Laman

new post

zzz

Sabtu, 03 September 2016

TT1 B 1d Kesempurnaan Akal



KESEMPURNAAN AKAL

Disusun oleh:
Ahmad Sadad                 ( 2021113250 )
           Kelas B

PAI
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016



KATA PENGANTAR

Assalamualakum Wr.Wb

Alhamdulilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami dapat menyelsaikan makalah dengan judul “KESEMPURNAAN AKAL DALAM Q.S AL-QOSHOSH”. Dalam penyusunannya, kami memperoleh bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Dari sanalah kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan keritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Waalaikumusalam Wr.Wb
Pekalongan, 31 Agustus 2016
Penyusun









BAB I
PENDAHULAN
A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi umat manusia hingga hari kiamat datang, dan al-Qur’an sendiri dijaga kemurniannya Oleh Allah SWT dan Alloh sendiri yang menjanjikan itu, isi dalam Al-Qur’an banyak menjadikan kita tahu  dan membuat kita paham atas dasar Al qur’an, dalam Al-Qur’an terdapat berbagai macam salah satunya adalah sejarah.
Pada Q.S Al-Qoshosh terdapat kisah tentang nabi Musa yang menjadikan puncak kesempurnaan akal, dimana ada beberapa banyak penafsiran tentang ayat tersebut serta sampai tahap-tahapan usia kesemprnaan akal.

B.  Materi Tafsir
Q.S Al-Qoshosh Ayat 14:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)-
Artinya:
Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

C.  Rumusan Masalah
1.      Apa isi Kandungan Q.S Al-Qoshosh ?
2.      Apa Sebab Turunnya Ayat tersebut ?
3.      Bagaimana penafsiran menurut para Tokoh ?
4.      Bagaimana cara mengaplikasikan dalam kehidupan ?
5.      Apa hubungannya dengan Pendidikan ?





BAB II
SURAT AL – QOSHOSH AYAT 14 TENTANG KESEMPURNAAN AKAL

A.  Materi
1.    Ayat dan terjemahan Q.S Al-Qoshosh Ayat 14
Firman Allah SWT:
                        وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)-
Artinya:
 Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

2.    Mufrodat ayat
a.     وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ                 Dan setelah Musa cukup umur
b.      وَاسْتَوَى                      Dan sempurna akalnya
c.       آتَيْنَاهُ حُكْمًا                  Kami berikan kepada-Nya hikmah
d.      وَعِلْمًا                         Dan ilmu
e.       وَكَذَلِكَ                        Dan demikianlah
f.       نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ           Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
   berbuat baik.

3.    Asbabul nuzul
Sebab-sebab diturunkan ayat ini pada saat itu terdapat sebuah raja yang kuat dan zalim pada saat itu. Dan pada saat itu juga Musa lahir dalam golongan Bani Israil yaitu golongan yang hina oleh karena itu Musa dihanyutkan oleh ibunya ke sungai nil, dan ketika itu ditemukan ia oleh istri raja firaun dan Musa dibawa ke istana . Disana Musa dididik di bawah bimbingan dan penjagaan Allah SWT. Pendidikan Musa dimulai di rumah Fir'aun di mana di dalamnya terdapat ahli pendidikan dan para pengajar.  secara sederhana Fir'aun rnampu mengumpulkan para pakar pendidikan dan para cendekiawan. Demikianlah hikmah Allah SWT berkehendak agar Musa terdidik di bawah pendidikan yang besar dan ditangani pakar-pakar pendidikan yang terlatih. ironisnya, hal ini terjadi di rumah musuhnya yang pada suatu hari nanti akan hancur di tangannya, sebagai bentuk pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Musa tumbuh di rumah Fir'aun. Beliau mempelajari ilmu hisab, ilmu bangunan, ilmu kimia, dan bahasa. Beliau tidur di bawah bimbingan agama. Oleh karena itu, Musa tidak mendengar omongan kosong yang dikatakan oleh pendidik tentang ketuhanan Fir'aun. Jarang sekali ia mendengar bahwa Fir'aun adalah tuhan. Beliau pun menepis pernyataan dan anggapan ini. Beliau tinggal bersama Fir'aun di satu rumah. Beliau mengetahui lebih daripada orang lain bahwa Fir'aun hanya sekedar manusia biasa tetapi ia orang yang alim. Musa mengetahui bahwa ia bukanlah anak dari Fir'aun. Beliau adalah salah seorang dari Bani Israil. Beliau menyaksikan bagaimana pengawal-pengawal Fir'aun dan para pengikutnya menindas Bani Israil. Akhirnya, Musa tumbuh besar dan mencapai kekuatannya.[1]

B.  Tafsir
Ada beberapa tafsiran tentang Q.S Al-Qoshosh ayat 14, diantaranya:
1.    Dalam Tafsir Ibn Katsir
Ketika Allah SWT menceritakan awal pertama peristiwa Musa A.S, dia pun mengabarkan bahwa tatkala ia telah mencapai masa dewasa Allah memberikan hikmah dan ilmu. Mujahid berkata “Yaitu kenabian”.[2]
“Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Kemudian Allah menceritakan tentang sebab Musa mencapai ketinggian derajatnya, dengan kenabian dan diajak bicara oleh-Nya, pada saat adanya upaya dirinya membunuh seorang laki-laki Qibthi yang menjadi sebab keluarnya ia dari Mesir menuju ke Madyan maka Allah berfirman: “Dan Musa masuk ke Kota ketika penduduknya sedang lengah”.

2.    Dalam Tafsir al-Azhar
“Dan setelah cukup umurnya dan dewasa, kami berikan kepadanya hukum dan ilmu.” (awal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi anak angkat Fir’aun. Dari kecil dibesarkan di istana. Tetapi sejak itu pula ibunya sudah bisa membawa pulang dari istana. Keluarga Musa adalah sebagai keluarga Bani Israil yaitu golongan yang tertindas dan dipandang hina.[3]
Lantaran itu, meskipun ia dianggap sebagai orang istana dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia selalu melihat perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan fir’aun. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang adil dan dzalim. Bahwa kalau dia memegang hukum maka dia tidak akan memutuskan begitu melainkan ia akan memutuskan dengan yang baik.
“Dan demikianlah kami mengajari orang-orang yang berbuat baik.” (akhir ayat 14). Pada akhir ayat ini dapat kita menggali suatu kenyataan bahwa disamping apa yang telah ditentukan oleh Allah SWT bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi, dengan kehendak Tuhan yang telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah berhasil usahanya yang menjadi seorang mengerti ilmu dan hukum.[4]
3.    Dalam Tafsir al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menceritakan bahwa dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa di waktu kecil, seperti menyelamatkannya dari kebiasaan setelah diletakkan didalam peti dan dilemparkan ke sungai, serta menyelamatkan dari penyembelihan yang melanda anak-anak Bani Israil. Dalam ayat-ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia melimpahkan nikmat kepadanya ketika dewasa, seperti memberinya ilmu dan Hhikmah, kemudian mengutusnya sebagai Rasul dan Nabi kepada Bani Israil dan Banbgsa Mesir. Selanjutnya Allah menceritakan bahwa Musa membunuh seorang bangsa Mesir yang berkelahi dengan orang Yahudi dengan tinju yang mengakibatkan kematiannya. Lalu Musa memohon ampun kepada Tuhan atas perbuatannya tersebut dan bertekad untuk tidak menolong seorang yang sesat dan berdosa. Tetapi, manakala melihat perkelahian lain antara orang Yahudi dengan orang Qibthi yang lain, Musa terdorong untuk menolong kembali orang Yahudi tersebut, sehingga orang Mesir itu berkata, “apakah kamu hendak mengadakan perdamaian dimuka bumi, ataukah hendak menjadi orang berbuat sesuatu tanpa memikirkan akibatnya dan menjadi orang yang mengadakan kerusakan”.[5]
4.    Dalam Tafsir Al-Mishbah
Kata asyuddahu terambil dari kata al-asyudd yang oleh sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak dari kata syiddah (keras) atau syadd. Kata tersebut dipahami  dalam arti kesempurnaan akal. Ayat tersebut menambah kata istawa setelah kata asyuddahu, kata ini ada yang memahaminya berfungsi menguatkan kata asyuddahu, tetapi pendapat yang lebih tepat adalah usia puncak kesempurnaan kekuatan.
Thabathaba’i memahami kata hukman dalam arti “ketepatan pandangan menyangkut subtansi satu persoalan dan kebenaran penerapannya. Dan ini pada akhirnya berarti keputusan yang benar menyangkut baik buruknya satu pekerjaan serta penerapan keputusan itu”. Kata muhsinin adalah jama’ dari kata al-muhsin, kata ihsan menurut al-Harrali sebagaimana dikutip al-Biqa’i adalah puncak kebaikan amal perbuatan.[6]

C.  Aplikasi Dalam Kehidupan
Didalam Al-Qur’an banyak beberapa ayat yang menerangkan kisah-kisah dan gambaran berupa kenabian, orang-orang baik, dan lain-lain. Dalam Q.S Al Qoshoh Ayat 14 menceritakan nabi Musa yang dianugrahkan oleh Allah tentang hikmah dan pengetahuannya karena Musa telah mencapai cukup umur dan sempurna akalnya.
Dalam kesempurnaan akal terdapat awal kesempurnaan dan puncak kesumpurnaan, ada beberapa tahapan dimana mulai kesempurnaan akal awalnya berumur 20 tahun dan puncak kesempurnaan akal berumur 40 tahun, sesudah itu sedikit demi sedikit kekuatan semakin menurun.[7]
Kalau kita melihat kisah nabi Musa dari kecil yang dibesarkan dalam istana fir’aun maka kita bisa mengambil intisari dari kisah tersebut dan mengamalkannya dalam kehidupan sekarang ini. Nabi Musa pada waktu kecil ia terpisah dengan kaumnya karena nabi Musa diasuh dan dibesarkan dalam istana fir’aun dan pada waktu itu raja fir’aun memperlakukan bani israil dengan perlakuan yang tidak adil dari situlah nabi Musa mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang pengetahuan mana yang adil dan mana yang zalim, dia merasa didalam hatinya serta berandai-andai seandainya kalau aku bisa memegang hukum maka aku tidak akan seperti fir’aun.
Setelah nabi Musa dewasa pengalaman demi pengalaman terus bertambah sehingga dalam puncak kesempurnaan akalnya dia bisa melihat kekuasaan fir’aun yang sangat mencolok antara kaum Qibthi dan kaum bani Israil, seandainya kaum Qibthi (kaum fir’aun) yang bersalah maka kesalahan tersubut akan ditutup-tutupi sebaliknya kaum bani Israil yang bersalah maka akan dihukum dengan hukuman yang sangat kejam yang tidak sepadan dengan kesalahan yang diperbuatnya.
Melihat kisah diatas kita harus bisa memahami dengan akal kita dalam mengetahui mana itu perkara yang adil dan mana itu perkara yang zalim. Kalau kita melihat realita dalam kehidupan ini, maka banyak perlakuan-perlakuan yang tidak adil, seperti pemimpin yang zalim, hukum yang bisa dibeli dan lain-lainnya. Oleh karena itu kita selaku mahasiswa harus bisa memahami mana yang adil dan mana yang buruk sehingga kelak kita menjadi pemimpin baik itu di masyarakat atau Negara maka kita bisa berlaku adil.


D.  Aspek Tarbawi
Dalam tafsir Al-Qur’an Surat Al Qoshosh ayat 14 tentang kesempurnaan akal yang bisa diambil dalam kisah tersebut. Bahwa kesempurnaan akal manusia dalam mencapainya melalui tahap demi tahap. Awal kesempurnaan dan puncak kesempurnaan akal pendapat Ulama ada yang mengatakan 20 tahun tetapi kebanyakan para ulama menilai dari usia 33 - 40 tahun.[8]
Kecerdasan seseorang adalah kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian ketajaman berfikir dan sebagainya.[9] Untuk mencapai kesempurnaan akal manusia, maka dalam awal kesempurnaan sampai puncak kesempurnaan perlu diberikan asupan ilmu sebanyak-banyaknya untuk mematangkan ilmunya, supaya jika kelak puncak kesempurnaan dapat tersimpan dalam memori akal.















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari penafsiran Q.S Al Qoshosh mengenai pendidikan yang diuraikan diatas, bahwa dalam surat Al Qoshosh ayat 14 tersebut tentang sejarah nabi Musa as dengan kesempurnaan akal dapat dianalisis dalam kesempurnaan akal yang dimaksud adalah dimana nabi Musa memukul seorang dari golongan Qibthi sampai mati dan menyadari bahwa dia telah membunuh seorang Qibthi pada waktu subuh, ia menyadari bahwa ini adalah amalan setan dan aku telah menganiaya diriku sendiri dan dia berdoa bahwa ia mengakui bahwa dia hina serta mohon ampun kepada Allah SWT. Dari hal tersebut dapat dianalisis pada kehidupan sekarang bahwa kesempurnaan akal terletak pada hati bukan di otak, pada tanggungjawab seseorang atas apa yang diamanati harus dikerjakan atas apa yang menjadi tanggungjawabnya tersebut dan Musa melakukan apa yang ia harus lakukan adalah bentuk suatu kesempurnaan akalnya karena melihat perkelahian antara Bani Israil dan golongan Qibthi.
           














DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 2003, Tafsir Al- Azhar, Singapore: Kerjaya Printing Indrustries Pte Ltd.

Ibn Katsir, Imaduddin Abi al-Fida Ismail. 1970, Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-fakr. jilid 5.

Al-Maraghi Ahmad Musthafa. 1974. Tafsir Al-Maraghi, Juz XX. (Mesir : Musthafa Al-Babi Al-Halabi,). Terj.  Drs. Hery Noer Aly, K. Anshori Umar Sitanggal, Bahrun AbuBakar. Lc. Semarang: CV. Toha Putra.

M. Quraish shihab. 2002. Tafsir Al- Mishbah, Jakarta: Lentera Hati. 15 vol.

A. Busyairi Haris. 2005. Ilmu Ladunni dalam perspektif teori belajar moder. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
















PROFIL DAN FOTO
Nama                           : Ahmad Sadad
Tempat, Tgl Lahir       : Pekalongan, 15 November 1995



[1] Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar , (Singapore: Kerjaya printing indrustries Pte Ltd, 2003), hlm. 5202.
[2] Imaduddin Abi al-Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-fakr, 1970), jilid 5, Cet. 2, hlm. 268.
[3] Prof. Dr. Hamka, Opcit,. 5309.
[4]  Ibid,. hlm 5310.
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1394 H/ 1974 M) Juz XX.  Terj.  Drs. Hery Noer Aly, K. Anshori Umar Sitanggal, Bahrun AbuBakar, Lc. (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hlm. 69
[6] M. Quraish shihab, Tafsir Al- Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) 15 vol,; 24 cm, hlm.317-318
[7] Ibid,. hlm 318.
[8] Ibid,. hlm 317.
[9] WJS. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, Cet. 9, hlm. 201. Dalam Buku A. Busyairi Haris, Ilmu Ladunni dalam perspektif teori belajar moder, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. II, hlm. 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar