنِ ماَ لِكِ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عليه وسلم قال : مَنْ عَمِلَ بِماَ
يَعْلَمْ وَرَ ثُهُ الله عِلْمَ ماَ لَمْ يَعْلَمْ
B.
Terjemahan
Hadits
Ø
Hadits
Intuisi Hati 22
Nu’man bin Basyir bercerita bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah saw bersabda, “Perkara yang halal telah jelas dan yang diragukan
yang tidak diketahui hukumnya oleh
kebanyakan orang. Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang diragukan
itu berarti dia memelihara agama dan kesopanannya. Barangsiapa mengerjakan
perkara yang diragukan, sama saja dengan penggembala yang menggembalakan
ternaknya di pinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya.
Ketahuilah, semua raja mempunyai larangan dan ketahuilah pula larangan Allah
swt adalah segala yang di haharamkan-Nya. Ketahuilah dalam tubuh itu semuanya.
Apabila daging itu rusak, maka binasalah tubuh itu seluruhnya. Ketahuilah,
daging tersebut ialah hati. (HR. Bukhari).
Ø
Hadits
Intuisi Hati 23
Dari Anas bin Malik sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Siapa
yang mengamalkan apa yang ia ketahui,maka Allah akan memberikan ilmu sesuatu
yang ia belum ketahui. (HR. Abu Na’im al-Ashfihan dalam kitab Khilyatul
Ashfiya’: 10/15).
C.
Mufrodat
v Hadits I
Ø
اَلْحَلاَلُ :
Halal
Ø
اَلْحَرَامُ : Haram
Ø
بَيَنٌ
: Jelas
Ø
بَيْنَهُمَا : Diantara
keduanya
Ø
مُشَبَّهَاتٌ : Syubhat
Ø
لاَيَعْلَمُهَا :
Tidak mengetahui
Ø
كَثِيْرٌ
: Banyak
Ø مِنَ النَّاسِ : Dari
manusia
Ø
اسْتَبْرَأَ :
Menjaga
Ø
لِدِيْنِهِ
: Untuk agamanya
Ø
عِرْضِهِ :
Keperwiraanya
Ø وَقَعَ
: Terjatuh
Ø
كَرَاعٍ
: Penggembala
Ø
يَرْعَى
: Menggembalakan
Ø
اَلْحِمَى : Larangan
Ø
يُوْشِكُ : Tentang
Ø
يُوَاقِعَهُ :
Menjeremuskan dirinya
Ø
اَلْجَسَدِ :
Tubuh
Ø
مُضْغَةً :
Daging
Ø
صَلَحَ
: Baik
Ø
فَسَدَ
: Buruk
Ø
اَلْقَلْبُ
: Hati
v Hadits II
ü
مَنْ عَمِلَ : Barang siapa beramal
ü
بِمَا : Dengan
ü
يَعْلَمْ : Sesuatu yang diketahui
ü
وَرَثَهُ اللهِ : Akan diberikan kepadanya
ü
عَلْمَ : Ilmu
ü مَالَمْ
يَعْلَمْ : Sesuatu yang belum diketahui
D.
Biografi Perawi
·
Hadits I (Nu’man bin Basyir)
Nama lengkapnya An-Nu’man bin Basyir bin Ka’ab Al-Khazraji Al-Anshari.
Dilahirkan empatbelas bulan setelah hijriah. Dia adalah orang Anshar pertama
yang lahir setelah Nabi hijrah ke Madinah. Bapaknya adalah seorang sahabat dan
ibunya juga seorang sahabiyah radiyallahu Anhuma. Nabi meninggal ketika dia
berumur 8 tahun yang saat itu sedang tinggal di Syam. Muawiyah mengangkatnya
sebagai pemimpin Himsh. Dan ditetapkan kepemimpinannya oleh Yazid bin Muawiyah.
An-Nu’man bin Basyir adalah orang yang pemurah dan ahli syair. Dia dibunuh di
sebelah kampung di Himsh karena dia menyerukan untuk membaiat Abdullah bin
Az-Zubair, pada tahun 56 H. Al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya sebanyak 6
hadits, dan haditsnya yang termaktub dalam kitab-kitab hadits sebanyak 114
hadits.[2]
·
Hadits II (Anas bin Malik)
Anas bin Malik Al-Anshari Al-Khazraji adalah pelayan Rasulullah SAW. Dia
melayani Rasulullah semenjak berusia sepuluh tahun dan terus menyertai beliau
selama dua puluh tahun. Rasulullah memberi kun-yah kepadanya dengan Abu Hamzah.
Ibunya adalah Ummu Sulaim r.a. nabi pernah mendoakannya dengan doa, “Ya Allah,
perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkan umurnya dan berkahilah serta
masukkan ke dalam surga.” Berkat doa tersebut, Anas menjadi orang yang paling
banyak anak dan hartanya. Dia wafat dengan meninggalkan sebanyak 120-an anak.
Dia berusia panjang, hidup lebih dari 100 tahun. Wafat di Bashrah tahun 93 H.[3]
Anas bin Malik adalah urutan ketiga
dari Sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Ada 2.286 hadits yang ia
riwayatkan.[4]
E. Keterangan
Hadits
Hadits I
الحَلَالُ بَيْنٌ وَالْحَرَامُ بَيْنٌ (Yang halal jelas dan yang haram jelas), yaitu
dalam dzat dan sifatnya dalil yang zhahir.
وَبَيْنَهُمَا
مُشَبَّهاتٌ (Dan diantara keduanya adalah hal
yang meragukan), artinya hal-hal yang tersamarkan yang tidak diketahui hukumnya
secara pasti. Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abu Nu’aim, Syaikh Imam Bukhari
dengan lafadz وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهاتٌ.
“Dan diantara keduanya terdapat perkara yang diragukan”.
لاَ
يَعْلَمُهَا كَثِيْرٌ منَ النَّاسِ (Tidak
banyak orang yang mengetahuinya). Yang dimaksud
adalah tidak
mengetahui hukumnya. Hal tersebut dijelaskan dalam riwayat Al-Tirmidzi dengan
lafadz, “Banyak orang yang tidak mengetahui apakah perkara tersebut halal atau
haram.” Yang dapat dipahami dari kata كَثِيْرٌ
adalah bahwa yang mengetahui hukum perkara tersebut hanya sebagian kecil
manusia yaitu para Mujtahid, sehingga orang yang ragu-ragu adalah selain
mereka. Namun, terkadang syubhat itu timbul dalam diri para mujtahid jika
mereka tidak dapat mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dalil.
فَمَنْ
اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ (Barangsiapa yang menghindarkan diri dari
hal-hal syubhat) artinya berhati-hati dengan perkara yang syubhat.
اسْتَبْرَأُ
maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan dan perilakunya selamat dari
celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak
akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya. Hadits ini menjelaskan,
bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dari syubhat dalam pencaharian dan
kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal
ini mengandung petuah untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama
dan kemanusiaan.
وَمَنْ
وَقَعَ فِيْ الشُّبُهَاتِ (Dan barangsiapa yang terjatuh dalam
syubhat).
Perbedaan
para perawi dalam kalimat itu seperti yang telah kami kemukakan. Disamping itu
para ulama juga berselisih tentang hukum syubhat. Ada yang mengatakan haram dan
ada yang mengatakan makruh. Kasus ini sama dengan perbedaan pendapat tentang
hukum sebelum turunnya syariat. Ringkasnya ada empat, penafsiran tentang
syubhat.
Pertama, terjadinya
pertentangan dalil-dalil yang ada seperti diatas.
Kedua, perbedaan
ulama yang bermula dari adanya dalil-dalil yang saling bertentangan.
Ketiga, yang
dimaksud dengan kata tersebut (syubhat) adalah yang dimaksud dengan makruh, karena
kata tersebut mengandung unsur “melakukan dan meninggalkan”.
Keempat, yang
dimaksud dengan syubhat adalah yang memberi (yang diperbolehkan). Telah dinukil
dari Ibnu Munir dalam Manqib Syaikh Al Qabari, beliau berkata “Makruh merupakan
pembatas antara haram dan hal-hal yang halal. Barangsiapa banyak
melaksanakan perbuatan yang makruh, maka dia berjalan menuju yang haram,
sedangkan mubah adalah pembatas antara haram dengan yang makruh. Barang siapa
yang banyak melakukan hal yang mubah maka dia telah menuju kepada hal yang dimakruhkan.[5]
Hadits II
Dalam Riwayat hadits tersebut, Ketika Ali r.a. ditanya
oleh seseorang. “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat
khusus yang tidak diberikan kepada orang lain ? Ia berkata, “Demi Allah, demi Yang
menciptakan surga dan jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali
pemahaman Al-Qur’an yang Allah berikan kepada Hamba-Nya.” Ibnu Abi Dunya r.a.
berkata. “Ilmu Al-Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan
yang tak bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan di atas adalah alat
bagi para mufassir Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut
lalu menafsirkan Al-Qur’an, berarti ia telah menafsirkannya menurut pendapatnya
sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadist. Para sahabat
telah memperoleh ilmu bahasa Arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka
dapatkan melalui cahaya nubuwah. Imam suyuti r.a. berkata, “Mungkin
kalian berpendapat bahwa ilmu wahbi itu berada di luar kemampuan manusia.
Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukkan caranya, misalnya
dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”[6]
F. Aspek Tarbawi
1)
Sesuatu yang halal dan haram sudah jelas, maka kita
jangan memasuki wilayah syubhat, yang kemungkinan akan menjorok pada wilayah
haram.
2)
Hendaklah kita berhati-hati dalam mengonsumsi makanan
dan minuman, karena menentukan sekali terhadap kebersihan hati.
3)
Orang berilmu (yang tidak bertentangan dengan agama)
wajib mengamalkan ilmunya dengan ikhlas, dalam bentuk perbuatan dan
mengajarkannya pada orang lain.
4)
Menuntut ilmu jangan bertujuan untuk meraih materi
keduniaan maupun kedudukan jabatan, akan tetapi niat untuk mencari ridho Allah.
5)
Tidak
diperkenankan bagi muslim untuk menyembunyikan ilmunya, tapi juga tidak
diperkenankan untuk pamer dengan tujuan membanggakan diri dan merendahkan
orang lain.
PENUTUP
Dari pemaparan
di atas dapat diketahui bahwa pentingnya hati dalam kehidupan manusia dan
pentingnya mendengarkan intuisi hati serta mengikutinya termasuk intuisi hati
untuk berbagi ilmu pengetahuan dengan sesama, karena dengan cara berbagi
tersebutlah ilmu pada diri manusia tidak berkurang atau habis tapi justru bertambah.
Untuk mencapai pertambahan ilmu tersebut, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan adalah mengamalkan, melakukan, atau mewujudkan ilmu tersebut dalam
wujud perbuatan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendir dan ummat.. Untuk mencapai pertambahan ilmu tersebut hal lain yang juga penting untuk
dilakukan adalah mengamalkan ,melakukan atau mewujudkan ilmu tersebut dalam
wujud perbuatan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendiri
dan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Az- zabidy,
Imam. 2001. Ringkasan Shahih Bukhari. Bandung: Mizan.
Al-Bugha,
Musthafa. 2008. Al-Wafi Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shalih,
Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus.
Al
Asqalani, Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Kandahlawi,
Maulana Muhammad Zakariyya. TT. Himpunan Fadhilah Amal. Yogyakarta:
Ash-Shaff.
[2] Musthafa Al-Bugha, Al-Wafi Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.474.
[3] Musthafa Al-Bugha, Al-Wafi Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.467.
[4] Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus, 2002), h.336.
[5] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.232-234.
[6] Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Himpunan Fadhilah Amal, (Yogyakarta:
Ash-Shaff, TT), h.20-21.
Desi Atinasikhah 2021111343
BalasHapusAslkum wr.wb.
Langsung saja Yang saya tanyakan adakah pengaruh ataupun dampak dalam pendidikan terhadap seseorang yang melakukan perkara syubhat? lalu bagaimanakah solusi pemakalah, agar kita terhundar dari perilaku syubhat?
Wa'alaikumsalam wr. wb. . .
HapusMengenai pengaruh atau dampak dalam pendidikan terhadap seseorang yang melakukan perkara syubhat tentunya sangat berpengaruh,misalnya saja ketika seseorang memakan makanan syubhat(barang yang belum jelas halal haramnya), maka akan diberi 2 perkara, yaitu: syubhat agamanya dan gelap hatinya. Pada kondisi yang demikian inilah hati manusia tidak bisa lagi merasakan manisnya iman. Mereka tidak akan bisa merasakan kebahagiaan hati yang hakiki yang biasa diperolehnya dari amal ibadahnya dan kondisi seperti ini sesungguhnya bisa dijadikan sebagai tolak ukur, jika dalam pelaksanaan ibadah mereka tidak bisa merasakan nikmatnya peribadatan, maka hal itu kemungkinan karena adanya barang syubhat yang pernah dimakannya. Begitu juga dalam pendidikan maka mereka peserta didik akan susah dalam menangkap ilmu pengetahuan dan apa-apa yang diajarkan oleh gurunya jikalau tak menghirukan kesyubhatan.
