MAKALAH
KAIDAH DASAR DALAM MORALITAS
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah :
Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu : Muhammad Ghufron M.S.I
Disusun Oleh :
1.
Amalia Solecha (2021114199)
2.
Mustofa Fahmi
(2021114200)
Kelas : E
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KAIDAH DASAR DALAM MORALITAS” ini tepat pada waktunya dengan
baik dan benar. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya.
Makalah ini menjelaskan tentang kaidah dasar dalam moralitas. Yang mencakup tentang kaidah
sikap baik dan keadilan. Makalah ini juga menjelaskan tentang landasan-landasan
kaidah dasar moral. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui kaidah dasar dalam moralitas
sehingga dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penuis telah berupaya menyajikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya, meskipun masih banyak
kekurangan. Disamping itu, apabila dalam makalah ini didapati kesalahan, baik dalam
pengetikan maupun isinya. Maka penulis dengan senang hati menerima saran dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca guna penyempurnaan penulisan
berikutnya. Akhirnya, semoga makalah yang sederhana ini menambah khasanah
keilmuan dan bermanfaat bagi pembaca.
Pekalongan, 15 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah dasar
moralitas merupakan kaidah-kaidah yang sangat penting bagi kehidupan
sehari-hari. Karena didalam kaidah dasar moral terdapat kaidah sikap baik dan
kaidah keadilan. Dua kaidah dasar ini
memang kaidah yang paling dasar, tetapi tidak berarti bahwa dua kaidah ini
tidak mempunyai suatu landasan. Landasan tersebut akan membawa kita keluar dari
bidang etika, masuk kedalam filsafat manusia, bahkan kedalam metafisika.
Kaidah sikap
baik pada dasarnya mendasari semua norma moral. Sikap baik berarti memandang
seseorang atau sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi saya menghendaki,
menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan seseorang atau sesuatu
berkembang demi dia itu sendiri.
Kaidah keadilan
adalah memberikan perlakuan yang sama kepada oranglain, kaidah ini mengarah ke
pelaksaan suatu nilai yang lain. Fungsinya adalah menjamin agar tidak ada
seorang pun yang dirampas haknya demi keuntungan oranglain ataupun seluruh
masyarakat.
Merefleksi hal
tersebut, maka menjadi penting untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari,
karena dua kaidah dasar moral bisa dipahami sungguh-sungguh apabila tidak
dilihat sebagai suatu yang diwajibkan kepada kita entah karena apa, melainkan
sebagai jaminan pelaksanaan dari dua nilai yang barang kali paling tinggi dan
paling fundamental.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud kaidah dasar moral ?
2.
Apa saja kaidah
dasar moral ?
3.
Apa yang
dimaksud landasan kaidah dasar ?
4.
Mengapa
ketuhanan dikatakan sebagai kaidah dasar ?
C. Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan
melalui kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau
dari referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan
masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan
langkah-langkah pengkajian, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban
permasalahan dari beberapa sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian
jawaban.
D. Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan
masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah; Bab
II, adalah pembahasan; Bab III bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAIDAH DASAR MORAL
1.
Pertanyaan
Dasar
Suatu persoalan, menjadi persoalan
yang bersifat etis atau moral dan bukannya persoalan teknis, atau intelektual semata-mata
, apabila keputusan yang bakal diambil menyangkut suatu pilihan antara beberapa
nilai yang langsung dikaitkan pada dasar kemanusiaan.
Ada 3 pertanyaan dasar etika, yaitu :
a.
Apakah yang
benar
b.
Apakah yang
baik
c.
Apakah yang
adil
Apabila kita memperhatikan
keseluruhan teori etika, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa manusia menjadi
manusia yang “sebenarnya” jika ia menjadi manusia yang etik. Titik tolaknya
adalah :
a.
Ia percaya
kepada kebenaran , kebaikan dan keadilan.
b.
Ia berusaha
sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik dan adil.
Konsep
etika didirikan atas dasar kepercayaan bahwa kehidupan manusia secara
keseluruhan adalah baik, pada dasarnya manusia adalah baik.[1]
c.
Kode moral
titik tolaknya adalah keinginan, pilihan, preferensi, dan penilaian manusia.[2]
Manusia disebut
etis, ialah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asa keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
sosialnya, antara rohani dengan jasmaniahnya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri
dengan khaliknya.[3]
2.
Dua Kaidah
Dasar Moral
a.
Kaidah Sikap
Baik
Kebaikan merupakan pengertian yang tidak dapat didefinisikan, dan
bahwa kita mengetahui proposisi umum tertentu a priori tentang jenis sesuatu
yang baik menurut pertimbangan kita sendiri. Hal-hal seperti kebahagiaan,
pengetahuan, apresiasi atas keindahan, dikenal sebagai baik, menurut Dr. Moore
, juga diketahui bahwa kita seharusnya bertindak sedemikian rupa sehingga
menciptakan apa yang baik dan mencegah apa yang jahat.[4]
Dimaksudkan bahwa kita wajib bertindak sedemikian rupa sehingga ada
kelebihan dari akibat baik dibandingkan akibat buruk(maksimalisasi). Kaidah ini
hanya berlaku kalau kita menerima kaidah yang lebih dasar lagi, yaitu kita
harus membuat yang baik dan mencegah yang buruk.
Secara ideal kita hanya menghasilkan
akibat baik dan sama sekali tidak menghasilkan yang buruk. Tetapi karena sering
tidak mungkin, sekurang-kurangnya akibat buruk harus kita menimalisasikan.
Kaidah sikap baik pada dasarnya mendasari
semua norma moral. Kita pada dasarnya kecuali kalau ada alasan khusus mesti
bersikap baik terhadap apa saja. Sikap baik dalam arti: memandang
seseorang/sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi yang menghendaki ,
menyetujui, membenarkan mendukung, membela, membiarkan seseorang/sesuatu
berkembang demi itu sendiri. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan secara
konkrit tergantung dari apa yang baik dalam situasi konkrit itu. Norma-norma
yang lebih umum dapat disimpulkan dari kaidah ini.[5]
b.
Kaidah Keadilan
Keadilan ialah perlakuan sama yang didapat seseorang dari oranglain
dengan hak dan derajat yang sama pula.
WJS.Poerwadaminta
memberikan pengertian adil sebagai berikut :
a.
Adil berarti
tidak berat sebelah (tidak memihak), pertimbangan yang adil, putusan itu
dianggap adil.
b.
Adil berarti
patut, sepatuhnya, tidak sewenang-wenang. Misalnya, dalam mengemukakan tuntutan
yang adil, masyarakat adil, masyarakat yang sekalian anggotanya mendapat
perlakuan sama adil.[6]
Untuk mencari
ciri-ciri relevan dalam rangka pertimbangan moral, untuk membenarkan perlakuan
yang sama, dan untuk membenarkan perlakuan yang tidak sama adalah diikuti
pandangan Aristoteles bahwa cirri-ciri yang relevan adalah cirri-ciri yang
mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang paling mempengaruhi
kebahagiaan orang adalah kemampuan dan kebutuhannya. Dalam menentukan perlakuan
yang sama, perlu diperhatian kemampuan dan kebutuhan. Sebab perbedaan dalam
kemampuan dan kebutuhan orang adalah cirri yang dapat membenarkan suatu
perlakuan yang berbeda juga.[7]
Seandainya
relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah
moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam
masyarakat itu. Kalau begitu, norma moral dalam setiap masyarakat harus
dianggap sempurna. Tidak akan mungkin memperbaiki norma-norma moral dalam suatu
masyarakat. Padahal, kita yakin bahwa kadang-kadang norma-norma moral dalam
suatu kebudayaan harus direvisi. Dari segi etis, tidak semua kebudayaan
sempurna.[8]
Memberi
perlakuan yang sama kepada oranglain berarti :
a.
Memberi
sumbangan yang relative sama terhadap kebahagiaan mereka, diukur pada kebutuhan
mereka,
b.
Menuntut dari
mereka pengorbanan yang relative sama , diukur pada kemampuan mereka.
Jadi kesamaan
sumbangan kearah kebahagiaan orang lain tidak dimaksudkan dalam arti sama rata,
melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhan orang itu.
Kesamaan beban yang terpaksa harus dipikulkan harus sama, dengan
memperhatikan kemampuan anggota itu masing-masing.
Perlakuan yang tak sama dapat dibenarkan berdasarkan kaidah sikap
baik atau dalam jangka panjang akan menghasilkan kesamaan yang lebih besar.
3.
Landasan Kaidah
Dasar
Dua kaidah
dasar di atas memang kaidah yang paling dasar, tetapi tidak berarti bahwa dua
kaidah itu tidak mempunyai suatu landasan. Landasan tersebut akan membawa kita
ke luar dari bidang atika masuk ke dalam filsafat manusia, bahkan ke dalam
metafisika.
a.
Kaidah sikap
baik, berdasarkan kesadaran bahwa apa saja yang ada karena adanya itu saja,
pantas kita dukung. Bahwa apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik
terhadapnya.
b.
Kaidah
keadilan, mengarah ke pelaksanaan suatu nilai yang lain. Kita ingat bahwa
kaidah itu hanya berlaku bagi makhluk yang berakal budi dan fungsinya ialah
menjamin agar tak ada seorang pun yang dirampas demi keuntungan oranglain
ataupun seluruh masyarakat.[9]
Nilai yang hendak dijamin oleh kaidah keadilan adalah nilai tak
terhingga dari setiap makhluk yang berakal budi. Setiap orang sebagai makhluk
yang berakal budi merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Tidak boleh digunakan
semata-mata sebagai alat.
Tidak ada nilai apapun yang lebih besar dari nilai setiap orang
manusia, sehingga demi nilai itu kita akan berhak mengorbankan seorang manusia
saja. Itulah sebabnya hak yang nyata dari seseorang pun tak boleh dikorbankan
demi keuntungan seluruh masyarakat.
Menurut Von Magnis, yang menarik bahwa dua
kaidah dasar moral baru difahami sungguh-sungguh apabila tidak dilihat sebagai
sesuatu yang diwajibkan kepada kita, entah karena apa, melainkan sebagai
jaminan pelaksanaan dari 2 nilai yang barang kali paling tinggi dan
fundamental.
1.
Nilai dari apa
saja yang ada
2.
Nilai tak
terhingga dari setiap makhluk berakal budi
Melihat dua hal tersebut sebagai nilai yang
paling tinggi dan fundamental, serta kalau kita mengamati atau melihat dalam
sejarah filsafat, kita akan melihat bahwa jika orang berfikir tentang etika
atau kesusilaan selalu akan terlihat adanya usaha untuk mencari fundamen atau
landasan yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri.
B. KETUHANAN SEBAGAI KAIDAH DASAR
1.
Postulat dalam
Etika
Drijarkara
(1966:42) menulis sebagai berikut :
“ Apa yang
disebut kesusilaan pada hakikatnya adalah perkembangan yang sejati dari kodrat
manusia. Dengan demikian maka ditunjukkanlah dasar kesusilaan yang terletak ada
kita sendiri. Kesusilaan adalah tuntunan kodrat.
Tidak menghendaki kesusilaan berarti
memperkosa kodrat kita sendiri. Tiap perbuatan yang tidak susila merupakan perkosaan
kodrat. Dengan demikian nampaklah bahwa kodrat menjadi dasar kesusilaan. Namun
dalam berfikir tentang kesusilaan , manusia selalu mencari dasar yang lebih
tinggi lagi, dasar yang terakhir. Itulah sebabnya kesusilaan bagaimana selalu
dihubungkan dengan Tuhan.
Ketuhanan adalah dasar dari seluruh
kesusilaan dan juga tujuan dari kesusilaan. Tanpa ketuhanan tidak mungkin ada
kesusilaan yang berkembang.[10]
Oleh karena itu sebagaimana juga
pada tiap Ilmu Pengetahuan(kecuali pada metafisika, demikian pula pada etika)
sebelumnya terdapat beberapa kebenaran yang dibuktikan dalam ilmu pengetahuan
lain. Karena untuk ilmu pengetahuan yang bersangkutan itu merupakan suatu
keperluan, maka disebut sebagai tuntunan(postulat).
Di antara kebenaran yang
dipertanggungjawabkan dalam ilmu lain, yang teristimewa penting bagi etika
ialah apa yang juga dirumuskan oleh Immanuel Kant :
1.
Adanya Tuhan
2.
Kebebasan
Kehendak
3.
Keabadian Jiwa
Tanpa pengakuan
terhadap kebenaran tidak mungkin menguraikan etika dalam arti yang sebenernya.
Teristimewa kita lihat dalam postulat adanya Tuhan dan keabadian
jiwa, tidak mungkin bisa kita temukan diluar ajaran Agama.
1.
Kita Lihat
Kutipan Pendapat di bawah ini :
a.
Aurelius
Agustinus (wafat: 430)
Manusia itu
dalam suara batinnya melihat hokum dari kodratnya sendiri, akan tetapi
bersamaan dengan itu, dia menduga juga bahwa dasar yang terdalam dari hokum itu
ialah Tuhan sendiri. Agustinus sampai pada pendapat tersebut karena dalam
kesadaran moralnya dia melihat nilai yang mengatasi segala nilai dunia ini.
b.
Immanuel Kant
(1724-1804)
Dalam suara
batinnya manusia itu mengerti adanya imperative kategoris (perimtah yang
memaksakan). Berdasarkan itu manusia mengerti segala kewajibannya sebagai
perintah dari Tuhan. Itulah sebetulnya bukti tentang adanya Tuhan, dan bukti
itu adalah bukti yang praktis.[11]
Jalan
pikirannya adalah sebagai berikut :
1.
Kita sadar akan
keberadaan kita, tiap-tiap manusia sadar bahwa dia itu berada. Kebenaran itu
tidak dapat disangkal.
2.
Pengalaman
tentang keberadaan adalah pengalaman yang konkrit. Di situ dengan jelas manusia
menyadari macam-macam keadaan diri sendiri, berfikir, merasa , mengerti. Dalam
kesadaran tentang diri sendiri itu termuat juga suara batin. Artinya kesadaran
tentang baik atau buruknya perbuatan. Hal itu adalah unsure yang terdasar, yang
tidak dapat dipungkiri.
Max Scheler
Rasa penyesal
apabila berbuat salah tak dapat diterangkan kecuali jika manusia merasa
berhadapan dengan tuhan . pelanggaran moral
pada hakikatnya adalah pelanggaran kehendak dan hokum Tuhan. Menyesal atas
kesalahan moral berarti kembali ke Tuhan.
Catatan :
Adanya dorongan dan keharusan untuk
berbuat susila itu merupakan tanda bahwa manusia itu tidak sempurna, terbatas
bahwa manusia tidak berada atas kekuatannya sendiri, jadi manusia itu adalah
ciptaan.
Bertindak susila pada hakikatnya
berarti melaksanakan dan menjalankan diri sebagai ciptaan Tuhan supaya makin
lama makin mendekat kepada Tuhan. Jadi, ada 3 kaidah dasar moral yang pokok,
yaitu ;
·
Kaidah sikap
baik
·
Kaidah Keadilan
·
Kaidah
Ketuhanan
Apabila kesadaran manusia telah kembali didasarkan pada prinsip
ketuhanan sebagai landasan, diharapkan muncul susila yang memiliki ciri :
1.
Adanya
kesadaran sebagai manifestasi sifat ketuhanan dalam arti kemampuan mengenal
secara utuh bahwa semua hal itu memiliki nilai. Mengenal secara utuh bahwa
manusia sebagai makhluk berakal budi merupakan sesuatu yang bernilai tak
terhingga yang merupakan hak manusia untuk mempertahankannya.
2.
Lebih
menyempitkan dalam hidup dan kehidupan manusia tersebut antara das Sollen dan
das Sein, yang oleh Paulo Freire dikatakan sebagai kesatuan diaklektesi antara
aksi dan refleksi , antara praktek dan teori.
3.
Komitmen kepada
martabat manusia, yang harus menjadi dasar dari setiap kegiatan budaya dan
dasar dari setiap Etika Profesional
Martabat
manusia menjadi subyek. Ini harus selalu dipegang. Sebab apabila martabat
manusia disingkirkan dari concern para manusia itu sendiri, dunia akan rusak.
Agama bisa menjadi alat manipulasi, pendidikan menjadi alat untul menciptakan robot.
Negara sebagai alat penindasan dan sebagainya.
4.
Mampu
merumuskan aspirasi dan kesadaran masyarakat, sehingga mampu merumuskan konsep
etika yang sebenarnya,
5.
Kemampuan untuk
Withdrawal and Return
Toynbee
dalam pembahasan tentang perkembangan kebudayaan, menunjukkan : 2 aspek
pertumbuhan kebudayaan.
a.
Aspek lahiriah
(autward) yang Nampak dalam penguasaan secara progresif lingkungan luar.
b.
Aspek batiniah,
yang terwujud dalam penentuan diri delf-determination)
Withdrawal
Criteria terpenting dari pertumbuhan peradaban adalah “Progresive
self-determination” meskipun kemajuan teknis dapat merintis jalan kea rah
pertumbuhan peradaban.
Masalahnya.
Bagaimana “self-determination” ini terjadi. Bagaimana prosesnya.
Harus
diakui bahwa peradaban berkembang karena inisiatif individu yang creative yang
melakukan withdrawal dan return.
Mengundurkan
diri dari kehidupan sosial untuk mendapatkan penerangan pribadi ( kegiatan
kontemplatif perenungan mematangkan teori)
Return
Kembali
ke masyarakat
(kegiatan
praktis- menjelaskan fakta)[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tentang kaidah-kaidah dasar dalam moralitas, dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah
dasar dalam moral merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kita dalam
bertindak, berperilaku dan berbuat Karena didalam kaidah dasar moral terkandung
kaidah sikap baik dan kaidah keadilan. Dengan kaidah dasar moral kita dapat bersikap baik dan adil. Kaidah sikap baik secara ideal dapat menghasilkan
akibat baik dan sama sekali tidak menghasilkan yang buruk, tetapi karena sering
tidak mungkin, sekurang-kurangnya akibat buruk harus kita minimalisasikan.
Kaidah keadilan memberikan perlakuan sama yang didapat seseorang
dari oranglain dengan hak dan derajat yang sama pula. Sedangkan berbicara
tentang ketidakadilan apabila ada dari dua orang yang sifat-sifatnya cukup
mirip dan yang berada dalam situasi yang mirip juga, yang satu diperlakukan
dengan lebih baik atau dengan lebih buruk daripada yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Bertens, K. 1999. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hazlitt, Henry. 2003. Dasar-dasar Moralitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset
Zubair, Achmad Charis. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
[1] Achmad
Charris Zubair,Kuliah Etika,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995) hlm.71.
[2] Henry
Hazlitt, Dasar-dasar Moralitas,(Jogjakarta:Pustaka Pelajar Offset, 2003)
hlm.32.
[3] Achmad,
Op cit. hlm. 72
[4] Henry,
Op.cit.hlm. 30
[5]
Achmad Op.cit.hlm.72
[6] M.
yatimin Abdullah,Pengantar Studi Etika,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2006)
hlm. 539
[7] Achmad
Op.cit.hlm.73
[8] K.
Bertens,Etika(Jakarta,PT Gramedia Pustaka Utama 1999) hlm.153
[9]
Achmad,Op.cit.hlm.74.
[10]
Achmad.Op cit.hlm.75.
[11]
Achmad.Op cit.hlm.76
[12]
Achmad.Op cit.hlm.79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar