KEDUDUKAN
ORANG BERILMU
”Hikmah
Anugerah Besar”
(QS.
Al Baqarah Ayat 269)
Di susun oleh:
Amalia Solekha (2021113111)
Kelas: B
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan
inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Hikmah Anugerah Besar” Shalawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabatnya, keluarganya, serta
segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai penafsiran
Q.S Al- Baqarah ayat 269. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi dalam
diskusi mata kuliah Tafsir Tarbawi I IAIN Pekalongan. Penulis menyadari
bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis
sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai sumber
ajaran yang saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada
kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman. Amin yaa
robbal ‘alamin.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada
Rasulullah saw scara lafal dan makna melalui perantaraan malaikat Jibril a.s.
dengan berbahasa arab. Sebagi sumber ajaran islam Al- Qur’an memuat petunjuk dan penjelasan tentang
bagaimana perilaku manusia dalam berbagai sendi kehidupannya. Secara garis
besar, ajaran-ajaran islam yang terkandung dlam Al- Qur’an dapat
diklasifikasikan dengan berbagai pokok-pokok isinya, yaitu aqidah, ibadah
muamalah, akhlak, hukum, sejarah dan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Al-Qur’an
adalah mukjizat terbesar yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw. Kemukjizatan Al-
Qur’an tidsk hanya berlaku pada zaman Nabi saja, melainkan berlaku untuk
sepanjang masa.
Sebagai makhluk Allah kita harus bersyukur kepada Allah dan terhadap
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Karena dengan bersyukur, seseorang
mengenal Allah dan mengenal anugerah-Nya.
B.
Materi Tafsir
Q.S. Al-
Baqarah Ayat: 269
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا
اْلأَلْبَابِ
Artinya: "Allah
menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan
as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi
al-Hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. (Al- Baqarah
ayat: 269).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hikmah Anugerah Besar
Hikmah secara etimologi terambil dari kata hakama. Kata yang
menggunakan huruf ha, kaf, dan mim berkisar
maknanya pada menghalangi. Seperti hukum yang berfungsi menghalangi terjadinya
penganiayaan. Kendali bagi hewan mengarah kerah yang tidak diinginkan atau
liar. Secara terminologi hikmah adalah sesuatu yang bila di gunakan, diperhatikan
akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan, dan atau mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan. Memilih perbuatan yang
terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Menurut kamus bahasa Arab, al-Hikmah mempunyai
banyak arti. Diantaranya, kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus,
pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan
al-Qur’anul karim.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian
anugerah adalah pemberian atau ganjaran dari pihak atas (orang besar dan
sebagainya) kepada pihak bawah (orang rendah dan sebagainya) atau karunia dari Tuhan.
B.
Tafsir Ayat
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ
الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Artinya: "Allah
menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan
as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi
al-Hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. (Al- Baqarah ayat: 269).
1.
Tafsir Al
Mishbah
Hikmah terambil dari kata (حكم) hakama, yang pada mulanya berarti menghalangi.
Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni
sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari yang
buruk. Hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta
kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari yang buruk. Ayat sebelum ini
dijelaskan dua jalan, jalan Allah dan jalan setan. Siapa yang dianugerahi
pengetahuan tentang kedua jalan itu, mampu memilih yang terbaik dan
melaksanakannya serta mampu pula menghindar dari yang buruk, maka dia telah
dianugerahi hikmah.
Kata (أُولُوا اْلأَلْباب) Ulu al-Albab terdiri dari dua kata ulu
yang berarti pemilik atau penyandang, sedangkan albab
sebagaimana dijelaskan dalam ayat 179 surah ini adalah bentuk jamak dari (لْبَ) lubb, yaitu saripati sesuatu. Ulu
al-Albab adalah orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak
diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam
berpikir. Yang memahami petunjuk-petunjuk Allah, merenungkan
ketetapan-ketetapanNya, serta melaksanakannya, itulah yang telah mendapat
hikmah, sedangkan yang menolaknya pasti ada kerancuan dalam cara berpikirnya,
dan dia belum sampai pada tongkat memahami sesuatu. Ia baru sampai pada kulit
masalah. Memang fenomena dan hakikatnya tidak terjangkau kevuali oleh yang
memiliki saripati akal.[1]
2.
Tafsir Al
maraghi
· ) يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ
(
Allah SWT memberi hikmah dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan
menjiwai empunya kepada siapa saja yang kehendaki Allah. Dengan demikian, ia
dapat membedakan antara hakikat dan pulasan, disamping mudah mengetahui antara
godaan dan ilham. Sarana yang bisa menampung hikmah adalah akal yang mampu
memberi keputusan dalam menelusuri segala sesuatu dengan berbagai argumentasi,
disamping menyelidiki hakikatnya secara bebas. Siapa saja yang telah
dianugerahi akal seperti ini, maka ia akan mampu membedakan antara janji Yang
Maha Pngasih dan ancaman setan. Ia akan berpegang pada janji Allah, dan
membuang jauh-jauh ancaman setan. Menurut Hibrul Ummah (orang paling alim),
Abdullah bin Abbas, yang dimaksud dengan kalimat hikmah adalah pengetahuan
mengenai Al- Qur’an. Atau mengetahui apa yang terkandung didalamnya, yakni
hidayah, hukum, rahasia dan hikmah.
· )وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا(
Siapa saja yang telah diberi taufik (pertolongan Allah) akan
mengerti akan mengenai ilmu yang bermanfaat. Ia juga akan dituntun oleh Allah
untuk menggunakan akalnya secara sehat dan diarahkan kejalan yang benar. Ia
mampu menundukkan kekuatan yang telah diciptakan Allah untuknya, seperti
pendengaran, penglihatan, pemikiran, rasa dan citra untuk tujuan yang
bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian ia tidak akan menyerah kepada godaan
setan yang membujuknya. Nahkan jiwa akan tetap kokoh menghadapi berbagai
rintangan. Sebab, ia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kodrat
Ilahi dan kehendak-Nya. Orang seperti ini, jiwanya akan merasa tenang, imannya
tetap kokoh didalam menghadapi segala kejadian dan peristiwa.
· )وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ(
Tidak akan bisa mengambil hakikat dari ilmu pengetahuan dan bisa
terpengaruh oleh ilmu itu, hingga kehendaknya bisa dikendalikan dan tunduk
kepada kemauannya, melainkan hanya orang-orang yang mempunyai akal sehat dan
berjiwa luhur, yang mampu menyelami hakikat kenyataan. Dengan ilmu
pengetahuannya, mereka mampu memilih hakikat kehidupan yang bermanfaat bagi
dirinya, yang bisa membuat dirinya bahagia dalam kehidupan ini, sekaligus bisa
meniti tangga kebahagiaan ukhrawi.[2]
3.
Tafsir Ibnu
Katsir
Hikmah itu adalah ilmu-ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang mumpuni, akal yang
terus, pemikiran yang matang dan terciptanya kebenaran dalam perkataan maupun
perbuatan. Inilah seutama-utamanya pemberian dan sebaik-baiknya karunia. Karena
itu Allah berfirman, ( وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ): "Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak". Karena dia
telah keluar dari gelap kebodohan kepada cahaya petunjuk, dari kepandiran
penyimpangan dalam perkataan dan perbuatan menuju tepatnya kebenaran padanya,
serta terciptanya kebenaran. Dan karena ia telah menyempurnakan dirinya dengan
kebajikan yang agung dan bermanfaat untuk makhluk dengan manfaat yang paling
besar dalam agama dan dunia mereka. Seluruh
perkara tidak akan berjalan baik kecuali dengan hikmah, yaitu meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya dan menempatkan segala perkara pada posisinya
masing-masing, mendahulukan perkara yang harus didahulukan, mengulur perkara
yang memang harus diulur. Akan
tetapi tidak akan diingat perkara yang agung ini dan tidak akan diketahui
derajat pemberian yang besar ini, (إِلاَّ أُوْلُوا
اْلأَلْبَابِ); :"kecuali
orang-orang yang berakallah". Mereka itu adalah orang-orang yang
memiliki akal sehat dan cita-cita yang sempurna. Mereka itulah yang mengetahui
yang berguna lalu mereka melakukannya dan yang mudharat lalu mereka
meninggalkannya. Kedua perkara ini yaitu mengerahkan nafkah-nafkah harta dan
mengerahkan hikmah keilmuan adalah lebih utama bagi orang yang mendekatkan diri
dengannya kepada Allah dan perkara yang paling tinggi yang menyampaikannya
kepada kemuliaan yang paling agung. Kedua perkara itulah yang disebutkan oleh
Nabi shallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي اْلحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ اْلحِكْمَةَ فَهُوَ يُعَلِّمُهَا النَّاسَ.
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي اْلحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ اْلحِكْمَةَ فَهُوَ يُعَلِّمُهَا النَّاسَ.
Artinya: "Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara; seseorang yang
telah diberikan oleh Allah harta lalu ia menguasainya dengan menghabiskannya
dalam kebenaran dan seseorang yang diberikan oleh Allah hikmah lalu dia
mengajarkannya kepada manusia". ( HR. Al- Bukhari no. 73, dan Muslim
no. 816 dari hadits Ibnu Mas’ud).[3]
C.
Aplikasi Dalam
Kehidupan
Kemuliaan yang agung bagi orang yang
diberikan kepadanya Al-Hikmah, ini berdasarkan firman Allah ta’ala: (وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ
فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا): “Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, dia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak”. Wajibnya bersyukur bagi orang yang Allah ta’ala berikan
kepadanya Al-Hikmah, karena kebaikan yang sangat banyak ini mewajibkan
mensyukurinya. Anugerah Al-Hikmah
diberikan Allah kepada seseorang melalui banyak cara, (diantaranya) Allah ta’ala fitrahkan
ia dengan hal tersebut, atau dapat diraih dengan latihan dan berteman dengan
orang-orang yang arif. Keutamaan
akal, ini berdasarkan firmanNya: (وَمَايَذَّكَّرُ
إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ)
: “Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. Bahwa orang yang tidak dapat mengambil pelajaran,
menunjukan akan adanya kekurangan pada akalnya, yaitu akal sehat, akal yang
memberikan petunjuk pada dirinya.
Tidaklah yang dapat mengambil
pelajaran dari pelajaran yang terdapat di alam dan pada syari’at ini kecuali
orang-orang yang mempunyai akal sehat, yang mana mereka menghayati dan
mempelajari apa yang terjadi dari tanda-tanda yang telah lalu dan yang akan
datang, sehingga mereka dapat, mengambil pelajaran darinya. Adapun seorang yang
lalai, maka hal tersebut tidak memberikannya manfaat dan pelajaran
(sedikitpun).
D.
Aspek Tarbawi
1.
Wajibnya bersyukur bagi orang yang Allah ta’ala berikan
kepadanya Al-Hikmah, karena kebaikan yang sangat banyak ini mewajibkan
mensyukurinya.
2. Anugrah Al-Hikamah diberikan Allah
kepada seseorang melalui banyak cara, (diantaranya) Allah ta’ala fitrahkan ia dengan hal tersebut, atau dapat diraih
dengan latihan dan berteman dengan orang-orang yang arif.
3. Seseorang yang telah diberi taufik (pertolongan Allah) akan mengerti ilmu
yang bermanfaat ini. Ia juga akan dituntun untuk oleh Allah menggunakan akalnya
secara sehat dan diarahkan kejalan yang benar.
4. Dengan ilmu pengetahuan, mereka mampu memiliki hakikat kehidupan yang
bermanfaat bagi dirinya, yang bisa membuat dirinya bahagia dalam kehidupan ini,
sekaligus bisa meniti tangga kebahagiaan ukhrawi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
Hikmah itu adalah ilmu-ilmu yang
bermanfaat, pengetahuan yang mumpuni, akal yang terus, pemikiran yang matang
dan terciptanya kebenaran dalam perkataan maupun perbuatan. Inilah
seutama-utamanya pemberian dan sebaik-baiknya karunia. Karena itu Allah berfirman,
( وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا ): "Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak". Karena dia
telah keluar dari gelap kebodohan kepada cahaya petunjuk, dari kepandiran
penyimpangan dalam perkataan dan perbuatan menuju tepatnya kebenaran padanya,
serta terciptanya kebenaran. Dan karena ia telah menyempurnakan dirinya dengan
kebajikan yang agung dan bermanfaat untuk makhluk dengan manfaat yang paling
besar dalam agama dan dunia mereka.
Akan tetapi tidak akan diingat
perkara yang agung ini dan tidak akan diketahui derajat pemberian yang besar
ini, (إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ); :"kecuali orang-orang yang
berakallah."Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki akal sehat dan
cita-cita yang sempurna. Mereka itulah yang mengetahui yang berguna lalu mereka
melakukannya dan yang mudharat lalu mereka meninggalkannya.
DAFTAR PUTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al- Maraghi. Semarang. PT. Karya Toha Putra
Semarang.
Ar- Rafa’i, Muhammad
Nasib. 1999. Taisiru al- Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 1. Jakarta. Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al- Mishbah. Jakarta. Lentera
Hati.
BIOGRAFI PENULIS
Nama : Amalia Solekha
NIM : 2021113111
TTL : Pekalongan, 23
Februari 1996
Alamat : Desa Tegaldowo
Rt.05/02, Kec. Tirto, Kab. Pekalongan
Riwayat Pendidikan : - TK Muslimat NU Karang Jompo
-
SD Tegaldowo
-
SMP N 1 Tirto
-
SMK N 1 Pekalongan
[1]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al- Mishbah, ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
580-581.
[2]Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al- Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1993), hlm. 74-75.
[3]Muhammad Nasib
ar- Rafa’i, Taisiru al- Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
1, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 444-446.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar