Laman

new post

zzz

Selasa, 12 April 2016

TT G 7 C “Kisah Nabi Musa dan Al-Khidr”



TAFSIR TARBAWI
ADAB MENCARI ILMU
“Kisah Nabi Musa dan Al-Khidr”
(Q.S Al-Kahfi : 65-70)

Muhamad Faishal D    (2021114224)
Kelas : G
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam semoga rahmat dan kesejahteraan senantiasa di limpahkan oleh Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para keluarga dan sahabatnya. Dengan rasa syukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT atas karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Adab Masuk Rumah“ “Niat-Niat Baik Dapatkan Doa dan Ampunan “ ini yang sekarang ada di hadapan para pembaca yang budiman.
Penulis telah berupaya menyajikan laporan ini dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak komprehensif. Di samping itu,apabila terdapat kesalahan dan kekurangan,baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna penyempurnaan penulisan berikutnya.
Semoga makalah yang sederhana ini menambah khasanah keilmuan dan dengan ini saya mempersembahkan dengan penuh rasa terima kasih,  semoga allah SWT memberkahi sehingga dapat memberikan manfaat. Amin ya robbal ‘alamin.





Pekalongan, 31 Maret 2016

   Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain adalah untuk menyembah Kepada-Nya sekaligus sebagai khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia diciptakan lebih sempurna daripada makhluk lainnya dengan dibekali akal, pikiran, dan hati. Tugasnya sebagai khalifah adalah melestarikan dan memanfaatkan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk kemakmuran umat manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan pendidikan tersebut, di antaranya adalah pendidik (subyek pendidikan), anak didik (obyek pendidikan), materi pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Untuk itu dalam makalah akan membahas labih lanjut tentang subyek dan obyek pendidikan yang diilhami dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir.











BAB II
PEMBAHASAN

A.        QS. Al-Kahfi Ayat 65-70
 Ayat dan Terjemahan
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا﴿٦٥﴾
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدً﴿٦٦﴾
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا﴿٦٧﴾
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا﴿٦٨﴾
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا﴿٦٩﴾
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا﴿٧٠﴾
Terjemahan:
65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[886].
66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.”
68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
B.         Penjelasan Ayat
Ayat 65. Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah nabi Musa Yusa’ menelusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi, sampailah keduanya pada batu itu yang pernah mereka jadikan tempat beristirahat. Di sana mereka mendapatkan seorang hamba diantara hamba-hamba Allah ialah Al-Khidhir yang berselimut dengan kain putih bersih. Menurut Sa’id bin Jubair, kain putih itu menutupi leher sampai dengan kakinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan bahwa al Khidhir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu tidak diberikan kepada nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugrahkan suatu ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada al Khidhir.
Ayat 66. Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu berarti nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau menempatkan dirinya sebagai seorang yang bodoh dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya al Khidhir sudi mengajarkan sebagai ilmu yang telah Allah berikan kepadanya. Sikap yang demikian menurut al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan pada muridnya.
Ayat 67. Dalam ayat ini al Khidhir menjawab pertanyaan nabi Musa sebagai berikut: “hai Musa, kamu tak akan dapat sabar dalam menyertaiku. Karena saya memiliki ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya, dan kamu memiliki ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.[1]
Ayat 68. Dalam ayat ini al Khidhir menegaskan kepada nabi Musa tentang sebab nabi Musa tidak akan dapat bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di sana nabi Musa akan melihat kenyataan al Khidhir yang secara lahiriah bertentangan dengan syarat dengan nabi Musa as. Oleh karena al Khidhir berkta kepada nabi Musa : “bagaimana kamu dapat bersabar terhadap perbuatan-perbutan yang lahirnya menyalahi syariatmu, padahal kamu seorang nabi. Atau mungkin juga kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriah bersifat munkar, secara bathiniyyah kamu tidak mengetahui maksudnya atau kemaslahatannya. Sebenarnya memang demikian sifat orang yang tidak bersabar terhadap perbuatan munkar yang dilihatnya. Bahkan segera mengingkarinya.
Ayat 69. Dalam ayat ini nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh nabi Khidhir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintak nabi Khidir selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah. Janji yang beliau ucapkan dalam ayat ini didasarkan dengan kata-kata “Insya Allah” karena beliau sadar bahwa sabar itu perkara yang santa besar dan berat, apalagi etika menyampaikan kemungkaran, seakan-akan panas hati beliau tak tertahan lagi.
Ayat 70. Dalam ayat ini al Khidir dapat menerima Musa as dengan pesan “ jika kamu (nabi Musa) berjalan bersamaku (nabi Khidir) maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalanya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya. [2]
Tafsir Ibnu Katsir
Allah menceritakan tentang ucapan Musa kepada orang ‘alim, yakni Khidhir yang secara khusus diberi ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak diberikan kepada Musa, sebagaimana dia juga telah menganugrahkan ilmu kepada Musa yang tidak dia berikan kepada Khidhir. قال له موسى هل أتّبعك “Musa berkata kepada Khidhir: Bolehkah aku mengikutimu.” Yang demikian itu merupakan pertanyaan penuh kelembutan, bukan dalam bentuk keharusan dan pemaksaan. Demikian itulah seharusnya pertanyaan seorang pelajar kepada orang berilmu. Dan ucapan Musa (أتّبعك) “Bolehkah aku mengikutimu?” yakni menemanimu. (على أن تعلّمن ممّاعلّمت رشدا ) “supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Maksudnya, sedikit ilmu yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepadamu agaraku dapat menjadikannya sebagai petunjuk dalam menangani urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Pada sat itu, Khidhir (قال) “Berkata” kepada Musa: (إنّك لن تستطيع معي صبرا) “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Maksudnya, sesungguhnya engkau tidak akan sanggup menemaniku, sebab engkau akan menyaksikan berbagai tindakanku yang bertentangan dengan syari’atmu, karena aku bertindak berdasar ilmu yang diajarkan Allah kepadaku dan tidak dia ajarkan kepadamu. Engkau juga mempunyai ilmu diajarkan Allah kepadamu tetapi tidak dia ajarkan kepadaku. Dengan demikian, masing-masing kita dibebani berbagai urusan dari-Nya yang saling berbeda, dan engkau tidak akan sanggup menemaniku. (وكيف تصبرعلى مالم تحط به خبرا) “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Aku mengetahui bahwa kamu akan menolak apa yang kamu tidak mengetahui alasannya. Tetapi aku telah mengetahui hikmah dan kemaslahatan yang tersimpan didalamnya, sedang kamu tidak mengetahuinya. Musa berkata: (ســتجدني إن شاءالله صابراً) “Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar,” yakni atas apa yang aku saksikan dari beberapa tindakanmu. (ولا أعصي لك أمرا) “Dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apanpun.” Maksudnya, dan aku tidak menentangmu mengenai sesuatu. Pada saat itu, Khidhir memberikan syarat kepada Musa: (فإن آتّبـعـتني فلاتسئلني عن شيئ) “Ia berkata: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun.” Yakni, dalam taraf pertamanya. (حـتّى أحدث لك منه ذ كــرا) “Sampai aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.” Yakni, sehingga aku yang mulai memberikan penjelasan kepadamu sebelum kamu bertanya kepadaku.[3]

C.        Aspek Tarbawi

1).    Seseorang tidak boleh bersikap sombong atas ilmu yang telah didapatkannya, akan tetapi harus rendah hati dan mengembalikan ilmunya itu kepada Allah Swt.
2)        Orang yang bertekad mencari ilmu harus menetapkan kriteria orang yang akan diguruinya serta tempat yang menjadi tujuannya, sehingga ia tidak akan salah arah.
3)        Seorang guru dianjurkan untuk terus menerus mencari ilmu dan jangan merasa malu untuk mengubah posisi menjadi murid.
4)    Seharusnya seorang murid menyadari bahwa untuk mengetahui rahasia dari sesuatu memerlukan waktu cukup panjang, sehingga tidak selayaknya ia ingin segera tahu dengan mengobral pertanyaan.
5)     Anak didik hendaknya mempunyai niat yang suci dalam hatinya sehingga mudah mencerna dan memahami pelajaran.
6)      Seorang anak didik haruslah memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali dan memahami suatu ilmu.
7)      Patuh dan hormat terhadap guru





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari kisah di atas tentang Nabi Musa dan Al-Khidr yang menceritakan tentang interaksi guru dengan murid. Penghoramatan seorang peserta didik terhadap seorang pendidiknya telah dicontohkan oleh Nabi Musa as terhadap al- Khidir. Di antara bentuk-bentuk penghormatan Nabi Musa as terhadap al- Khidir adalah berbicara dengan lemah lembut, tidak banyak bicara, dan menganggap al-Khidir lebih tahu daripada dirinya


Daftar Pustaka


Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta:Lentera Hati), hlm. 94-100

Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. 2000. Tafsir Ibnu Katsir(Terjemah), Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo



Biografi Penulis
Nama   : Muhammad Faishal Darmawan
Nim     : 202114224
Ttl        : Batang, 19 Januari 1996
Alamat            : Perum. Wirosari 2, rt05 rw 08, Sambong, Batang.



[1] http://www.kabarmakkah.com/2015/04/mengungkap-hikmah-kisah-nabi-musa-dan.html
[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta:Lentera Hati), hlm. 94-100
[3] Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail. 2000. Tafsir Ibnu Katsir(Terjemah), Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar