KEDUDUKAN ORANG BERILMU
QS. ALI IMRAN AYAT 18
Oleh:
NOFI
ARIYANI 2021213017
KELAS L REGULER SORE
JURUSAN
TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN 2016
KATA PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah SWT pencipta alam semesta yang menjadikan bumi dan isinya dengan
begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap apa yang ada dibumi sebagai
penjelajahan bagi kaum yang berfikir. Tidak lupa sholawat serta salam akan
tetaptercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Dan sungguh berkat limpahan
rahmat -Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini demi memenuhi tugas
mata kuliah Tafsir Tarbawi I.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT semata.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga
penulis dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih layak untuk dibaca, dan
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan
tambahan ilmu pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi semua pihak. Atas
perhatiannya penulis menyampaikan terima kasih.
Pekalongan, Juli 2016
Penulis
PENDAHULUAN
Ilmu menempati kedudukan yang sangat
penting dalam ajaran islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang
memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadits-hadits
nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam Al qur’an, kata ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa
ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa
yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama
Islam.
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an
yang artinya: ”Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang
yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu
pengetahuan) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”Ayat ini dengan
jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh
kedudukan yang tinggi. Ketinggian itu
bukan saja karena nilai ilmu yang dimilikinya, tetapi juga karena amal dan
pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan
keteladanan.Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut
ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya
manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan
hal-hal yang dilarangnya.
Jika umat
Islam menyadari dan memegang teguh ajaran agamanya untuk menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan, maka pasti dapat diraih kembali puncak kejayaan Islam sebagaimana
catatan sejarah di abad awal Hijrah hingga abad ke dua belas Hijrah, dimana
umat dan Negara- negara Islam menjadi pusat peradaban dunia.
Kedudukan Orang Berilmu
QS. Ali Imran ayat 18
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيم (١٨)
Artinya: “Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Penjelasan Tafsir
Ø
Tafsir Al-Maraghi
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
Allah SWT menjelaskan tentang wahdaniyat
Allah, dengan menegakkan bukti-bukti kejadian yang berada di cakrawala luas,
dalam diri mereka, dan menurunkan ayat-ayat tasyri’ yang mencerminkan hal
tersebut. Para malaikat memberitakan kepada para Rasul tentang hal ini,
kemudian mereka menyaksikan dengan kesaksian yang diperkuat ilmu darury.
Hal ini menurut para Nabi lebih kuat dari semua keyakinan. Orang-orang yang
berilmu telah memberitakan tentang kesaksian ini, menjelaskan dan
menyaksikannya dengan kesaksian yang disertai dalil dan bukti. Sebab, orang
yang mengetahui sesuatu tidak membutuhkan hujjah lagi untuk mengetahuinya.
Makna Al-Qistu, artinya dengan
keadilan dalam akidah. Ketauhidan adalah pertengahan antara inkar dan syirik
terhadap Tuhan. Berlaku adil dalam hal ibadah, akhlak dan amal adalah adanya
keseimbangan antara kekuatan rohaniyah dan jasmaniyah. Sebagai perwujudannya
adalah adalah berlaku syukur dengan menjalankan shalat dan dan beribadah
lainnya guna meningkatkan rohani, membersihkan jiwa dan memperbolehkan dirinya
hal-hal yang banyak dari kebaikan (rizki), untuk memelihara dan mengurus badan.
Juga berlaku adil dalam melaksanakan hukum-hukum-Nya, seperti firman Allah:
اِنَّ اللهَ
يَأْ مُرُ بِالعَدْ لِ وَاْلاِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan....” (An-Nahl:
90)
Allah SWT telah menjadikan sunnah
penciptaan ini berdasarkan asas keadilan. Karenanya siapa saja memikirkan
sunnah dan tatanan yang teliti ini akan tampak pada dirinya keadilan Allah
dalam bentuk yang paling sempurna dan jelas.
Kekuasaan Allah SWT yang berdasarkan
keadilan, semuanya merupakanbukti kebenaran kesaksian-Nya. Sebab, adanya
kesatuan tatanan (sistem) alam semesta ini menunjukkan kesatuan penatanya
(Penciptanya).
Sifat Perkasa mengisyaratkan pada
kesempurnaan kekuasaan dan sifat kebijaksanaan mengisyaratkan adanya
kesempurnaan pengetahuan. Kekuasaan ini tidaklah sempurna kecuali jika
menyendiri dan bebas. Dan keadilah itu tidaklah sempurna kecuali jika meliputi
semua kemaslahatan dan kondisi. Maka, yang bersifat seperti itu tidak ada
seorang pun yang bisa mengalahkan terhadap apa yang telah ia tegakkan, yakni sunnah
keadilan dan tidak ada sesuatu pun dari penciptaan yang bisa keluar dari
kebijaksanaan yang sempurna itu.[1]
Ø Tafsir
Al-Azhar
"Allah telah menjelaskan bahwa tiada Tuhan selain
Dia." (pangkal ayat 18).Syahida diartikan menjelaskan. Dengan segala amal
ciptaanNya ini, pada langit dan bumi, pada lautan dan daratan, pada
tumbuh-tumbuhan dan binatang, dan segala semat-semesta, Tuhan Allah telah
menjelaskan bahwa hanya Dia yang Tuhan, hanya Dia yang mengatur. Maka segala
yang ada ini adalah penjelasan atau kesaksian dari Tuhan, menunjukkan bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah."Demikianpun malaikat" dalam
keadaan mereka yang ghaib itu; semuanya telah menyaksikan, telah memberikan
syahadah bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Sebab Malaikat adalah sesuatu
kekuatan yang telah diperintahkan oleh Tuhan melaksanakan perintahNya, dan taat
patuh setialah mereka menjalankan perintah itu. Kita tidak dapat melihat
malaikat dalam bentuk rupanya yang asli, tetapi kita dapat merasakan adanya. Di
antara malaikat itu ialah Jibril yang diperintahkan Tuhan menyampaikan wahyu
kepada Nabi kita Muhammad saw dan wahyu itu telah tercatat menjadi al-Qur'an
dan al-Qur'an telah terkumpul menjadi mushhaf. Oleh sebab itu di dalam tangan
kita sendiri kita telah mendapat salah satu bekas syahadah dari malaikat.
"Danorang-orang yang berilmu"pun telah
menyampaikan syahadahnya pula, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Bertambah
mendalam ilmu, bertambah menjadi kesaksianlah dia bahwa alam ini ada bertuhan
dan Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah dan tidak ada Tuhan yang lain, sebab yang
lain adalah makhlukNya belaka. "Bahwa Dia berdiri dengan keadilan",
yakni setelah Allah menyaksikan dengan qudrat-iradatNya, dan malaikat
menyaksikan dengan ketaatannya, dan manusia yang berilmu menyaksikan dengan
penyelidikan akalnya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, maka timbul pulalah
kesaksian bahwa Tuhan Allah itu berdiri dengan keadilan. Bahwa Tuhan mencipta
alam dengan perseimbangan dan Tuhan menurunkan perintahNya dengan adil, serta seimbang.
Adil ciptaan-Nya atas seluruh alam, sehingga manusia
berjalan dengan teratur, tidak lain adalah karena adil pertimbangannya. Adil
pula perintah dan syariat yang diturunkan-Nya, sehingga seimbang dunia dengan
akhirat, rohani dengan jasmani. Kata qisthi mengandung akan maksud adil,
seimbang, setimbang; semuanya bisa kita dapati di mana-mana dengan teropong
ilmu pengetahuan. "Tidaklah ada Tuhan selain Dia. Maha gagah lagi
Bijaksana."(ujung ayat 18).
Hendaklah menarik perhatian kita tentang kedudukan
mulia yang diberikan Tuhan kepada Ulil-ilmi, yaitu orang-orang yang mempunyai
ilmu di dalam ayat ini. Setelah Tuhan menyatakan kesaksianNya yang tertinggi
sekali, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan kesaksian itu datang dari Allah
sendiri, maka Tuhan pun menyatakan pula bahwa kesaksian tertinggi itupun
diberikan oleh malaikat. Setelah itu kesaksian itupun diberikan pula oleh
orang-orang yang berilmu. Artinya, tiap-tiap orang yang berilmu, yaitu
orang-orang yang menyediakan akal dan pikirannya buat menyelidiki keadaan alam
ini, baik di bumi ataupun di langit, di laut dan di darat, di binatang dan di
tumbuh-tumbuhan, niscaya manusia itu akhirnya akan sampai juga, tidak dapat
tidak, kepada kesaksian yang murni, bahwa memang tidak ada Tuhan melainkan
Allah. Itulah pula sebabnya maka di dalam surat Fathir (surat 35 ayat 28)
tersebut, bahwa yang bisa merasai takut kepada Allah itu hanyalah ulama, yaitu
ahli-ahli ilmu pengetahuan.
Imam Ghazali di dalam kitab al-Ilmi dan di
dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah memahkotai karangannya itu ketika
memuji martabat ilmu bahwa ahli ilmu yang sejati telah diangkat Tuhan dengan
ayat ini kepada martabat yang tinggi sekali, yaitu ke dekat Allah dan ke dekat
malaikat.
Itulah kesan yang timbul kembali, meyakinkan kesan
yang pertama tadi demi setelah memperhatikan pendirian Tuhan Allah dengan
keadilan itu. Pada dua nama, Aziz dan Hakim, gagah dan bijaksana, terdapat lagi
keadilan. Tuhan Allah itu Gagah Perkasa, hukum-Nya keras, teguh dan penuh
disiplin. Tetapi dalam kegagah-perkasaan itu, diimbangiNya lagi dengan sifatNya
yang lain, yaitu Bijaksana. Sehingga tidak pernah Allah berlaku sewenang-wenang
karena kegagah-perkasaanNya dan tidak pernah pula bersikap lemah karena
kebijaksanaanNya. Di antara gagah dan bijaksana itulah terletak keadilan.[2]
Ø Tafsir Al-Mishbah
Kata ( شَهِدَ)syahida yang diatas
diterjemahkan dengan menyaksikan, mengandung banyak arti, antara melihat,
megetahui, menghadiri, dan menyaksikan, baik dengan mata kepala maupun dengan
mata hati. Seorang saksi adalah yang menyampaikan kesaksian di pengadilan atas
dasar pengetahuan yang diperolehnya, kesaksian mata atau hati. Dari sini kata
menyaksikan di atas dipahami dalam arti menjelaskan dan menerangkan kepada
seluruh makhluk.
Allah menyaksikan bahwa
tiada Tuhan melainkan Dia. Kesaksian itu merupakan
kesaksian diri-Nya terhadap diri-Nya. Kesaksian yang sangat kukuh untuk
meyakinkan semua pihak tentang kewajaran-Nya untuk disembah dan diandalkan.
Allah menyaksikan
diri-Nya Maha Esa, Tiada Tuhan selain Dia. Keesaan itu pun disaksikan oleh para
malaikat dan orang-orang yang berilmu, dan masing-masing; yakni
Allah, malaikat, dan orang-orang yang berpengetahuan, secara berdiri sendiri
menegaskan bahwa kesaksian yang mereka lakukan itu adalah berdasarkan
keadilan. Makna ini yang dipahami oleh sementara ulama sebagai arti (قَائِمًا
بِالْقِسْطِ) qa’iman
bi al-qisth, yang redaksinya berbentuk tunggal. Tentu saja tidak menunjuk
kepada Allah, malaikat, dan orang-orang yang berilmu; ketiganya sekaligus. Ada
juga yang menjadikan kata qa’im bi al-qisthitu sebagai penjelasan
tentang keadaan Allah SWT, dalam arti tidak ada yang dapat menyaksikan Allah
dengan penyaksian yang adil, yang sesuai dengan keagungan dan keesaan-Nya
kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah yang mengetahui secara sempurna siapa
Allah. “Ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh Allah, maka tidak
akan ada satupun yang mengenal-Nya kecuali diri-Nya sendiri.
Allah Qa’iman bi
al-qisth, menegakkan keadilan yang memuaskan semua pihak. Dia yang
menciptakan mereka dan menganugerahkan aneka anugerah. Jika ini diberi
kelebihan rezeki materi, maka ada rezeki yang lain yang tidak diberikannya.
Setelah menegaskan
bahwa Dia melaksanakan segala sesuatu dialam raya ini berdasar keadilan yang
menyenangkan semua pihak, maka kesaksian terdahulu diulangi sekali lagi, Tiada
Tuhan melainkan Dia. Hanya saja kalau kesaksian pertama bersifat kesaksian
ilmiah yang berdasarkan dalil-dalil yang tak terbantah, maka kali kedua ini
adalah kesaksian faktual yang dilihat dalam kenyataan oleh Allah, para malaikat
dan orang-orang yang berpengetahuan. Itu terlaksana secara faktual, karena Dia
Yang Maha Perkasa, sehingga tidak satupun yang dapat menghalangi atau
membatalkan kehendak-Nya; lagi Maha Bijaksana, sehingga segala sesuatu
ditempatkan pada tempat yang wajar.[3]
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu dan ulama (orang-orang
berilmu), karena Allah ta'ala mengkhususkan mereka dalam penyebutan
tanpa menyertakan manusia lainnya. Allah menyandingkan kesaksian mereka dengan
kesaksian-Nya dan kesaksian para malaikat-Nya, dan Allah menjadikan kesaksian
mereka adalah keterangan dan dalil yang paling besar atas ketauhidan-Nya,
Agama-Nya dan pembalasan-Nya. Seorang
yang mukallaf wajib menerima
kesaksian yang adil lagi benar tersebut, dan termasuk diantara kandungannya
adalah membenarkan mereka, bahwa para makhluk mengikuti mereka dan bahwa mereka
adalah para pemimpin yang diikuti. Dalam poin ini terdapat keutamaan, kemuliaan
dan kedudukan yang tinggi yang tidak dapat diukur kadarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Mustafa. 1987. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Hamka. 2003. Tafsir
Al Azhar Juz III (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta:
Lentera Hati.
Tentang Penulis
NOFI ARIYANI, lahir di Pekalongan, 13 November 1993, bertempat tinggal di Bligorejo, Doro
Pekalongan.Pendidikan dimulai di SD N Bligorejo 01, kemudian melanjutkan
sekolah di MTs Syahid Doro dan dilanjutkan di MAN 02 Pekalongan dan saat ini masih
menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan,
jurusan Tarbiyah prodi PAI. Motto Hidup: “Jangan jadikan dirimu sebagai bahan
teguran orang lain.”
[1] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1987),
hlm. 206-208.
[2]Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al Azhar Juz III (Edisi Revisi), (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), hlm. 178-180.
[3]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 36-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar