KEDUDUKAN
ILMU
TAFSIR
QS AL-MUJADALAH AYAT 11
Oleh:
Wildan Aisa Arif
2021213029
Reguler
Sore Kelas L
PROGRAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
STAIN
PEKALONGAN 2016
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadurat Allah S.W.T atas rahmat dan petunjukNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas tafsir tarbawi ini mengenai tafsir QS . Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian tugas
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pembaca demi kesempurnaan tugas ini.
Semoga makalah ini berguna dan dapat
menambah pengetahuan pembaca. Demikian tugas ini penulis susun, apabila ada
kesalahan dalam penulisan kata atau ada kata yang kurang berkenan, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
BAB
I
PENDAHULUAN
Bagi umat islam, ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan keyakinan
terhadap al-Quran yang diwayuhkan serta pemahaman mengenai kehidupan dan alam
semesta yang diciptakan. Di dalam keduanya terdapat ketentuan-ketentuan Allah
yang bersifat absolut, dimana yang satu dinamakan kebenaran Qur’ani (ayat
Qur’aniyah). Dan ysng lsinya disebut kebenaran kauni (ayat Kauniyyah).
Kebenaran tersebut hanya dapat didekati oleh manusia melalui proses
pendidikan dengan berbagai pendekatan dan dilakukan secara continue.
Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, paling tidak
mengemban fungsi utama, yaitu sebagai hudan, (petunjuk), bayyinah (penjelas)
dan furqan (pembeda). Ketiga fungsi ini sangat relevan dan
mampu menjawab berbagai macam permasalahan sejak al-Quran diturunkan sampai
masa kini, bahkan mampu memberikan keyakinan bagi setiap orang yang bertanya
kepadanya, hal ini tergambar dengan ayat pertama dengan perintah “iqra”(bacalah).
Kata “iqra” ini mengandung berbagai ragam arti, antara lain,
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti mengetahui ciri-cirinya
dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat “menghimpun”.
Di samping itu Al-Quran juga membawa setidak-tidaknya tiga wawasan
yang perlu dikaji dan di alami. Ketiga wawasan tersebut adalah wawasan
kesejahteraan (al-wa’y al-qashqash),wawasan keilmuan (al-awa’y
al-ilmi) dan wawasan kesejahteraan (al-wa’y al falah).
Mebahas hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan
melihat, adakah teori relavitas atau bahasan tentang luar angkasa, misalnya;
atau ilmu komputer tercantum dalam al-Quran akan tetapi yang lebih penting
adakah satu ayat al-Quran yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau
sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan dengan hasil
kemajuan ilmiah yang telah teruji kebenarannya? Dengan kata lain, meletakkannya
pada sisi “social pdychoogy” (psikologi soial) bukan pada sisi “history
of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).
Pandangan AL-Quran tentang ilmu teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. wahyu
pertama itu tidak menjelaskan apa yang dibaca, karena al-Quran menghendaki apa
saja yang dibaca umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan itu didasarkan
pada bismi Rabbik, yakni bermanfaat bagi kesejahteraan dan
kehidupan manusia. Hal ini mengandung pengertian bahwa objek perintahiqra mencakup
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Dari wahyu pertama tersebut diperoleh isyarat bahwa ada dua cara
perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yag telah
diketahui oleh manusia sebelumnya., dan mengajar tanpa pena yang belum
diketahui caranya. Artinya bahwa cara pertama, adalah belajar
menggunakan media atau alat bantu atas dasar usaha manusia. Cara kedua, mengandung
arti bahwa mengajar tanpa menggunakan media alat bantu atas dasar usaha manusia.
Cara kedua, mengandung arti bahwa mengajar tanpa menggunakan alat
dan usaha manusia. Walaupun demikian, keduanya berasal dari sumber utama, yaitu
Allah SWT.
Eksistensi manusia baik posisinya sebagai makhluk sosial maupun
individual tidak akan terlepas dari kebutuhannya akan ilmu pengetahuan. Bahkan
tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah satunya ditentukan
oleh ilmu Bahkan tinggi rendahnya kedudukan manusia di muka bumi ini, salah
satunya ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya, disamping faktor lainya seperti
nilai ketakwaan. Disamping itu juga, ilmu pengetahuan dapat menentukan kualitas
keimanan seseorang, sekalipun manusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa (la
ta’lamuna syaia). Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, manusia
sebagai anak cucu Adam, mengetahui pengetahuan dengan berbagai cara dan
pendekatan dengan mendayagunakan berbagai potensi yang dimilikinya baik fisik
maupun fsikis
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Arti
Artinya
:
“Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” [1]
B. Asbabun Nuzul
Ibnu
Jarir meriwayatkan dari Qatadah, ia mengatakan; Dahulu ketika para sahabat
melihat ada orang dating, maka mereka menyempitkan duduknya di sisi Rasulullah
saw. Dan tidak memberi tempat kepada orang itu. Maka turunlah ayat, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah
dalam majelis.”
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bahwasanya ayat ini turun pada hari Jum’at.
Pada saat itu orang-orang yang berperang di Badar berdatangan, sementara
tempatnya sempit. Adapun orang-orang yang sudah disitu tidak melapangkan tempat
sehingga mereka berdiri di ata kaki mereka. Rasulullah saw. Lalu mengajak
berdiri beberapa orang dan mendudukkan mereka ke tempatnya. Orang-orang itu
merasa enggan dengan hal itu, sehingga turunlah ayat tersebut.[2]
C. Tafsir
1. Tafsir Syaikh Imam Al Qurthubi
Mengenai ayat diatas dibahas tujuh masalah:
Pertama:
Firman allah SWT
“Hai orang-orang
beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis"
Setelah
Allah SWT menjelaskan bahwa kaum Yahudi mengucapkan salam tidak seperti yang
telah ditentukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah, dan pelecehan mereka
terhadap beliau, kemudian Allah SWT menyambungnya dengan perintah untuk
memperbagus adab dalam majlis beliau, sehingga tidak membuat majlis beliau
sempit, dan juga afar kaum muslimin bersimpati dan bertenggang rasa terhadap
sesamanya, agar mereka dapat memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh
beliau kepada mereka.[3]
Kedua: As-Sulami,
Zirr bin Juyasy dan Ashim membacanya
”dalam majlis.”
Sementara
Qatadah, Daud bin Abu Hind dan Hasan mempunyai Qira’ah yang berbeda,
yaitu إِذَاقِيْلَ
لَكُمْ تَفَاسَحُوْا yakni dengan memanjangkan huruf fa’.
Sedangkan
yang lain membacanya تَفَسَّحُوْافِى الْمَجْلِسِ yakni kata majlis yang berbentuk mufrad
(tunggal), dan barangsiapa yang membacanya dengan bentuk jama’ karena
berdasarkan firman Allah SWT
Mengisyaratkan bahwa setiap orang memiliki
majlis, seperti itu juga apabila yang dimaksudkan adalah peperangan, dan juga
seandainya yang dimaksudkan adalah majlis Nabi SAW.
Menurut Al Qurthubi, “yakni benar
dalam ayat tersebut adalah, majlis disini bermakna umum, yakni majlis yang kaum
muslimin berkumpul didalamnya untuk meraih kebaikan dan pahala, baik itu majlis
peperangan, dzikir, ataupun majlis pada hari jumat, dan setiap orang yang
terlebih dahulu sampai kepada majlis tersebut, maka ia berhak untuk
mendapatkannya.[4]
Ketiga: Jika ada seseorang yang sedang duduk dalam salah satu
sisi masjid, maka yang lain tidak boleh membangunkannya, kemudian ia menempati
tempat orang tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Zubair, dari Jabir dari Nabi SAW, beliau bersabda “Janganlah salah seorang
dari kalian membangunkan saudaranya (dari tempat duduknya) pada hari Jumat
kemudian ia menggantikan tempat duduknya, tetapi hendaklah ia bekata:berikanlah
keluasan!”
Keempat: Seandainya seseorang memerintahkan orang lain agar
pergi kemasjid terlebih dahulu supaya ia boking tempat untuknya (yang
memerintahkan) duduk, maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana yang
diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Sirin mengutus pelayannya ke majlisnya pada hari
Jum’at, kemudian ia dating menggantikan tempat pelayannya, dan ketika Ibnu
Sirin tiba, pelayannya berdiri untuk memberikan tempat kepadanya.
Kelima: Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya
Nabi SAW bersabda,
اِذَاقَامَ أَحَدُكُمْ-وَفِي حَدِيْثِ أَبِي عَوَانَةٍ
مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ-ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَأَحَقُّ بِهِ
“Jika salah
seorang dari kalian berdiri dari tempat duduknya – dalam hadits Abu Uwanah
dengan redaksi barangsiapa berdiri dari tempat duduknya – kemudian kembali lagi
kepada tempat duduknya, maka ia lebih berhak atas tempatnya.”[5]
Keenam: Firman Allah SWT, يَفْسَحُ اللَّهُ لَكُمْ “Allah
akan memberi kelapangan untukmu”. Yakni di dalam kuburmu. Ada yang mengatakan
di dalam hatimu. Ada yang mengatakan pula, maksudnya llah SWT melapangkan
untukmu di dunia dan di akhirat.
Ketujuh: Firman Allah SWT,
“Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang beiman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Yakni dalam pahala
di akhirat serta kemuliaan di dunia, maka Allah SWT meninggikan derajat orang
mukmin daripada selainnya, dan meninggikan derajat orang alim daripada yang
bodoh.[6]
2.
Tafsir M. Quraish Shihab
Ayat
diatas memberi tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam satu majlis.
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu
oleh siapapun: “Berlapang-lapanglah yakni berupayalah dengan
sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam
majlis-majlis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan untuk
duduk, apabila di minta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah temnpat
itu untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya
Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan
apabila dikatakan:”Berdirilah kamu ke tempat yang lain, atau untuk diduduk
ditempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu
seperti untuk shakat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu wahai yang
memperkenankan tuntunan ini dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan
beberapa derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap
apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa dating Maha Mengetahui.[7]
Kata
(تفسّحوا)
tafassahu dan (افسحوا) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha yakni lapang.
Sedang kata (انشزوا) unsyuzu terambil dari kata (نشوز) nusyuz yakni tempat
yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat
yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi
kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar
pindah itu, atau bangkit melakukan satu aktivitas positif. Ada juga yang
memahaminya berdirilah dari rumah Nabi SAW, jangan berlama-lama di sana, Karena
boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera beliau
hadapi.
Kata
(مجالس)
majalis adalah bentuk jamak dari kata (مجلس) majlis. Pada mulanya
berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad
SAW memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat
keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan
tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah tempat
berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat adalah memberi tempat yang
wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau lemah. Seorang tua
non muslim sekalipun, jika Anda -wahai yang muda- duduk di bus, atau kereta,
sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan beradab jika Anda
berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat
di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat
orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni
yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan
itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang
berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnyaa, bukan akibat dari
factor di luar ilmu itu.
Tentu
saja yang dimaksud dengan (الذّين أوتواالعلم) alladzim ulu al-ilm yang
diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka
dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua
kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua
beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua
ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya,
tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau
tulisan maupun dengan keteladanan. Ilmu yang dimaksud bukan saja ilmu agama
tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.[8]
3.
Tafsir Ibnu Katsir
Allah
Ta’ala berfirman guna mendidik hamba-hambaNya yang beriman dan memerintahkan
kepada mereka agar satu sama lain saling bersikap baik di majelis, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah
dalam majelis’, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” Karena siapa yang menanam maka dia akan memanen. Hal ini sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits sahih,
مَنْ بَنَى اللّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللّهُ لَهُ بَيْتًا
فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang membangun sebuah masjid untuk Allah maka llah akan
membangun untuknya sebuah rumah di dalam surge.”
Banyak
sekail pemberian pahala dengan yang seperti ini. Itulah sebabnya Allah
berfirman, “Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.”
Qatadah mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan majelis-majelis dzikir.
Yaitu, bahwa apabila mereka melihat salah seorang dating menuju tempat mereka,
mereka mempersempit tempat duduk di samping Rasulullah saw., kemudian Allah
memerintahkan kepada mereka untuk melapangkan tempat duduk satu sama lain.” Dan
Muqatil mengatakan, “Telah sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah saw.
Bersabda,
رَحِمَ اللّهُ رَجٌلاً يَفْسَحُ لأَ خِيْهِ
“Allah akan menyayangi seseorang yang melapangkan
tempat duduk untuk saudaranya.”
Imam
Ahmad dan Syafi’I telah meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa rasulullah saw.
Bersabda,
لاَيُقِمِ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ
فَيَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكَنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْ
“Tidak
boleh seorang pun menyuruh berdiri orang lain dari tempat duduknya, kemudian
dia duduk pada bekasnya, akan tetapi lapangkan dan luaskanlah.” (Hadis ini diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim.)[9]
BAB III
PENUTUP
Dari
beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Q.S.Al-Mujadalah ayat 11 ini memberikan gambaran
tentang perintah bagi setiap manusia untuk menjaga adab sopan santun dalam
suatu majlis pertemuan dan adab sopan santun terhadap Rasulullah Saw.
Al-Mujadalah merupakan salah satu surat dalam al-qur’an dengan jumlah 22 ayat.
Surat ini turun di Madinah. Yang diturunkan sesudah surat Al-Munaafiqun.[21]Termaksud
golongan surat madaniyah yang diturunkan sesudah surat al-Munafiqun.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthubi,
Syaikh Imam. 2009. Tafsir Al Qurthubi/Syaikh Imam Al Qurthubi. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Ar-Rifa’I,
Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Press.
As-Suyuti, Imam.
2014. Asbabun An-Nuzul. Jakarta: Al-Kautsar.
Shihab, M.
Quraish. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an/M. Quraish
Shihab. Jakarta: Lentera Hati.
PROFIL
Nama : Wildan Aisa Arif
Alamat : sugihwaras pemalang
Tanggal Lahir :pemalang 05 juni 1993
Pendidikan
SD : Sd tanjungsari 02 Pemalang
SMP : smp 02 negeri pemalang
SMA : MAN 01 Pemalang
Kuliah : STAIN Pekalongan
Motto Hidup : semangat dalam
menuntut ilmu
[1] Al-Qur’an Digital, QS.Al-Mujadallah ayat 11.
[2]Imam As-Suyuti, “Asbabun An-Nuzul”, (Jakarta: Al-Kautsar, 2014),
hal.525
[3]Syaikh Imam Al Qurthubi, “Tafsir Al Qurthubi/Syaikh Imam Al
Qurthubi”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 173
[4] Ibid, hal. 174-175
[5] Ibid, hal. 176-177
[6] Ibid, hal. 178-179
[7]M. Quraish Shihab, “TAFSIR AL-MISHBAH”, (Jakarta: Lentera Hati,
2006) hal. 77-78
[8] Ibid, hal. 179-180
[9] Muhammad Nasib ar-Rifa’I, “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir / Muhammad
Nasib ar-Rifa’I”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 628-629
Tidak ada komentar:
Posting Komentar