MAKALAH
SISTEM RIBA DAN DISTRIBUSI BAHAN
POKOK
Disusun untuk memenuhi tugas:
Mata
Kuliah : Hadist
Tarbawi 2
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati, M.S.i
Oleh :
M TEGUH SANTOSO
2021 111 346
Kelas B
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak akan lepas dari kegiatan jual-beli.
Karena manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa perantara
orang lain. Dalam hal ini, jual-beli sendiri sangat rawan akan praktik-praktik
kecurangan. Misalnya: perbuatan riba, penimbunan dan pemonopolian bahan-bahan
pokok yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Didalam makalah ini kami akan memaparkan hadits-hadits tentang perilaku
kegiatan ekonomi tersebut serta hukumnya menurut agama islam. karena hal ini
sangat penting untuk diketahui mengingat kita hidup dalam lingkungan yang
mungkin juga ada praktik-praktik kecurangan tersebut. Setidaknya kita akan tau
tentang hukum perbuatan tersebut serta akibat yang akan ditimbulkan dari
perilaku penyimpangan/kecurangan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
v Hadits
Nomer.51
A.
Materi
Hadits Tentang Sistem Riba dan Krisis Ekonomi
عَنْ عَمْرِو
بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ : {مَا مِنْ
قَوْمٍ يَظْهَرُ فِيهِمْ الرِّبَا إِلَّا أَخِذُوا بِالسَّنَةِ وَمَا مِنْ قَوْمٍ
يَظْهَرُ فِيهِمْ الرُّشَا إِلَّا أُخِذُوا بِالرُّعْبِ} .
(
رواه أحمد فى المسند الشاميين , بقيه حد يث عمر و بن العا ص )
Artinya :
Dari Amru Bin Ash berkata, saya mendengar Rosulullah
SAW bersabda : “Tidaklah terlihat suatu kaum daripada mereka melakukan
riba kecuali Allah akan menghukum dengan masa paceklik, dan tidaklah terlihat
suatu kaum daripada mereka melakukan suap-menyuap kecuali Allah akan menghukum
secara menakutkan.” (HR. Ahmad)
B.
Mufrodat
Ø Saya
Mendengar
: سَمِعْتُ
Ø Suatu Kaum
: قَوْمٍ
Ø Riba
: الرِّبَا
Ø Masa
Paceklik
: بِالسَّنَةِ
Ø Suap
Menyuap
: الرُّشَا
Ø Menakutkan
: الرُّعْبِ
C.
Biografi
Perowi
Nama lengkapnya Amru bin Ash bin Wael bin Hasyim.
Biasanya dipanggil Abu Abdullah. Gelarnya ‘Fatihul Masr’(Sang Penakluk Mesir).
Beliau dilahirkan di Mekkah lima puluh tahun sebelum Hijrah. Sebelum masuk
Islam, beliau adalah orang yang sangat benci dengan Islam. Beliau seorang ahli
retorika, cerdas dan berbakat. Serta fasih dalam bicaranya. Beliau masuk Islam
bersamaan dengan Utsman bin Tholhah dan Kholid bin Walid pada waktu perang
Khoibar tahun 7 Hijriah.
Kecerdasan dan keberaniannya menjadikan dirinya
termasuk orang-orang pilihan Rasulullah untuk memimpin peperangan dan
penaklukan Islam. Diantara prestasi-prestasi beliau; diutus Rasulullah memimpin
pasukan be-rantai, kemudian Rasul kirimkan bersamanya tentara. Diantara
orang-orang yang ikut dalam pasukan itu adalah Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah.
Diutus Rasulullah untuk menjadi “Amir”(gubernur) di Amman hingga wafatnya
Rasulullah. Diutus Abu Bakar ke Syam bersama pasukan umat Islam hingga Syam
dapat ditaklukan pada masa kekhalifahan Umar. Diutus Uma untuk menjadi penguasa
di Palestina. Mentaklukan Qansarin dan berhasil mendamaikan antara penduduk
Halb (Hebron), Manbaj dan Antokia. Memimpin umat Islam dalam perang Yarmuk dan
penaklukan Damaskus. Memimpin umat Islam dalah perang Ajnadin. Beliau juga
berhasil mentaklukan Mesir sekaligus menjadi gubernur di sana.
Selama berada di Mesir selama empat tahun,
beliau membangun kota Fustat (ibu kota Mesir dulu). Kepemimpinannya di Mesir
berlangsung hingga masa kholifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau
mengundurkan diri. Bersama Muawwiyah, beliau ikut ke Shiffin. Di Shiffin beliau
termasuk salah seorang hakim yang diberi kuasa bersama Abu Musa al-Asya’ari.
Pada masa Muawwiyah, beliau diutus kembali untuk memimpin Mesir pada tahun 38
Hijriah hingga wafatnya. Selama berjuang bersama Rasulullah, beliau telah meriwayatkan
kurang lebih 39 hadits. Diantara hadits riwayatnya; Rasulullah bersabda; “Jika
seorang hakim menghakimi kemudian berijtihad dan ijtihadnya itu benar maka
baginya dua pahala. Jika ijtihadnya salah maka baginya hanya satu
pahal”(HR.Bukhori). Diantara orang-orang yang meriwayatkan hadits dari beliau
adalah anaknya, Abdullah, al-Hindy dan Qobishah bin Dhuaib.[1]
D.
Keterangan
Hadits
Kita dilarang untuk melakukan perbuatan riba. Karena
riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan
membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa
ta’ala menyatakan : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka
mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. ” [Al-Baqarah:
275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh
‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:“Allah mengabarkan tentang
orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan,
dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka
bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang
yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya
dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir
dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari
perbuatan mereka itu.
Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa
ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi
tersebut. Dengan sebab kebiasaan memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala
sediakan adzab yang pedih bagi mereka. “Dan disebabkan mereka (orang-orang
Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
” [An-Nisa’: 161].
Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa
praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi
perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian
suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan
keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan
sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak
dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya
hanya akan menjadi bekal menuju neraka.[2]
E.
Aspek
Tarbawi
Ø Kita dilarang melakukan perbuatan
riba.
Ø Segala bentuk perbuatan riba
hukumnya haram.
Ø Allah akan melaknat orang-orang yang
melakukan perbuatan riba di dunia dan di akhirat.
Ø Orang yang memakan harta hasil riba
sama halnya memasukan api kedalam perutnya.
Ø Orang muslim yang melakukan
perbuatan riba sama halnya dengan orang yahudi.
v Hadits Nomer
52
A.
Materi
Hadits Tentang Distribusi Bahan Pokok
عن عُمَرَ
بْنِ الْخَطَاَب قَالَ (قَالَ رَسُوْلُ اللهِ َصلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسلَمَ
:{اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ َوالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ}. رواه ابن ماجه فى
السنن, كتاب الجاران ا باب الحكرة والجلب)
Artinya :
Dari Umar
bin Khatab berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Orang-orang yang menawarkan
dengan harga murah akan diberi rezeki, sedang yang melakukan penimbunan akan
dilaknat.” (HR. Ibnu Majah)
B.
Mufrodat
Ø Orang yang di beri
rezeki
: مَرْزُوْقٌ
Ø Yang
Menawarkan
: اَلْجَالِبُ
Ø Penimbunan
: الْمُحْتَكِرُ
Ø Yang
dilaknat
: مَلْعُوْنٌ
C.
Biografi
Perowi
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun
setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya
bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang
menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta
warna kulitnya coklat kemerah-merahan.Beliau dibesarkan di dalam
lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau
merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Ø Umar bin
Khattab masuk Islam
Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab
dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin,
bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek
yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri.
Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk
Islam.[3]
Ringkas cerita, pada suatu malam
beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan
bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi membaca surat Al Haqqah. Umar bin
Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri-
"Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum
Quraisy." Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang
menyatakan bahwa Al Qur'an bukan syair), lantas beliau berkata, "Kalau
begitu berarti dia itu dukun." Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat
42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur'an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau
berkata, "Telah terbetik lslam di dalam hatiku." Akan tetapi karena
kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang,
maka beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian pada suatu hari, beliau
keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Nabi. Dalam perjalanan,
beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al 'Adawi, seorang laki-laki dari
Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, "Mau kemana
wahai Umar?" Umar bin Khattab menjawab, "Aku ingin membunuh
Muhammad." Lelaki tadi berkata, "Bagaimana kamu akan aman dari Bani
Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?" Maka Umar menjawab,
"Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek
moyangmu." Tetapi lelaki tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang
lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesuugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah
meninggalkan agama yang kamu yakini."
Kemudian dia bergegas mendatangi
adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat.
Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi.
Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya.
Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata,
"Kami tidak sedang membicarakan apa-apa." Umar bin
Khattab menimpali, "Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek
moyang kalian." Iparnya menjawab, "wahai Umar, apa pendapatmu jika
kebenaran itu bukan berada pada agamamu?" Mendengar ungkapan
tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah,
karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya,
Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir
pada iparnya.
Umar bin Khattab berkata,
'Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.' Maka adik
perempuannya berkata," Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu
kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!" lantas
Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik
perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya,
kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala Khabab mendengar perkataan
Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, "Aku
akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang
yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, 'Ya Allah, muliakan
Islam.dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.' Waktu
itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." Umar bin
Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk
pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang
dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada
Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya,
"Ada apa kalian?" Mereka menjawab, 'Umar (datang)!" Hamzah bin
Abdul Muthalib berkata, "Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan
kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka
kita akan membunuhnya dengan pedangnya." Kemudian Nabi menemui
Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. "... Ya Allah, ini
adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin
Khattab." Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan
Umar."
Seketika itu pula Umar bin
Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut
bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk
Islam. Abdullah bin Mas'ud berkomentar, "Kami senantiasa berada dalam
kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam."
Ø Kepemimpinan
Umar bin Khattab
Keislaman beliau telah memberikan
andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang
adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum
muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan
kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau
adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah
setelah Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan Umar bin Khattab tak
seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW
dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah
luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli
bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Ø Wafatnya
Umar bin Khattab
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun
23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh
oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin
Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab
dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia
63 tahun.[4]
D.
Keterangan
Hadits
Praktik menimbun (ihtikar) di
sini ialah menahan barang-barang dagangan karena spekulasi untuk menaikkan
harga yang membahayakan kepentingan umum. Praktik seperti ini merupakan sistem
kapitalisme yang bertumpu pada dua pilar pokok : riba dan penimbunan
(monopoli).
Dari uraian di atas jelas bahwa
diperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan
keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan standar
harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan
dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada
halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi
keuntungan pedagang atau mematok harga Tindakan ini dilakukan harus melalui
konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait agar tidak ada yang
dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.
Di Madinah pernah terjadi kasus
monopoli dan spekulasi bahan pokok yang menjadi hajat umum masyarakat oleh para
pemilik unta. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi saw sebagai penguasa, akhirnya
melarang masyarakat membelinya dari mereka sampai bahan pangan itu dijual bebas
di pasaran. (HR. Bukhari)
Tapi pada kondisi terjadi kenaikan harga secara objektif, wajar dan
legal yang lazim disebut kenaikan harga aktual riil yang sebenarnya yang
diakibatkan di antaranya oleh faktor bertambahnya persediaan uang, berkurangnya
produktivitas, bertambahnya kemajuan aktivitas, dan berbagai pertimbangan
fiskal dan moneter, pemerintah tidak berhak untuk mencampuri mekanisme pasar
yang alamiyah tersebut.
Pertimbangan inilah yang mendasari sikap Nabi saw sebagai penguasa menolak
untuk mematok harga ketika terjadi lonjakan harga di pasar Madinah seraya
mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, yang
menahan dan meluaskan rezki, yang Maha Pemberi rezki. Dan saya sangat
mengharapkan dapat berjumpa Rabbku, sementara tidak ada seorang pun dari kalian
yang menuntutku karena suatu tindakan aniaya pada fisik dan harta” (HR.
At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan
Ad-Darimi).
E.
Aspek
Tarbawi
Ø Allah akan meluaskam rezeki
orang-orang yang berbuat adil.
Ø Allah melarang tindakan penimbunan
bahan pokok.
Ø Allah akan melaknak orang-orang yang
melakukan penimbunan.
Ø Diperbolehkan bagi siapa pun untuk
mencari keuntungan tanpa ada batasan keuntungan tertentu selama mematuhi
hukum-hukum Islam.
v Hadits Nomer
53
A.
Materi
Hadits Tentang Menyorok atau Memonopoli Makanan
حدثنا أبو
سعيد مولى بنى هاشم حدثنا هاشم بن رافع الطاطري , أبو يحيى ابو رجل من أهل مكة ,
عن فروخ مولى عثمان: أن عمر رضى الله عنه وهو يومئذ أمير المؤمنين خرج إلى المسجد
فرأى طعاما منثوار فقال : ما هذاالطعام ؟ فقالوا: طعام جلب إلينا , قال بارك الله
فيه وفيمن جلبه , قيل : يا أمير المؤمنين , فإنه قد احتكر , قال: ومن احتكره ؟
قالوا : فروخ مولى عثمان وفلان مولى عمر , فأرسل إليها قدعاهما, فقال: ما حملكما
على احتكر طعام المسلمين ؟ قالا: يا امير المؤمنين نشتري بأموالنا ونبيع ,
فقال عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: {من احتكر على المسلمين طعامهم
ضربه الله بالإفلاس أو بجذام}, فقال فروخ عند ذلك: يا أمير المؤمنين, أعاهد الله ,
وأعاهدك أن لا أعود في طعام أبدا, وأما مولى عمر, فقال: إنما نشتري بأموالنا
ونبيع, قال أبو يحيى: فلقد رأيت مولى عمر مجذوما.
Artinya :
Bercerita Abu Said pembantu Bani Hasyim kepada kita,bercerita Hasyim bin Rofik
at Thoturiy yaitu Abu Yahya abu rojul dari penduduk tanah mekah.di ceritakan
dari farukh pembantu Usman. Bahwasanya Khalifah Umar al-Khattab ketika menuju
ke masjid melihat lambakan makanan. Beliau bertanya: "Makanan apakah
ini?" Mereka di situ menjawab: "Makanan yang kami usahakan."
Beliau berkata: "Semoga Allah memberkatinya dan mereka yang
mengusahakannya."
Namun, sebahagian mereka berkata: "Wahai Amir al-Mukminin,
semua makanan ini akan disorok." Beliau bertanya, siapakah yang
menyoroknya? Mereka memberitahunya bahwa Farrukh pembantu Utsman dan si fulan
pembantu Umar.
Beliau yang mengetahui hal itu terus menghantar orang
agar memanggil mereka bertemunya. Beliau bertanya: "Apakah yang membuatkan
kamu menyorok makanan kaum Muslimin?" Mereka menjawab: "Wahai Amir
al-Mukminin, kami membeli dengan uang kami dan ingin menjualnya." Jawab
Umar: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda "Sesiapa yang
menyorokkan makanan kaum Muslimin, niscaya Allah akan membalas perbuatannya
dengan kemuflisan dan penyakit kusta."
Mendengar kenyataan Umar itu, Farrukh segera berkata, aku berjanji demi Allah
dan di depan engkau, aku tidak akan menyentuh makanan itu dan tidak akan
mengembalikannya. Manakala, pembantu Umar masih menjawab: "Kami membeli
dengan uang kami dan ingin menjualnya." Abu Yahya yang meriwayatkan hadis
itu menceritakan: "Akhirnya, aku sendiri melihat pembantu Umar itu
menghidap penyakit kusta di akhir umurnya."
B.
Mufrodat
Ø Masjid
: المسجد
Ø Pemimpin Orang
Mukmin
: أمير المؤمنين
Ø Makanan
: الطعام
Ø Kebangkrutan/
Kemuflisan : الإفلاس
Ø Penyakit
Kusta
: جذام
Ø Orang-orang
Muslim
: المسلمين
C.
Biografi
Perowi
Namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al
Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali
Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani
Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.[5]
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah.
Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya
meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak
yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga
beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah
beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.
Ø Awal mula Menuntut Ilmu:
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia
15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai
orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu
hadits di awal umur 15 tahun itu pula.
Ø Pujian Ulama terhadap beliau:
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat
mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak
terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih
dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa
dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya.
Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam
hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam
kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.
Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat
Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang
terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.
Ø Kezuhudannya:
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.
Ø Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang
sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga
yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad
namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu
dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.
Ø Tawadhu’
dengan kebaikannya:
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam
Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak
pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada
kami”.
Ø Wafatnya.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.[6]
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.[6]
D. Keterangan
Hadits
Hadits ini menjelaskan tentang
larangan menimbum bahan pokok. Karena jika itu terjadi, akan terjadi kenaikan
harga secara drastis. Bahan-bahan pokok akan melambung tinggi. Rakyat yang kurang
mampu akan merasa semakin terbebani. Disamping itu, penimbun akan mendapat
keuntungan yang besar karena stok dipasar tidak ada. Wajar saja Allah melarang
orang-orang menimbun bahan pokok yang hanya untuk kepentingan pribadinya dan
menyusahkan orang lain.
Nabi saw. bersabda: “Tidaklah
menimbun kecuali orang yang berbuat dosa.” (HR. Muslim) “Barangsiapa
yang menimbun bahan makanan selama empat puluh hari maka sungguh ia berlepas
dari Allah dan Allah berlepas darinya.” (HR. Ahmad dan Hakim).
سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول:
bahwa umar pernah mendengar nabi muhammad bersabda :
{من
احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالإفلاس أو بجذام}
"Sesiapa yang menyorokkan makanan kaum Muslimin, niscaya Allah akan
membalas perbuatannya dengan kemuflisan dan penyakit kusta."
Jadi sudah jelas bahwa perbuatan menyorok, menimbun/memonopoli bahan-bahan
pokok, akan dilaknat oleh Allah baik ketika hidup maupun ketika sudah
meninggal. Karena perbuatan tersebut akan mengacaukan perekonomian dan
menyusahkan orang lain.[7]
E.
Aspek
Tarbawi
Ø Manusia tidak boleh menyusahkan
orang lain.
Ø Orang yang menyorok / menimbun bahan
makanan akan di azab Allah di dunia dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.
Ø Allah melarang perbuatan menyorok
karena dapat menimbulkan riba.
Ø Menyorok bahan-bahan pokok hanya
akan mengacaukan perekonomian.
Ø Allah melarang mengambil keuntungan
dari keadaan yang merugikan orang lain.
BAB III
PENUTUP
Demikian penjelasan tentang perilaku ekonomi dalam islam. Islam melarang segala
bentuk perbuatan riba, penimbunan ataupun penyorokan behan-bahan pokok. Karena
sama-sam dapat merugikan orang lain dan hanya menguntungkan salah satu pihak.
Islam sendirimemperbolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada
batasan keuntungan tertentu selama mematuhi hukum-hukum Islam. Serta menentukan
standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi
penyimpangan dan kesewenang-wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen,
tidak ada halangan bagi pihak penguasa, sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya, untuk membatasi keuntungan pedagang atau mematok harga Tindakan ini
dilakukan harus melalui konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait
agar tidak ada yang dilangkahi maupun dirugikan hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Husayn,
Ahmad Amin.1999. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
2. Jamil, Ahmad
Al-Islam.2004. Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pusat Informasi
dan Komunikasi Islam Indonesia.
3.
Mursi,
Muhammad sa’id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Jakarta: Pustaka Al- Kausar.
4.
al-Bukhari,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. 2012. Ensiklopedia Hadits 2; Shahih
al-Bukhari 2. Jakarta: Almahira.
[2] http://www.salaf.web.id/42/akibat-yang-akan-dirasakan-oleh-pelaku-riba-buletin-islam-al-ilmu-edisi-2iix1432-h.htm
[4] Amin Ahmad Husayn, Seratus Tokoh
dalam Sejarah Islam,( Bandung: Remaja Rosdakarya,1999), hlm.154-156
[5] Mursi,
Muhammad sa’id. 2007. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Jakarta: Pustaka Al- Kausar.hlm.98-101
[6] Ahmad
Al-Islam Jamil, Seratus Muslim Terkemuka,( Jakarta: Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia,2004), hlm.213
[7] Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih
al-Bukhari 2, terjemahan Subhan Abdullah dkk, (Jakarta: Almahira, 2012),
hlm. 167.
khafidhotul agustiani
BalasHapus2021 111 002
assalamu'alaikum...
bgaimna hukum kridit yang berlaku dimasyarakat kita, pdhal kita ktahui klo kridit untung yang diperoleh lbh bnyak dri sprti biasanya???? dan bgaimna solusi yang diberikan???
waalaikum salam..
HapusJual beli barang dengan sistem kredit ( dengan harga yang biasanya lebih mahal dari pada jual beli dengan cara kontan ) diperbolehkan dalam Islam, apabila tidak ada unsur ribanya.tetapi bila ada unsur riba nya maka diharamkan. Dan unsur riba tersebut biasanya terdapat dalam klausul dalam akad yaitu ” apabila terlambat dalam mengansur, maka terkena denda “. Nah denda itulah tambahan yang disebut riba yang karenanya menjadi haram.
contoh jual beli yang diharamkan : Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan..Transaksi seperti ini termasuk dalam riba nasiah , karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga atau presentase dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.
contoh jual beli kredit yang diperbolehkan : Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga Rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit). Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.
Khasan Fauzi
BalasHapus2021111067
Assalamu'alaikum.....
jika melihat kondisi negara ini sekarang, yakni banyak pejabat yang melakukan praktek suap menyuap, bagaimana tanggapan dan solusi yang akan anda berikan?
mksih....
waalaikumsalam wr wb.
HapusIstilah suap menyuap akhir-akhir ini sangat ngetren dikalangan masyarakat. Namun bukan berkaitan dengan nasi yang dimasukkan dalam mulut, tapi suap-menyuap yang menyebabkan sejumlah orang yang harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Bahkan sejumlah orang ditengarai masuk dalam antrean untuk diperiksa oleh pihak berwajib yang disebabkan oleh suap-menyuap.
Dalam kamus bahasa indonesia suap ialah kata yang ditenggari oleh perbincangan atau uang sogok. Akan tetapi pada umumnya disebut dengan uang pelicin. Uang pelicin pada umumnya digunakan untuk memuluskan jalan dari berbagai hal, agar segala sesuatu yang dianggap hambatan dapat teratasi sesuai dengan harapan sang penyuap. Tidak ada suap atau pelicin yang disandingkan dengan sesuatu yang baik, selalu ada sesuatu yang tidak beres didalamnya. Seseorang melakukan suap karena memang ia tidak beres dan harus berhadapan dengan hukum, ia juga tidak mungkin menyuap jika tidak ada keinginan mendapatkan imbalan dari sogokan yang diberikannya.
susah menghilangkan praktik seperti ini maass...
sebab Setiap profesi memiliki suatu resiko untuk terjebak dalam dunia suap-menyuap ini, sebab batas antara kekuatan iman dan terjerumus kedalam suatu godaan hanyalah setipis kulit bawang. Manusia bukan malaikat yang tidak membutuhkan materi, manusia ialah makhluk penggoda dan gampang tuk tergoda. Terkadang tidak menyadari akibat ketergodaannya yang menimbulkan kerugian yang tidak terkira bagi dirinya dan sesamanya. untuk itu solusi nya mungkin dengan mempertebal kualitas keimanan kita agar kelak bila kita menjadi seorang pemimpin kita tidak mudah terjerumus dalam praktik tersebut.. sekian....
khashinah amalia
BalasHapus2021 111 074
assalamu`alaikum,
penimbunan sejatinya tidak diperbolehkan , namun apakah seorang muslim berdosa ketika ia tinggal di daerah non muslim kemudian ia menimbun sesuatu karena ia khawatir akan digunakan orang non muslim untuk hal yang tidak baik?