Oleh karena itu, solusi agar kita terhindar dari kesyubhatan adalah dengan cara kita menghindari perkara yang masih samar atau ragu-ragu yang belum ditetapkan ketentuan hukumnya. Meninggalkan hal-hal yang masih meragukan tersebut termasuk perbuatan mulia yang akan berdampak pada akhlak manusia. Dengan menghindari syubhat di akhirat ia akan menghindari manusia dari neraka dengan segala siksanya. Karena dengan menghindari syubhat manusia terhindar dari menzalimi dirinya dan manusia lainnya.
Islam mengharamkan merugikan orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah yang bersumber dari Ubadah bin Ash-Shamit, “Tidak boleh merugikan dan dirugikan.”
Sekian dan Terima Kasih. . .
Menurut pendapat pemakalah, apa yang dimaksud dengan intuisi hati itu???dan bagaimana cara kita agar bisa menjaga intusi hati dengan baik??? Dan dalam aspek tarbawi dijelaskan bahwa orang yang berilmu itu wajib mengamalkan ilmunya dengan ihklas kepada orang lain. Nah menurut pemakalah sendiri yang dimaksud ihklas itu apa dan bagaimana jika ada orang yang berilmu akan tetapi tidak ikhlas dalam mengamalkan ilmu nya jika ditinjau dari kaca mata pendidikan????dan apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan agar kita bisa menyampaikan ilmu dengan ikhlas????
BalasHapusDari referensi yang saya baca, dapat disimpulkan bahwa intuisi hati adalah kata hati yang selalu berkata benar yang mana banyak orang yang mengingkarinya demi urusan dunia.
HapusCara kita agar bisa menjaga intuisi hati dengan baik adalah dengan memfungsikan hati tersebut dengan baik yang berlandaskan iman dan ketaqwaan pada Ilahi. Pada fitrahnya hati semua manusia itu baik dan hanya mengajak ke hal-hal yang baik, namun demikian, pada sebagian besar manusia hatinya tidak terlatih utuk menyuarakan kebenaran lebih keras dan kemudian menegakkan niat yang terimplementasi ke dalam perbuatan. Hasilnya apa yang dilakukan oleh orang-orang tersebut adalah pengingkaran terhadap hati dan cenderung merupakan perbuatan-perbuatan yanng diharamkan atau yang diragukan kehalalannya. Jika hal ini terus menerus dilakukan dan menjadi sebuah kebiasaan serta tidak adanya usaha-usaha perbaikan maka jadilah apa yang disebut dalam hadits sebagai hati yang rusak atau yang tidak baik dan membawa kerusakan atau keburukan ke dalam semua perbuatan manusia itu sendiri.
Memang, orang yang berilmu wajib mengamalkan ilmunya dengan ikhlas kepada orang lain. Ikhlas yang dimaksud di sini adalah tidak mengharap apa-apa selain ridho Allah. Tetapi dari kacamata pendidikan , banyak orang yang berilmu tetapi tidak ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, semisalnya saja menerima upah atau gaji. Bukan begitu mbak? Nah, perlu digaris bawahi bahwa menerima upah atau gaji itu untuk kemaslahatan pendidik yang telah meluangkan tenaga dan waktunya. Ikhlas tidak sama dengan gratis. Tetapi hendaknya sebagai pendidik, kita harus mengamalkan ilmunya dengan ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah, kalaupun digaji kita wajib bersyukur dan kalau tidak jangan mengeluh.
Langkah yang harus dilakukan agar kita bisa menyampaikan ilmu dengan ikhlas adalah kita harus senantiasa bersyukur pada Allah dan mendekatkan diri pada-Nya, dan semangat dalam menyampaikan ilmu juga amat sangat penting untuk dipupuk sejak dini.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusArina Rizqona (2021 111 021)
BalasHapuskelas A
Assalamu'alaikum wr wb
dalam aspek tarbawi disebutkan bahwa tidak diperkenankan bagi muslim untuk menyembunyikan ilmunya, tapi juga tidak diperkenankan untuk pamer dengan tujuan membanggakan diri dan merendahkan orang lain. Sebagai calon pendidik bagaimana cara agar kita tidak berperilaku seperti tersebut ?
Untuk mengamalkan ilmu agar kita sebagai calon pendidik tidak terkesan kikir dan pamer adalah kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah karena dengan bersyukur kita akan selalu mengingat Allah sehingga dalam mengamalkan ilmu diniatkan untuk berjihad mencari ridho Allah bukan malah menyembunyikan atau menyombongkan ilmu yang dimiliki. Setelah kita bersyukur, hendaknya kita harus berusaha tampil prima di kelas, yaitu dengan cara:
Hapus* Menguasai materi pembelajaran.
* Penyampaian materi dengan suara yang jelas dan lancar.
* Memiliki rasa malu dan takut akan perbuatan yang salah.
* Tidak membanggakan diri.
* Tidak mempermalukan anak didik di depan kelas.
* Pandai mengendalikan emosi dalam proses pembelajaran.
* Tidak mudah tersinggung dengan perilaku anak didik.
Setelah kita bisa tampil prima di depan kelas maka langkah selanjutnya kita harus berusaha menjawab setiap pertanyaan dari anak didik, yaitu dengan cara :
* Menghargai setiap pertanyaaan dan pendapat serta menjawabnya dengan cara yang baik.
* Bersikap jujur jika belum bisa memberikan jawaban dengan tepat dan berjanji untuk dapat menjawabnya pada kesempatan lain.
* Tidak pernah lupa mengucapkan terimakasih atas setiap pertanyaan dan pendapat.
* Tidak mengenal kata BOSAN dalam hal membaca dan belajar.
* Tidak menutupi kelemahan dengan marah, karena hanya akan membuat anak didik tidak berani bertanya.
Kita harus senantiasa untuk ingat bahwa anak didik itu Memiliki kebiasaan dan pendidikan dari keluarga yang berbeda pula.
Guru yang cemerlang dan kreatif perlu lebih membekali diri dengan keterampilan, berbagai ilmu tradisional, etika yang baik serta meningkatkan kemampuan dalam memahami pengajaran dan pembelajaran yang terkini.
Bukanlah hal yang mudah tetapi tidak sulit untuk diterapkan, jika kita tetap semangat dan terus belajar!
nama:nur amiroh
BalasHapusnim:2021 111 345
assalam...
bagaimana menurut pemakalah apabila ada orang yang mencari ilmu dikarenakan mencari nilai?dan bagaimana cara ikhlas kita baik dalam menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu agar niat kita hanya mencari ridho Allah?
Wa'alaikumsalam. . .
Hapus1. Saya percaya tidak ada orang yang dengan sengaja berniat hanya mencari nilai, namun keadaanlah yang kadang menyebabkan seseorang mencari nilai dan bukan mencari ilmu. Misalnya dalam bangku pendidikan, saat seseorang masuk sekolah tentu niatnya mencari ilmu supaya bisa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak ilmu yang diperoleh dan semakin banyak pula yang harus dipahami. Sistem pendidikan memiliki target yang harus dipenuhi untuk jenjang tertentu. Untuk mengevaluasi apakah target tersebut sudah dicapai, maka diadakanlah ujian. Dari hasil ujian tersebutlah muncul nilai yang tertera di atas kertas. Jika nilai memenuhi standar maka pelajar tersebut dinyatakan lulus dan memperoleh selembar kertas yang disebut ijazah. Ijazah inilah yang kemudian digunakan sebagai bukti akan ilmu yang diperoleh.
Dalam mengikuti sistem ini beberapa orang kurang mampu untuk menyerap ilmu yang diajarkan, sedangkan target harus dicapai. Maka niat yang semula mencari ilmu mulai bergeser menjadi mencari nilai karena mencari nilai lebih mudah dari pada mencari ilmu. Untuk memperoleh nilai, yang penting kita mengikuti sistem.
2. Agar kita ikhlas dalam mencari ilmu atau mengamalkannya dengan niat mencari ridha Allah adalah hendaknya kita senantiasa bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu dengan meluruskan niat, mengikhlaskan karena Allah. Batasan seseorang bisa dikatakan ikhlas dalam menuntut ilmu yaitu niat dalam dirinya untuk menghilangkan kejahilan yang ada pada dirinya. Setelah kejahilan/kebodohan hilang dari dirinya, dia berusaha menghilangkan kejahilan orang lain.
InsyaAllah dengan niat seperti itu, Allah akan memberi taufiq untuk ikhlas dalam menuntut ilmu maupun mengamalkannya.
anisa nur idatul fitri
BalasHapus2021 111 372
assalamu'alaikum
tadi dalam aspek tarbawi dijelaskan bahwa seorang muslim dilarang menyembunyikan ilmu yang dimiliki.
contoh: seandainya kita diberi tawaran untuk mengajar anak SD kelas 6 , kita sebagai mahasiswa tentunya sudah punya ilmu mengenai mapel tingkat SD.. tetapi kita mempunyai keraguan seandainya kita ambil tawaran tersebut ditakutkan kita tidak bisa membuat anak tersebut paham padahal kita pastinya dituntut untuk basa membuat anak tersebut lulus dalam ujian.
pertanyaan saya adalah: menurut pemakalah seandainya dalam mengamalkan ilmu kita masih punya keraguan2 seperti contoh diatas bolehkah kita menolak tawaran dalam mengamalkan ilmu yang kita miliki....??
Wa'alaikumslam wr.wb. . .
HapusMenolak tawaran untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki karena masih mempunyai keraguan akan kemampuan kita itu dimakruhkan, mengapa demikian? Karena ilmu dan amal adalah dua perkara yang saling berkaitan. Bisa jadi keduanya berkumpul dan bisa jadi keduanya berpisah. Apabila ada ilmu yang tidak diiringi dengan amal, maka orang yang memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmu tersebut.
Sudah seharusnya bagi seorang alim dan para penuntut ilmu untuk melakukan berbagai perkara yang dianjurkan dan menjauhkan berbagai perkara yang dimakruhkan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusnama: eka supriyatin
BalasHapusnim: 2021 111 357
asslm.......
bagaimana caranya agar antara intuisi hati dan Aqal bisa seimbang dalam menanggapi ilmu???????????
terimakasih
Wa'alaikumslam. . .
HapusJiwa manusia mampu menangkap pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan
cara menggunakan ‘aql(akal) dan dengan cara menggunakan qalb(hati). Pengetahuan yang berdasarkan pada penggunaan ‘aql menggunakan proses memahami
dengan memanfaatkan kemampuan otak. Sementara itu, pengetahuan yang didasarkan kepada qalb menggunakan daya memahami dan merasakan yang
ada pada qalb. Pengetahuan ‘aql bersifat rasional, sementara pengetahuan qalb bersifat supra-rasional. Cara untuk menyeimbangkan keduanya adalah dengan memfungsikan keduanya sesuai porsi yang bergantung pada konteksnya. Karena tidak ada satu aspek pun dalam hidup kita yang terlepas dari peran akal, dan peran hati. Mendahulukan akal, tidak berarti mengabaikan hati. Sebaliknya, mendahulukan hati tidak berarti menihilkan fungsi akal. Keduanya harus dipakai.
reira kurniasari 2021111049
BalasHapussering saya menemui orang yang dalam menyampaikan ilmu yang dia miliki secara berlebihan dan juga bertujuan riya. bagaimana cara kita untuk menegurnya? dan bagaimana juga cara kita menanggapi orang seperti itu, karena kadang dalam hati saya sering ngedumel atau menggerutu sendiri kalau bertemu dengan orang yang menyapaikan ilmu hanya untuk riya..
Cara menegur pendidik yang menyampaikan ilmunya secara berlebihan dan bertujuan untuk riya' adalah bila kita takut untuk menegur guru tersebut, maka kita laporkan saja pada kepala sekolah agar beliau yang menegurnya dan menasehatinya. Bila sudah dinasehati tetapi belum juga berubah, maka tergantung kebijakan sekolah apakah mau tetap dipertahankan atau diberhentikan.
HapusCar kita mengahadapi guru yang seperti itu adalah kita harus tetap ta'dzim pada guru tersebut selama ia tidak mengajak pada kemaksiatan. Tetapi alangkah lebih baiknya jika kita menegurnya agar beliau dapat berubah dan menyadari kesalahannya.
Mohon ma'af sesion pertanyaan saya tutup karena akan diprint out. Terima kasih atas partisipasi teman-teman.
BalasHapus