Waalaikum salam...
Hapusbegini ya mbaakk...
penimbunan disini yang tidak diperbolehkan adalah penimbunan yang bersifat menguntungkan pihak penimbun.. maksudnya ia menimbun bahan makanan pokok agar pasokan bahan makanan langka dan mengalami kenaikan harga... setelah harganya naik baru si penimbun menjual bahan makanan tersebut dengan harga yang mahal. hal ini tidak diperbolehkan dalam islam..
tetapi bila menimbun dengan tujuan seperti yang mbak sebutkan diatas.. saya rasa boleh2 saja... karena tujuan nya untuk mencegah hal yang tidak baik.. sekian.....
Nur salim, 2021 111 217,,,
BalasHapusAssalamualakikum,,
kang Teguh mau tanya, adakah suap yg diperbolehkan dlm Islam?
waalaikum salam sodara kuuu....
Hapusada maaasssss...
memang Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang telah kami sebutkan di atas. Hal ini karena terkandung di dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu, atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar atau mewujudkan manfaat (yang sesuai dengan syariat) yang besar. Dalam keadaan seperti ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
contoh, apabila ada seseorang sudah ikut proses penerimaan PNS dengan benar kemudian ia diterima, atau ada seseorang telah mengajukan permohonan KTP, SIM, PASPOR kepada pihak yang berwenang dengan syarat-syarat administrasi yang lengkap. Namun pada saat pengambilan hak nomor NIP tidak bisa keluar, atau SIM, KTP, dan PASPOR tidak dapat diperoleh karena pihak berwenang meminta sejumlah uang. Dalam keadaan seperti ini, dibolehkan bagi calon PNS, dan orang yang mengajukan permohonan SIM, KTP dan PASPOR tersebut untuk membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang agar Ia bisa mempunyai NIP dan memperoleh KTP, SIM dan PASPOR. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan kepada pihak berwenang. Wallahu a’lam bish-showab. :)
Erni Mun Holifah
BalasHapus2021111064
Assalamualaikum
Bagaimana cara membersihkan harta riba, dan apakah orang yang mengurusi (yang mencatat, menghitung), atau menetapkan riba itu terkena dosa???
Bagaimana jika meminjam uang tetapi pada waktu mengembalikannya harus ada uang penambahan, tetapi tidak termasuk bunga, uang penambahan tersebut sebagai upah atau kas karena sudah dipinjami, misalnya satu bulannya lima ratus rupiah atas dasar kesepakatan bersama, apakah itu termasuk riba??? Jelaskan............
waalaikum salam..
BalasHapusiya mbak.. Mungkin dgn Dia harus bertaubat kepada Allah dan memohon
ampunan kepada-Nya serta menyesali semua
perbuatan yang telah lalu, juga menyelamatkan diri dari bunga riba dengan cara menginfakkannya
kepada fakir miskin. Hal itu termasuk dari upaya
menyelamatkan apa yang diharamkan Allah,
sebagai sarana menyucikan dirinya dari
penghasilan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan: “Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Dari hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan. Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba.
Dan untuk pertanyaan yang terakhir, menurut saya, Mengambil manfaat dari pinjaman adalah riba jahiliyah yang diharamkan dalam Al-Qur`an. Allah Ta’âlâ berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah: 278] Kemudian, pada ayat setelahnya, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ memerintah untuk mengambil pokok pinjaman saja tanpa memungut tambahan, َ“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya tidak pula dianiaya.” [Al-Baqarah: 279] Selain itu, kaidah yang para ulama sepakati dalam masalah ini berbunyi, ﺎَﺑِﺭ َﻮُﻬَﻓ ﺎًﻌْﻔَﻧ َّﺮَﺟ ٍﺽْﺮَﻗ ُّﻞُﻛ “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba. para ulama bersepakat berdasarkan ayat-ayat di atas dan berdasarkan hadits-hadits larangan tentang adanya tambahan pada pinjaman.
Sekian...